PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Manusia adalah makhluk individual, berbeda satu sama lain, karena sifatnya yang
individual maka manusia yang satu membutuhkan manusia yang lainnya sehingga sebagai
konsekuensi logisnya manusia harus menjadi makhluk sosial, makhluk beriteraksi dengan
sesamanya, selain itu manusia memiliki potensi, latar belakang historis, serta harapan masa
depan yang berbeda-beda. Dari adanya perbedaan, manusia dapat silih asah (saling
mencerdaskan), saling membutuhkan maka harus ada interaksi yang silih asih (saling
menyayangi atau saling mencintai). Perbedaan antarmanusia yang tidak terkelola secara baik
dapat menimbulkan ketersinggungan dan kesalahpahaman antarsesamanya. Agar manusia
terhindar dari ketersinggungan dan kesalahpahaman maka diperlukan interaksi yang silih asuh
(saling tenggang rasa). Dalam dunia pendidikan, khususnya pada jenjang pendidikan formal
banyak dijumpai perbedaan-perbedaan mulai dari perbedaan gender, suku, agama, dan lainlain. Dari karakter yang heterogen tersebut, timbul suatu pertanyaan bagaimana guru dapat
memotivasi seluruh siswa mereka untuk belajar dan membantu saling belajar satu sama lain?
Bagaimana guru dapat menyusun kegiatan kelas sedemikian rupa sehingga siswa akan
berdiskusi, berdebat, dan menggeluti ide-ide, konsep-konsep, dan keterampilan sehingga
siswa benar-benar memahami ide, konsep dan keterampilan tersebut? Bagaimana guru dapat
memanfaatkan energi sosial seluruh rentang usia siswa yang begitu besar di dalam kelas untuk
kegiatan-kegiatan pembelajaran roduktif? Bagaimana guru dapat mengorganisasikan kelas
sehingga siswa saling menjaga satu sama lain, saling mengambil tanggung jawab satu sama
lain, dan belajar untuk menghargai satu sama lain terlepas dari suku, tingkat kinerja, atau
ketidakmampuan karena cacat?
Model pembelajaran kooperatif nampaknya merupakan jawaban atas pertanyaan tersebut.
Pembelajaran kooperatif adalah kerja kelompok yang terkelola dan terorganisasikan
sedemikian sehingga peserta didik bekerja sama dalam kelompok kecil untuk mencapai
tujuan-tujuan akademik, effektif dan sosial (Johnson dan Johnson,1989). Dalam model
pembelajaran kooperatif terdapat lima prinsip yang harus tercermin didalamnya.. lima prinsip
tersebut adalah : 1) saling ketergantungan positif; 2) tanggung jawab perseorangan; 3) tatap
muka; 4) komunikasi antar anggota; dan 5)evaluasi proses kelompok (Lie, 2000). Dalam
menyelesaikan tugasnya, peserta didik yang satu membutuhkak peserta didik yang lain,
karena mereka bekerja dalam satu team. Masing-masing peserta didik memiliki tanggung
jawab untuk memberikan kontribusi pada kelompoknya. Peserta didik yang paham terhadap
salah satu tugas harus membantu peserta didik lain yang belum memahami tugas tersebut.
Demikian pula peserta didik yang belum paham harus meminta penjelasan kepada yang telah
paham. Mereka juga harus berinteraksi satu sama lainnya melalui tatap muka dan komunikasi.
Evaluasi dilakukan baik secara individual maupun kelompok. Prinsip-prinsip pembelajaran
demikian akan mengeliminasi kompetisi yang menimbulkan krisis kepribadian seperti
frustasi, kecemasan yang berlebihan, dan rasa rendah diri yang berujubg pada motivasi belajar
yang rendah. Dari uraian diatas, nampak bahwa model pembelajaran koopertif dapat menjadi
solusi alternatif dalam mengurangi dampak krisis kepribadian sebagaiman yang dikemukakan
oleh Erikson.
B. Rumusan Masalah
1. Pengertian pembelajaran kooperatif
2. Teori-teori apa sajakah yang mendukung model pembelajaran kooperatif.
3. Langkah langkah pembelajaran kooperatif
4. Kelebihan dan kelemahan pembelajaran kooperatif
5. Model- model pembelajaran kooperatif
C. Tujuan
1. Mengetahui Pengertian pembelajaran kooperatif
2. Mengetahui teori yang mendukung model pembelajaran kooperatif.
3. Mengetahui Langkah langkah pembelajaran kooperatif
4. Mengetahui Kelebihan dan kelemahan pembelajaran kooperatif
5. Mengetahui Model- model pembelajaran kooperatif
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
lebih
diarahkan
oleh
guru,
di
mana
guru
menetapkan
tugas
dan
menemukan dan memahami konsep-konsep yang sulit apabila mereka dapat saling
mendiskusikannya dengan temannya.
Dari beberapa pendapat diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa pembelajaran kooperatif
merupakan pembelajaran dengan membentuk kelompok-kelompok yang didasari dengan
kerja sama dan setiap anggota kelompok harus bertanggung jawab atas pembelajarannya
agar tujuan pembelajaran dapat tercapai.
Pembelajaran kooperatif merupakan pembelajaran yang mengutamakan kerjasama antar
siswa untuk mencapai tujuan pembelajaran. Menggunakan pembelajaran kooperatif merubah
peran guru dari peran yang berpusat pada Model Pembelajaran Kooperatif 3 gurunya ke
pengelolaan siswa dalam kelompok-kelompok kecil. Menurut teori konstruktivis, tugas guru
(pendidik) adalah memfasilitasi agar proses pembentukan (konstruksi) pengetahuan pada
diri sendiri tiap-tiap siswa terjadi secara optimal.
B. Teori-Teori Pendukung Model Pembelajaran Kooperatif
Model pembelajaran kooperatif memiliki basis pada teori psikologi kognitif dan teori
pembelajaran sosial (Arends, 1997). Fokus pembelajaran kooperatif tidak saja tertumpu pada
apa yang dilakukan peserta didik tetapi juga pada apa yang dipikirkan peserta didik selama
aktivitas belajar berlangsung. Informasi yang ada pada kurikulum tidak ditransfer begitu saja
oleh guru kepada peserta didik, tetapi peserta didik difasilitasi dan dimotivasi untuk
berinteraksi dengan peserta didik lain dalam kelompok, dengan guru dan dengan bahan ajar
secara optimal agar ia mampu mengkonstruksi pengetahuannya sendiri. Dari uraian di atas
nampak bahwa guru bukanlah sebagai pusat pembelajaran, sumber utama pembelajaran,
serta pentransfer pengetahuan sebagaimana terjadi pada pembelajaran konvensional. Pusat
pembelajaran telah bergeser dari guru ke peserta didik. Dalam model pembelajaran
kooperatif, guru berperan sebagai fasilitator, penyedia sumber belajar bagi peserta didik,
pembimbing peserta didik dalam belajar 4 kelompok, pemberi motivasi peserta didik dalam
memecahkan masalah, dan sebagai pelatih peserta didik agar memiliki ketrampilan
kooperatif.
Teori yang menjadi pendukung model pembelajaran kooperatif ini adalah:
a) Teori Psikologi Kognitif-Konstruktivistik (Piaget dan Vygotsky)
b) Teori Psikologi Sosial (Dewey, Thelan, Allport, dan Lewin).
1. Teori Psikologi Kognitif -Konstruktivistik
Jean Piaget dan Lev Vygotsky merupakan dua ahli psikologi kognitif yang besar
sumbangannya
dalam
mendukung
pengembangan
pembelajaran
kooperatif
(http://.users.muohio.edu/shermanlw/wolf_chapter-draft3-25.html).
Sumbangan pemikiran dan penelitian dari kedua ahli tersebut serta kaitannya dengan
model pembelajaran kooperatif dijelaskan dalam uraian berikut.
a. Teori Piaget
Piaget (dalam Slavin, 2000) memandang bahwa setiap anak memiliki rasa ingin tahu
bawaan yang mendorongnya untuk berinteraksi dengan lingkungannya. Baik
lingkungan fisik maupun sosialnya. Piaget meyakini bahwa pengalaman secara fisik
dan pemanipulasian lingkungan akan mengembangkan kemampuannya. Ia juga
mempercayai bahwa interaksi sosial dengan teman sebaya, khususnya dalam
mengemukakan ide dan berdiskusi akan membantunya memperjelas hasil
pemikirannya dan menjadikan hasil pemikirannya lebih logis.(Slavin, 2000). Melalui
pertukaran ide dengan teman lain, seorang anak yang sebelumnya memiliki
pemikiran subyektif terhadap sesuatu yang diamati akan merubah pemikirannya
menjadi obyektif Aktivitas berpikir anak seperti itu terorganisasi dalam suatu
struktur kognitif (mental) yang disebut dengan "scheme" atau pola berpikir (patterns
of behavior or thinking).
Berkaitan dengan pandangan Piaget dalam hal pembelajaran, Duckworth (Slavin,
1995) mengemukakan bahwa pedagogi yang balk harus melibatkan anak pada situasi
di mana anak mandiri melakukan percobaan, dalarn arti anak mencoba segala
sesuatu untuk melihat apa yang terjadi, memanipulasi tandatanda, memanipulasi
simbol, mengajukan pertanyaan dan menemukan sendiri
jawabannya, mencocokkan apa yang la temukan dan membandingkan temuannya
dengan anak lain.
b. Teori Vygotsky
Lev Semionovich Vygotsky, seorang ahli psikologi Rusia memiliki kesamaan
dengan Piaget (ahli psikologi dan biologi dari Switzerland) dalam memandang
perkembangan kognitif anak Vygotsky memandang bahwa akuisisi "system isyarat"
(sign system) terjadi dalam sekuen tahapan yang invarian untuk setiap anak
sebagaimana disampaikan oleh Piaget. Namun, Vygotsky berbeda dalam
5
tugas yang tidak dapat mereka selesaikan sendiri akan dapat mereka selesaikan
dengan bimbingan (scaffolding) orang dewasa atau teman sebaya.
2. Teori Psikologi Sosial
a. Teori John Dewey dan Herbert Thelan
Menurut Dewey (Arends, 1997), kelas seharusnya merupakan cermin dari
masyarakat luas dan berfungsi sebagai laboratorium belajar dalam kehidupan nyata.
Dewey menegaskan bahwa guru perlu menciptakan sistem sosial yang bercirikan
demokrasi dan proses ilmiah dalam lingkungan belajar peserta didik dalarn kelas.
Tanggung jawab utama guru adalah memotivasi peserta didik untuk belajar secara
kooperatif dan memikirkan masalah-masalah sosial yang penting setiap hari.
Bersamaan dalam aktivitasnya rnemecahkan masalah di kelompoknya, peserta didik
belajar prinsip-prinsip demokrasi melalui interaksi dengan peserta didik lain.
Beberapa tahun setelah Dewey, Thelan (dalam Arends, 1997) berpendapat bahwa
kelas haruslah merupakan laboratorium atau miniatur demokrasi yang bertujuan
mengkaji masalah-masalah sosial dan masalah antar pribadi. Thelan tertarik dengan
dinamika kelompok dan rnengernbangkan bentuk yang lebih rinci dan terstruktur
dari
penyelidikan
kelompok,
dan
mempersiapkan
dasar
konseptualuntuk
untuk memuntaskan materi belajarnya, siswa belajar dalam kelompok secara bekerja
sama
kelompok dibentuk dari siswa yang memiliki kemampuan tinggi, sedang dan rendah
jika dalam kelas terdapat siswa-siswa yang heterogen ras, suku, budaya, dan jenis
kelamin, maka diupayakan agar tiap kelompok terdapat keheterogenan tersebut.
Hasil belajar akademik , yaitu untuk meningkatkan kinerja siswa dalm tugas-tugas
akademik. Pembelajaran model ini dianggap unggul dalam membantu siswa dalam
memahami konsep-konsep yang sulit.
Aktivitas Guru
Guru menyampaikan semua tujuan pelajaran yang ingin
memotivasi siswa
Menyajikan informasi
Mengorganisasikan siswa ke
dalam kelompok-kelompok
2
3
belajar
kelompok agar melakukan transisi efisien
Membimbing kelompok bekerja Guru membimbing kelompok-kelompok belajar pada saat
dan belajar
Evaluasi
mengerjakan tugas
Guru mengevaluasi hasil belajar tentang materi yang
telah dipelajari atau masing-masing kelompok
Memberikan penghargaan
Melalui kerja kelompok, akan dapat menumbuhkan perasaan ada saingan. Jika udah
menghabiskan waktu dan tenaga yang sama dan ternyata ada teman yang mendapat nilai
lebih baik, akan timbul minat mengejarnya. Jika sudah berada di atas, tentu ingin
mempertahankan agar tidak akan dikalahkan teman-temannya.
saat membahas suatu masalah bersama akan ada ide yang saling melengkapi.
Kesempatan melakukan resitasi oral
Kerja kekompok, sering anggota kelompok harus berdiskusi dan menjelaskan suatu teori
kepada teman belajar.Inilah saat yang baik untuk resitasi.Akan dijelaskan suatu teori
dengan bahasa sendiri. Belajar mengekspresikan apa yang diketahui, apa yang ada dalam
pikiran ke dalam bentuk kata-kata yang diucapkan.
Melalui kerja kelompok akan dapat membantu timbulnya asosiasi dengan peristiwa lain
yang mudah diingat. Misalnya, jika ketidaksepakatan terjadi di antara kelompok, maka
perdebatan sengit tak terhindarkan. Setelah perdebatan ini, biasanya akan mudah
mengingat apa yang dibicarakan dibandingkan masalah lain yang lewat begitu saja.
Karena dari peristiwa ini, ada telinga yang mendengar, mulut yang berbicara, emosi
yang turut campur dan tangan yang menulis.Semuanya sama-sama mengingat di
kepala.Jika membaca sendirian, hanya rekaman dari mata yang sampai ke otak, tentu ini
dapat kurang kuat.
2. Kelemahan Pembelajaran Kooperatif
Kelemahan pembelajaran kooperatif bersumber pada dua faktor, yaitu faktor dari dalam
(intern) dan faktor dari luar (ekstern). Faktor dari dalam yaitu sebagai berikut.
a. Guru harus mempersiapkan pembelajaran secara matang, disamping itu memerlukan
lebih banyak tenaga, pemikiran dan waktu;
11
b. Agar proses pembelajaran berjalan dengan lancar maka dibutuhkan dukungan fasilitas,
alat dan biaya yang cukup memadai;
c. Selama kegiatan diskusi kelompok berlangsung, ada kecenderungan topic permasalahan
yang sedang dibahas meluas sehingga banyak yang tidak sesuai dengan waktu yang
telah ditentukan, dan
d. Saat diskusi kelas, terkadang didominasi oleh seseorang, hal ini mengakibatkan siswa
yang lain menjadi pasif.
Slavin (Miftahul, 2011: 68) mengidentifikasi tiga kendala utama atau apa yang disebutnya
pitfalls (lubang-lubang perangkap) terkait dalam pembelajaran kooperatif sebagai berikut.
a. Free Rider
Jika tidak dirancang dengan baik, pembelajaran kooperatif justru berdampak pada
munculnya free rider atau pengendara bebas. Yang dimaksud free rider disini adalah
beberapa siswa yang tidak bertanggungjawab secara personal pada tugas kelompoknya
mereka hanya mengekor saja apa yang dilakukan oleh teman-teman satu
kelompoknya yang lain. Free rider ini sering kali muncul ketika kelompok-kelompok
kooperatif ditugaskan untuk menangani atu lembar kerja, satu proyek, atau satu
laporan tertentu. Untuk tugas-tugas seperti ini, sering kali ada satu atau beberapa
anggota yang mengerjakan hampir semua pekerjaan kelompoknya, sementara sebagian
anggota yang lain justru bebas berkendara, berkeliaran kemana-mana.
b. Diffusion of responsibility
Yang dimaksud dengan diffusion of responsibility (penyebarantanggung jawab) ini
adalah suatu kondisi di mana beberapa anggota yangdianggap tidak mampu cenderung
diabaikan oleh anggota-anggota lain yanglebih mampu. Misalnya, jika siswa
ditugaskan untuk mengerjakan tugasIPA, beberapa anggota yang dipersepsikan tidak
mampu menghafal ataumemahami materi tersebut dengan baik sering kali tidak
dihiraukan olehteman-temannya yang lain. Siswa yang memiliki skill IPA yang baik
punterkadang malas mengajarkan keterampilannya pada teman-temannya yangkurang
mahir di bidang IPA. Hal ini hanya membuang-buang waktu danenergi saja.
c. Learning a Part of Task Specialization
Beberapa model pembelajaran tertentu, seperti Jigsaw, GroupInvestigation, dan
metode-metode lain yang terkait, setiap kelompokditugaskan untuk mempelajari atau
mengerjakan bagian materi yang berbedaantarsatu sama lain. Pembagian semacam ini
12
sering kali membuat siswahanya fokus pada bagian materi lain yanng dikerjakan oleh
kelompok lainhampir tidak dihiraukan sama sekali, padahal semua materi tersebut
salingberkaitan satu sama lain.
Slavin (Miftahul,2011: 69) mengemukakan bahwa ketiga kendala inibisa diatasi jika guru
mampu melakukan beberapa faktor sebagai berikut:
i. Mengenakan sedikit banyak karakteristik dan level kemampuan siswanya.
ii. Selalu menyediakan waktu khusus untuk mengetahui kemajuan setiapsiswanya
dengan mengevaluasi mereka secara individual setelah bekerjakelompok, dan yang
paling penting
iii. Mengintegrasikan metode yang satudengan metode yang lain.
E. Model-model Pembelajaran Kooperatif
1. Model Pembelajaran Kooperatif Tipe STAD
a. Pengertian Pembelajaran Kooperatif Tipe STAD
Pembelajaran kooperatif tipe STAD (Student Team Achievement Division), tipe
ini dikembangkan pertama kali oleh Robert Slavin dan teman-temannya di Universitas
John Hopkins dan merupakan model pembelajarankooperatif paling sederhana
(Ibrahim dkk, 2000 : 6). Masing-masing kelompok memiliki kemampuan akademik
yang heterogen (Depelovment MA Project, 2002 : 31), sehingga dalam satu kelompok
akan terdapat satu siswa berkemampuan tinggi, dua orang kemampuan sedang dan
satu siswa lagi berkemampuan rendah.
Pembelajaran kooperatif tipe STAD adalah pembelajaran yang secara sadar dan
sengaja mengembangkan interaksi yang saling asuh antar siswa untuk menghindari
ketersinggungan dan kesalahpahaman yang dapat menimbulkan permusuhan.
b. Langkah-langkah Model Pembelajaran Kooperatif Tipe STAD
Para siswa di dalam kelas dibagi menjadi 4 atau 5 anggota kelompok. Tiap
anggota mempunyai anggota yang heterogen, baik jenis kelamin, ras, etnis,
maupun kemampuan.
Guru memberikan pertanyaan atau kuis kepada seluruh siswa. Pada saat
menjawab pertanyaan atau kuis dari guru siswa tidak saling membantu.
Tiap siswa dan tiap kelompok diberi skor atas penguasaannya terhadap materi
pelajaran, dan kepada siswa secara indivual atau kelompok yang meraih prestasi
tinggi memperoleh skor sempurna diberi penghargaan.
Kesimpulan.
Setiap siswa dapat saling mengisi satu sama lain (Ibrahim, dkk. 2000 : 72).
Sedangkan kekurangan pembelajaran kooperatif tipe STAD adalah:
Membutuhkan waktu yang lama
Siswa cenderung tidak mau apabila disatukan dengan temannya yang kurang
pandai apabila ia sendiri yang pandai dan yang kurang pandaipun merasa minder
apabila digabungkan dengan temannya yang pandai walaupun lama kelamaan
perasaan itu akan hilang dengan sendirinya (Ibrahim, 2000 : 72).
Tes , Siswa diberikan kuis dan tes secara perorangan. Pada tahap ini setiap siswa
harus memperhatikan kemampuannya dan menunjukkan apa yang diperoleh pada
kegiatan kelompok dengan cara menjawab soal kuis atau tes sesuai dengan
kemampuannya. Pada saat mengerjakan kuias atau tes ini, setiap siswa bekerja
sendiri bekerja sama dengan anggota kelompoknya.
Penentuan Skor, Hasil kuis atau tes diperiksa oleh guru, setiap skor yang
diperoleh siswa masukkan dalam daftar skor individual, untuk melihat
14
a. Pengertian
Menurut Slavin (2005) tipe ini mengkombinasikan keunggulan pembelajaran
kooperatif dan pembelajaran individual. Tipe ini dirancang untuk mengatasi kesulitan
belajarsiswa secara individual. Oleh karena itu kegiatan pembelajarannya lebihbanyak
digunakan untuk pemecahan masalah, ciri khas pada model pembelajaran TAI ini
adalah setiap siswa secara individual belajar materi pembelajaran yang sudah
dipersiapkan oleh guru. Hasil belajar individual dibawa ke kelompok-kelompok untuk
didiskusikan dan saling dibahas oleh anggota kelompok, dan semua anggota kelompok
bertanggung jawab atas keseluruhan jawaban sebagai tanggung jawab bersama.
Model pembelajaran TAI dimana siswa dikelompokkan ke dalam kelompok kecil
(5 siswa) secara heterogen yang dipimpin oleh seorang ketua kelompok yang
mempunyai lebih dibandingkan anggotanya. Selain itu guru mempunyai fleksibilitas
untuk berpindah dari kelompok ke kelompok atau dari individu ke individu, kemudian
para siswa dapat saling memeriksa hasil kerja mereka, mengidentifikasi masalahmasalah yang muncul dalam kelompok dapat ditangani sendiri maupun dengan
bantuan guru apabila diperlukan.
Miftahul (2011) mengemukakan bahwa dalam model pembelajaranTAI, siswa
dikelompokkan berdasarkan kemampuannya yang beragam.Masing-masing kelompok
terdiri dari 5 siswa dan ditugaskan untukmenyelesaikan materi pembelajaran atau PR.
Dalam model pembelajaranTAI, setiap kelompok diberikan serangkaian tugas tertentu
untuk dikerjakanbersama-sama. Poin-poin dalam tugas dibagikan secara berurutan
kepadasetiap anggota (misalnya, untuk materi IPA yang terdiri dari 8 soal,
berartiempat anggota dalam setiap kelompok harus saling bergantian menjawabsoalsoal tersebut). Semua anggota harus saling mengecek jawaban temantemansatu
kelompoknya dan saling memberi bantuan jika memangdibutuhkan. Setiap kelompok
15
individu,
kesempatan
yang
sama
untuk
sukses,
dan
Jigsaw telah dikembangkan dan diuji coba oleh Elliot Aronson dkk di Universitas
Texas dan kemudian diadaptasi oleh Slaven dkk di Universitas Jhon Hopkins.
Dalam terapan tipe jigsaw, siswa dibagi menjadi berkelompok dengan lima atau enam
anggota kelompok belajar heterogen. Materi pelajaran diberikan pada siswa dalam bentuk
teks. Setiap anggota bertanggungjawab untuk mempelajari bagian tertentu bahan yang
diberikan. Anggota dari kelompok yang lain mendapat tugas topik yang sama berkumpul
dan berdiskusi tentang topik tersebut. Kelompok ini disebut dengan kelompok ahli
(Ibrahim, dkk. 2000 : 52).
c. Langkah-langkah model jigsaw dibagi menjadi enam tahapan, yaitu :
Menyajikan informasi kepada siswa dengan demonstrasi disertai penjelasan verbal,
buku teks, atau bentuk lain
Mengorganisasikan siswa ke dalam kelompok belajar
Mengelola dan membantu siswa dalam belajar kelompok dan kerja di tempat duduk
masing-masing
Mengetes penguasaan kelompok atas bahan ajar
Pemberian penghargaan atau pengakuan terhadap hasil belajar siswa Nurhadi dan
Agus Gerrard, 2003 : 40)
Berdasarkan pendapat di atas dapat dijelaskan bahwa :
Pada fase ini guru menyajikan materi pelajaran seperti biasa, bisa dengan ceramah,
diskusi, demonstrasi atau eksperimen bergantung pada karakteristik materi yang sedang
disampaikan dan ketersediaan media di sekolah yang bersangkutan. Pada kesempatan ini
guru harus memberitahu siswa agar cermat mengikuti proses pembelajaran karena
informasi yang diterimanya pada fase ini sangat bermanfaat untuk bisa menjawab kuis
pada fase berikutnya dan skor kuis yang akan diperoleh sangat menentukan skor tim
mereka.
Langkah 2: Tahap Pembentukan Tim atau Pengorganisasian Siswa (Kelompok)
Pada fase ini, guru membentuk kelompok-kelompok kecil beranggotakan 4-6 orang
siswa, terdiri dari siswa berkemampuan tinggi, sedang dan kurang. Fungsi kelompok
disini adalah untuk mengarahkan semua anggota untuk belajar mengkaji materi yang
disampaikan oleh guru, berdiskusi, membantu anggota yang kemampuan akademiknya
kurang sehingga mereka secara tim nantinya siap untuk mengikuti kuis. Kekompakkan
kerjasama tim akan mampu meningkatkan hubungan antar sesama anggota tim, rasa
percaya diri, dan keakraban antar siswa.
Langkah 3: Tahap Permainan (Game Tournament)
Pada fase ini, guru membuat suatu bentuk permainan.Materinya terdiri dari sejumlah
pertanyaan yang relevan dengan materi ajar yang disampaikan oleh guru pada fase
sebelumnya untuk menguji kemajuan pengetahuan siswa setelah memperoleh informasi
secara klasikal dan hasil latihan di kelompoknya. Dalam permainan ini, posisi meja
turnamen diatur sebagai berikut (Sumber: Slavin dalam Purwati, 2010).
Siswa dari suatu kelompok ditempatkan pada meja tournament berdasarkan tingkat
kemampuan mereka. Pada meja 1 ditempatkan wakil-wakil siswa yang
berkemampuan akademik tinggi, pada meja 2 dan 3 ditempatkan siswa yang
berkemampuan rata-rata, sedangkan pada meja 4 ditempatkan oleh para siswa
yang berkemampuan rendah. Selanjutnya, para siswa akan mengalami perubahan
posisi dari satu meja ke meja yang lain tergantung dari kemampuan mereka dalam
mengikuti lomba atau tournament. Pemenang pertama pada suatu meja bisa
berpindah meja yang berkualifikasi lebih tinggi, pemenang kedua tetap tinggal di
19
meja semula, sedangkan siswa yang memperoleh skor terendah akan bergeser ke
meja yang ditempati oleh siswa yang berkualifikasi lebih rendah. Dengan cara ini
maka penempatan siswa pada saat awal akan dapat bergeser naik atau turun
sampai menempati posisi yang sesuai dengan tingkat kemampuan yang
sesungguhnya mereka miliki.
Peraturan permainan
Permainan diawali dengan memberitahukan aturan permainan kepada siswa.Setelah itu
dilanjutkan dengan membagikan kartu-kartu soal untuk bermain (kartu soal dan kunci
ditaruh terbalik diatas meja sehingga soal dan kunci tidak terbaca).Permainan pada
tiap meja turnamen dilakukan dengan aturan sebagai berikut Slavin, 1995 (dalam
Kurniawan, 2008).
1.
Tiap meja terdiri dari 4-6 orang siswa yang berasal dari kelompok yang
berbeda/heterogen.
2.
Setiap pemain dalam tiap meja menentukan terlebih dahulu pembaca soal dan
pemain pertama dengan cara undian. Pemain yang menang undian mengambil
kartu undian yang berisi nomor soal dan diberikan
Pembaca soal akan membacakan soal sesuai dengan nomor undian yang diambil
oleh pemain.
3.
Soal dikerjakan secara mandiri oleh penantang dan pemain sesuai dengan waktu
yang telah ditentukan dalam soal. Setelah waktu untuk mengerjakan soal selesai,
maka pemain akan membacakan hasil pekerjaannya yang akan ditanggapi oleh
penantang.
4.
Pembaca soal akan membuka kunci jawaban dan skor hanya diberikan kepada
pemain yang menjawab benar atau penantang yang memberikan jawaban benar.
Jika semua jawaban pemain salah, maka kartu dibiarkan saja.
5. Permainan dilanjutkan dengan kartu soal berikutnya sampai semua kartu soal habis
dibacakan, dan posisi pemain diputar searah jarum jam agar setiap peserta dalam
20
satu meja turnamen dapat berperan sebagai pembaca soal, pemain dan
penantang.
6.
Dalam permainan, pembaca soal hanya bertugas untuk membaca soal dan
membuka kunci jawaban, tidak boleh ikut menjawab atau memberikan jawaban
kepada peserta yang lain.
7. Setelah semua kartu selesai terjawab, setiap pemain dalam satu meja menghitung
jumlah kartu yang diperoleh dan menentukan berapa poin yang diperoleh
berdasarkan tabel yang telah disediakan.
8.
Setiap pemain kembali kepada kelompok asalnya dan melaporkan poin yang
diperoleh kepada ketua kelompok. Ketua kelompok memasukkan poin yang
diperoleh oleh anggota kelompoknya pada tabel yang telah disediakan, kemudian
menentukan kriteria penghargaan yang diterima oleh kelompoknya.
Predikat
Kelompok Cukup
Kelompok Baik
Kelompok Sangat Baik
Skor rata-rata kelompok yang lebih kecil dari 15 sengaja tidak diberikan predikat
untuk memacu kelompok agar lebih giat belajar pada topik-topik berikutnya.
21
Bagi Guru
Sulitnya pengelompokan siswa yang mempunyai kemampuan heterogen dari
segi akademis. Kelemahan ini akan dapat diatasi jika guru yang bertindak
sebagai pemegang kendali teliti dalam menentukan pembagian kelompok
waktu yang dihabiskan untuk diskusi oleh siswa cukup banyak sehingga
melewati waktu yang sudah ditetapkan. Kesulitan ini dapat diatasi jika guru
mampu menguasai kelas secara menyeluruh.
Bagi Siswa
Masih adanya siswa berkemampuan tinggi kurang terbiasa dan sulit
memberikan penjelasan kepada siswa lainnya. Untuk mengatasi kelemahan ini,
22
akademik
tinggi
agar
dapat
dan
mampu
menularkan
Dari setiap fase tersebut di atas dapat kita perhatikan dengan jelas sebagai berikut:
a. Fase Pertama, Pengenalan konsep. Fase ini guru mulai mengenalkan tentang suatu
konsep atau istilah baru yang mengacu pada hasil penemuan selama eksplorasi.
Pengenalan bisa didapat dari keterangan guru, buku paket, atau media lainnya.
b. Fase Kedua, Eksplorasi dan aplikasi. Fase ini memberikan peluang pada siswa
untuk mengungkap pengetahuan awalnya, mengembangkan pengetahuan baru, dan
menjelaskan fenomena yang mereka alami dengan bimbingan guru minimal. Hal ini
menyebabkan terjadinya konflik kognitif pada diri mereka dan berusaha melakukan
pengujian dan berdiskusi untuk menjelaskan hasil observasinya. Pada dasarnya,
tujuan fase ini untuk membangkitkan minat, rasa ingin tahu serta menerapkan
konsepsi awal siswa terhadap kegiatan pembelajaran dengan memulai dari hal yang
kongkrit. Selama proses ini siswa belajar melalui tindakan-tindakan mereka sendiri
dan reaksi-reaksi dalam situasi baru yang masih berhubungan, juga terbukti
menjadi sangat efektif untuk menggiring siswa merancang eksperimen, demonstrasi
untuk diujikannya.
c. Fase Ketiga, Publikasi. Pada fase ini Siswa mampu mengkomunikasikan hasil
temuan-temuan, membuktikan, memperagakan tentang materi yang dibahas.
Penemuan itu dapat bersifat sebagai sesuatu yang baru atau sekedar membuktikan
hasil pengamatannya.. Siswa dapat memberikan pembuktian terkaan gagasangagasan barunya untuk diketahui oleh teman-teman sekelasnya. Siswa siap
menerima kritikan, saran atau sebaliknya saling memperkuat argumen.
Kelebihan dari model pembelajaran terpadu atau (CIRC) antara lain:
1. Pengalaman dan kegiatan belajar anak didik akan selalu relevan dengan tingkat
perkembangan anak;
2. kegiatan yang dipilih sesuai dengan dan bertolak dari minat siswa dan
kebutuhan anak;
3. seluruh kegiatan belajar lebih bermakna bagi anak didik sehingga hasil belajar
anak didik akan dapat bertahan lebih lama;
4. pembelajaran terpadu dapat menumbuh-kembangkan keterampilan berpikir
anak;
5. pembelajaran terpadu menyajikan kegiatan yang bersifat pragmatis (bermanfaat)
sesuai dengan permasalahan yang sering ditemuai dalam lingkungan anak;
24
CIRC
tersebut
antara
lain:
Dalam model pembelajaran ini hanya dapat dipakai untuk mata pelajaran yang
menggunakan bahasa, sehingga model ini tidak dapat dipakai untuk mata pelajaran
seperti: matematika dan mata pelajaran lain yang menggunakan prinsip menghitung.
25
bertukar pikiran serta mampu berlatih untuk mempertahankan pendapatnya jika pendapat itu
layak untuk dipertahankan.
Pembelajaran think pair share dapat mengembangkan kemampuan mengungkapkan ide
atau gagasan dengan kata-kata secara verbal dan membandingkan ide-idenya dengan orang
lain. Membantu siswa untuk respek pada orang lain dan menyadari akan segala
keterbatasannya serta menerima segala perbedaan. Siswa dapat mengembangkan
kemampuan untuk menguji ide dan pemahamannya sendiri dan menerima umpan balik.
Interaksi yang terjadi selama pembelajaran dapat meningkatkan motivasi dan memberikan
rangsangan untuk berpikir sehingga bermanfaat bagi proses pendidikan jangka panjang.
Dari berbagai pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran kooperatif
tipe think pair share adalah model Pembelajaran yang dapat mengaktifkan seluruh kelas
karena siswa diberi kesempatan bekerja sendiri dan bekerja sama dengan orang lain dalam
kelompok kecil sehingga membantu siswa untuk respek pada orang lain dan menyadari akan
segala keterbatasannya serta menerima segala perbedaan dan siswa dapat mengembangkan
kemampuan untuk menguji ide dan pemahamannya sendiri dan menerima umpan balik.
Pengertian think pair share menurut peneliti adalah model pembelajaran yang menuntut
siswa agar dapat berpikir sendiri dan bekerja sama dengan siswa yang lain dalam kelompok
kecil dalam mengembangkan kemampuan sehingga 8 diperlukan interaksi yang baik dalam
membagi informasi untuk menyelesaikan permasalahan.
b. Langkah-langkah Model Pembelajaran Kooperatif Think-Pair-Share (TPS)
Dalam Nurhadi (2005 :120), Lyman dan kawan-kawan menggunakan langkah-langkah
sebagai berikut:
Langkah I : thinking (berpikir)
Guru mengajukan pertanyaan atau isu yang berkaitan dengan pelajaran; dan siswa diberi
waktu satu menit untuk berpikir sendiri mengenai jawaban atau isu tersebut.
Langkah II : pairing (berpasangan)
Selanjutnya guru meminta siswa berpasangan dan mendiskusikan yang telah dipikirkan.
Interaksi selama periode ini dapat menghasilkan jawaban bersama jika pertanyaan telah
diajukan atau penyampaian ide bersama jika isu khusus telah diidentifikasi. Biasanya guru
mengijinkan tidak lebih dari 4 atau 5 menit untuk berpasangan.
Langkah III : sharing (berbagi)
26
Pada langkah akhir ini guru meminta pasangan-pasangan tersebut untuk berbagi atau
bekerja sama dengan secara kelas secara keseluruhan mengenai yang telah mereka
bicarakan, langkah ini akan efektif jika guru berkeliling kelas dari pasangan yang satu ke
pasangan yang lain, sehingga seperempat atau separuh dari pasangan-pasangan tersebut
memperoleh kesempatan untuk melapor.
Sedangkan menurut Huda (2011 : 136), prosedur pembelajaran think pair share adalah
sebagai berikut :
1. Siswa ditempatkan dalam kelompok-kelompok. Setiap kelompok terdiri dari empat
anggota/siswa.
2. Guru memberikan tugas pada setiap kelompok.
3. Masing-masing anggota memikirkan dan mengerjakan tugas tersebut sendiri-sendiri
terlebih dahulu.
4. Kelompok membentuk
anggotanya
secara
berpasangan.
Setiap
pasangan
menggunakan
langkah-langkah
pembelajaran
think
pair
share
dengan
anggotanya
secara
27
berpasangan.
Setiap
pasangan
8. Guru mengontrol kerja siswa dalam berdiskusi dan membantu siswa mengarahkan
jika masih terdapat hal-hal yang belum dipahami.
Tahap share :
9. Kedua pasangan lalu bertemu kembali dalam kelompoknya masing-masing untuk
menshare hasil diskusinya.
10. Guru memimpin jalannya diskusi kelas.
C. Kegiatan Penutup
11. Guru memberi penguatan/penghargaan terhadap hasil diskusi.
12. Guru mengadakan evaluasi.
Kelebihan dan Kekurangan Pembelajaran TPS
Menurut Huda (2011 : 171) mengemukakan bahwa kelebihan dari kelompok berempat
adalah sebagai berikut :
1. Mudah dipecah menjadi berpasangan.
2. Lebih banyak muncul ide.
3. Lebih banyak tugas yang bisa dilakukan.
4. Guru mudah memonitor.
Sedangkan kekurangan dari kelompok berempat adalah sebagai berikut :
1. Butuh banyak waktu.
2. Butuh sosialisasi yang lebih baik.
3. Jumlah genap; menyulitkan pengambilan suara.
4. Setiap anggota kurang memiliki kesempatan untuk berkontribusi pada kelompoknya.
5. Setiap anggota mudah melepaskan diri dari keterlibatan.Perhatian anggota sangat
kurang.
7. Pembelajaran
kooperatif
tipe
NHT
(Number
Heads
Together).
a. Pengertian
Pembelajaran kooperatif tipe NHT dikembangkan oleh Spencer Kagen (1993). Pada
umumnya NHT digunakan untuk melibatkan siswa dalam penguatan pemahaman
pembelajaran
atau
mengecek
pemahaman
siswa
terhadap
materi
pembelajaran.
28
3. Guru membagi kelas dalam beberapa kelompok, setiap kelompok terdiri dari 4-5
siswa, setiap anggota kelompok diberi nomor atau nama.
4. Guru mengajukan permasalahan untuk dipecahkan bersama dalam kelompok.
5. Guru mengecek pemahaman siswa dengan menyebut salah satu nomor (nama) anggota
kelompok untuk menjawab. Jawaban salah satu siswa yang ditunjuk oleh guru
merupakan wakil jawaban dari kelompok.
6. Guru memfasilitasi siswa dalam membuat rangkuman, mengarahkan, dan memberikan
penegasan pada akhir pembelajaran.
7. Guru memberikan tes/kuis kepada siswa secara individual.
8. Guru memberi penghargaan pada kelompok melalui skor penghargaan berdasarkan
perolehan nilai peningkatan hasil belajar individual dari skor dasar ke skor kuis
berikutnya (terkini).
BAB III
KESIMPULAN
29
Aktivitas Guru
Guru menyampaikan semua tujuan pelajaran yang ingin
memotivasi siswa
Menyajikan informasi
Mengorganisasikan siswa ke
dalam kelompok-kelompok
belajar
kelompok agar melakukan transisi efisien
Membimbing kelompok bekerja Guru membimbing kelompok-kelompok belajar pada saat
dan belajar
Evaluasi
mengerjakan tugas
Guru mengevaluasi hasil belajar tentang materi yang
telah dipelajari atau masing-masing kelompok
Memberikan penghargaan
DAFTAR PUSTAKA
Kunandar.2007. Guru Professional Implementasi Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP)
Dan Sukses Dalam Sertifikasi Guru. Jakarta: Raja Grafindo.
Mulyasa.
Pembelajaran
Kreatif
32