Anda di halaman 1dari 18

TUGAS MATA KULIAH HELMINTOLOGI

FILARIASIS

OLEH : HARIYONO SETYOWIDODO


NIM
: 010942005

PRODI

ILMU KEDOKTERAN TROPIK

UNIVERSITAS AIRLANGGA
PROGRAM PENDIDIKAN MAGISTER
TAHUN 2010

BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Filariasis merupakan salah satu penyakit yang termasuk endemis di Indonesia.
Seiring dengan terjadinya perubahan pola enyebaran penyakit di negara-negara
sedang berkembang, penyakit menular masih berperan sebagai penyebab utama
kesakitan dan kematian. Salah satu penyakit menular adalah penyakit kaki gajah
(Filariasis). Penyakit ini merupakan penyakit menular menahun yang disebabkan oleh
cacing filaria. Di dalam tubuh manusia cacing filaria hidup di saluran dan kelenjar
getah bening(limfe), dapat menyebabkan gejala klinis akut dan gejala kronis. Penyakit
ini ditularkan melalui gigitan nyamuk. Akibat yang ditimbulkan pada stadium lanjut
(kronis) dapat menimbulkan cacat menetap seumur hidupnya berupa pembesaran kaki
(seperti kaki gajah) dan pembesaran bagian bagian tubuh yang lain seperti lengan,
kantong buah zakar, payudara dan alat kelamin wanita
Pada tahun 1994 World Health Organization (WHO) telah menyatakan bahwa
penyakit kaki gajah dapat di eleminasi dan dilanjutkan pada tahun 1997 World Health
Assembly membuat resolusi tentang eliminasi penyakit kaki gajah dan pada tahun
2000 WHO telah menetapkan komitmen global untuk mengeliminasi penyakit kaki
gajah (The Global Goal of Elimination of Lymphatic Filariasis as a Public Health
Problem by the year 2020).
Di Indonesia penyakit kaki gajah pertama kali ditemukan di Jakarta pada
tahun 1889. Berdasarkan rapid mapping kasus klinis kronis filariasis tahun 2000
wilayah Indonesia yang menempati ranking tertinggi kejadian filariasis adalah Daerah
Istimewa Aceh dan Propinsi Nusa Tenggara Timur dengan jumlah kasus masingmasing 1908 dan 1706 kasus kronis. Menurut Barodji dkk (1990 1995) Wilayah
Kabupaten Flores Timur merupakan daerah endemis penyakit kaki gajah
yangdisebabkan oleh cacing Wuchereria bancrofti dan Brugia timori. Selanjutnya
oleh Partono dkk (1972) penyakit kaki gajah ditemukan di Sulawesi. Di Kalimantan
oleh Soedomo dkk (1980) Menyusul di Sumatra oleh Suzuki dkk (1981) Sedangkan
penyebab penyakit kaki gajah yang ditemukan di Sulawesi, Kalimantan dan Sumatra
tersebut adalah dari spesies Brugia malayi.
Selain ke tiga wilayah kepulauan tersebutdiatas sebagaimana yang termuat
didalam modul eleminasi penyakit kaki gajah yang di terbitkan oleh Depkes. RI
Tugas mata kuliah helmintomologi

melalui Ditjen PPM & PLDirektorat P2B2 Subdit Filariasis dan Schistosomiasis
(2002) endemisitas kejadian filariasis juga terdapat dibeberapa propinsi lainya di
Indonesia, diantaranya Kabupaten Bekasi Propinsi Jawa Barat, Kabupaten Pekalongan
Propinsi Jawa Tengah, Kabupaten Lebak Tangerang Propinsi Banten, Batam Propinsi
Riau, Lampung Timur Propinsi Lampung, Mamuju Propinsi Sulawesi Selatan,
Donggala Propinsi Sulawesi Tengah, Kab. Pontianak Propinsi Kalimantan Barat,
Kabupaten Kapuas Propinsi Kalimantan Tengah, dan Kota Baru Propinsi Kalimantan
Selatan. Menurut Harijani AM. (1981) ditemukan Brugia malayi di Kalimantan
Selatan bersifat Zoonosis karena dari penangkapan berbagai binatang, kucing, monyet
daun mengandung Brugia malayi stadium dewasa dan vektornyadapat menggigit baik
manusia maupun hewan.

B. TUJUAN
1. TUJUAN UMUM
Mengetahui penyakit tentang penyakit Filariasis
2. TUJUAN KHUSUS
Setelah membahas makalah ini diharapkan dapat memahami tentang :
a. Penyakit Filariasis dan akibatnya
b. Respon immunologi dari penderita Filariasis
c. Pencegahan penyakit Filariasis
d. Pengobatan penyakit Filariasis
e. Angka kejadiaan Filaria di Indonesia

BAB II
PEMBAHASAN

Tugas mata kuliah helmintomologi

A.

PENGERTIAN
Filariasis adalah penyakit zoonosis menular yang banyak ditemukan di

wilayah tropika seluruh dunia. Penyebabnya adalah infeksi oleh sekelompok cacing
nematoda parasit yang tergabung dalam superfamilia Filarioidea. Gejala yang umum
terlihat adalah terjadinya elefantiasis, berupa membesarnya tungkai bawah (kaki) dan
kantung zakar (skrotum), sehingga penyakit ini secara awam dikenal sebagai penyakit
kaki gajah (elephantiasis). Filariasis limfatik di Indonesia disebabkan oleh W.
bancrofti, B. malayi dan B. timori, menyerang kelenjar dan pembuluh getah bening.
Penularan terjadi melalui vektor nyamuk Culex spp., Anopheles spp., Aedes spp. dan
Mansonia spp.
Filariasis adalah masalah global, masalah kesehatan masyarakat yang terjadi
di India, Cina dan Indonesia. Ketiga negara selama kurang lebih dua-pertiga dari total
jumlah penduduk dunia diperkirakan terinfeksi. Di daerah endemik, 10% mungkin
menderita filariasis. Di India, filariasis limfatik disebabkan oleh Wuchereria
bancrofti, vektor yang adalah nyamuk Culex quinquefasciatus (C. fatigans).

B.

PENGELOMPOKAN
Filariasis biasanya dikelompokkan menjadi tiga macam, berdasarkan bagian

tubuh atau jaringan yang menjadi tempat bersarangnya: filariasis limfatik, filariasis
subkutan (bawah jaringan kulit), dan filariasis rongga serosa (serous cavity).
Filariasis limfatik disebabkan Wuchereria bancrofti, Brugia malayi, dan Brugia
timori[1]. Gejala elefantiasis (penebalan kulit dan jaringan-jaringan di bawahnya)
sebenarnya hanya disebabkan oleh filariasis limfatik ini. B. timori diketahui jarang
menyerang bagian kelamin, tetapi W. bancrofti dapat menyerang tungkai dada, serta
alat kelamin. Filariasis subkutan disebabkan oleh Loa loa (cacing mata Afrika),
Mansonella streptocerca, Onchocerca volvulus, dan Dracunculus medinensis (cacing
guinea). Mereka menghuni lapisan lemak yang ada di bawah lapisan kulit. Jenis
filariasis yang terakhir disebabkan oleh Mansonella perstans dan Mansonella ozzardi,
yang menghuni rongga perut. Semua parasit ini disebarkan melalui nyamuk atau lalat
pengisap darah, atau, untuk Dracunculus, oleh kopepoda (Crustacea).
Dean dan Kosta, meneliti pada tahun 1942 menunjukkan, 10,8% pasien ditemukan
embrio

cacing dari pemeriksaan darah pada 5.000 orang tersebar di beberapa

Tugas mata kuliah helmintomologi

lingkungan di kota. Para penulis yang sama juga menemukan bahwa Culex
fatigans merupakan tempat utama

Filariasis, dan

hampir semua nyamuk di

rumah di beberapa lingkungan di mana mengandung parasit microfilaremia, dan


kemudian memeriksa 1014 spesimen, 11,6% terdapat W. Bancrofti.
Daur hidup Wuchereria bancrofti.

E.

GEJALA KLINIS

Gejala klinis filariasis disebabkan oleh cacing dewasa pada sistem limfatik dan oleh
reaksi hiperresponsif berupa occult filariasis.
Dalam perjalanan penyakit filariasis bermula dengan adenolimfangitis akuta berulang
dan berakhir dengan terjadinya obstruksi menahun dari sistem limfatik. Perjalanan
penyakit tidak jelas dari satu stadium ke stadium berikutnya tetapi bila diurut dari
masa inkubasi maka dapat dibagi menjadi :

1.

Masa prepaten

Tugas mata kuliah helmintomologi

Masa prepaten, masa antara masuknya larva infektif sampai terjadinya


mikrofilaremia berkisar antara 37 bulan. Hanya sebagian saja dari penduduk di daerah
endemik yang menjadi mikrofilaremik, dan dari kelompok mikrofilaremik inipun
tidak semua kemudian menunjukkan gejala klinis. Terlihat bahwa kelompok ini
termasuk

kelompok

yang

asimtomatik

amikrofi

laremik

dan

asimtomatik

mikrofilaremik.
2.

Masa inkubasi
Masa inkubasi, masa antara masuknya larva infektif sampai terjadinya gejala

klinis berkisar antara 816 bulan.


3.

Gejala klinik akut


Gejala klinik akut merupakan limfadenitis dan limfangitis disertai panas dan

malaise. Kelenjar yang terkena biasanya unilateral. Penderita dengan gejala klinis
akut dapat amikrofi laremik maupun mikrofilaremik.
Filariasis bancrofti

pembuluh limfe alatkelamin laki-laki sering terkena disusul

funikulitis, epididimitis dan orchids. Adenolimfangitis inguinal atau aksila, sering


bersama dengan limfangitis retrograd yang umumnya sembuh sendiri dalam 315 hari
dan serangan terjadi beberapa kali dalam setahun.
Filariasis brugia Limfadenitis paling sering mengenai kelenjar inguinal, sering terjadi
setelah bekerja keras. Kadang-kadang disertai limfangitis retrograd. Pembuluh limfe
menjadi keras dan nyeri dan sering terjadi limfedema pada pergelangan kaki dan kaki.
Penderita tidak mampu bekerja selama beberapa hari. Serangan dapat terjadi 12
X/tahun sampai beberapa kali perbulan. Kelenjar limfe yang terkena dapat menjadi
abses, memecah, membentuk ulkus dan meninggalkan parut yang khas, setelah 3
minggu 3 bulan.
4.

Gejala menahun
Gejala menahun terjadi 10-15 tahun setelah serangan akut pertama.

Mikrofilaria jarang ditemukan pada stadium ini, sedangkan adenolimfangitis masih


dapat terjadi. Gejala menahun ini menyebabkan terjadinya cacat yang mengganggu
aktivitas penderita serta membebani keluarganya.
Filariasis bancrofti hidrokel paling banyak ditemukan. Di dalam cairan hidrokel
ditemukan mikrofilaria. Limfedema dan elefantiasis terjadi di seluruh tungkai atas,

Tugas mata kuliah helmintomologi

tungkai bawah, skrotum, vulva atau buah dada, dan ukuran pembesaran di tungkai
dapat 3 kali dari ukuran asalnya.
Chyluria terjadi tanpa keluhan, tetapi pada beberapa penderita menyebabkan
penurunan berat badan dan kelelahan.
Filariasis brugia elefantiasis terjadi di tungkai bawah di bawah lutut dan lengan
bawah, sedang ukuran pembesaran ektremitas tidak lebih dari 2 kali ukuran asalnya.

F.

RESPON IMUN PADA FILARIASIS


Pada filariasis sistim imun yang berperan adalah sistim seluler dan humoral,

kedua sistim ini berjalan dan saling berkoordinasi karena pengaruh sitokin. Respon
imun filariasis yang humoral maupun seluler terhadap mikrofilaria terlihat lebih baik
pada kelompok amikrofilaremik dibandingkan kelompok mikrofilaremik
RESPON SELULER
Respon imun seluler filariasis telah banyak dipelajari. Peran sel limfosit pada
respon seluler sangat penting. Hilangnya mikrofilaria di peredaran darah dan di organorgan tempat parasit tinggal disebabkan oleh peristiwa ADCC (Antibody Dependent
Cell Cytotoxicity). Secara in vitro telah dibuktikan bahwa bila terdapat antibodi
spesifik yang menempel di permukaan badan mikrofilaria, sel-sel limfosit terangsang
untuk menempel di permukaan badan mikrofilaria, disusul matinya mikrofilaria.
Proses ini diperkirakan merupakan mekanisme pertahanan pada filariasis. Kegagalan
respon seluler dapat terjadi pada penyakit yang telah berjalan lama (menahun); parasit
berhasil hidup dan mempertahankan diri di dalam tubuh hospes. Dalam usaha
beradaptasi diri, parasit mengeluarkan antigen yang dapat mempengaruhi respon
imun, dan ratio jumlah sel limfosit supresor (CD8+) dan sel limfosit helper (CD4+)
berubah. Sel CD4+ yang jumlahnya rendah mengakibatkan produksi antibodi spesifik
rendah.
RESPON IMUNOGLOBULIN
Penelitian respon humoral pada filariasis, menunjukkan bahwa secara
kuantitatif penduduk daerah endemis yang amikrofilaremik pada umumnya
mempunyai kandungan IgG anti filaria yang lebih tinggi dibandingkan dengan
penduduk yang mikrofilaremik. Secara kualitatif gambaran yang ditunjukkan lebih

Tugas mata kuliah helmintomologi

kompleks; yaitu pada penderita filariasis bancrofti yang mikrofilaremik, IgG anti
filaria yang ada mengenal komponen protein cacing dewasa terutama pada berat
molekul < 80 Kd; pada penderita elefantiasis terutama pada berat molekul 180 Kd 20 Kd pada penderita tropical eosinophilia (TPE) komponen protein yang dikenal
berat molekul 200 Kd - 25 Kd. Pada penderita filariasis malayi IgG anti filaria dari
penduduk yang amikrofilaremik dengan gej ala klinis mengenal komponen protein
mikrofilaria malayi pada berat molekul 125 Kd secara mencolok, sedangkan
penduduk amikrofilaremik tanpa gejala klinis IgG yang ada mengenal komponen 75
Kd dan 25 Kd.
Empat macam subkelas IgG mempunyai struktur bentuk, fungsi dan derajat
partisipasi pada respon imun yang masing-masing sangat berbeda; hal ini memberi
indikasi bahwa perbedaan tipe respon imun yang terjadi pada perjalanan penyakit
filariasis ditentukan oleh masing-masing subkelas IgG yang berperan. Secara
kuantitatif kadar IgG 1 pada penderita elephantiasis lebih tinggi dibandingkan pada
penderita yang mikrofilaremik. Secara kualitatif pola pengenalan yang ditunjukkan
sangat berbeda. Komponen protein cacing dewasa B. malayi yang dikenal oleh IgGl
dan IgG3 dari penderita elephantiasis adalah berat molekul > 68 Kd, sedangkan pada
penderita yang mikrofilaremik komponen protein yang dikenal < 68 Kd.
IgG3 mempunyai kemampuan mengikat komplemen paling besar di antara subkelas
yang lain. Bila terjadi ikatan IgG3 dengan antigen baik spesifik atau nonspesifik dapat
menyebabkan teraktivasinya sistim komplemen dengan serangkaian reaksi, hal ini
dapat menyebabkan rusaknya antigen tersebut. Hasil ini menimbulkan dugaan bahwa
peran IgG3 pada filariasis adalah sebagai imunoprotektor. Tentunya hal ini perlu
didukung oleh penelitian lebih lanjut.
Peran IgG2 pada filariasis masih sangat diragukan, mengingat kemampuan
IgG2 untuk mengikat komplemen sangat rendah, di samping ternyata IgG2 juga
mempunyai kemampuan kuat mengikat polisakharida. Respon IgG4 banyak dikaitkan
dengan respon IgE. Bila kadar IgG4 tinggi dalam darah, hal ini dapat sebagai
indikator keadaan infeksi yang aktif dan ditemukannya mikrofilaria di dalam darah.
Biasanya keadaan ini disertai dengan rendahnya kemampuan respon seluler. Pola
pengenalan IgG4 terhadap komponen protein cacing filaria banyak dikaitkan dengan
IgE. Komponen protein cacing filaria dewasa maupun mikrofilaria yang dikenal oleh
IgG4 juga dikenal oleh IgE.

Tugas mata kuliah helmintomologi

Seperti diketahui, di permukaan sel basophil dan sel mast terdapat reseptor
untuk IgE. Bila ikatan IgE dan sel basophil atau sel mast banyak beredar dalam darah,
kemudian bertemu dengan antigen spesifikmaka akan terjadi robekan permukaan selsel tersebut dan terjadi pembebasan histamin. Bila IgG4 hadir dalam jumlah banyak di
dalam darah akan terjadi dua kemungkinan; pertama kompetisi antara IgE dan IgG4
dalam mengikat antigen; bila terjadi ikatan antigen-IgG4 maka ikatan antigen-IgE-sel
basophil tidak terjadi sehingga tidak ada pembebasan histamin dan reaksi alergi,
kemungkinan ke dua bila IgG4 setelah mengikat antigen kemudian menempel pada
reseptor di permukaan sel basophil atau sel mast sehingga IgE tidak dapat menempel
pada permukan sel sehingga pembebasan histamin tidak terjadi.
Pada filariasis konsentrasi IgE umumnya tinggi. Konsentrasi tertinggi terdapat
pada penderita TPE (8630 g/ml), penderita elephantiasis dan kelompok tanpa gejala
klinis baik yang mikrofilaremik maupun amikrofilaremik mempunyai kandungan IgE
dua kali normal. Meskipun semua bentuk klinis filariasis mempunyai kadar IgE
tinggi, gejala alergi hanya terjadi padaTPE saja; hal ini karena adanya faktor bloking
oleh IgG4.
PERAN SITOKIN
Fungsi sitokin pada filariasis masih belum banyak diketahui. Pada dasarnya
sitokin adalah suatu protein yang diproduksi oleh sel limfosit T dan memegang peran
penting pada pengaturan respon imun penyakit. Penelitian tentang respon imun pada
infeksi parasit menunjukkan bahwa sel CD+4 dan CD+8 adalah sel limfosit yang
berperan sebagai mediator sistim proteksi dan imunopatologik. Berdasarkan sitokin
yang dihasilkan dalam kaitannya dengan respon imun, sel CD+4 dibagi menjadi dua
kelompok sel : Thl dan Th2. Sitokin penting yang diproduksi oleh sel Thl adalah IL-2
(Interleukin-2) dan IFN gama (Interferon gama). IL-2 terutamaberperan dalam proses
diferensiasi sel limfosit sitotoksik (CTL), dan sel B. IFN gama berperan terutama
untuk mekanisme pertahanan, yaitu: proses aktivasi makrofag, meningkatkan proses
killing

intraseluler,

meningkatkan

proses

ADCC

(AntibodyDependent

Cell

Cytotoxicity), menstimulasi proliferasi sel B, meningkatkan produksi IgG2 oleh sel B


dan menetralkan efek IL-4 pada sel B.
Sitokin yang diproduksi oleh sel Th2 adalah: IL-4, IL-5 dan IL-6; IL-4
terutama berperan sebagai faktor perkembangan dan aktivasi sel B, perkembangan sel
mast, meningkatkan produksi IgE dan MHC kelas II dari sel B. IL-5 berperan pada

Tugas mata kuliah helmintomologi

perkembangan sel B untuk berproliferasi, meningkatkan produksi IgA. Peran IL-6


adalah menstimulasi proliferasi sel-sel plasmasitoma dan hibridoma, timosit dan selsel hemipoetik progenitor, stimulasi sel B untuk memproduksi antibodi.
Dikemukakan 4 macam kemungkinan mekanisme respon imun;
Mekanisme pertama dalam respon imun hanya melibatkan sel Th l saja,
karena sel Th2 tidak berperan dalam sekresi sitokin maka terjadi sekresi IFN gama,
IL-2 dan LT yang berlebih, akibatnya terjadi inaktivasi sel B, tidak ada sekresi
antibodi, aktivasi makrofag, respon DTH kuat dan supresi sel Th2, keadaan ini
mengakibatkan parasit-parasit intrasel dapat terbunuh dengan efektif.
Mekanisme kedua, bila terjadi respon sel Th1 yang kuat tetapi disertai dengan
sedikit respon sel Th2, pengaruh IFNgama, IL-2 dan LT berkurang karena adanya
pengaruh IL-4, IL-5 dan IL-6 yang diproduksi oleh sel Th2. Terjadi aktivasi sel B dan
produksi antibodi, respon DTH tidak sekuat pada mekanisme pertama.
Mekanisme ketiga, yaitu bila terjadi respon sel Th2 yang kuat, tetapi sedikit
respon sel Th1. Terjadi sekresi IL-4, IL-5 mungkin masih terjadi, mungkin juga tidak
banyak dilakukan, tetapi umumnya belum didapatkan jawaban yang memuaskan.
Penelitian yang dilakukan oleh Freedman dan kawan-kawan menunjukkan bukti
bahwa pada filariasis komponen utama yang terlibat dalam respon imun adalah sel-sel
endothelium yang terdapat pada dinding pembuluh vaskuler maupun limfatik, di
bawah pengaruh sitokin. Dalam penelitiannya ditunjukkan IFN gama yang tinggi,
filariasis menunjukkan bahwa penderita tanpa filaremik mmpunyai kadar IFN gama
238 pg, hal ini menunjukkan bahwa bila terdapat kandungan ini akan menstimulasi
sel-sel endothel untuk mengkspresikan MHC kelas I pada permukaan selnya. Hal ini
akan mengakibatkan bertambahnya kepekaan anti filaria CTL (sel imfosit sitotoksik),
terutama di lokasi radang di mana didapatan juga agen parasitnya. Bertambahnya
aktivitas CTL spesifik akan meningkatkan pula mekanisme ADCC, yang akan
menyebabkan aktivitas killing dari limfosit lebih efektif.
Mekanisme keempat, bila respon imun hanya melibatkan sel Th2 saja, pada
mekanisme ini terjadi sekresi dan IL-6 yang cukup, dapat menyebabkan sekresi
antibodi lebih baik dibandingkan dengan yang terjadi pada mekanisme 1 dan 2.
Produksi IgG2a, IgG 1 karena pengaruh IL-4, IgE tidak mencolok karena masih ada
pengaruh IFN gama. Penelitian respon sitokin pada filariasis, antibodi dalam
konsentrasi yang tinggi, tidak terjadi aktivasi DTH. Karena terdapat IL-4 dalam
Tugas mata kuliah helmintomologi

10

jumlah banyak maka terjadi sekresi IgE dalam jumlah banyak, makrofag juga
teraktivasi tetapi tidak sama dengan keadaan bila respon imun karena pengaruh sel
Thl, adanya IL-5 menyebabkan aktivasi fungsi eosinophil, dengan demikian
gambaran klinis yang timbul adalah gejala alergi.

E.

DIAGNOSIS

1.

Diagnosis Klinik
Ditegakkan melalui anamnesis dan pemeriksaan klinik. Diagnosis klinik

penting dalam menentukan angka kesakitan akut dan menahun (Acute and Chronic
Disease Rate).
Pada keadaan amikrofilaremik, gejala klinis yang mendukung dalam diagnosis
filariasis adalah gejala dan pengalaman limfadenitis retrograd, limfadenitis berulang
dan gejala menahun.
2.

Diagnosis Parasitologik
Ditemukan mikrofilaria pada pemeriksaan darah jari pada malam hari.

Pemeriksaan dapat dilakukan slang hari, 30 menit setelah diberi dietilkarbamasin 100
mg. Dari mikrofilaria secara morfologis dapat ditentukan species cacing filaria.
Pada

keadaan

amikrofilaremia

seperti

pada

keadaan

prepaten,

inkubasi,

amikrofilaremia dengan gejala menahun, occult filariasis, maka deteksi antibodi


dan/atau antigen dengan cara immunodiagnosis diharapkan dapat menunjang
diagnosis.
Adanya antibodi tidak menunjukkan korelasi positif dengan mikrofilaremi, tidak
membedakan infeksi dini dan infeksi lama. Deteksi antigen merupakan deteksi
metabolit, ekskresi dan sekresi parasit tersebut, sehingga lebih mendekati diagnosis
parasitologik, antibodi monokional terhadap O.gibsoni menunjukkan korelasi yang
cukup baik dengan mikrofilaremia W. bancrofti di Papua New Guinea.

3.

Diagnosis Epidemiologik

Tugas mata kuliah helmintomologi

11

Endemisitas

filariasis

suatu

daerah

ditentukan

dengan

menentukan

microfilarial rate (mf rate), Acute Disease Rate (ADR) dan Chronic Disease Rate
(CDR) dengan memeriksa sedikitnya 10% dari jumlah penduduk.
Pendekatan praktis untuk menentukan daerah endemis filariasis dapat melalui
penemuan penderita elefantiasis.
Dengan ditemukannya satu penderita elefantiasis di antara 1000 penduduk, dapat
diperkirakan ada 10 penderita klinis akut dan 100 yang mikrofilaremik.
F.

PENGOBATAN
Dietilkarbamasin adalah satu-satunya obat filariasis yang ampuh baik untuk

filariasis bancrofti maupun malayi, bersifat makrofilarisidal dan mikrofilarisidal.


Obat ini ampuh, aman dan murah, tidak ada resistensi obat, tetapi memberikan reaksi
samping sistemik dan lokal yang bersifat sementara dan mudah diatasi dengan obat
simtomatik. Dietilkarbamasin tidak dapatdipakai untuk khemoprofilaksis.
Pengobatan diberikan oral sesudah makan malam, diserap cepat mencapai konsentrasi
puncak dalam darah dalam 3 jam, dan diekskresi melalui air kemih. Dietilkarbamasin
tidak diberikanpada anak berumur kurang dari 2 tabula, ibu hamil/menyusui, dan
penderita sakit berat atau dalam keadaan lemah.
Pada filariasis bancrofti, Dietilkarbamasin diberikan selama 12 hari sebanyak 6
mg/kg berat badan, sedangkan untuk filariasis malayi diberikan 5 mg/kg berat badan
selama 10 hari. Pada occult filariasis dipakai dosis 5 mg/kg BB selama 23 minggu.
Pengobatan sangat baik hasilnya pada penderita dengan mikrofilaremia, gejala
akut, limfedema, chyluria dan elephantiasis dini. Sering diperlukan pengobatan lebih
dari 1 kali untuk mendapatkan penyembuhan sempurna. Elephantiasis dan hydrocele
memerlukan penanganan ahli bedah.
Reaksi samping Dietilkarbamasin sistemik berupa demam, sakit kepala, sakit pada
otot dan persendian, mual, muntah,menggigil, urtikaria, gejala asma bronkial
sedangkan gejala lokal berupa limfadenitis, limfangitis, abses, ulkus, funikulitis,
epididimitis, orchitis dan limfedema. Reaksi samping sistemik terjadi beberapa jam
setelah dosis pertama, hilang spontan setelah 25 hari dan lebih sering terjadi pada
penderita mikrofilaremik.
G.

PEMBERANTASAN FILARIASIS

Tugas mata kuliah helmintomologi

12

Pemberantasan filariasis ditujukan pada pemutusan rantai penularan dengan


cara pengobatan untuk menurunkan morbiditas dan mengurangi transmissi.
Pemberantasan filariasis di Indonesia dilaksanakan oleh Puskesmas dengan tujuan :
1.

Menurunkan Acute Disease Rate (ADR) menjadi 0%

2.

Menurunkan nf rate menjadi < 5%

3.

Mempertahankan Chronic Disease Rate (CDR)

4.

Kegiatan pemberantasan nyamuk terdiri atas :


a.

Pemberantasan nyamuk dewasa

Anopheles : residual indoor spraying


Aedes : aerial spraying
b.

Pemberantasan jentik nyamuk

Anopheles : Abate 1%
Culex : minyak tanah
Mansonia : melenyapkan tanaman air tempatperindukan, mengeringkan rawa dan
saluran air
c. Mencegah gigitan nyamuk
Menggunakan

kawat

nyamuk/kelambuMenggunakan

repellent

Kegiatan

pemberantasan nyamuk dewasa dan jentik tidak masuk dalam program pemberantasan
filariasis diPuskesmas yang dikeluarkan oleh P2MPLP pada tahun 1992.
Penyuluhan tentang penyakit filariasis dan penanggulangannya perlu dilaksanakan
sehingga terbentuk sikap dan perilaku yang baik untuk menunjang penanggulangan
filariasis.
Sasaran penyuluhan adalah penderita filariasis beserta keluarga dan seluruh penduduk
daerah endemis dengan harapan bahwa penderita dengan gejala klinik filariasis segera
memeriksakan diri ke Puskesmas, bersedia diperiksa darah jari dan minum obat DEC
secara lengkap dan teratur serta menghindarkan diri dari gigitan nyamuk.
Evaluasi hasil pemberantasan dilakukan setelah 5 tahun, dengan melakukan
pemeriksaan vektor dan pemeriksaan darah tepi untuk deteksi mikrofilaria.
H.

EPIDEMIOLOGI FILARIA DI INDONESIA

Tugas mata kuliah helmintomologi

13

Filariasis erupakan penyakit yang disebabkan oleh parasit filaria yang


menyerang kelenjar dan pembuluh getah bening Di Indonesia filariasis limfatik
disebabkan oleh Wuchereria bancrofti (filariasis bancrofti) serta Brugia malayi dan
Brugiatimori (filariasis brugia) dan dikenal umum sebagai penyakit kaki gajah atau
demam kaki gajah. Diagnosis pasti ditegakkan dengan ditemukan mikrofilaria dalam
peredaran darah.
W. bancrofti dan B. timori hanya ditemukan pada manusia. Berdasarkan sifat
biologik B. malayi di Indonesia didapatkan dua bentuk yaitu bentuk zoophilic dan
anthropophilic. Periodisitas mikrofilaria di peredaran darah pada jenis infeksi yang
hanya ditemukan pada manusia bersifat noktumal, sedangkan yang ditemukan pada
manusia dan hewan (kera dan kucing) dapat aperiodik, sub-periodik atau periodik.
Filariasis ditularkan melalui vektor nyamuk Culex quinque-fasciatus di daerah
perkotaan dan oleh Anopheles spp., Aedes spp. dan Mansonia spp. di daerah
pedesaan. Di dalam nyamuk, mikrofilaria yang terisap bersama darah berkembang
menjadi larva infektif. Larva infektif masuk secara aktif ke dalam tubuh hospes waktu
nyamuk menggigit hospes dan berkembang menjadi dewasa yang melepaskan
mikrofilaria ke dalam peredaran darah. Filariasis ditemukan di berbagai daerah
dataran rendah yang berawa dengan hutan-hutan belukar yang umumnya didapat di
pedesaan di luar JawaBali. Filariasis brugia hanya ditemukan di pedesaan sedangkan
filariasis bancrofti didapatkan juga di perkotaan. Prevalensi filariasis bervariasi antara
2% sampai 70% pada tahun 1987.
Penyakit kaki gajah di Indonesia disebabkan oleh tiga spesies cacing filaria
yaitu Wuchereria bancrofti, Brugia malayi, Brugiatimori, sedangkan vektor
penyakitnya adalah nyamuk. Nyamuk yang menjadi vektor filaria di Indonesia hingga
saat ini telah diketahui terdapat 23 spesies nyamuk dari genus Mansonia, Anopheles,
Culex, Aedes dan Armigeres. Menurut Soedarto (1989) sejumlah nyamuk yang
termasuk dalam genus Culex dikenal sebagai vektor penyakit menular. Culex
gunguefasciatus atau Culex fatigans menyukai air tanah dan rawa-rawa sebagai
tempat berkembang biaknya, vektor ini dapat menularkan demam kaki gajah pada
manusia. Beberapa jenis culex lainnya berkembang biaknya berbeda-beda jenisnya
baik berupa air hujan dan air lainnya yang mempunyai kadar bahan organik yang
tinggi. Umumnya menyukai segala jenis genangan air terutama yang terkena sinar
matahari. Menurut Hudoyo (1983) Anopheles barbirotris tempat perkembangannya

Tugas mata kuliah helmintomologi

14

adalah di air tawar yang tergenang di tempat terbuka baik alamiah (rawa-rawa)
maupun buatan atau kolam, di air mengalir yang perlahan-lahan ditumbuhi tanaman
air. Di beberapa daerah, terutama di pedesaan penyakit ini masih endemis. Sumber
penularnya adalah penderita penyakit kaki gajah baik yang sudah menimbulkan
gejala-gejala ataupun tidak, karena didalam darah terdapat mikrofilaria yang dapat
ditularkan oleh nyamuk.
Menurut Menkes (2009) menyebutkan, saat ini di Indonesia tercatat 11 ribu
orang menderita penyakit kaki gajah yang tampak, dimana telah terjadi pembesaran di
kaki dan kelenjar getah bening lainnya. Pendudu yang terinfeksi tentunya jauh lebih
banyak, mereka akan diketahui setelah dilakukan tes darah.
Tetapi hal ini juga sulit dilakukan karena micro filaria hanya dapat terdeteksi
pada malam hari, sehingga penemuan kasus Filariasis menjadi sulit. Dijelaskannya,
filariasis ditularkan melalui nyamuk, karena sifatnya yang demikian maka hal yang
harus dilakukan yakni, jika ada seseorang di suatu daerah terkena kaki gajah maka
harus dilakukan pengobatan bagi seluruh penduduk dengan pemberian obat
(pengobatan masal) satu kali selama satu tahun berturut turut hingga lima tahun.
Di Indonesia sebenarnya sudah memiliki program pengobatan masal hasil
rekomendasi WHO ini sejak tahun 1970-an dan sudah ada maping yang menunjukkan
bahwa filariasis terjadi di 386 kab/kota bukan hanya di kantong-kantong tetapi sudah
merata, sejak tahun 2002 juga sudah dilakukan pengobatan masal, ada sekitar 32 juta
orang yang sudah meminum obat. Untuk itu menurutnya, filariasis harus diatasi
secara serius karena selain menyebabkan orang menjadi tidak produktif, meskipun
dapat sembuh namun akan terjadi kecacatan.

BAB III

Tugas mata kuliah helmintomologi

15

SIMPULAN DAN SARAN


A.

SIMPULAN
1.

Filariasis di Indonesia masih merupakan problem kesehatan Masyarakat


yang memberikan dampak ekonomi sosial yang negatif berupa
produktivitas kerja yang menurun dan beban ekonomi sosial bagi yang
menderita elephantiasis.

2.

Pemberantasan filariasis perlu dilaksanakan dengan tujuan menghentikan


transmisi, diperlukan program yang berkesinambungan dan memakan
waktu lama, mengingat masa hidup dari cacing dewasa yang cukup lama.

3.

Meskipun filariasis menunjukkan spektrum manifestasiklinik yang luas,


pengobatan dengan dietilkarbamasin diberikan dalam regimen yang sama.

4.

Tingkat kesembuhan tinggi bila penemuan dalam fase awal dan belum ada
gejala menahun.

5.

Deteksi

daerah

endemis

dilakukan

melalui

penemuan

penderita

elephantiasis dan pemberantasan dilaksanakan oleh Puskesmas melalui


pengobatan dan penyuluhan.
B.

SARAN
1.

Menjaga kebersihan diri dan lingkungan merupakan syarat utama untuk


menghindari infeksi filariasis.

2.

Pemberantasan nyamuk dewasa dan larva perlu dilakukan sesuai aturan


dan indikasi.

3.

Meningkatkan surveilans epidemiologi di tingkat Puskesmas untuk


penemuan

dini

kasus

Filariasis,

sehingga

dapat

meningkatkan

kesembuhan. Evaluasi pemberantasan dilaksanakan setelah 5 tahun.

DAFTAR PUSTATAKA
Tugas mata kuliah helmintomologi

16

BARR, A. R. 1969. 1970. In: Proceedings of the 37th Annual Conference of the
California Mosquito Control Association Inc.,
Basundari Sri Utami, 1990, PusatPenelitianPenyakitMenular,BadanPenelitian
danPengembanganKesehatanDepartemenKesehatanRI,Jakarta
Cartel JL, et al. 1992.

Wuchereria bancrofti infection in human and mosquito

populations of a Polynesian village ten years after interruption of mass


chemoprophylaxix with diethylcarbamazine. Trans R Soc Trop Med Hyg.
Chandra G et al, 1996. Age composition of filarial vector Culex quinquefasciatus
(Diptera: Culicidae) in Calcutta. Bull Ent Res.
Depkes RI,Ditjen PPM & PL- Direktorat P2B2 Subdit Filariasis & Schistosomiasis,
2002, Pedoman Pengobatan Massal Penyakit Kaki Gajah (Filariasis), Jakarta.
Departemen Kesehatan RI. 1988. Petunjuk Pelaksanaan Pemberantasan Penyakit
Kaki Gajah di Puskesmas,
Departemen Kesehatan RI. 1992 Petunjuk Pelaksanaan Pemberantasan Penyakit
Kaki Gajah di Puskesmas,.
Das SC, Bhuyan M, Chakraborty BC. 1988. Field trials on the relative efficacy of
three repellents against mosquitoes. Indian J Med Res
De Meillon B et al, 1967, Evaluation of Wuchereria bancrofti infection in Culex
pipiens fatigans in Rangoon, Burma. Bull World Health Organ.
Dedeine F, et all, 2001. Removing symbiotic Wolbachia bacteria specifically inhibits
oogenesis in a parasitic wasp. Proc Natl Acad Sci U S A.
Hoerauf A, et all. 2002.Antibiotics for the treatment of onchocerciasis and other
filarial infections. Curr Opin Investig Drugs.
ILTIS, W. G. ET AL. 1956. Bulletin of the World Health Organization.
Katrina Volume 13, , 2005 New Treatment for Elephantitis: Antibiotics, The Journal
of Young Investigators
McLaren DJ et al, 1975 Micro-organisms in filarial larvae (Nematoda). Trans R Soc
Trop Med Hyg.

Tugas mata kuliah helmintomologi

17

Partono F Pumomo, 1987, Periodicity studies of B. malayi in Indonesia: recent


findings and a modified classification of the parasite. Trans Roy Soc Trop Med
Hyg.
Rutledge LC, Moussa et al, 1978. Comparative sensitivity of mosquito species and
strains to repellent Diethyltoluamide. J Med Entomol
Srisasi Gandahusada, dkk 1988Parasitologi Kedokteran. Eds I lahude. Balai Penerbit
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,.
Soedarto, 1990 Entomologi Kedokteran, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta,
Sholdt LL, et all 1988 I.Fieldbioassays of Permethrintreated uniforms and new
extended duration repellent against mosquitoes Pakistan. J Am Mosq Control
Assoc
Schreck CE, et all, 1984, The effectiveness of Permethrin and Deet, alone or in
combination, for protection against Aedes taeniorhynchus. Am J Trop. Med Hyg
Taylor MJ et all 2001. A new approach to the treatment of filariasis. Curr Opin Infect
Dis.
The Carter Center, 2007, Summary of the Third Meeting of the International Task
Force for Disease Eradication
WHO. 1984 Lymphatic filariasis. Techn Rep Ser ,.

Tugas mata kuliah helmintomologi

18

Anda mungkin juga menyukai