Anda di halaman 1dari 26

Case Report

AFAKIA OS DAN GLAUKOMA SEKUNDER OS


Diajukan Sebagai Salah Satu Tugas Dalam Menjalani Kepaniteraan Klinik Senior
pada Bagian / SMF Ilmu Kesehatan Mata
Fakultas Kedokteran Unsyiah BPK RSUD dr. Zainoel Abidin Banda Aceh

Disusun Oleh :
T. Muhammad Iqbal
1407101030016

Pembimbing :
dr. Firdalena Meutia, M.Kes., Sp. M

BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN MATA


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SYIAH KUALA
BPK RSUD Dr. ZAINOEL ABIDIN
BANDA ACEH
2015

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT. Karena berkat
rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan tugas laporan kasus ini.
Shalawat beriring salam penulis sampaikan kepada Nabi besar Muhammad SAW,
atas semangat perjuangan dan panutan bagi ummatnya.
Adapun tugas ini berjudul AFAKIA OS DAN GLAUKOMA
SEKUNDER OS yang diajukan Sebagai Salah Satu Tugas Dalam Menjalani
Kepaniteraan Klinik Senior pada Bagian / SMF Ilmu Kesehatan Mata Fakultas
Kedokteran Unsyiah BPK RSUD dr. Zainoel Abidin Banda Aceh.
Penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi
tingginya kepada dr. Firdalena Meutia, M.Kes., Sp.M yang telah meluangkan
waktunya untuk memberi arahan dan bimbingan dalam menyelesaikan tugas ini.
Dengan kerendahan hati, penulis menyadari bahwa tugas ini masih jauh
dari kesempurnaan. Saran dan kritik dari pembimbing dan teman-teman akan
penulis terima dengan tangan terbuka, semoga dapat menjadi bahan pembelajaran
dan bekal di masa mendatang.

Banda Aceh, Februari 2015

Penulis

DAFTAR ISI

Halaman
JUDUL........................................................................................................................
KATA PENGANTAR ...............................................................................................
DAFTAR ISI ...........................................................................................................iii
DAFTAR GAMBAR................................................................................................iv
BAB I

PENDAHULUAN................................................................................ 1

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................


2.1 Anatomi dan Fisiologi Lensa Mata..................................................
2.2 Afakia...............................................................................................
2.2.1 Definisi Afakia.........................................................................
2.2.2 Epidemiologi Afakia................................................................
2.2.3 Etiologi Afakia.........................................................................
2.2.4 Tanda Afakia............................................................................
2.2.5 Tatalaksana Afakia...................................................................
2.2.6 Prognosis Afakia......................................................................
2.3 Glaukoma.........................................................................................
2.3.1 Definisi Glaukoma...................................................................
2.3.2 Epidemiologi Glaukoma..........................................................
2.3.3 Faktor Resiko Glaukoma.........................................................
2.3.4 Etiopatogenesis Glaukoma.......................................................
2.3.5 Klasifikasi Glaukoma.............................................................10
2.3.6 Patofisiologi Glaukoma Sekunder.........................................13
2.3.7 Glaukoma Sekunder Akibat Perubahan Lensa.......................13
2.3.8 Glaukoma Sekunder Akibat Trauma......................................14
2.3.9 Glaukoma Sekunder Akibat Operasi......................................14
2.3.10 Glaukoma Sekunder Akibat Penggunaan Steroid Jangka
Panjang................................................................................14
2.3.11 Tatalaksana Glaukoma.........................................................15
2.3.12 Komplikasi Glaukoma.........................................................16
2.3.13 Prognosis Glaukoma............................................................16

BAB III

LAPORAN KASUS ...........................................................................17

BAB IV

ANALISA KASUS .............................................................................20

BAB V

KESIMPULAN ..................................................................................21

DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................22

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Gambaran Lensa di Mata...................................................................... 3


Gambar 2. Anatomi Lensa...................................................................................... 4
Gambar 3. Pemeriksaan Slit Lamp pada Lensa.......................................................... 4
Gambar 4. Kerusakan saraf optikus pada glaukoma............................................. 10
Gambar 5. Klasifikasi glaukoma........................................................................... 12
Gambar 6. Trabekulektomi................................................................................... 16

BAB I
PENDAHULUAN
Kelainan refraksi adalah suatu kondisi ketika sinar datang sejajar pada
sumbu mata dalam keadaan tidak berakomodasi yang seharusnya direfraksikan
oleh mata tepat pada retina baik itu di depan, di belakang maupun tidak dibiaskan
pada satu titik. Kelainan ini merupakan bentuk kelainan visual yang paling sering
dan dapat terjadi akibat kelainan pada lensa ataupun bentuk bola mata. Kelainan
refraksi adalah keadaan dimana bayangan tegas tidak dibentuk pada retina.(1)
Hasil pembiasan sinar pada mata ditentukan oleh media penglihatan yang
terdiri atas kornea, cairan mata, lensa, benda kaca, dan panjangnya bola mata.(2)
Afakia adalah suatu keadaan dimana mata tidak mempunyai lensa
sehingga mata tersebut menjadi hipermetropia tinggi.(2)
Penelitian di Swedia pada tahun 1997-2001 menyebutkan bahwa satu dari
dua ratus operasi katarak adalah afakia. Alasan paling sering terjadinya afakia
yang tidak direncanakan adalah adanya masalah kapsul ketika operasi dan prolaps
vitreous.(3)
Gejala yang dikeluhkan pasien afakia adalah tajam penglihatan menurun.
Sedangkan pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan visus 1/60 atau lebih rendah
jika afakia tidak ada komplikasi, limbal scar yang dapat ditemukan pada afakia
akibat pembedahan, pasien mengalami penurunan tajam penglihatan (biasanya
hipertropia yang sangat tinggi) yang dapat dikoreksi dengan lensa positif, bilik
mata depan dalam, iris trimulans, jet black pupil, tes bayangan purkinje hanya
memperlihatkan 2 bayangan (normalnya 4 bayangan), pemeriksaan fundus
memperlihatkan

diskus

kecil

hipermetropi,

retinoscopy

memperlihatkan

hipermeteropi tinggi, biasanya terlihat bekas operasi, jika sudah mengalami


komplikasi dapat ditemukan edema kornea, peningkatan TIO, iritis, kerusakan
iris, CME (cystoid macular edema).(4, 5)
Afakia dapat dikoreksi menggunakan lensa kontak, kacamata, atau operasi.
Kacamata afakia hanya dapat digunakan jika kondisinya afakia bilateral, jika
hanya satu mata, maka akan terjadi perbedaan ukuran bayangan pada kedua mata
(aniseikonia). Jika pasien tidak dapat memakai lensa kontak atau kaca mata, maka

dipertimbangkan penanaman lensa intraokular (pseudofakia) dan diperlukan


tatalaksana untuk komplikasi.(3)
Glaukoma adalah suatu kelainan yang berhubungan dengan tekanan
intraokular yang disertai dengan kerusakan pada saraf optik yang terjadi secara
perlahan. Pada sebagian besar penderitanya terjadi akibat peningkatan intra okular
oleh karena adanya sumbatan pada sirkulasi atau drainase aquos. Pada glaukoma
akan terdapat melemahnya fungsi mata dengan terjadinya cacat lapang pandang,
kerusakan anatomi berupa ekskavasi (penggaungan) serta degenerasi papil saraf
optik, yang dapat berakhir dengan kebutaan.(6)
Glaukoma merupakan masalah kesehatan mata yang penting di Indonesia.
Distribusi penyakit glaukoma di Indonesia sebesar 13,4%. Prevalensi kebutaan
akibat penyakit glaukoma sebesar 0,2% (Depkes, 1997). Glaukoma adalah
penyebab kebutaan nomor dua terbesar di Indonesia setelah katarak dan seringkali
mengenai orang berusia lanjut.(6)
Glaukoma sekunder merupakan glaukoma yang terjadi akibat penyakit
mata yang lain atau penyakit sistemik yang menyertainya, seperti akibat
perubahan lensa, perubahan uvea, trauma, post operasi dan akibat pemakaian
kortikosteroid sistemik atau topikal dalam jangka waktu yang lama.(7)

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1

Anatomi dan Fisiologi Lensa Mata


Lensa mata berasal dari ektoderm permukaan, terletak didalam bola

mata yakni dibelakang iris, didalam kamera okuli posterior. Lensa mata
merupakan suatu struktur bikonveks, avaskular, berbentuk seperti cakram, tak
berwarna dan hampir transparan sempurna.(2,

8)

Tebalnya sekitar 4 mm dan

diameternya 9 mm.(8)
Dibagian
menggantungkan

perifer
lensa

di

kapsul

lensa

terdapat

seluruh

ekuatornya

pada

zonula
badan

zinn
silier

yang
dan

memungkinkan lensa untuk menebal dan menipis saat terjadinya akomodasi. (2) Di
sebelah anterior lensa terdapar aquoes humor, di sebelah posteriornya terdapat
corpus vitreous. Kapsul lensa adalah suatu membran yang semipermeabel (sedikit
lebih permeabel daripada dinding kapiler) yang akan memperbolehkan air dan
elektrolit masuk.(2)

Gambar 1. Gambaran Lensa di mata.(9)

Lensa dibentuk oleh sel epitel lensa. Sel epitel lensa akan terus-menerus
membentuk serat lensa sehingga mengakibatkan serat lensa memadat dibagian
sentral lensa dan membentuk nukleus lensa. Di bagian luar nukleus terdapat serat
lensa yang lebih muda dan disebut sebagai korteks lensa. Korteks yang terdapat di
sebelah depan nukleus lensa disebut korteks anterior, sedang dibelakangnya

korteks posterior. Nukleus lensa memiliki konsistensi lebih keras daripada korteks
lensa.(2, 8) Inti dan korteks lensa dibungkus oleh kapsul lensa yang sangat elastis
dan kenyal.(8)

Gambar 2. Anatomi Lensa.(9)

Gambar 3. Pemeriksaan Slit Lamp pada Lensa.(9)

Enam puluh lima persen lensa terdiri dari air, sekitar 35% protein
(kandungan protein tertinggi di antara jaringan-jaringan tubuh), dan sedikit sekali
mineral yang biasa ada di jaringan tubuh lainnya. Kandungan kalium lebih tinggi
di lensa daripada di kebanyakan jaringan lain. Asam askorbat dan glutation

terdapat dalam bentuk teroksidasi maupun tereduksi. Lensa tidak mempunyai


serat nyeri, pembuluh darah serta jaringan saraf.(2)
Fungsi utama lensa adalah memfokuskan cahaya masuk kedalam mata
sehingga terbentuk bayangan yang tajam pada selaput jala mata atau bintik
kuning. Saat melihat dekat, kontraksi muskulus siliaris akan mencembungkan
lensa mata sehingga daya refraksi diperkecil dan berkas cahaya terfokuskan ke
retina.(8) Kerjasama fisiologik antara korpus siliaris, zonula, dan lensa untuk
memfokuskan benda dekat ke retina dikenal sebagai akomodasi.(2) Pada usia 40
tahun, biasanya lensa sudah mulai kaku karena nukleus lensa mengeras. Hal ini
menyebabkan lensa menjadi tidak elastis dan sulit untuk mencembung, sehingga
pada usia 40 tahun mulai diperlukan kacamata baca untuk melihat dekat. Pada
keadaan ini pasien telah mengalami presbiopia.(8)
2.2

Afakia
2.2.1 Definisi Afakia
Afakia adalah suatu keadaan dimana mata tidak mempunyai lensa

sehingga mata tersebut menjadi hipermetropia tinggi. Karena pasien memerlukan


pemakaian lensa yang tebal, maka akan memberikan keluhan pada mata tersebut
sebagai berikut:(1)
a) Benda yang dilihat menjadi lebih besar 25% dibanding normal
b) Terdapat efek prisma lensa tebal, sehingga benda terlihat seperti
melengkung
c) Pada penglihatan terdapat keluhan seperti badut di dalam kotak atau
fenomena jack in the box, dimana bagian yang jelas hanya terlihat pada
bagian sentral, sedang penglihatan tepi kabur.
2.2.2 Epidemiologi Afakia
Penelitian di Swedia pada tahun 1997-2001 menyebutkan bahwa
satu dari dua ratus operasi katarak adalah afakia. Alasan paling sering terjadinya
afakia yang tidak direncanakan adalah adanya masalah kapsul ketika operasi dan
prolaps vitreous.(3)

2.2.3 Etiologi Afakia


5

a) Absen lensa kongenital. Keadaan ini sangat jarang


b) Afakia setelah operasi pengangkatan lensa. Ini adalah penyebab paling
umum afakia
c) Afakia karena absorbsi bahan lensa yang jarang dilaporkan setelah
trauma pada anak
d) Trauma ekstrusi pada lensa. Ini juga jarang menyebabkan afakia
e) Dislokasi posterior lensa di badan vitreous menyebabkan afakia optikal.
(10)

2.2.4 Tanda Afakia


a) Visus 1/60 atau lebih rendah jika afakia tidak ada komplikasi
b) Limbal scar yang dapat ditemukan pada afakia akibat pembedahan
c) Pasien mengalami penurunan tajam penglihatan (biasanya hipermetrop
d)
e)
f)
g)
h)
i)

yang sangat tinggi) yang dapat dikoreksi dengan lensa positif.


Bilik mata depan dalam
Iris tremulans
Jet black pupil
Pemeriksaan fundus memperlihatkan diskus kecil hipermetropi
Biasanya terlihat bekas operasi
Jika sudah mengalami komplikasi dapat ditemukan edema kornea,
peningkatan TIO, iritis, kerusakan iris, CME (cystoid macular edema).
(4, 5)

2.2.5 Tatalaksana Afakia


Afakia dapat dikoreksi menggunakan lensa kontak, kacamata atau
operasi. Kacamata afakia hanya dapat digunakan jika kondisinya afakia bilateral,
jika hanya satu mata maka akan terjadi perbedaan ukuran bayangan pada kedua
mata (aniseikonia). Jika pasien tidak dapat memakai lensa kontak atau kacamata,
maka dipertimbangkan penanaman lensa intraokular (pseudofakia). Dan
diperlukan tatalaksana untuk komplikasi.(4)
Pada afakia bilateral, dapat dikoreksi dengan kacamata. Sedangkan
pada unilateral, koreksi menggunakan kacamata tidak dapat ditoleransi karena
anisometrop. Lensa kontak dapat mengurangi anisekonia. Namun pasien biasanya
tidak nyaman menggunakan lensa kontak karena kesusahan memasang lensa,
tidak nyaman, dapat terjadi komplikasi seperti konjungtivitis giant papil.(4)

Tabel perbedaan mata normal (1), koreksi katarak dengan lensa intraokular bilik mata
belakang (2), lensa kontak (3), dan kacamata katarak (4). (9)

2.2.6 Prognosis Afakia


Prognosis untuk afakia adalah bagus jika tidak terjadi komplikasi
seperti edema kornea, glaukoma sekunder, CME (cystoid macular edema).

Namun, pada afakia terjadi peningkatan resiko ablasio retina, khususnya pada
miopi tinggi dan jika kapsul posterior tidak intak.(4)
2.3

Glaukoma
2.3.1 Definisi Glaukoma
Glaukoma berasal dari kata Yunani Glaukos yang berarti hijau

kebiruan yang memberikan kesan warna tersebut pada pupil penderita glaukoma.
Glaukoma merupakan penyebab kebutaan pertama yang irreversibel. (2) Glaukoma
adalah suatu keadaan pada mata yang ditandai dengan kenaikan tekanan
intraokuli, penurunan visus, penyempitan lapang pandang dan atropi nervus
optikus.(2, 7)
2.3.2 Epidemiologi Glaukoma
Glaukoma merupakan penyebab kebutaan nomor dua di Indonesia
setelah katarak. Penyakit mata ini biasanya terjadi pada usia 40 tahun keatas. Etnis
Afrika dibandingkan etnis Kaukasus pada glaukoma sudut terbuka primer adalah
4:1. Glaukoma berpigmen terutama pada etnis Kaukasus. Pada orang Asia lebih
sering dijumpai glaukoma sudut tertutup.(11)
2.3.3 Faktor Resiko Glaukoma
Faktor resiko glaukoma meliputi hipermetropi (glaukoma sudut
tertutup), miopi (glaukoma sudut terbuka), usia >45 tahun, keturunan (riwayat
glaukoma dalam keluarga), dan ras (Asia lebih beresiko). Faktor resiko lainnya
adalah migrain, hipertensi, hipotensi, diabetes mellitus, peredaran darah dan
regulasinya (darah yang kurang akan menambah kerusakan), fenomena autoimun,
degenerasi primer sel ganglion dan pasca bedah dengan hifema/infeksi.(12)
Hal yang memperberat resiko glaukoma:
a)
b)
c)
d)
e)
f)
g)

Tekanan bola mata, makin tinggi makin berat


Makin tua makin berat, makin bertambah resiko
Resiko kulit hitam 7 kali dibanding kulit putih
Hipertensi, resiko 6 kali lebih sering
Kerja las, resiko 4 kali lebih sering
Miopia, resiko 2 kali lebih sering
Diabetes Mellitus, resiko 2 kali lebih sering.(2)

2.3.4 Etiopatogenesis Glaukoma

Penyebab glaukoma tidak diketahui secara pasti, bisa juga karena


trauma/benturan, atau penyakit mata lain seperti katarak yang sudah pecah
(katarak hipermatur), uveitis dan pengaruh obat-obatan.
Tiga faktor sehingga terjadinya peningkatan tekanan intraokular
yang akhirnya menyebabkan terjadinya glaukoma adalah:
a) Produksi berlebihan humor akuous pada corpus siliaris
b) Adanya resistensi dan aliran akuous pada sistem trabekular
maupun kanal schlemm
c) Peningkatan tekanan vena episklera
Bilik anterior dan posterior mata terisi oleh cairan encer yang disebut
humor akuous. Dalam keadaan normal, cairan ini dihasilkan di dalam bilik
posterior, melewati pupil masuk kedalam bilik anterior lalu mengalir dari mata
melalui suatu saluran. Jika aliran cairan ini terganggu (biasanya karena
penyumbatan yang menghalangi keluarnya cairan dari bilik anterior), maka akan
terjadi peningkatan tekanan sehingga merusak serabut saraf mata. Perlu diketahui,
saraf mata berfungsi meneruskan bayangan yang dilihat ke otak. Di otak,
bayangan tersebut akan bergabung di pusat penglihatan dan membentuk suatu
benda (vision). Peningkatan tekanan intraokular akan mendorong perbatasan
antara saraf optikus dan retina di belakang mata. Akibatnya pasokan darah ke
saraf optikus berkurang sehingga sel-sel sarafnya mati. Karena saraf optikus
mengalami kemunduran, maka akan terbentuk bintik buta pada lapang pandang
mata atau menimbulkan skotoma (kehilangan lapangan pandang). Bila seluruh
serabut saraf rusak dan tidak diobati, glaukoma pada akhirnya akan menimbulkan
kebutaan total. Yang pertama terkena adalah lapang pandang tepi, lalu diikuti oleh
lapang pandang sentral. Pada penderita glaukoma, yang terjadi adalah kerusakan
serabut saraf mata sehingga menyebabkan blind spot.(7)

Faktor-faktor penyebab penggaungan dan degenerasi papil saraf


optik:
a) Gangguan perdarahan pada papil yang disebabkan oleh
peningkatan tekanan intraokular

b) Tekanan intraokular yang tinggi secara mekanik menekan papil


saraf optik yang merupakan tempat dengan daya tahan paling
lemah pada bola mata
c) Penggaungan papil yang tidak simetris antara mata kanan dan
mata kiri.(13)

Gambar 4. Kerusakan saraf optikus pada glaukoma. (9)

2.3.5 Klasifikasi Glaukoma


Klasifikasi Vaughan untuk glaukoma adalah sebagai berikut:(7)
1. Glaukoma Primer
a) Glaukoma sudut terbuka (Simpleks)
Penyebab glaukoma ini belum pasti, mula timbulnya gejala
simpleks ini agak lambat yang kadang tidak disadari oleh
penderita sampai akhirnya berlanjut dengan kebutaan.
Umumnya ditemukan pada pasien usia lebih dari 40 tahun.
Gambaran patologik utama pada glaukoma sudut terbuka
adalah proses degeneratif di jalinan trabekular, termasuk
pengendapan bahan ekstrasel didalam jalinan dan dibawah
lapisan endotel kanalis schelmm. Hal ini berbeda dari proses
penuaan normal. Akibatnya adalah penurunan drainase cairan
akuous yang menyebabkan peningkatan tekanan intraokular.
b) Glaukoma sudut tertutup, terdiri atas:
Akut
Glaukoma sudut tertutup akut primer terjadi apabila
terbentuk iris bombe yang menyebabkan sumbatan sudut
bilik mata depan (BMD) oleh iris perifer. Hal ini

10

menyumbat aliran cairan aquos dan tekanan intraokular


meningkat dengan cepat. Glaukoma sudut tertutup terjadi
pada mata yang sudah mengalami penyempitan anatomik

BMD.
Sub Akut
Pada glaukoma

sudut

tertutup

sub

akut

episode

peningkatan TIO berlangsung singkat dan rekuren.


Episode penutupan sudut membaik secara spontan, tertapi
terjadi akumulasi kerusakan pada sudut BMD berupa

pembentukan sinekia anterior perifer.


Kronik
Sejumlah kecil pasien dengan predisposisi penutupan
BMD tidak pernah mengalami episode peningkatan akut
TIO tetapi mengalami sinekia anterior perifer yang

semakin meluas disertai peningkatan bertahap dari TIO.


2. Glaukoma Kongenital : Primer atau infantile dan disertai kelainan
kongenital lainnya.
3. Glaukoma Sekunder
Glaukoma sekunder merupakan glaukoma yang terjadi akibat
penyakit

mata

yang

lain

atau

penyakit

sistemik

yang

menyertainnya, seperti:
a) Akibat perubahan lensa (dislokasi lensa, intumesensi lensa,
glaukoma fakolitik dan fakotoksik pada katarak, glaukoma
kapsularis/sindrom eksfoliasi)
b) Akibat perubahan uvea (uveitis anterior, tumor, rubeosis
iridis)
c) Akibat trauma (hifema, kontusio bulbi, robeknya kornea atau
limbus yang disertai prolaps iris)
d) Akibat post operasi (pertumbuhan epitel konjungtiva,
gagalnya pembentukan bilik mata depan post-operasi katarak,
blok pupil post-operasi katarak)
e) Akibat pemakaian kortikosteroid sistemik atau topikal dalam
4.

jangka waktu yang lama.


Glaukoma Absolut
Glaukoma absolut merupakan

stadium

akhir

glaukoma

(sempit/terbuka) dimana sudah terjadi kebutaan total akibat


tekanan bola mata memberikan gangguan fungsi lanjut.
11

Gambar 5. Klasifikasi glaukoma. (9)

2.3.6 Patofisiologi Glaukoma Sekunder


Patofisiologi peningkatan tekanan intraokular baik disebabkan oleh
mekanisme sudut terbuka atau sudut tertutup pada glaukoma sekunder, sesuai
dengan bentuk kelainan klinis yang menjadi penyebabnya. Efek peningkatan
tekanan intraokular didalam mata dipengaruhi oleh perjalanan waktu dan besar
peningkatan intraokular.(14)
Kerusakan saraf optik berupa penggaungan dan degenerasi papil
saraf optik diduga disebabkan oleh:
1. Gangguan perdarahan pada papil yang menyebabkan degenerasi
berkas serabut saraf pada pupil saraf optik
2. Tekanan intraokular yang tinggi secara mekanik menekan papil
saraf optik
3. Ekskavasio papil saraf optik

12

Mekanisme utama penurunan penglihatan pada glaukoma adalah


atropi sel ganglion difus, yang menyebabkan penipisan lapisan serat saraf dan inti
bagian dalam retina dan berkurangnya akson disaraf optikus. Diskus optikus
menjadi atropik, disertai pembesaran cekungan optikus, iris dan korpus siliaris.(2)
2.3.7 Glaukoma Sekunder Akibat Perubahan Lensa
Kelainan ini dapat berupa mekanik yaitu lensanya dan kimiawi yaitu
fokolitik atau fokotoksik. Dislokasi lensa dapat berupa subluksasi ke depan atau
ke belakang. Trauma tumpul lensa dapat mengakibatkan dislokasi lensa, antara
lain: (2, 7)
1. Glaukoma pada subluksasi ke depan
Subluksasi lensa ke depan dapat menyebabkan glaukoma karena
terjadinya hambatan pupil sehingga aliran akuous dari bilik mata
belakang ke bilik mata depan sehingga menyebabkan penutupan
sudut bilik mata depan dan mata depan. Subluksasi ini juga dapat
mendorong iris ke depan sehingga menyebabkan penutupan sudut
bilik mata depan dan perlengketan di sudut tersebut yang keduaduanya dapat menyebabkan glaukoma.
2. Glaukoma pada subluksasi ke belakang
Pada subluksasi ke belakang dapat terjadi rangsangan yang
menahun pada badan siliar akibat tarikan-tarikan zonula zinii atau
geseran lensa pada badan siliar. Rangsangan ini menyebabkan
produksi akuous yang berlebihan yang dapat menimbulkan
glaukoma.
3. Glaukoma pada luksasi ke depan
Pada luksasi ke depan lensa terletak langsung dalam bilik mata
depan dan ini menutup jalur keluar akuous sehingga terjadi
glaukoma.
4. Glaukoma pada luksasi ke belakang
Dalam keadaan ini lensa terletak langsung dalam bilik mata depan
dan ini menutup jalur keluar akuous sehingga terjadi glaukoma.
2.3.8 Glaukoma Sekunder Akibat Trauma

13

Pada cedera mata dapat terjadi perdarahan ke dalam bilik mata depan
(hifema) ataupun hal lain yang menutupi cairan mata keluar sehingga tekanan
intraokuler biasanya meningkat karena tersumbatnya aliran tersebut sehingga
terjadi glaukoma sekunder. Glaukoma sekunder juga dapat terjadi pada trauma
tumpul mata yang merusak sudut (resesi sudut). Selain itu limbusa atau kornea
yang robek juga bisa menyebabkan glaukoma sekunder.
2.3.9 Glaukoma Sekunder Akibat Operasi
Glaukoma sekunder juga sering terjadi pasca pembedahan mata, hal
ini sering disebabkan oleh pertumbuhan epitel di COA setelah insisi kornea atau
sklera sehingga menutup COA yang dapat menimbulkan glaukoma. Selain itu
gagalnya pertumbuhan COA pasca operasi karena adanya kebocoran pada luka
operasi juga bisa menimbulkan terjadinya glaukoma.
2.3.10 Glaukoma Sekunder Akibat Penggunaan Steroid Jangka Panjang
Penggunaan steroid dalam jangka waktu lama diketahui dapat
meningkatkan terjadinya glaukoma. Oleh karena itu tidak dianjurkan untuk
menggunakan steroid dalam jangka waktu lama pada pengobatan mata.
2.3.11 Tatalaksana Glaukoma
1. Midriatika
Penggunaan midriatika pada pupil untuk mencegah blok pupil
dan untuk melepaskan sinekhia yang ada.
2. Topikal kortikosteroid
Bentuk kedua dari terapi adalah

penggunaan

topikal

kortikosteroid. Penggunaan ini juga mempunyai resiko karena


dapat meningkatkan tekanan intraokular pada 20%-30% individu.
Jika hal ini terjadi dapat diganti dengan fluoromethylone atau
steroid yang mirip yang mempunyai resiko lebih rendah tapi efek
anti-inflamasinya kuat.
3. Injeksi steroid subkonjungtiva
Pada pasien yang tidak berespon pada midriatika dan topikal
kortikosteroid dapat digunakan injeksi steroid subkonjungtiva.
4. Cytotoxic
Pada pasien dengan glaukoma sekunder yang menjadi uveitis
kronis dimana pengobatan dengan midriatika dan steroid tidak

14

membaik, penggunaan cytotoxic misalnya cylosporin atau


methorexate

dapat

memberikan

hasil

yang

baik

dengan

terkontrolnya glaukoma dan proses peradangan pada uvea


anterior.
5. Hipotensif Agen
a) Simpatomimetik
Mengurangi produksi humor akuous
Epinefrin 0,5% - 2%, 2 dd 1 tetes sehari
b) Beta Adrenergik
Menghambat produksi humor akuous
Timolol maleat 0,25 0,5%, 1-2 dd 1 tetes sehari
c) Carbonic anhidrase inhibitor
Menghambat produksi humor akuous
Asetolamide 250 mg, 4 dd 1 tablet

6. Pembedahan
Menurut Luntz jika tekanan berkisar antara 35 40 mmHg
dengan nervus optikus normal, maka dipantau 1-2 bulan untuk
memantau keadaan papil nervus optikus, lapang pandang,
peningkatan rasio cupdisc, jika semua ini masih dalam batas
normal dan opthalmologis yakin masih ada kemungkinan terapi
berhasil maka terapi medikamentosa dapat diteruskan. Tetapi jika
papil nervus optikus sudah menunjukkan tanda-tanda kerusakan
dan defek lapang pandang sudah sangat spesifik glaukoma, maka
harus segera dioperasi. Jika sudah terjadi sinekhia anterior perifer
dan kerusakan sudut iridokornealis sudah muncul, diperlukan
trabekulektomi, seklusio papil dapat diatasi dengan iridektomi
perifer (dengan laser). Iridektomi perifer dan pembebasan pupil
juga perlu dilakukan jika terjadi sinekhia posterior yang ekstensif
antara iris dan lensa, dilakukan secara dini sebagai terapi
glaukoma.(15)

15

Gambar 6. Trabekulektomi.

2.3.12 Komplikasi Glaukoma


Jika pengobatan terlambat akan cepat berlanjut pada tahap akhir
glaukoma yaitu glaukoma absolut.
2.3.13 Prognosis Glaukoma
Diagnosis yang lebih awal dan penanganan dini pada glaukoma
dapat memberikan hasil yang memuaskan.
BAB III
LAPORAN KASUS
3.1 Identitas Pasien
Nama

: Tn. MH

Jenis Kelamin

: Laki-laki

Umur

: 24 tahun

Pekerjaan

: Tukang las besi

Alamat

: Ulee Glee, Pidie Jaya

Agama

: Islam

No CM

: 091-53-82

Tanggal Pemeriksaan

: 11 Februari 2015

3.2. Anamnesis
1. Keluhan Utama:
Nyeri Kepala
Keluhan Tambahan:
Mata kiri terasa nyeri dan kabur
2. Riwayat Penyakit Sekarang:
Pasien datang ke poli mata dengan keluhan nyeri kepala seminggu terakhir
ini. Pasien juga mengeluhkan mata kiri terasa tidak nyaman dan nyeri.

16

Riwayat operasi pada mata kiri (+) pada tahun 2012 setelah terkena serpihan
besi las di bengkel. Operasi pertama dilakukan di RSUDZA pada bulan
Desember tahun 2012, kemudian pasien dirujuk ke Jakarta untuk dilakukan
operasi pengangkatan serpihan besi dan dipasang silicon oil pada mata kiri.
Riwayat diabetes mellitus disangkal, riwayat hipertensi disangkal.
3. Riwayat Penyakit Dahulu:
Afakia OS
4. Riwayat Penyakit Keluarga:
Disangkal
5. Riwayat Penggunaan Obat:
Pasien lupa nama obat yang dipakai

3.3. Status Ophtalmologis

Okular Dextra

Okular Sinistra

VOD : 5/60

VOS : 1/300

Pergerakan Bola Mata

17

Normal

Normal

Keterangan (OD)

Komponen

Keterangan (OS)

edema (-)

Palpebra Superior

edema (-)

edema (-)

Palpebra Inferior

edema (-)

hiperemis (-)

Konj. Tarsal Superior

hiperemis (-)

hiperemis (-)

Konj. Tarsal Inferior

hiperemis (-)

hiperemis (-) injeksi


konjungtiva (-) injeksi
siliar(-)

Konj. Bulbi

hiperemis (-) injeksi


konjungtiva (-) injeksi
siliar(+)

Jernih(+) infiltrat(-)
ulkus(-) sikatrik(-)

Kornea

Jernih(+) infiltrat(-) ulkus(-)


sikatrik(+)

Normal

COA

Dangkal

Jelas

Kripta Iris

Jelas

Bulat (+) isokor (+) rcl (+)


rctl (+)

Pupil

Bulat(+) isokor (-) rcl (+)


rctl (-)

Keruh (-)

Lensa

Keruh (-)

3.4

Pemeriksaan Penunjang
Visus
Slit lamp
Refraksi

3.4 Diagnosis
Afakia OS + Glaukoma Sekunder OS
3.5

Penatalaksanaan
- Timolol 0,25% 2 dd 1 tetes sehari
- Cendo Lyteers ED 4 dd 1 tetes sehari
- Matovit 1 tablet sehari
18

19

BAB IV
ANALISA KASUS
Pasien datang ke poli mata dengan keluhan nyeri kepala seminggu terakhir
ini. Pasien juga mengeluhkan mata kiri terasa tidak nyaman dan nyeri. Riwayat
operasi pada mata kiri (+) pada tahun 2012 setelah terkena serpihan besi las di
bengkel. Operasi pertama dilakukan di RSUDZA pada bulan Desember tahun
2012, kemudian pasien dirujuk ke Jakarta untuk dilakukan operasi pengangkatan
serpihan besi dan dipasang cilicon oil. Riwayat diabetes mellitus disangkal,
riwayat hipertensi disangkal.
Dari hasil pemeriksaan tajam penglihatan VOD didapatkan 5/60 dan VOS
1/300. Dimana mata kanan pasien dapat menghitung jari pada jarak 5 m yang
seharusnya terbaca pada jarak 60 m. Mata kiri pasien hanya bisa melihat
goyangan tangan pada jarak 1 m, yang seharusnya terlihat pada jarak 300 m. Pada
kasus ini pasien mengalami glaukoma sekunder yang diakibatkan oleh perubahan
pada lensa. Trauma tumpul lensa dapat mengakibatkan perubahan pada lensa
(dislokasi lensa). Faktor resiko seperti ras Asia lebih beresiko terkena glaukoma
dan pekerja las 4 kali lebih beresiko sebagai faktor predisposisi untuk terjadinya
glaukoma.(2, 7)
Pemberian matovit sebagai terapi suportif untuk mata. Pemberian timolol
maleat yaitu sebagai penghambat reseptor beta adrenergik non selektif yang
digunakan untuk pengobatan glaukoma dalam bentuk sediaan tetes mata dengan
kadar 0,25%, 0,5%. Sama seperti Brinzolamide, Timolol maleate mengurangi
tekanan pada mata akibat glaukoma.

20

BAB V
KESIMPULAN
Glaukoma adalah suatu keadaan pada mata yang ditandai dengan kenaikan
tekanan intraokuli, penurunan visus, penyempitan lapang pandang dan atropi
nervus optikus. Penyebab glaukoma tidak diketahui secara pasti, bisa juga karena
trauma/benturan, atau penyakit mata lain seperti katarak yang sudah pecah
(katarak hipermatur), uveitis dan pengaruh obat-obatan. Glaukoma sekunder
merupakan glaukoma yang terjadi akibat penyakit mata yang lain atau penyakit
sistemik yang menyertainnya. Pada kasus ini pasien mengalami glaukoma
sekunder yang diakibatkan oleh perubahan pada lensa. Trauma tumpul lensa dapat
mengakibatkan perubahan pada lensa (dislokasi lensa). Menurut Luntz tindakan
pada glaukoma jika tekanan berkisar antara 35 40 mmHg dengan nervus optikus
normal, maka dipantau 1-2 bulan untuk memantau keadaan papil nervus optikus,
lapang pandang, peningkatan rasio cupdisc, jika semua ini masih dalam batas
normal dan opthalmologis yakin masih ada kemungkinan terapi berhasil maka
terapi medikamentosa dapat diteruskan. Tetapi jika papil nervus optikus sudah
menunjukkan tanda-tanda kerusakan dan defek lapang pandang sudah sangat
spesifik glaukoma, maka harus segera dioperasi.(15) Prognosis untuk glaukoma
yaitu bila diagnosis tepat dan cepat dan memberikan penanganan dini pada
glaukoma dapat memberikan hasil yang memuaskan.

21

DAFTAR PUSTAKA
1. Ilyas, Sidarta. Kelainan refraksi dan koreksi penglihatan. Jakarta : Balai
Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2004.
2. Ilyas, S., Yulianti, SR. 2013. Ilmu Penyakit Mata. Jakarta : Balai Penerbit
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
3. Lundstrom M, Brege KG, Floren I, Lundh B, Stenevi U, Thorburn W.
Postoperative aphakia in modern cataract surgery: part 2: detailed analysis of
the cause of aphakia and the visual outcome. J Cataract Refract surg. 2004 Oct;
30(10): 2111-5.
4. Neil J, Friedman, M.D., Peter K. Kaiser, M.D. Essentials of Ophthalmology.
Elsevier Inc. 2007.
5. Mukherjee. Clinical Examination in Ophthalmology. India : Elsevier India.
2006.
6. Adam et al. Glaucoma. Last Update July 2005. Available from:
http://www.urac.org/adams/glaucoma.html
7. Ilyas, S. Penuntun Ilmu penyakit Mata. Edisi 3. Jakarta. Balai Penerbit FKUI.
2008.
8. Vaughan, Daniel G. Oftalmologi Umum. Ed 14. Widya Medika: Jakarta. 2000.
9. Gerhard, Lang. Ophthalmology A Short. New York: Thieme Stutgart. 2000.
10. A.K. Khurana. Opthalmology. New Delhi: New Age International. 2003.
11. Anonyma. Drug Treatment for Glaucoma. Last update July 2005. Available
from: http://www.agingeye.com/glaucoma/drug.html
12. Friedman, NJ. Review of Opthalmology: Pharmacology. 1st Edition.
Philadelphia. Elsevier Saunders. 2003.
13. Kanski, JJ. Clinical Opthalmology: A Systematic Approach. 5th Edition. USA.
McGraw-Hill.2003.
14. Vaughan, GD. & Riordan-Eva, P. Glaukoma dalam Oftalmologi Umum Edisi
Alih Bahasa: Jan Tambajong & Brahm U.Jakarta. Widya Medika. 2001.
15. Gordon, S. 2004. Mechanism of Secondary Glaucoma from Uveitis.
http/www.thehighlights.com.

22

Anda mungkin juga menyukai