id
http://www.esaunggul.ac.id/article/problematika-remaja-akibat-kurangnya-informasi-kesehatan-reproduksi/
Pembahasan
Menurut Santrock (2003), remaja (adolescence) diartikan sebagai masa per-kembangan transisi
antara masa anak dan masa dewasa yang mencakup perubahan biologis, kognitif dan sosialemosional. Masa remaja dimulai kira-kira usia 10 sampai 13 tahun dan berakhir antara usia 18
sampai 22 tahun. Perubahan biologis, kognitif dan sosial-emosional yang terjadi berkisar dari
perkembangan fungsi seksual, proses berfikir abstrak sampai pada kemandirian.
Dalam dunia hukum, konsep remaja tidak dikenal dalam sebagian un-dang-undang yang
berlaku. Hukum diIndonesia hanya mengenal anak-anak dan dewasa walaupun batasan yang
diberikan untuk itu pun bermacam-macam. Misalnya, hukum perdata memberikan batas 21
tahun atau kurang dari itu asalkan sudah menikah untuk menyatakan seseorang telah dewasa.
Hukum pidana memberi batasan 18 tahun atau kurang dari itu asalkan sudah menikah sebagai
batasan usia dewasa. UU no 23/ 2002 tentang perlindungan anak membatasi usia anak adalah
sebelum 18 tahun. Se-dangkan UU no 1/1974 tentang perkawinan membolehkan usia 16 tahun
untuk menikah dan dianggap sudah dewasa.
Terlepas dari batasan usia kronolo-gis, masa remaja adalah masa transisi dari masa kanakkanak ke masa dewasa dalam segala aspek, baik biologis, psikologis mau-pun sosial. Masa
transisi ini adalah hal yang sulit bagi remaja, dimana proses perubahan di dalam tubuh sedang
berlangsung. Ada proses perubahan biologis antara lain perubahan hormon, khususnya hormon
repro-duksi. Juga ada perubahan psikologis yang dipengaruhi oleh pergaulan di lingkungan.
Perubahan-perubahan ini membuat kehidu-pan remaja menjadi sulit dan rawan. Seiring
perkembangan biologis, mereka harus menghadapi tekanan-tekanan emosi dan sosial yang
saling bertentangan.
Remaja yang sedang berada pada masa sulit, tidak pasti dan cenderung labil, mudah sekali
terpengaruh informasi global melalui media audio-visual yang semakin mudah diakses, namun
minim informasi kesehatan reproduksi. Dengan informasi akan kesehatan reproduksi yang
terbatas dan perkembangan emosi yang masih labil, remaja dihadapkan pada kebiasaan yang
tidak sehat seperti seks bebas, merokok, minum-mi-numan beralkohol, penyalahgunaan obat
dan suntikan terlarang. Adaptasi kebiasaan itu, seiring dengan alat-alat reproduksi remaja yang
mulai berfungsi, pada akhirnya hanya akan mempercepat usia awal seksual aktif serta
mengantarkan mereka pada kebiasaan berperilaku seksual yang beresiko tinggi.
Jenis resiko kesehatan reproduksi yang dihadapi remaja mempunyai ciri yang berbeda dengan
anak-anak maupun orang dewasa. Jenis resiko kesehatan reproduksi yang harus dihadapi
remaja antara lain kehamilan dini maupun keha-milan yang tidak diinginkan, aborsi, pe-nyakit
menular seksual (PMS), kekerasan seksual, serta masalah keterbatasan akses terhadap
informasi dan pelayanan kesehatan. Resiko ini dipengaruhi oleh berba-gai faktor yang saling
berhubungan, yaitu tuntutan untuk menikah muda dan hu-bungan seksual, akses yang rendah
terhadap pendidikan dan pekerjaan, ketidak-setaraan gender, kekerasan seksual dan pe-ngaruh
media massa maupun gaya hidup remaja.
Remaja juga kekurangan informasi dasar mengenai keterampilan mene-gosiasikan hubungan
seksual dengan pasa-ngannya. Mereka juga memiliki kesem-patan yang lebih kecil untuk
mendapatkan pendidikan formal dan pekerjaan yang pada akhirnya akan mempengaruhi
pengam-bilan keputusan dan pemberdayaan mereka untuk menunda perkawinan dan kehamilan serta mencegah kehamilan yang tidak dikehendaki. Bahkan pada remaja di pedesaan,
menstruasi pertama biasanya akan segera diikuti dengan perkawinan yang menempatkan
mereka pada resiko kehamilan dan persalinan dini.
Keterbatasan pengetahuan dan informasi tentang kesehatan reproduksi orang tua juga dapat
menjadi pencetus pe-rilaku atau kebiasaan tidak sehat pada remaja. Hal ini berawal dari sikap
orang tua yang menabukan pertanyaan remaja tentang fungsi dan proses reproduksi, serta
penyebab rangsangan seksualitas. Orang tua cenderung risih dan tidak mampu memberikan
informasi yang memadai mengenai alat reproduksi dan proses reproduksi itu. Tiadanya
informasi dari orang tua membuat remaja mengalami kebingu-ngan akan fungsi dan proses
reproduksinya. Ketakutan kalangan orang tua dan guru, bahwa pendidikan yang menyentuh isu
per-kembangan organ reproduksi dan fungsinya akan mendorong remaja untuk melakukan
hubungan seks pranikah, justru mengaki-batkan remaja diliputi oleh ketidaktahuan atau mencari
informasi yang belum tentu benar, yang pada akhirnya justru dapat menjerumuskan remaja
kepada ketidakse-hatan reproduksi.
WHO mendefinisikan kesehatan reproduksi sebagai keadaan sejahtera secara fisik, mental dan
sosial yang bukan karena ketiadaan penyakit dan kecacatan, yang ber-kaitan dengan sistem,
fungsi dan proses-prosesnya (Saparinah Sadli, dkk. 2006). Dari definisi itu nampak bahwa
masalah kesehatan reproduksi adalah masalah yang menyeluruh, luas dan saling terkait.
Kesehatan reproduksi harus dipa-hami dan dijabarkan sebagai siklus kehi-dupan (life cycle)
mulai dari konsepsi sampai mengalami menopause dan menjadi tua. Hal ini berarti menyangkut
kesehatan balita, anak, remaja, ibu usia subur, ibu hamil dan menyusui, dan ibu yang menopause. Setiap tahap dalam siklus kehi-dupan itu memiliki keunikan permasalahan masingmasing, namun juga saling terkait dengan tahap lainnya. Ada banyak faktor yang mempengaruhi
kesehatan reproduksi dalam siklus itu, di antaranya kemiskinan, status sosial yang rendah,
diskriminasi, kurangnya pelayanan dan pemeliharaan kesehatan, pendidikan yang rendah, dan
kehamilan usia muda. Setiap faktor akan membawa dampak bagi kesehatan reproduksi, baik
secara langsung maupun tidak langsung.
Kesehatan reproduksi juga sangat penting karena sangat kompleks. Alat reproduksinya sendiri
berada di dalam, ber-beda halnya dengan laki-laki yang lebihnampak di luar. Oleh karenanya,
tanda-tanda yang keluar berkaitan dengan kesehatan reproduksi sering disikapi tidak serius
oleh medis, misalnya keputihan yang dianggap sebagai hal yang biasa, padahal bisa saja
merupakan tanda-tanda ketidaksehatan yang serius. Di masyarakat juga banyak pantangan
atau mitos, serta kebijakan-kebijakan pengaturan kepen-dudukan yang dibebankan pada rahim
, sehingga tidak berkuasa atas tubuhnya sendiri. Kompleksnya kesehatan reproduksi menuntut
pemahaman yang kom-prehensif dan menuntut dirumuskannya hak-hak kesehatan reproduksi .
Sesuai kesepakatan dalam Kon-ferensi Internasional Kependudukan dan Pembangunan (ICPD)
di Kairo tahun 1994, akhirnya dirumuskan hak-hak reproduksi yang berlaku bagi setiap manusia
tanpa pandang bulu. Sebagai konse-kuensinya, remaja juga mempunyai hak reproduksi
sebagaimana yang lain. Hak remaja atas kesehatan reproduksi mulai diakui secara internasional
pada Konvensi Hak-hak Anak tahun 1989. Sebagai tindak lanjutnya, hak reproduksi remaja
dibahas sangat mendalam pada International Youth Forum yang diadakan di Den Haag bulan
Februari 1999 dan diikuti oleh 132 peserta remaja dari seluruh dunia. Forum ini secara khusus
menekankan perlunya keikutsertaan remaja dalam seluruh kebi-jakan politis yang
mempengaruhi kehi-dupan mereka, mulai dari segi desain, implementasi sampai evaluasi, serta
men-desak diprioritaskannya alokasi dana dan sumber-sumber bagi kesehatan reproduksi
remaja.
Dalam UU No.7 tahun 1984 ten-tang Konvensi Penghapusan Segala ben-tuk Diskriminasi
terhadap (CEDAW) ter-cantum hak-hak asasi. Negara wajib men-jamin perkembangan dan
kemajuan untuk menikmati hak asasi manusia (pasal 3), wajib memberantas segala bentuk
perdagangan dan eksploitasi pelacuran (pasal 6), dan wajib mengurangi angka putus se-kolah
anak dan penyelenggaraan program untuk anak-anak sebelum waktunya me-ninggalkan
sekolah (pasal 10). Dinyatakan juga bahwa berhak memperoleh pene-rangan edukatif yang
berkaitan dengan hak reproduksinya, serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan
reproduksi. juga berhak memperoleh penerangan, pendidikan dan sarana-sarana yang berkaitan
dengan hak reproduksi (pasal 16).
Melihat pasal-pasal di atas, sebagai remaja putri, mereka memiliki hak asasi yang harus
diperjuangkan untuk terjamin terpenuhinya hak-hak atas kesehatan reproduksinya. Untuk itu
remaja putri harus me-ngetahui dan memperjuangkan hak-hak yang berkaitan dengan
kesehataan reproduksinya, yang antara lain adalah: 1) hak memperoleh akses pelayanan
kesehatan, mengingat banyaknya pelayanan kesehatan reproduksi yang diprioritaskan bagi
orang dewasa, sehingga remaja seringkali terabaikan; 2) hak untuk mendapatkan pendidikan
tanpa ada diskriminasi jender serta informasi atas kesehatan reproduksinya; 3) hak untuk bebas
dari paksaan pernikahan usia muda karena berdampak buruk bagi perkembangan fisik, mental
dan sosialnya; 4) hak atas akses informasi dan pelayanan kontrasepsi, pelayanan pra dan
pasca mela-hirkan tanpa memandang status perka-winan; 5) hak untuk terhindar dari resiko
aborsi yang tidak aman, dan mendapatkan akses pelayanan yang aman, dalam hal kehamilan
yang tidak diinginkan yang membahayakan kehidupan remaja; 6) hak atas informasi yang
berkaitan dengan in-feksi menular seksual, sehubungan dengan faktor-faktor yang berada di
luar kendali mereka seperti adanya kekerasan dan eksploitasi seksual, kurangnya pendidikan
termasuk pendidikan seksual dan kurangnya akses terhadap kontrasepsi dan layanan kesehatan reproduksi; 7) hak untuk mendapatkan rasa aman dan bebas dari keta-kutan akan
ancaman kekerasan seksual yang dilakukan baik oleh sesama remaja sendiri maupun oleh
orang dewasa.
Remaja perlu memahami hak-hak reproduksinya agar menyadari bahwa pe-megang kendali
utama atas tubuhnya adalah dirinya sendiri, bukan orang lain. Seperti yang dikatakan oleh
feminisme ra-dikal bahwa otonomi itu penting. Apapun yang berhubungan dengan tubuh adalah
politik (personal is political). Dengan menyadari hak-hak reproduksi, remaja tidak akan mudah
menjadi korban atas berbagai paksaan yang menyangkut tubuh dan mentalnya, sehingga dapat
memperjuangkan dan membela diri dari orang lain yang akan melanggar haknya.
Dalam kebanyakan kasus remaja di Indonesia, mereka belum banyak yang menyadari akan hak
reproduksi yang harus diperjuangkannya. Misalnya hak untuk mendapatkan pendidikan tanpa
ada diskriminasi jender serta informasi atas kesehatan reproduksinya. Jika harus memilih untuk
menyekolahkan anak laki-laki atau, suatu keluarga yang ekonominya pas-pa-san biasanya akan
memilih anak laki-la-kinya yang bersekolah. Anak biasanya menerima saja disuruh berhenti
sekolah dan segera menikah.
Feminisme liberal melihat diskriminasi terhadap kebebasan menjadi dasar terjadinya penindasan.
Dalam hal ini, keti-dakbebasan remaja mengeksplorasi diri, sulitnya memeroleh informasi dan
kesem-patan pendidikan, baik secara umum maupun yang berkaitan dengan kesehatan reproduksi, membuat remaja kekurangan wawasan dan akhirnya terabaikan hak-haknya,
termasuk hak atas kesehatan reproduksinya.
Kebijakan negara yang cenderung mengabaikan kebutuhan kesehatan reproduksi remaja,
merupakan jawaban atas ketidaktahuan dan kebingungan remaja.Remaja tidak mengetahui
harus bertanya dan memperoleh informasi darimana, dari siapa, boleh-atau tidak dan
sebagainya. Se-bagai contoh, kondisi menstruasi yang membuat remaja hampir pingsan adalah
karena kondisi kekurangan darah, dan hal ini dapat berhubungan dengan kekurangan gizi pada
remaja itu. Mengapa remaja kekurangan gizi? Jika dirunut maka akan sampai juga pada adanya
sistem yang lebih mengutamakan laki-laki, bahkan dalam hal pemberian gizi. Mungkin juga
karena ketidaktahuan (kurangnya pendidikan) bah-wa seharusnya memperoleh hak yang sama
dengan laki-laki dalam segala hal termasuk perolehan gizi. Bahkan, seharusnya perem-puan
mendapatkan gizi lebih karena ke-butuhan yang berbeda dan kondisi yang mengalami
menstruasi sehingga kehilangan banyak darah bersih. Dengan gizi yang memadai maka
memungkinkan terhindar dari anemia.
Kondisi kehamilan yang mungkin tidak dikehendaki, sangat berkaitan dengan rendahnya
kualitas pendidikan dan ren-dahnya akses terhadap pelayanan kesehatan reproduksi bagi.
Mudanya usia dalam kehamilan tidak menutup kemungkinan akan menjadi petaka bagi remaja
itu. Selain tidak dapat melanjutkan pendidikan, yang berdampak pada rendahnya akses ekonomi
yang akan menuju pada kemiskinan, juga harus menghadapi kehamilan yang mem-bawa
problem tersendiri. Problem kehamilan di luar nikah dapat sangat luas, mem-butuhkan kondisi
fisik, mental dan sosial yang kuat untuk menghadapinya. Mulai dari penerimaan cemoohan dari
lingkungan karena norma perkawinan yang dianut, ke-marahan orang-orang yang tidak
memahami kondisi remaja, sampai dengan pertaruhan kondisi fisik ketika harus melahirkan dan
kemungkinan resiko besar terkena kanker seviks akibat melakukan hubungan seksual pada usia
muda.
Kesimpulan
Problematika yang dihadapi oleh remaja tidak lain bersumber pada kurangnya informasi tentang
kesehatan reproduksi. Dalam masa transisi dari anak menuju dewasa, remaja membutuhkan
informasi berkaitan dengan perubahan-peru-bahan dalam dirinya, baik secara fisik, mental
maupun sosial, yang tidak terlepas dari fungsi, proses dan sistem repro-duksinya. Remaja putri
yang tidak paham tentang kesehatan reproduksi, bagaimana pun terkait dengan sistem di
lingkungan yang lebih meminggirkan dalam banyak hal.
Sebenarnya remaja memiliki jami-nan perlindungan atas kesehatan reproduksi dan hak atas
reproduksinya. Ketidaktahuan, ketidakpahaman dan belum terpenuhinya hak-hak reproduksi itu
me-ngakibatkan timbulnya masalah dan bahkan petaka (kematian) bagi remaja. Pada, hal ini
dapat membawa dampak pada kualitas generasi selanjutnya karena adalah penerus keturunan.
Sebenarnya banyak hal dapat dila-kukan untuk memenuhi hak-hak kesehatan reproduksi
remaja. Tentu saja hal ini dise-suaikan dengan kebutuhan masa remaja akan informasi dan
pelayanan kesehatan reproduksi yang memadai.
Sebagai langkah awal pencega-han, dapat dilakukan peningkatan pengeta-huan remaja
mengenai kesehatan reproduksi yang ditunjang dengan materi komunikasi, informasi dan
edukasi (KIE) yang tegas tentang segala hal yang berkaitan dengan kesehatan reproduksi
remaja. Bahkan mungkin tidak harus menunggu remaja memanfaatkan sarana layanan ini, tetapi
dapat secara proaktif menghampiri para remaja, dan menyosialisasikan hak-hak atas kesehatan
reproduksinya, melalui pendidikan formal maupun non formal.
Dalam lingkup kebijakan, peme-rintah, para akademisi, organisasi non pemerintah dan
masyarakat yang lebih dulu memahami dan menyadari hak-hak atas kesehatan reproduksi
harus sepakat untuk tidak mengabaikan hak-hak remaja, sehing-ga masalah ketidaktahuan
akan kesehatan reproduksi, aborsi, KTD, anemia, AKI, dan lain sebagainya dapat dikurangi.
Penelitian-penelitian terhadap kesehatan reproduksi remaja harus lebih banyak dilakukan untuk
mengidentifikasi kebutuhan remaja dan mengimplementasi undang-undang kesehatan
reproduksi yang seharusnya menjadi hak remaja.
Dalam lingkup yang lebih praktis, harus mengadakan pelatihan dan kaderisasi berkaitan dengan
pemenuhan hak-hak kesehatan reproduksi remaja, dan mulai me-masukkan agenda kesehatan
reproduksi remaja dan melaksanakannya di setiap bi-dang pelayanan kesehatan di Indonesia,
tan-pa ada diskriminasi lagi. Sarana pelayanan kesehatan harus mulai dilengkapi sesuai
kebutuhan remaja berkaitan dengan hak-hak kesehatan reproduksinya. Youth-Youth Center
yang ada di Indonesia sebaiknya mulai memperluas diri untuk merangkul semua remaja tanpa
kecuali, dengan informasi yang benar dan akurat. Untuk itu, ten-tu dibutuhkan kerjasama dan
dukungan dari segenap pihak, mulai dari microsystem dimana remaja berinteraksi secara
langsung yakni keluarga, mesosystem yang biasanya melibatkan lingkungan yang lebih luas
seperti di sekolah dan organisasi atau klub-klub, macrosystem yang melibatkan media informasi
dan pengaruh kultur yang lebih luas, bahkan mendunia.
Dengan kerjasama dan niat yang baik untuk kebaikan remaja kita, dan untuk terwujudnya masa
depan generasi penerus, maka pemenuhan hak-hak reproduksi remaja tidak dapat ditundatunda lagi. Apa-lagi hasil konferensi ICPD dan MDGs, mengharapkan di akhir tahun 2015 nanti,
minimal 90% dari seluruh jumlah remaja sudah mendapatkan informasi tentang kesehatan
reproduksi dan seksual serta hak-hak yang menyertainya. Kalau memang negara komitmen
dengan Goals ini, maka mau tidak mau negara juga harus memfasilitasi dan bekerjasama
dengan berbagai pihak demi tercapainya tujuan itu.
Daf t ar Pust aka
Convention Watch, Pusat Kajian Wanita dan Gender UI, Hak Asasi, Instrumen Hukum Untuk
Mewu-judkan Keadilan Gender, Yaya-san Obor, Jakarta, 2007.
Sadli, Saparinah; A.Rahman; A. Habsjah, Implementasi Pasal 12 Undang-undang Nomor 7 tahun
1984, Pelayanan Kehamilan, Persalinan dan Pasca Persalinan, Kelompok Kerja
Convention Watch Univer-sitas Indonesia. Surviva Paski, Yogyakarta, 2006.
Sarwono, Sarlito Wirawan, Psikologi Remaja, Ed. Revisi 9, RajaGrafindo
Persada, Jakarta,
2005.
Santrock, John W, Adolescence, Perkem-bangan Remaja, Ed.ke-6. Terj. oleh Shinto B. Adelar
& Sherly Saragih, Penerbit Erlangga, Jakarta, 2003.
Tong, Rosemarie Putnam, Feminist Thought. Pengantar Paling Kom-prehensif kepada Arus
Utama Pemikiran Feminis, Terj. oleh Aquarini Priatna Prabasmoro, Jalasutra, Yogyakarta, 2005.
Wahyuni, Budi., F.Sustiwi. Remaja dan Lajang: Hak yang Terbuang. Jurnal No. 53. hal 91-100,
Yaya-san Jurnal, Jakarta, 2007.