Disusun Oleh :
T. Muhammad Iqbal
1407101030016
Pembimbing :
dr. Firdalena Meutia, M.Kes., Sp. M
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT. Karena berkat
rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan tugas laporan kasus ini.
Shalawat beriring salam penulis sampaikan kepada Nabi besar Muhammad SAW,
atas semangat perjuangan dan panutan bagi ummatnya.
Adapun tugas ini berjudul AFAKIA OS DAN GLAUKOMA
SEKUNDER OS yang diajukan Sebagai Salah Satu Tugas Dalam Menjalani
Kepaniteraan Klinik Senior pada Bagian / SMF Ilmu Kesehatan Mata Fakultas
Kedokteran Unsyiah BPK RSUD dr. Zainoel Abidin Banda Aceh.
Penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi
tingginya kepada dr. Firdalena Meutia, M.Kes., Sp.M yang telah meluangkan
waktunya untuk memberi arahan dan bimbingan dalam menyelesaikan tugas ini.
Dengan kerendahan hati, penulis menyadari bahwa tugas ini masih jauh
dari kesempurnaan. Saran dan kritik dari pembimbing dan teman-teman akan
penulis terima dengan tangan terbuka, semoga dapat menjadi bahan pembelajaran
dan bekal di masa mendatang.
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman
JUDUL........................................................................................................................
KATA PENGANTAR ...............................................................................................
DAFTAR ISI ...........................................................................................................iii
DAFTAR GAMBAR................................................................................................iv
BAB I
PENDAHULUAN................................................................................ 1
BAB II
BAB III
BAB IV
BAB V
KESIMPULAN ..................................................................................21
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................22
DAFTAR GAMBAR
BAB I
PENDAHULUAN
Kelainan refraksi adalah suatu kondisi ketika sinar datang sejajar pada
sumbu mata dalam keadaan tidak berakomodasi yang seharusnya direfraksikan
oleh mata tepat pada retina baik itu di depan, di belakang maupun tidak dibiaskan
pada satu titik. Kelainan ini merupakan bentuk kelainan visual yang paling sering
dan dapat terjadi akibat kelainan pada lensa ataupun bentuk bola mata. Kelainan
refraksi adalah keadaan dimana bayangan tegas tidak dibentuk pada retina.(1)
Hasil pembiasan sinar pada mata ditentukan oleh media penglihatan yang
terdiri atas kornea, cairan mata, lensa, benda kaca, dan panjangnya bola mata.(2)
Afakia adalah suatu keadaan dimana mata tidak mempunyai lensa
sehingga mata tersebut menjadi hipermetropia tinggi.(2)
Penelitian di Swedia pada tahun 1997-2001 menyebutkan bahwa satu dari
dua ratus operasi katarak adalah afakia. Alasan paling sering terjadinya afakia
yang tidak direncanakan adalah adanya masalah kapsul ketika operasi dan prolaps
vitreous.(3)
Gejala yang dikeluhkan pasien afakia adalah tajam penglihatan menurun.
Sedangkan pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan visus 1/60 atau lebih rendah
jika afakia tidak ada komplikasi, limbal scar yang dapat ditemukan pada afakia
akibat pembedahan, pasien mengalami penurunan tajam penglihatan (biasanya
hipertropia yang sangat tinggi) yang dapat dikoreksi dengan lensa positif, bilik
mata depan dalam, iris trimulans, jet black pupil, tes bayangan purkinje hanya
memperlihatkan 2 bayangan (normalnya 4 bayangan), pemeriksaan fundus
memperlihatkan
diskus
kecil
hipermetropi,
retinoscopy
memperlihatkan
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
mata yakni dibelakang iris, didalam kamera okuli posterior. Lensa mata
merupakan suatu struktur bikonveks, avaskular, berbentuk seperti cakram, tak
berwarna dan hampir transparan sempurna.(2,
8)
diameternya 9 mm.(8)
Dibagian
menggantungkan
perifer
lensa
di
kapsul
lensa
terdapat
seluruh
ekuatornya
pada
zonula
badan
zinn
silier
yang
dan
memungkinkan lensa untuk menebal dan menipis saat terjadinya akomodasi. (2) Di
sebelah anterior lensa terdapar aquoes humor, di sebelah posteriornya terdapat
corpus vitreous. Kapsul lensa adalah suatu membran yang semipermeabel (sedikit
lebih permeabel daripada dinding kapiler) yang akan memperbolehkan air dan
elektrolit masuk.(2)
Lensa dibentuk oleh sel epitel lensa. Sel epitel lensa akan terus-menerus
membentuk serat lensa sehingga mengakibatkan serat lensa memadat dibagian
sentral lensa dan membentuk nukleus lensa. Di bagian luar nukleus terdapat serat
lensa yang lebih muda dan disebut sebagai korteks lensa. Korteks yang terdapat di
sebelah depan nukleus lensa disebut korteks anterior, sedang dibelakangnya
korteks posterior. Nukleus lensa memiliki konsistensi lebih keras daripada korteks
lensa.(2, 8) Inti dan korteks lensa dibungkus oleh kapsul lensa yang sangat elastis
dan kenyal.(8)
Enam puluh lima persen lensa terdiri dari air, sekitar 35% protein
(kandungan protein tertinggi di antara jaringan-jaringan tubuh), dan sedikit sekali
mineral yang biasa ada di jaringan tubuh lainnya. Kandungan kalium lebih tinggi
di lensa daripada di kebanyakan jaringan lain. Asam askorbat dan glutation
Afakia
2.2.1 Definisi Afakia
Afakia adalah suatu keadaan dimana mata tidak mempunyai lensa
Tabel perbedaan mata normal (1), koreksi katarak dengan lensa intraokular bilik mata
belakang (2), lensa kontak (3), dan kacamata katarak (4). (9)
Namun, pada afakia terjadi peningkatan resiko ablasio retina, khususnya pada
miopi tinggi dan jika kapsul posterior tidak intak.(4)
2.3
Glaukoma
2.3.1 Definisi Glaukoma
Glaukoma berasal dari kata Yunani Glaukos yang berarti hijau
kebiruan yang memberikan kesan warna tersebut pada pupil penderita glaukoma.
Glaukoma merupakan penyebab kebutaan pertama yang irreversibel. (2) Glaukoma
adalah suatu keadaan pada mata yang ditandai dengan kenaikan tekanan
intraokuli, penurunan visus, penyempitan lapang pandang dan atropi nervus
optikus.(2, 7)
2.3.2 Epidemiologi Glaukoma
Glaukoma merupakan penyebab kebutaan nomor dua di Indonesia
setelah katarak. Penyakit mata ini biasanya terjadi pada usia 40 tahun keatas. Etnis
Afrika dibandingkan etnis Kaukasus pada glaukoma sudut terbuka primer adalah
4:1. Glaukoma berpigmen terutama pada etnis Kaukasus. Pada orang Asia lebih
sering dijumpai glaukoma sudut tertutup.(11)
2.3.3 Faktor Resiko Glaukoma
Faktor resiko glaukoma meliputi hipermetropi (glaukoma sudut
tertutup), miopi (glaukoma sudut terbuka), usia >45 tahun, keturunan (riwayat
glaukoma dalam keluarga), dan ras (Asia lebih beresiko). Faktor resiko lainnya
adalah migrain, hipertensi, hipotensi, diabetes mellitus, peredaran darah dan
regulasinya (darah yang kurang akan menambah kerusakan), fenomena autoimun,
degenerasi primer sel ganglion dan pasca bedah dengan hifema/infeksi.(12)
Hal yang memperberat resiko glaukoma:
a)
b)
c)
d)
e)
f)
g)
10
BMD.
Sub Akut
Pada glaukoma
sudut
tertutup
sub
akut
episode
mata
yang
lain
atau
penyakit
sistemik
yang
menyertainnya, seperti:
a) Akibat perubahan lensa (dislokasi lensa, intumesensi lensa,
glaukoma fakolitik dan fakotoksik pada katarak, glaukoma
kapsularis/sindrom eksfoliasi)
b) Akibat perubahan uvea (uveitis anterior, tumor, rubeosis
iridis)
c) Akibat trauma (hifema, kontusio bulbi, robeknya kornea atau
limbus yang disertai prolaps iris)
d) Akibat post operasi (pertumbuhan epitel konjungtiva,
gagalnya pembentukan bilik mata depan post-operasi katarak,
blok pupil post-operasi katarak)
e) Akibat pemakaian kortikosteroid sistemik atau topikal dalam
4.
stadium
akhir
glaukoma
12
13
Pada cedera mata dapat terjadi perdarahan ke dalam bilik mata depan
(hifema) ataupun hal lain yang menutupi cairan mata keluar sehingga tekanan
intraokuler biasanya meningkat karena tersumbatnya aliran tersebut sehingga
terjadi glaukoma sekunder. Glaukoma sekunder juga dapat terjadi pada trauma
tumpul mata yang merusak sudut (resesi sudut). Selain itu limbusa atau kornea
yang robek juga bisa menyebabkan glaukoma sekunder.
2.3.9 Glaukoma Sekunder Akibat Operasi
Glaukoma sekunder juga sering terjadi pasca pembedahan mata, hal
ini sering disebabkan oleh pertumbuhan epitel di COA setelah insisi kornea atau
sklera sehingga menutup COA yang dapat menimbulkan glaukoma. Selain itu
gagalnya pertumbuhan COA pasca operasi karena adanya kebocoran pada luka
operasi juga bisa menimbulkan terjadinya glaukoma.
2.3.10 Glaukoma Sekunder Akibat Penggunaan Steroid Jangka Panjang
Penggunaan steroid dalam jangka waktu lama diketahui dapat
meningkatkan terjadinya glaukoma. Oleh karena itu tidak dianjurkan untuk
menggunakan steroid dalam jangka waktu lama pada pengobatan mata.
2.3.11 Tatalaksana Glaukoma
1. Midriatika
Penggunaan midriatika pada pupil untuk mencegah blok pupil
dan untuk melepaskan sinekhia yang ada.
2. Topikal kortikosteroid
Bentuk kedua dari terapi adalah
penggunaan
topikal
14
dapat
memberikan
hasil
yang
baik
dengan
6. Pembedahan
Menurut Luntz jika tekanan berkisar antara 35 40 mmHg
dengan nervus optikus normal, maka dipantau 1-2 bulan untuk
memantau keadaan papil nervus optikus, lapang pandang,
peningkatan rasio cupdisc, jika semua ini masih dalam batas
normal dan opthalmologis yakin masih ada kemungkinan terapi
berhasil maka terapi medikamentosa dapat diteruskan. Tetapi jika
papil nervus optikus sudah menunjukkan tanda-tanda kerusakan
dan defek lapang pandang sudah sangat spesifik glaukoma, maka
harus segera dioperasi. Jika sudah terjadi sinekhia anterior perifer
dan kerusakan sudut iridokornealis sudah muncul, diperlukan
trabekulektomi, seklusio papil dapat diatasi dengan iridektomi
perifer (dengan laser). Iridektomi perifer dan pembebasan pupil
juga perlu dilakukan jika terjadi sinekhia posterior yang ekstensif
antara iris dan lensa, dilakukan secara dini sebagai terapi
glaukoma.(15)
15
Gambar 6. Trabekulektomi.
: Tn. MH
Jenis Kelamin
: Laki-laki
Umur
: 24 tahun
Pekerjaan
Alamat
Agama
: Islam
No CM
: 091-53-82
Tanggal Pemeriksaan
: 11 Februari 2015
3.2. Anamnesis
1. Keluhan Utama:
Nyeri Kepala
Keluhan Tambahan:
Mata kiri terasa nyeri dan kabur
2. Riwayat Penyakit Sekarang:
Pasien datang ke poli mata dengan keluhan nyeri kepala seminggu terakhir
ini. Pasien juga mengeluhkan mata kiri terasa tidak nyaman dan nyeri.
16
Riwayat operasi pada mata kiri (+) pada tahun 2012 setelah terkena serpihan
besi las di bengkel. Operasi pertama dilakukan di RSUDZA pada bulan
Desember tahun 2012, kemudian pasien dirujuk ke Jakarta untuk dilakukan
operasi pengangkatan serpihan besi dan dipasang silicon oil pada mata kiri.
Riwayat diabetes mellitus disangkal, riwayat hipertensi disangkal.
3. Riwayat Penyakit Dahulu:
Afakia OS
4. Riwayat Penyakit Keluarga:
Disangkal
5. Riwayat Penggunaan Obat:
Pasien lupa nama obat yang dipakai
Okular Dextra
Okular Sinistra
VOD : 5/60
VOS : 1/300
17
Normal
Normal
Keterangan (OD)
Komponen
Keterangan (OS)
edema (-)
Palpebra Superior
edema (-)
edema (-)
Palpebra Inferior
edema (-)
hiperemis (-)
hiperemis (-)
hiperemis (-)
hiperemis (-)
Konj. Bulbi
Jernih(+) infiltrat(-)
ulkus(-) sikatrik(-)
Kornea
Normal
COA
Dangkal
Jelas
Kripta Iris
Jelas
Pupil
Keruh (-)
Lensa
Keruh (-)
3.4
Pemeriksaan Penunjang
Visus
Slit lamp
Refraksi
3.4 Diagnosis
Afakia OS + Glaukoma Sekunder OS
3.5
Penatalaksanaan
- Timolol 0,25% 2 dd 1 tetes sehari
- Cendo Lyteers ED 4 dd 1 tetes sehari
- Matovit 1 tablet sehari
18
19
BAB IV
ANALISA KASUS
Pasien datang ke poli mata dengan keluhan nyeri kepala seminggu terakhir
ini. Pasien juga mengeluhkan mata kiri terasa tidak nyaman dan nyeri. Riwayat
operasi pada mata kiri (+) pada tahun 2012 setelah terkena serpihan besi las di
bengkel. Operasi pertama dilakukan di RSUDZA pada bulan Desember tahun
2012, kemudian pasien dirujuk ke Jakarta untuk dilakukan operasi pengangkatan
serpihan besi dan dipasang cilicon oil. Riwayat diabetes mellitus disangkal,
riwayat hipertensi disangkal.
Dari hasil pemeriksaan tajam penglihatan VOD didapatkan 5/60 dan VOS
1/300. Dimana mata kanan pasien dapat menghitung jari pada jarak 5 m yang
seharusnya terbaca pada jarak 60 m. Mata kiri pasien hanya bisa melihat
goyangan tangan pada jarak 1 m, yang seharusnya terlihat pada jarak 300 m. Pada
kasus ini pasien mengalami glaukoma sekunder yang diakibatkan oleh perubahan
pada lensa. Trauma tumpul lensa dapat mengakibatkan perubahan pada lensa
(dislokasi lensa). Faktor resiko seperti ras Asia lebih beresiko terkena glaukoma
dan pekerja las 4 kali lebih beresiko sebagai faktor predisposisi untuk terjadinya
glaukoma.(2, 7)
Pemberian matovit sebagai terapi suportif untuk mata. Pemberian timolol
maleat yaitu sebagai penghambat reseptor beta adrenergik non selektif yang
digunakan untuk pengobatan glaukoma dalam bentuk sediaan tetes mata dengan
kadar 0,25%, 0,5%. Sama seperti Brinzolamide, Timolol maleate mengurangi
tekanan pada mata akibat glaukoma.
20
BAB V
KESIMPULAN
Glaukoma adalah suatu keadaan pada mata yang ditandai dengan kenaikan
tekanan intraokuli, penurunan visus, penyempitan lapang pandang dan atropi
nervus optikus. Penyebab glaukoma tidak diketahui secara pasti, bisa juga karena
trauma/benturan, atau penyakit mata lain seperti katarak yang sudah pecah
(katarak hipermatur), uveitis dan pengaruh obat-obatan. Glaukoma sekunder
merupakan glaukoma yang terjadi akibat penyakit mata yang lain atau penyakit
sistemik yang menyertainnya. Pada kasus ini pasien mengalami glaukoma
sekunder yang diakibatkan oleh perubahan pada lensa. Trauma tumpul lensa dapat
mengakibatkan perubahan pada lensa (dislokasi lensa). Menurut Luntz tindakan
pada glaukoma jika tekanan berkisar antara 35 40 mmHg dengan nervus optikus
normal, maka dipantau 1-2 bulan untuk memantau keadaan papil nervus optikus,
lapang pandang, peningkatan rasio cupdisc, jika semua ini masih dalam batas
normal dan opthalmologis yakin masih ada kemungkinan terapi berhasil maka
terapi medikamentosa dapat diteruskan. Tetapi jika papil nervus optikus sudah
menunjukkan tanda-tanda kerusakan dan defek lapang pandang sudah sangat
spesifik glaukoma, maka harus segera dioperasi.(15) Prognosis untuk glaukoma
yaitu bila diagnosis tepat dan cepat dan memberikan penanganan dini pada
glaukoma dapat memberikan hasil yang memuaskan.
21
DAFTAR PUSTAKA
1. Ilyas, Sidarta. Kelainan refraksi dan koreksi penglihatan. Jakarta : Balai
Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2004.
2. Ilyas, S., Yulianti, SR. 2013. Ilmu Penyakit Mata. Jakarta : Balai Penerbit
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
3. Lundstrom M, Brege KG, Floren I, Lundh B, Stenevi U, Thorburn W.
Postoperative aphakia in modern cataract surgery: part 2: detailed analysis of
the cause of aphakia and the visual outcome. J Cataract Refract surg. 2004 Oct;
30(10): 2111-5.
4. Neil J, Friedman, M.D., Peter K. Kaiser, M.D. Essentials of Ophthalmology.
Elsevier Inc. 2007.
5. Mukherjee. Clinical Examination in Ophthalmology. India : Elsevier India.
2006.
6. Adam et al. Glaucoma. Last Update July 2005. Available from:
http://www.urac.org/adams/glaucoma.html
7. Ilyas, S. Penuntun Ilmu penyakit Mata. Edisi 3. Jakarta. Balai Penerbit FKUI.
2008.
8. Vaughan, Daniel G. Oftalmologi Umum. Ed 14. Widya Medika: Jakarta. 2000.
9. Gerhard, Lang. Ophthalmology A Short. New York: Thieme Stutgart. 2000.
10. A.K. Khurana. Opthalmology. New Delhi: New Age International. 2003.
11. Anonyma. Drug Treatment for Glaucoma. Last update July 2005. Available
from: http://www.agingeye.com/glaucoma/drug.html
12. Friedman, NJ. Review of Opthalmology: Pharmacology. 1st Edition.
Philadelphia. Elsevier Saunders. 2003.
13. Kanski, JJ. Clinical Opthalmology: A Systematic Approach. 5th Edition. USA.
McGraw-Hill.2003.
14. Vaughan, GD. & Riordan-Eva, P. Glaukoma dalam Oftalmologi Umum Edisi
Alih Bahasa: Jan Tambajong & Brahm U.Jakarta. Widya Medika. 2001.
15. Gordon, S. 2004. Mechanism of Secondary Glaucoma from Uveitis.
http/www.thehighlights.com.
22