Anda di halaman 1dari 53

STUDI FASIES TURBIDIT

1. Landasan Teori
Pengertian Arus Turbidit
Lingkungan
khusus

pengendapan

adalah

suatu

seting

geomorfologi

dengan karakteristik fisika, kimia dan proses biologi yang mencirikan

terjadinya

mekanisme

pengendapan

tertentu

(Shanmugam

Deep-Water

Processes And Facies Models: Implications For Sandstone Petroleoum


Reservoirs,

2005).Walker,

Response

To

Sea

Level

Change, 1992,

mengatakan konsep dari arus tubidit bersifat simpel dan elegan. Simpel karena
setiap endapan turbidit adalah hasil dari satu even pendek yang singkat, satu
kali pengendapan. Sedangkan elegan karena dari suatu even yang pendek dan
singkat tersebut menghasilkan ribuan dari lapisan batupasir dengan struktur
perlapisan bersusun selang-seling

dengan lapisan

batulempung,

yang

merupakan hasil dari even yang sama. Tidak ada volum suatu batuan sedimen
yang lebih besar dari pada endapan turbidit.
Menurut (Walker, 1973) turbidit adalah suatu endapan dari arus
turbid, dimana arus turbid itu sendiri didefinisikan sebagai arus densitas yang
mempunyai berat jenis yang berbeda dengan cairan di sekitarnya (umumnya
air laut), karena arus tersebut mengandung endapan yang terhambur .
Middleton & Hampton (1973), menyatakan bahwa aliran yang
terdiri dari sedimen yang bergerak turun karena gravitasi, disebut sediment
gravity flow atau disebut juga sebagai arus densitas (Koesoemadinata 1980).
Arus densitas merupakan lengseran- lengseran dari onggokan sedimen yang
lerengnya telah menjadi tidak stabil dan meluncur karena suatu gaya.
Luncuran-luncuran

ini

kemudian

menghasilkan

slumps (permulaan

lengseran) yang kemudian berkembang menjadi suatu arus dimana butiran

butiran tersebut yang akan menghasilkan arus.


Ciri-ciri endapan Turbidit :
Endapan
sekaligus

turbidit

mempunyai

karakteristik

tertentu

dapat dijadikan sebagai ciri pengenalnya.

yang

Namun perlu

diperhatikan bahwa ciri itu bukan hanya berdasarkan suatu sifat tunggal
sehingga

tidak

bisa

secara

langsung

untuk mengatakan bahwa suatu

endapan adalah endapan turbidit. Hal ini mengingat bahwa banyak struktur
sedimen tersebut, yang juga berkembang pada sedimen yang bukan turbidit
(Keunen, 1964).
Karakteristik endapan turbidit pada dasarnya dapat dikelompokan ke
dalam dua bagian besar berdassarkan litologi dan struktur sedimen, yaitu :
1) Karakteristik Litologi
a) Terdapat perselingan tipis yang bersifat ritmis antar batuan berbutir
relatif kasar dengan batuan yang berbutir relatif
ketebalan

lapisan

halus, dengan

beberapa milimeter sampai beberapa

puluh

centimeter. Umumnya perselingan antar Batupasir dan serpih. Batas


atas dan bawah lapisan datar, tanpa adanya penggerusan (scouring).
b) Pada lapisan batuan berbutir kasar memiliki pemilahan buruk dan
mengandung mineral-mineral

kuarsa,

feldspar,

mika,

juga banyak didapatkan matrik lempung. Kadang-kadang

glaukonit,
dijumpai

adanya fosil rework, yang menunjukan lingkungan laut dangkal.


c) Pada beberapa lapisan batupasir dan batulanau didapatkan adanya
fragmen tumbuhan.
d) Kontak perlapisan yang tajam, kadang berangsur menjadi endapan pelagik.
e) Pada

perlapisan

batuan,

terlihat

adanya

struktur

sedimen

tertentu yang menunjukan proses pengendapannya turbudit yaitu


antara lain

perlapisan bersusun,

perlapisan

sejajar,

bergelombang, konvolut, dengan urut- urutan tertentu.

perlapisan

f) Sifat-sifat penunjukan arus,memperlihatkan pola aliran yang hampir


seragam saat suplai terjadi.
Karakteristik tersebut tidak selalu harus ada pada suatu endapan
turbidit. Dalam hal ini lebih merupakan suatu alternatif, mengingat
bahwa suatu endapan turbidit juga dipengaruhi oleh faktor-faktor
lainnya yang akan memberikan ciri yang berbeda dari suatu tempat ke
tempat lain.
2) Karakteristik Struktur sedimen
Menurut Bouma (1962) dalam hal pengenalan endapan turbidit
salah satu ciri yang penting adalah struktur sedimen, karena
mekanisme pengendapan arus turbid
sedimen

tertentu.

Banyak

klasifikasi

memberikan
struktur

karakteristik
sedimen

hasil

mekanisme arus turbid, salah satunya karakteristik genetik dari Selly


(1969). Selly (1969)

mengelompokan struktur sedimen menjadi 3

berdasarkan proses pembentukannya :


a) Struktur Sedimen Pre-Depositional
Merupakan struktur sedimen yang terjadi sebelum pengendapan
sedimen, yang berhubungan dengan proses erosi oleh bagian kepala
(head) dari suatu arus turbid (Middleton, 1973). Umumnya pada
bidang batas antara

lapisan Batupasir dan serpih. Beberapa

struktur sedimen yang antara lain flute cast, groove cast.


b) Struktur Sedimen Syn-Depositional
Struktur yang terbentuk bersamaan

dengan

pengendapan

sedimen, dan merupakan struktur yang penting dalam penentuan


suatu endapan turbidit. Beberapa struktur sedimen yang penting
diantaranya adalah perlapisan bersusun, perlapisan sejajar dan
perlapisan bergelombang.

c) Struktur Sedimen Post-Derpositional


Struktur sedimen yang dibentuk setelah terjadi pengendapan
sedimen, yang umumnya berhubungan dengan proses deformasi.
Salah satunya struktur pembebanan.
Umumnya struktur sedimen yang ditemukan pada endapan
turbidit adalah struktur sedimen yang terbentuk karena proses
sedimentasi,

terutama

yang terjadi karena proses pengendapan

suspensi dan arus.


Mekanisme Pembentukan Endapan Turbidit
Middleton (1967) menyatakan bahwa arus turbid merupakan salah satu
tipe dari arus kerapatan (density current), dimana arus bergerak secara gaya
berat, karena adanya perbedaan kerapatan antara

arus dengan cairan di

sekeliingnya, yang disebabkan oleh adanya dispersi sedimen pada suatu


tempat (misalnya : muara sungai atau delta), dimana sedimen banyak
terakumulasi karena adanya faktor pemicu, misalnya : suatu gempa bumi,
tsunami,dll,

mulai bergerak

dan meluncur secara tiba-tiba ke arah

bawah cekungan. Saat sedimen tersebut mulai meluncur ke bawah akan


membentuk slump. Slump tersebut bergerak perlahan-lahan dan berangsurangsur

menjadi

lebih

cepat disebabkan adanya pengurangan viskositas.

Selanjutnya massa sedimen akan bergerak sampai pada lereng yang curam,
maka terjadilah kenaikan kecepatan dan pergerakan selanjutnya berubah
menjadi arus turbid, sehingga butiran kasar akan terkonsentrasi pada bagian
kepala arus, sedangkan yang lebih halus di bagian ekor. Karena pengaruh
gravitasi maka arus turbid akan bergerak ke bawah mengikuti ngarai di bawah
samudera.
Pada saat mendekati daerah pengendapannya, kecepatan arus mulai
berkurang karena

penurunan gravitasi akibat

kemiringan

lereng

yang

semakin landai.Dalam kondisi seperti ini

maka bagian kepala dari arus

akan mengerosi lapisan dibawahnya membentuk struktur sedimen scour


mark.Sesuai dengan sifat-sifat kerapatan arus, maka pengendapan akan terjadi
sekaligus, sehingga sedimen yang diendapkan mempunyai pemilahan yang
sangat

buruk.

terkumpul

Dalam hal ini material-material yang lebih berat akan

pada bagian depan arus turbid, sedangkan material halus akan

terperangkap bersama-sama.Endapan yang pertama terbentuk adalah Batupasir


berstruktur perlapisan bersusun. Selanjutnya arus akan semakin lemah dan
sedimen

yang

halus

akan diendapkan. Apabila

kecepatan

arus

telah

hilang, maka akan terjadi pengendapan

lempung pelagik dalam suasana suspensi yang menunjukan kondisi lingkungan


bernergi rendah (Gambar 1).
Gambar 1. Skema arus turbidit dan hasil endapannya ( Mulder &
Alexander ,2001)

Bouma (1962) menyimpulkan bahwa partikel-partikel

sedimen

bergerak tanpa bantuan benturan atau seretan air, tetapi bergerak dibawah
permukaan air yang relatif tenang (stagnant water). Massa sedimen bisa
saja tidak tercampur air secara baik sehingga mengakibatkan massa
sedimen tersebut terlalu encer untuk melengser dan membentuk arus turbid.
Sedimen yang berbutir kasar tidak menempati bagian kepala dan apabila
terendapkan massa sedimen kasar akan membentuk fluxoturbidite yaitu
endapan antara nendatan dan arus turbid (Dzulynski, dkk, 1959).
Menurut

Koesoemadinata

(1972)

pengendapan

arus

turbid

merupakan suatu keadaan massa teronggok pada lereng benua, yang secara
tiba-tiba dapat meluncur dengan kecepatan tinggi bercampur dengan air,
yang merupakan suatu aliran menuju laut dalam. Disini partikel-partikel
sedimen bergerak tanpa bantuan benturan /seretan air,

melainkan

oleh

energi inersia, dimana energi potensial diubah menjadi energi kinetik,


kemudian pengendapan terjadi segera setelah energi kinetik habis.
Middleton dan Hampton (1973) memperkenalkan istilah

sediment

gravity flow untuk menerangkan mekanisme pengangkutan Batupasir dan


sedimen
pematang

klastik

kasar lainnya dalam

lingkungan

bawah samudra (submarine canyons).

laut

dalam melalui

Dalam hal ini istilah

sediment gravity flow, digunakan secara umum untuk aliran sedimen atau
campuran sedimen fluida dibawah pengaruh gaya berat. Berdasarkan gerakan
relatif antar butir dan jaraknya dari sumber.
Mutti dan Ricci Luchi (1972), mengatakan bahwa fasies
suatu lapisan atau kumpulan lapisan yang memperlihatkan

adalah

karakteristik

litologi, geometri dan sedimentologi tertentu yang berbeda dengan batuan


di sekitarnya. Suatu mekanisme yang bekerja serentak pada saat yang sama.
Asosiasi fasies didefinisikan sebagai suatu kombinasi dua atau lebih fasies

yang membentuk suatu tubuh batuan dalam berbagai skala dan kombinasi.
Asosiasi

fasies ini mencerminkan lingkungan pengendapan atau proses

dimana fasies-fasies itu terbentuk.


Mekanisme Pengendapan dan Struktur Sedimen.
Ada beberapa mekanisme pengendapan dari material hasil transport
material sedimen yang tentukan akan menghasilkan beberapa macam jenis
struktur

sedimen

yang

berbeda

dipengaruhi

oleh

factor

mekanisme

pengendapannya tersebut.
Berikut adalah beberapa jenis mekanisme pengendapan material
sedimen dalam kaitannya sebagai penciri adannya aktifitas turbidit yaitu :
1. Peluncuran .
terjadi dekat dasar sehingga mempunyai kekuatan untuk mengikis, hal
ini akan berakibat terjadinya struktur pada alas lapisan misalnya: Drag
cast, flute cast (cetak suling), scouring, dan sebagainya.
2. Fraksi kasar.
Sedimentasi

terjadi

segera

setelah

arus

kehilangan

tenaga.Karena

pengendapan berlangsung cepat, sehingga endapan yang terjadi terpilah


buruk dan fraksi kasar berkesempatan mengendap terlebih dahulu,
sehingga membentuk perlapisan bersusun/ Gradded bedding (interval a
Bouma ' 62). Pada bagian atasnya pemilahan berkembang semakin baik
dan struktur sedimen yang terbentuk adalah perlapisan sejajar/ parallel
lamination (interval b Bouma ' 62) (Gambar 2).
3. Fraksi halus.
Fraksi halus lebih lama tertinggal di media dalam keadaan keruh.
Pengendapan mula-mula berlangsung dengan adanya aliran fraksi dari
suatu suspensi. Dengan demikian secara berurut terjadi climbing ripple,
current ripple, recumbent folded laminae, convolute lamination (interval

c Bouma 1962).Sedimen yang teronggok pada suatu lereng dapat tibatiba meluncur dengan kecepatan tinggi bercampur dengan air berupa
suatu aliran padat (density current).Partikel-partikel sedimen bergerak
tanpa benturan/seretan air, tetapi inertia flow.Energi potensial/ gravity
dirubah menjadi energi kinetik, pengendapan terjadi segera
energi kinetic habis.Umumnya
laut

dalam

dangkal,

turbidit

meskipun sebenarnya

bahkan

merupakan

ditafsirkan
bisa

saja

sebagai
terjadi

setelah
endapan

pada

laut

endapan danau.Pada akhir pengendapan

drift sudah tidak ada lagi, sehingga yang terbentuk adalah pengendapan
suspensi. Struktur yang terjadi yaitu laminasi sejajar (interval d Bouma '
62), disusul endapan pelitis (interval e Bouma ' 62).

Gambar 2. Sikuen turbidit (Bouma 1962), memperlihatkan struktur


sedimen,ukuran butir dan kondisi pengendapan.
Berdasarkan atas gerakan relatif antar partikel selama masa sedimen
bergerak dan jarak dari sumber, maka arus densitas dibagi menjadi empat
(MiddletonHampton, 1975,Gambar 4) ,serta untuk hubungan antara proses

transport dengan jarak telah dijelaskan oleh Keling dan Stanley,1976 (Gambar
3) yaitu:
1. Aliran turbid (turbidity current),
Dimana butir-butir telah lepas sama sekali dan masing-masing butir
didukung oleh fluida (telah terinduksi menjadi turbulen).
2. Aliran sedimen yang difluidakan (fluidized sediment flow),
Butir yang lepas di dukung oleh cairan yang diperas ke atas antar butir.
Butir-butir masih bersentuhan. Pengedapan terjadi bila air pori telah
terperas keluar secara vertikal, dan akan menghasilkan struktur mangkok
(dish structure).Menghasilkan tipe endapan proximal turbidite.
3. Aliran butir (grain flow),
Dimana butir-butir belum lepas dan dalam mengalir masih sering
bersentuhan. Dalam hal ini peran media hampir tidak ada. Matrik berupa
pasir dan mengendap sekaligus. Debris flow dan grain flow menghasilkan
fluxo turbidite.
4. Aliran debris (debris flow),
Dimana butir-butir kasar masih didukung oleh matriks (massa

dasar)

campuran sedimen yang lebih halus dan media (air) dan

masih

mempunyai kekuatan.Jika butir-butir ini masih mempunyai kekuatan dan


relatif merupakan massa dan terdapat kohesi antara butir, maka hal ini
disebut slump (lengseran), sehingga masih bersifatplastis.

Gambar 3. Klasifikasi proses-proses arus densitas (Middleton &


Hampton, 1973). Dan Diagram hubungan antara transport
sedimen dan variasi jarak (Kelling & Stanley, 1976).
2

Fasies Turbidit.

2.1 Fasies Turbidit Bouma (1962).


Bouma (1962) memberikan urutan ideal endapan turbidit

yang

dikenal dengan Bouma Sequence, dari interval a-e. Urut-urutan endapan


turbidit yang umumnya berupa perselingan antara Batupasir dan Batulempung

merupakan suatu satuan yang berirama (ritmis),

dimana setiap satuan

merupakan hasil episode tunggal dari suatu arus turbid. Bouma Sequence
yang lengkap dibagi 5 interval (Gambar 4), peralihan antara satu interval ke
interval berikutnya dapat secara tajam, berangsur, atau semu, yaitu :
1. Gradded Interval (Ta)
Merupakan perlapisan bersusun dan bagian terbawah dari urut-urutan ini,
bertekstur pasir kadang-kadang sampai kerikilatau kerakal. Struktur
perlapisan

ini

menjadi tidak jelas

atau hilang sama sekali apabila

Batupasir penyusun ini terpilah baik. Tanda-tanda struktur lainnya tidak


tampak.
2. Lower Interval of Parallel Lamination (Tb)
Merupakan
Batulempung,

perselingan

antara

Batupasir

dengan

serpih

atau

kontak dengan interval dibawahnya umumnya secara

berangsur.
3. Interval of Current Ripple Lamination (Tc)
Merupakan struktur perlapisan bergelombang dan konvolut. Ketebalannya
berkisar antara 5-20 cm, mempunyai besar butir

yang lebih halus

daripada kedua interval dibawahnya. (Interval Tb).


4. Upper Interval of Parallel Lamination (Td)
Merupakan lapisan sejajar, besar butir berkisar dari pasir sangat halus
sampai lempung lanauan. Interval paralel laminasi bagian atas, tersusun
perselingan antara Batupasir halus dan lempung, kadang-kadang lempung
pasirannya berkurang ke arah atas. Bidang sentuh sangat jelas.
5. Pelitic Interval (Te)
Merupakan susunan batuan bersifat lempungan dan tidak menunjukan
struktur yang jelas ke arah tegak, material pasiran berkurang, ukuran
besar

butir

makin

halus,

cangkang

foraminifera

makin

sering

ditemukan.Diatas lapisan ini sering ditemukan lapisan yang bersifat

lempung napalan atau yang disebut lempung pelagik.

Gambar 4. Sikuen turbidit Bouma 1962, memperlihatkan struktur


sedimen, ukuran butir dan kondisi pengendapan.
Urut-urutan ideal seperti diatas mungkin tak selalu didapatkan dalam
lapisan, dan umumnya dapat merupakan urut-urutan internal sebagai berikut :
1. Base cut out sequence.
Urutan

interval

ini merupakan

urutan

turbidit

yang

lebih

utuh,sedangkan bagian bawahnya hilang. Bagian yang hilang bisa Ta, Tab, Ta-c dan Ta-d.
2. Truncated sequence
Urutan interval yang hilang dari sekuen yang hilang adalah bagian atas,
yaitu : Tb-e, Tc-e, Td-e, Te. Hal ini disebabkan adanya erosi oleh arus
turbidit yang kedua.
3. Truncated base cut out sequence
Urutan ini merupakan kombinasi dari kedua

kelompok base cut out

sequence dan truncated sequence yaitu bagian atas dan bagian bawah bisa
saja hilang.
Pada dasarnya endapan oleh arus turbid yang besar mempunyai
rangkaian yang lengkap dan setelah pengendapan

material

yang kasar

kecepatan berkurang dan pada saat tertentu dimana kecepatan sangat rendah
mulai terbentuk laminasi interval (Tb-e = T2).
kecepatan dan ukuran butir

Proses

berkurangnya

sedimen berjalan terus.selama pengendapan,

sehingga terbentuk rangkaian (Tc=T3), (Td-e=T4) dan (Te=T5).


Berdasarkan sifat jauh dekatnya sumber, maka endapan turbidit
dapat dibagi menjadi 3 fasies, yaitu : fasies proximal, intermediate dan
distal. Distal merupakan endapan turbidit

yang pengendapannya relatif

lebih jauh dari sumbernya atau tidak mengandung interval a dan b.


endapannya dicirikan oleh adanya perselingan yang teratur antara Batupasir
dan serpih, lapisan Batupasirnya tipis-tipis dan lapisan serpihnya lebih tebal.
Pengendapan yang relatif lebih dekat dengan sumbernya disebut turbidit
proximal, biasanya berbutir kasar, kadang-kadang konglomeratan dan sedikit
serpih.
4.2.3 Fasies Turbidit Mutti (1992)
Fasies Turbidit dapat didefinisikan sebagai kumpulan genetik fasies
secara lateral yang dapat diidentifikasi melalui lapisan lapisan individu
batuan yang memiliki kesamaan waktu. Secara genetik fasies tracts yang
berasal dari paket

sedimen dapat dikatakan sebagai turbidite facies

association (FA), sedangkan ekspresi vertikal dari facies association tersebut


dapat dikatakan sebagai fasies sequence (FS).
Dalam hubungannya dengan mekanisme sediment gravity flow
Mutti (1992) melakukan penelitian yang lebih mendalam mengenai endapan
turbidit. System turbidit dapat dihasilkan oleh 2 komponen dasar, yaitu
komponen erosional yang berada di bagian atas dan dapat mengindikasikan

sumber utama dari material sedimen, serta komponen pengendapan yang


berada di bagian bawah, dimana sedimen tertransport dari komponen erosional
sebelumnya dan diendapkan seiring dengan penyusutan tingkat arus gravitasi
(gravity flow).
Mutti (1992) membagi fasies-fasies pada endapan turbidit didasarkan
pada beberapa hal, diantaranya : tekstur batuan, komposisi batuan,
struktur sedimen dan kenampakan erosi. Sehingga dapat membedakan
antara fasies yang satu dengan fasies yang lain (Gambar 5).

Gambar 5. Fasies Turbidit dan proses proses yang terkait (Mutti, 1992).
Fasies fasies tersebut kemudian digolongkan menjadi 3 tipe
utama, yaitu :
1. Very Coarse Grained Facies
(VCGF)
Endapan pada Fasies Turbidit ini terdiri dari beragam jenis tipe
sediment, mulai dari mud supported sampai clast-supported conglomerates.
Facies dasar dari Very Coarse Grained Facies adalah F1, F2 dan F3 (Gambar
5.). Endapan endapan pada fasies F1 dan F2 merupakan endapan endapan

debris flow deposits, dimana sediment tertransport dan terendapkan oleh


arus cohesive. cohesive debris flow dapat mengindikasikan endapan-endapan
klastika yang didukung oleh aliran buoyancy

dan

cohesivitas

dari

campuran antara lumpur dan air sebagai media pentransport sedimen.


Endapan F1 adalah produk dari cohesiv debris flow yang memiliki
karakteristik sebagai berikut :

Terdapatnya lag deposit di bagian dasar aliran

Klastika yang lebih besar mengambang dalam matriks

Kecenderungan klastika yang kasar untuk berada di dasar dan menerus


hingga ke atas dari dasar aliran.
Endapan F2 adalah produk dari hyperconcentrated flow

yang

dihasilkan dari proses transportasi dari debris flow menuruni lereng yang
bercampur dengan fluida. Endapan endapan pada fasies F2 umumnya
terdapat pada coarse grained turbidite system. Karakteristik dari endapanendapan pada fasies F2 pada dasarnya hampir sama dengan karakteristik dari
endapan-endapan pada fasies F1, diantaranya :

Terdapat

peristiwa

dimana

dasar

aliran

tergerus

dan

terbentuk

struktur rip-up mudstone clasts yang relatif besar.

Klastika yang berukuran besar mengambang dalam matriks pasiran

Klastika yang berukuran lebih besar menunjukkan kecenderungan untuk


berada di bagian bawah.
Tahap akhir dari proses transportasi cohesive debris flow adalah

menghasilkan endapan-endapan yang termasuk kedalam fasies F3 ( klastika


kasar dari konglomerat). Endapan endapan pada fasies F3 ini merupakan
salah satu tipe endapan turbidit yang dihasilkan oleh hyperconcentrated flow
yang mentrasnportasikan material berukuran butiran sampai kerikil (High
Density Turbidity Current). Endapan endapan F3 terdiri atas konglomerat
dengan matriks pasiran yang membentuk dasar aliran, yang pada akhirnya

akan dibatasi oleh permukaan erosi. Endapan endapan pada fasies F3 ini
dapat terbentuk akibat adanya shear strses yang diberikan oleh

lapisan

material yang tertinggal oleh aliran.

2. Coarse Grained Facies (CGF)


Fasies-fasies yang termasuk ke dalam Coarse Grained Facies dalam
aliran yang menuju dasar cekungan yaitu WF, F4, F5, dan F6 yang dapat
diinterpretasikan sebagai produk dari butiran High Density Turbidity
Currentdan proses transformasi yang akan dihasilkan pada akhir aliran.
Endapan endapan pada fasies

F4 dan F5 pada umumnya memiliki

karakteristik yang relatif tebal dan terdiri atas coarse-grained traction


carpets. Endapan-endapan pada fasies WF terdiri atas endapan endapan
yang tipis, memiliki tingkat keseragaman butir yang buruk yang terdiri
atas butiran berukuran pasir sangat kasar dan pasir kasar yang menunjukkan
struktur

laminasi

bergelombang.

Sedimen

pada

fasies

WF

dapat

diinterpretasikan sebagai produk dari upper flow regime yang dibentuk oleh
transportasi

dari

hyperconcentrated

flow

hingga

high

density

&

supercritical turbidity current. Endapan endapan pada fasies F6 dapat


diindikasikan

sebagai endapan

endapan

berukuran

kasar

yang

memiliki kecenderungan imbrikasi pada butirannya. Endapan endapan


pada fasies F6 ini memiliki tingkat keseragaman butir yang relatif baik dan
di bagian bawahnya membentuk butiran dengan kecenderungan menghalus
ke atas. Sedimen sedimen pada fasies F6 ini adalah produk dari loncatan
fluida yang merubah supercritical high density turbidity current menjadi
sub critical high density turbidity current. Perpindahan aliran berikutnya
membawa butiran yang lebih kasar dimana butiran tersebut tertransport
bersamaan dengan arus turbulensi vertikal, untuk menyesuaikan searah
dengan arus dan dapat tertransport secara traksi dan terendapkan di sepanjang

dasar aliran. Struktur sedimen yang berkembang terdiri atas : perlapisan


sejajar dan perlapisan memotong dalam skala kecil. Karakteristik pada
endapan endapan fasies F6 selanjutnya dapat dilihat lebih detail, yaitu :

Seluruh ketebalan dari lapisan dasar pada umumnya dibatasi oleh batas
yang tajam dan terbentuk struktur rippled diatas permukaan lapisan.

Endapan endapan lag deposit yang berada di dasar aliran.

3. Fine Grained Facies (FGF)


Fasies-fasies yang termasuk di dalam Fine Grained Facies adalah F7,
F8 dan F9. sedimen dari fasies fasies tersebut merupakan produk dari
low-density,

subcritical turbidity current. Arus turbid ini memulai

pengendapannya setelah melewati hydraulic jump (lihat sediment F6) atau


arus gravity yang telah mentransport fasies F5 dalam arus yang kemudian
menghasilkan endapan fasies F7. Tahap akhir

dari pengendapan

ini

adalah meningkatnya kandungan lumpur yang mengendap secara suspensi


dan akhirnya dapat menyesuaikan dengan aliran quo static. Endapan
endapan pada fasies F7 dalam sistem arus turbidit pada umumnya memiliki
karakteristik sebagai berikut :

Lapisan tipis dari Batupasir yang relatif kasar

Lapisan horizontal pada bagian dasar aliran dapat diindikasikan


sebagai hasil dari traction carpet , dan di beberapa tempat, endapan
endapan tersebut menunjukkan kecenderungan butiran yang mengkasar
keatas. Tapi pada umumnya traction carpet ini akan menunjukkan
kecenderungan butiran yang

menghalus

ke

atas

yang

mengindikasikan arus yang mentransport sedimen tersebut.


Endapan endapan pada fasies F8 merupakan salah satu endapan
yang paling ideal dengan tipe endapan pada sikuen Bouma, yang terdiri
atas struktur sedimen, dan ukuran butir dari pasir sedang pasir halus,
kecenderungan penghalusan ke atas dapat hadir jika

arus

yang

mentransport

dan

material

yang

tertransport

dapat

memenuhi

persyaratannya. Endapan endapan pada fasies F8 pada umumnya terdiri atas


material material berbutir halus.Endapan endapan pada fasies F7 dan F8
merupakan hasil dari rekonsentrasi sediment yang terbentuk

setelah

loncatan fluida tersebut telah terlewati, yang kemudian diikuti oleh proses
sedimentasi sepanjang jalur tipis dari traction carpet (F7) dan suspensi (F8).
Endapan endapan pada fasies F9 terbentuk oleh endapan endapan
berbutir sangat halus dengan struktur laminasi sejajar yang dibatasi
oleh Batulempung

berstruktur

didefinisikan sebagai turbidite


selesainya

traction

carpet

beds

masif.Tingkatan fasies F9 dapat


dimana

diendapkan oleh proses

yang berhubungan dengan fase sebelumnya

dalam sistem low density turbidity current.


Fasies F9 kemudian dapat dibagi kedalam 2 sub fasies yaitu :

Fasies 9a, yang sangat berkaitan dengan classical turbidite pada sikuen
Bouma.

Fasies 9b, walaupun memiliki karakteristik yang hampir sama dengan


fasies 9a namun pada dasarnya memiliki tingkat perbandingan sandshale ratio yang lebih besar, memiliki ukuran butir yang lebih kasar
dibandingkan

dengan

butiran

pada fasies 9a, memiliki tingkat

keseragaman butir yang lebih buruk.


4.3

Kipas Bawah Laut (Sub Marine Fan)


Sedimentasi dari arus turbidit yang ideal, umunya merupakan suatu

fan (kipas) pada dasar lereng- lereng bawah laut (sub marine fan), yang
saling

memotong

dan berselang

seling

dengan

endapan

bathyal

(Koesoemadinata, 1980). Arus turbid yang menggerakan endapan turbidit


pada awalnya terbentuk pada sub marine canyon bersama- sama dengan
arus lainnya, yang termasuk kedalam sediment gravity flow . Selanjutnya
arus arus tersebut yang akan memegang peranan dalam mentransport

sedimen ke daerah bathyal dan abysal. Ternyata arus turbid yang merupakan
bagian dari arus densitas dalam melakukan fungsinya sebagai arus yang
mengalir, tergantung akan adanya perbedaan densitas, yang dihasilkan oleh
sedimen yang tersuspensikan akibat arus turbulen pada tubuh arus (Fiedman &
Sanders, 1978).
Arah umum dari aliran arus densitas yang normal, adalah menuju ke
continental margin atau ke arah basin margin. Aliran dengan arah demikian
bisa terjadi secara terus menerus tetapi bisa juga sewaktu-waktu. Aliran yang
tetap terjadi manakala longshore current pada suatu shelf menjumpai
submarine canyon, yang melintang menghadang arahnya, sehingga arah arus
tersebut berubah

secara tiba-tiba, dengan sendirinya arus densitas akan

mengalir secara menerus. Sedangkan aliran yang

sewaktu-waktu tersebut

hanya akan mengalir karena sesuatu sebab, misalnya :

Meluncurnya sedimen yang overloading pada sisi continental shelf yang


menghadap ke laut, pada suatu saat mengalir ke arah cekungan.

Runtuhnya dinding dari dua sisi submarine canyon.

Runtuhnya distal margin dari suatu delta yang terdiri terutama


lempung serta lanau prodelta yang berisi porewater yang

dari

tinggi.

Proses runtuhnya tersebut diakibatkan oleh berat sedimen itu sendiri


yang telah mengalami overload pada bagian tubuhnya. Maka berjuta-juta
ton sedimen yang tak terkonsolidasikan dengan baik meluncur menjadi
suatu aliran suspensi yang akan menambah densitas dari air dan merubah
system arus menjadi arus densita.
4.3.1 Model Kipas Bawah Laut Walker
Model kipas menurut Walker (1978) ini merupakan

penyempurnaan

dari beberapa peneliti terdahulu yang terdiri dari saluran utama (fedder
channel), lereng(slope), kipas atas (upper fan ), kipas tengah (middle fan)
yang terdiri dari channeled portion of suprafan lobes, kipas bawah (lower fan)

dan dasar cekungan (basin plain). Pada umumnya kipas tersebut berasosiasi
dengan lima fasies turbidit yang diajukan oleh Walker (1978) yang terdiri
atas:
1. Fasies Slump (SL)
Fasies ini terdiri dari bentukan struktur sedimen slump yang terjadi karena
adannya mekanisme

longsoran

yang

mengakibatkan

meluncurnya

lapisan sedimen karena adanya dorongan arus graffiti.Fasies ini biasanya


terdapat pada daerah upper fan dimana pengaruh dari kemiringan lereng
sangat berpengaruh.
2. Fasies Turbidit Klasik (Classical Turbidite, CT)
Fasies ini pada umumnya terdiri dari perselingan antara Batupasir dan
serpih/Batulempung

dengan

channel.Struktur sedimen

yang

perlapisan
sering

sejajar

tanpa

dijumpai adalah

endapan
perlapisan

bersusun, perlapisan sejajar, dan laminasi, konvolut atau a,b,c Bouma


(1962), lapisan Batupasir menebal ke arah atas.Pada bagian dasar
Batupasir dijumpai hasil erosi akibat penggerusan arus turbidit (sole
mark)

dan dapat

digunakan

untuk menentukan arus turbid purba.

Dicirikan oleh adanya CCC (Clast, Convolution, Climbing ripples).


Climbing

ripples

suspensi, sedangkan

dan convolut merupakan hasil dari pengendapan


clast merupakan hasil erosi arus turbid (Walker,

1985).
3. Fasies Batupasir masif (Massive Sandstone, MS)
Fasies ini terdiri dari Batupasir masif, kadang-kadang terdapat endapan
channel, ketebalan 0,5-5 meter, struktur mangkok/dish structure. Fasies ini
berasosiasi dengan kipas laut bagian tengah dan atas.
4. Fasies Batupasir Kerakalan (Pebbly Sandstone, PS)
Fasies ini terdiri dari Batupasir kasar, kerikil-kerakal, struktur sedimen

memperlihatkan perlapisan bersusun, laminasi sejajar, tebal 0,5


5 meter. Berasosiasi dengan channel, penyebarannya secara lateral tidak
menerus, penipisan lapisan Batupasir ke arah atas dan urutan Bouma tidak
berlaku.
5. Fasies Konglomeratan (Clast Supported Conglomerate, CGL)
Fasies ini terdiri dari Batupasir sangat kasar, konglomerat, dicirikan oleh
perlapisan

bersusun,

bentuk

butir

menyudut

tanggung-membundar

tanggung, pemilahan buruk, penipisan lapisan Batupasir ke arah atas, tebal


1-5 m. Fasies ini berasosiasi dengan sutrafanlobes dari kipas tengah dan
kipas atas. Fasies Lapisan yang didukung oleh aliran debris flow dan
lengseran (Pebbly mudstone, debris flow, slump and slides, SL).Fasies ini
terdiri dari berbagai kumpulan batuan, pasir, kerikil, kerakal dan
bongkah-bongkah yang terkompaksi. Fasies ini berasosiasi dengan
lingkungan pengendapan kipas atas (upper channel fill).
Dari 5 klasifikasi fasies tersebut memiliki
dalam proses pembentukannya (Gambar 6).

genesa

berbeda

Gambar 6.Genesa Fasies Turbidit (Walker, 1978).


Adapun material sedimen yang mengisi pada tiap tiap bagian dari
kipas bawah laut Walker ini sangant beragam dan berbeda beda yang
dikelompokan menjadi tujuh fasies yaitu :

Fasies A : Berupa Batupasir berukuran kasar dan konglomerat.

Fasies B : Berupa Batupasir massif berukuran sedang sampai halus.

Fasies C : Berupa Batupasir berukuran sedang sampai halus dimana


terdapat asosiasi dengan sekuen bouma (CT).

Fasies D : Berupa Batupasir berukuran halus sampai sangat


halus dimana terdapat asosiasi dengan sekuen bouma (CT).

Fasies E : Serupa dengan fasies D tetapi memiliki tingkat


kandungan perselingan Batupasir dengan Batulempung yang
tinggi.

Fasies F : berupa lapisan yang terganggu seperti adannya aktifitas slump.

Fasies G: Fasies ini merupakan lapisan lempung pelagic ataupun


hemipelagik yang cukup tebal.
Ketujuh

fasies

tersebut

berasosiasi

dengan

tiga

lingkungan

pengendapan, yaitu : lereng (slope), dibagi menjadi lereng atas (upper slope)
dan lereng bawah (lower slope); kipas (fan) dibagi menjadi kipas dalam (inner
fan), kipas tengah (middle fan) dan kipas luar (outer fan); kumpulan daratan
cekungan.Walker (1978) membagi kipas laut dalam 4 bagian pokok, yaitu :
1. Asosiasi Fasies Pada Lembah Pengisi
Lembah pengisi merupakan alur utama dari sedimen yang membentuk
lipas laut dalam. Lembah ini memotong lereng

kontinen dan dapat

menerus dari laut dalam sampai dekat pantai. Dari penyelidikan yang
dilakukan umumnya lembah pengisi berisi sedimen berukuran halus
(fasies G), interkalasi lensa-lensa

tubuh Batupasir dari fasies A

merupakan endapan paritan (submarine channel), interkalasi batuan yang


campur aduk (fasies F) juga sering didapatkan sisipan fasies E dan
D, diperkirakan sebagai akibat dari kenaikan atau fluktuasi muka air laut
setelah zaman es.
2. Asosiasi Fasies Kipas Laut Dalam

Kipas ini dibagi menjadi 3 bagian (Gambar 7), yaitu : kipas atas (upper
fan), kipas tengah (middle fan), dan kipas bawah (lower fan).
Gambar 7. Model pengendapan kipas bawah laut, memperlihatkan
sikuen perlapisan pada masingmasing elemen
(Walker, 1976).
A. Kipas Atas (upper fan)
Kipas atas merupakan pengendapan pertama dari suatu sistem kipas
laut dalam, yang merupakan tempat dimana aliran gravitasi itu terhenti oleh
perubahan kemiringan. Oleh karena itu, seandainya aliran pekat (gravitasi
endapan ulang) ini membawa fragmen ukuran besar, maka tempat fragmen
kasar tersebut diendapkan adalah bagian ini. Fragmen kasar dapat berupa
Batupasir dan konglomerat yang dapat digolongkan ke dalam fasies A,B dan F.
Bentuk lembah-lembah pada kipas atas ini bermacam-macam, bias
bersifat meander, bias juga hampir berkelok (low sinuosity). Mungkin hal
ini berhubungan dengan kemiringan dan kecepatan arus melaluinya, ukuran
kipas atas ini cukup besar dan bervariasi tergantung besar dan kecilnya
kipas itu sendiri,lebarnya bisa mencapai mulai dari ratusan meter sampai

beberapa kilometer, dengan kedalaman dari puluhan sampai ratusan meter.


Alur-alur pada kipas atas berukuran cukup besar.
Walker (1978) memberikan model urutan macam sedimen kipas atas
ke bawah. Bagian teratas ditandai oleh fragmen aliran (debris flow) berstruktur
longsoran (slump), jika sedimennya berupa konglomerat, maka umumnya
letak

semakin

ke

bawah pemilahannya makin teratur, mengakibatkan

bentuk lapisan tersusun terbalik ke bagian atas dan berubah menjadi lapisan
normal bagian bawah.
B. Kipas tengah (middle fan)
Bagian tengah kipas laut dalam adalah yang paling
dan

menarik

sering diperdebatkan. Letak kipas tengah berada di bawah aliran kipas

atas.
Morfologi kipas laut dalam bagian tengah, dapat dibagi menjadi
2, yaitu suprafan dan suprafan lobes, disamping ketinggian dari lautan,
juga morfologi di dalamnya. Suprafan umumnya ditandai lembah yang
tidak mempunyai tanggul alam (Nomark, 1978) dimana lembah tersebut
saling menganyam (braided), sehingga dalam profil seismic berbentuk bukitbukit kecil. Relief ini sebenarnya merupakan bukit-bukit dan lembah yang
dapat mempunyai relief 90 meter. Lembah dapat berisi pasir sampai
kerakal (Nomark,1980), kadang-kadang dapat menunjukan urutan Bouma (1962).
Bagian suprafan sebenarnya lebih merupakan model yang kadangkadang di lapangan sulit untuk diterapkan. Masalah dasar tmbuhnya model
bagian ini adalah adanya urutan batuan yang cirinya sangat menyerupai
kipas luar, tetapi masih menunjukan bentuk-bentuk torehan, dimana ciri
terakhir ini menurut Walker (1978) adalah kipas Suprafan.
Asosiasi fasies kipas bagian tengah berupa tubuh-tubuh Batupasir
dengan sedikit konglomerat yang berbentuk lensa yang lebih lebar dan luas.
Batupasir dan Konglomerat tergolong ke dalam fasies A, B, dan F. Fasies-

fasies itu disisipi juga oleh lapisan-lapisan sejajar dari fasies D dan E, kadangkadang juga fasies C.
Asosiasi fasies ini berbeda dengan asosiasi fasies yang terdapat di
kipas bagian dalam, yaitu :

Tubuh Batupasir dan konglomerat dimensinya kecil

Geometrinya kurang cembung ke bawah

Adanya sisipan-sisipan perselingan dari Batupasir-Batulempung.

C. Kipas Bawah (Lower Fan)


Kipas bawah terletak pada bagian luar dari system laut dalam,
Umumnya mempunyai

morfologi

yang

datar

sangat

landai

(Nomark,1978). Kipas bawah merupakan endapan paling akhir dari system


paket atau aliran gravitasi tersebut yang paling mungkin mencapai bagian
kipas adalah system aliran dari arus kenyang. Ukuran yang paling mungkin di
daerah kipas luar adalah berukuran halus.
Serta menunjukan urutan vertikal , Bouma (1962).Asosiasi fasies kipas
bawah disusun oleh lensa-lensa butiran di dalam Batulempung, perselingan
Batupasir dan batulanau yang berlapis

tebal. Lensa-lensa Batupasir dari

fasies B dan C, sedangkan batuan-batuan yang mengapitnya dari fasies D .


Karakteristik asosiasi fasies fasies kipas bagian bawah ditandai oleh :

Langkanya batuan-batuan yang diendapkan di dalamnya paritan (channel


deposit)

Penampang geometrinya berbentuk lensa.

Di bagian puncak sekuen, kadang-kadang didapatkan juga endapan


paritan dan amalgamasi.

Sering kali sekuennya memperlihatkan penebalan lapisan ke bagian atas.

Dari

ketiga

bagian

dari

kipas

bawah

laut

tersebut

akan

menghasilkan sekuen pengandapan dengan cirri yang berbeda antara satu


dengan yang lain yang dijelaskan oleh sekuen kipas bawah laut Walker,1978
(Gambar 8).
Gambar 8.Hipotesa Sikuen kipas bawah laut yang dapat berkembang
selama proses progradasi kipas bawah laut. C.U adalah
sikuen penebalan dan pengkasaran ke atas, F.U adalah
sikuen penipisan dan penghalusan ke atas. CT adalah fasies
classical turbidite, PS adalah fasies Batupasir kerikilan,
CGL adalah fasies konglomerat, DF adalah fasies debris flow
dan SL adalah fasies slump (Walker,1978).

Hasil Analisa Fasies Turbidit


Pada umumnya endapan turbidit ditafsirkan sebagai endapan laut
dalam, hal ini dikarenakan sebuah endapan turbidit adalah suatu sedimen
yang beronggok pada suatu lereng, kemudian secara tiba tiba meluncur
dengan kecepatan tinggi bercampur air berupa suatu aliran padat. Partikel
pertikel sedimen bergerak tanpa bantuan seretan air, tetapi inersia
(Sanders,1965). Inersia yakni energi potensial atau gravity yang dirubah
menjadi energi kinetis, dan pengendapan terjadi segera setelah energi
kinetis habis, misalnya di tempat datar. Arus turbidit ini terutama
terjadi di laut, dan merupakan mekanisme yang penting dalam mentrasfer
sedimen ke daerah yang lebih rendah, yakni pada bathial hingga abisal
(Koesoemadinata,1981). Sehingga dalam suatu endapan turbidit, akan
ditemui adanya pencampuran fosil dari batuan yang lebih tua, ke endapan
turbidit yang baru terbentuk, yang mengisi daerah yang lebih rendah.
Dalam

menentukan

suatu

fasies

turbidit

dapat

dilakukan

berdasarkan beberapa parameter, antara lain parameter fisik, kimia, dan


biologi. Metode untuk menentukan seluruh parameter tersebut adalah
dengan melakukan analisis profil detail pada beberapa lintasan pengamatan
pada Satuan Batupasir Semilir yang mewakili keadaan fenomena geologi
daerah

penelitian,penulis

menggunakan

beberapa

acuan

dalam

melakukan interpretasi fasies turbidit yakni Bouma (1962), Walker (1978),


Mutti (1992).
Contoh Hasil analisa Fasies Turbidit Satuan Batupasir Sambipitu.
Dalam Satuan Batupasir Sambipitu ini penulis membuat beberapa
profil stratigrafi terukur untuk mengetahui fasies serta
sehingga

akan

penyebarannya

dapat diketahui bagaimana hubungan stratigrafi pada

daerah penelitian ini, terdapat tiga profil stratigrafi terukur pada Satuan
Batupasir Sambipitu dan sesuai dengan hukum superposisi dapat dijelaskan

secara urut dari lapisan yang paling tua hingga lapisan yang paling muda
yaitu profil stratigrafi terukur lintasan Nglegi, lintasan Sendowo Lor,
lintasan Seropan, dan lintasan Ngalang ( measuring section ).Untuk
penjelasan lebih lanjut mengenai karakter dari masing masing lintasan
pada tiap daerah tersebut dapat diketahui melalui penjelasan sebagai
berikut :
Profil Lintasan Nglegi
Lokasi
Lintasan profil pada lokasi ini terbagi menjadi 3 lokasi pengamatan
yaitu Lp 12, Lp 13, dan Lp 52 yang terletak didaerah Nglegi yang berada
pada bagian barat pada daerah penelitian, dengan koordinat (Lp 12) X:
452162, Y: 9129738, (Lp 13) X: 452721, Y: 9129554, dan X: 451480, Y:
9130185.
Litologi
Lintasan profil ini, berada pada Satuan Batupasir vulkanik Formasi
Sambipitu dengan tebal total 2,915 m dengan litologi penyusunnya berupa
perlapisan batupasir vulkanik dengan sisipan berupa batulempung dengan
beberapa kenampakan struktur sedimen adalah perlapisan, laminasi, gradded
bedding, dan ripple dengan penjelasan lapisan sebagai berikut (lampiran 4) :
1 ). Lokasi Pengamatan 52
Pada lapisan pertama didapatkan batupasir vulkanik dengan jenis
klastik berwarna coklat, laminasi, ukuran butir pasir sedang (1/4 mm),
membundar tanggung, terpilah buruk, dengan kemas terbuka, memiliki
fragmen berupa kuarsa, plagioklas, dan hornblende, matriks berupa lempung,
dengan semen silika. Pada lapisan kedua didapatkan lempung dengan jenis
klastik berwarna coklat, ukuran butir lempung (<1/256 mm), dengan semen
silika, dan memiliki struktur sedimen berupa perlapisan sejajar. Pada lapisan
ketiga

didapatkan

batupasir

vulkanik

dengan

jenis

klastik berwarna

coklat, ukuran butir pasir kasar pasir sedang (1/2 1/4 mm),
membundar tanggung, terpilah buruk, kemas terbuka, memiliki

fragmen

berupa kuarsa, plagioklas, dan hornblende, matriks berupa lempung, dengan


semen silika, dan memiliki struktur sedimen berupa perlapisan bersusun
(graded bedding).
Pada lapisan keempat didapatkan batupasir vulkanik dengan jenis
klastik berwarna coklat, ukuran butir pasir sedang (1/4 mm), membundar,
terpilah buruk, kemas terbuka, memiliki fragmen berupa kuarsa, dan
hornblende, matriks berupa lempung, dengan semen silika, dan memiliki
struktur sedimen berupa perlapisan sejajar.
Keempat lapisan ini lebih didominasi oleh penipisan ke arah atas
walaupun ada lapisan yang menujukkan penebalan ke arah atas, dengan total
ketebalan (0,385m)
2 ). Lokasi Pengamatan 13

Pada lapisan pertama didapatkan batupasir vulkanik dengan jenis


klastik berwarna coklat, ukuran butir

pasir kasar (1/2 mm), membundar,

terpilah buruk, kemas terbuka, memiliki fragmen berupa kuarsa, dan


hornblende, matriks berupa lempung, dengan semen silika, dan memiliki
struktur sedimen berupa perlapisan sejajar. Pada lapisan kedua didapatkan
batupasir sedang dengan jenis klastik berwarna abu abu, ukuran sedang
(1/4 mm), fragmen kuarsa dan

hornblende,dengan semen silika, dan

memiliki struktur sedimen berupa ripple. Pada lapisan ketiga didapatkan


batupasir vulkanik dengan

jenis klastik berwarna coklat, ukuran butir

sangat halus (1/16 mm), membundar tanggung, terpilah buruk, kemas


tertutup, memiliki fragmen kuarsa, hornblende, matriks berupa lempung,
dengan semen silika, dan memiliki struktur sedimen berupa laminasi. Pada
lapisan keempat didapatkan lempung dengan jenis klastik berwarna
coklat, ukuran butir lempung (<1/256 mm), dengan semen silika, dan
memiliki struktur sedimen berupa perlapisan sejajar. Pada lapisan kelima
didapatkan batupasir sedang dengan jenis klastik berwarna coklat, ukuran
sedang (1/4 mm),fragmen kuarsa dan hornblende,dengan semen silika, dan
memiliki struktur sedimen berupa laminasi.
Pada lapisan keenam didapatkan lempung dengan jenis klastik
berwarna coklat, ukuran butir lempung (<1/256 mm), dengan semen
silika, dan memiliki struktur sedimen berupa perlapisan sejajar. Pada
lapisan ketujuh didapatkan batupasir vulkanik dengan jenis klastik
berwarna coklat, ukuran butir pasir sangat kasar kasar (1 1/2 mm),
membundar tanggung, terpilah buruk, kemas terbuka, memiliki fragmen
berupa kuarsa, plagioklas, dan hornblende, matriks

berupa

lempung,

dengan semen silika, dan memiliki struktur sedimen berupa perlapisan


bersusun (graded bedding). Pada lapisan kedelapan didapatkan batupasir
kasar dengan

jenis klastik berwarna coklat, ukuran kasar (1/2 mm),

fragmen kuarsa dan hornblende,dengan semen silika, dan memiliki struktur


sedimen berupa perlapisan sejajar. Pada lapisan

kesembilan didapatkan

batupasir sedang dengan jenis klastik berwarna coklat, ukuran sedang (1/4

mm), fragmen kuarsa dan hornblende,dengan semen silika, dan memiliki


struktur sedimen berupa ripple. Pada lapisan kesepuluh didapatkan batupasir
dengan jenis klastik berwarna coklat, ukuran halus

(1/8 mm), fragmen

kuarsa dan hornblende,dengan semen silika, dan memiliki struktur sedimen


berupa laminasi. Pada lapisan kesebelas didapatkan lempung dengan jenis
klastik berwarna coklat, ukuran butir
semen

lempung (<1/256 mm), dengan

silika, dan memiliki struktur sedimen berupa perlapisan sejajar.

Kesebelas lapisan ini lebih didominasi oleh penipisan ke arah atas walaupun
ada lapisan yang menunjukkan penebalan ke arah atas, dengan total ketebalan
(0,835 m)

3 ). Lokasi Pengamatan 12

Pada lapisan pertama didapatkan batupasir vulkanik dengan


jenis

klastik berwarna hitam, ukuran butir pasir sangat kerakal sangat

kasar (128 1 mm), menyudut membundar tanggung, terpilah buruk,


kemas

terbuka, memiliki fragmen berupa koral dan andesit,

matriks

berupa pasir sangat kasar, dengan semen silika, dan memiliki struktur
sedimen berupa perlapisan bersusun (graded bedding). Pada lapisan kedua
didapatkan batupasir kasar dengan jenis klastik berwarna coklat, ukuran
kasar (1/2 mm), fragmen kuarsa dan hornblende,dengan semen silika, dan
memiliki struktur sedimen berupa masif ( 0,55 m ). Pada lapisan ketiga
didapatkan batupasir sedang dengan jenis klastik berwarna coklat, ukuran
sedang (1/4 mm), fragmen kuarsa dan hornblende,dengan semen silika, dan
memiliki struktur sedimen berupa masif ( 0,52 m ). Ketiga lapisan ini lebih
didominasi oleh penipisan ke arah atas dengan total ketebalan (1,695 m)
Interpretasi Fasies
Interpretasi fasies pada lintasan ini dilakukan berdasarkan dari 3 acuan
peneliti terdahulu yaitu menurut Bouma (1962), Mutti (1992), dan Walker
(1978).

Berdasarkan pada konsep Bouma (1962).


Pada lintasan Lp 52 dan Lp 13 terlihat adanya kenampakan struktur
sedimen yang mencirikan adanya pengaruh arus turbidit sesuai dengan
konsep sikuen Bouma yaitu adanya perlapisan bersusun batupasir dengan
struktur sedimen graded bedding (T-a), batupasir sedang dengan struktur
perlapisan sejajar (T-b) yang menandakan terjadinya rezim aliran atas,
batupasir sangat halus dengan struktur ripple (T-c), Batupasir dengan
struktur sedimen laminasi (T-d), dan batulempung dengan struktur laminasi
(T-e) sebagai interval terakhir atau paling atas di dalam sikuen Bouma.
Struktur sedimen yang terbentuk pada lintasan ini cukup kuat untuk

membuktikan bahwa litologi pada daerah ini diendapakan melalui arus


turbidit jika dilihat dan dianalisa menggunakan konsep Bouma karena
semua interval pada sikuen Bouma ditemukan pada lintasan ini. Sedangkan
pada lintasan Lp 12 tidak termasuk dalam sikuen

bouma karena tidak

ditemukan interval T-a hingga T-e pada masing masing lapisan.

Berdasarkan pada konsep Mutti (1992).


Lintasan Lp 52 dan Lp 13 termasuk kedalam

Fine Grain fasies

(FGF) yaitu masuk ke dalam fasies F9a yang didominsi oleh endapan
berukuran pasir halus lempung yang didukung dengan munculnya sikuen
bouma

lengkap

dan

berasosiasi

dengan

fasies clasical turbidit yang

merupakan produk dari low density turbidity current, kemudian terjadi


perubahan fasies pada Lp 12 karena Lp ini termasuk dalam fasies F6,
dimana endapan endapan pada fasies ini memiliki tingkat keseragaman
butir yang relatif baik dan di bagian bawahnya membentuk butiran dengan
kecenderungan menghalus ke atas. Sedimen sedimen pada fasies F6 ini
adalah produk dari loncatan fluida yang merubah supercritical high density
turbidity current menjadi sub critical high density turbidity current.

Berdasarkan pada konsep Walker (1978)


Pada profil lintasan Nglegi Lp 52 dan Lp 13 memperlihatkan
adanya kenampakan struktur sedimen penciri adanya gejala turbidit yaitu
interval

Bouma yang lengkap (Ta Te) yang mwnunjukkan bahwa

lintasan ini masuk kedalam fasies classical turbidite (CT), selain hadirnya
CT yang memperlihatkan lapisan yang menebal keatas, lalu pada Lp 12
dilihat dari lapisan batupasir yang cukup tebal dan dari corak susunan
lapisan yang menunjukkan penipisan ke atas dapat di simpulkan bahwa
lintasan profil pada Lp ini masuk ke dalam fasies Masive Sandstone (MS).
Dari

keseluruhan

hasil

analisa

diatas,

maka

penulis

dapat

menginterpretasikan bahwa lintasan Nglegi ini diendapkan pada suatu


komplek kipas bawah, pada bagian smooth to cannelled portion of suprafan
lobes on mid fan (Walker, 1978).
Dapat terlihat bahwa pada lintasan ini batupasir yang diendapakn
merupakan batupasir
vulkanik

yang

yang

dikuatkan

berasal

atau

bersumber

dari

aktifitas

dengan ditemukannya material material

vulkanik seperti kuarsa, hornblende, dan mineral lainnya yang bersumber


dari aktifitas vulkanik, namun pada saat terendapkan batupasir ini mendapat
pengaruh dari mineral dan material sedimen yang berasal dari laut dengan
kedalaman neritik sehingga memiliki komposisi koral, hal ini dapat terjadi
dengan dua kemungkinan yaitu berasal dari sedimen karbonat yang lebih
tua

atau pada saat terendapkan terjadi kenaikan muka air laut

atau

transgresi sehingga mineral mineral yang berasal dari laut dengan


kedalaman neritik tersebut dapat mempengaruhi komposisi batuan pada
lintasan ini.

Gambar 9. Menunjukkan beberapa struktur dan litologi pada lintasan Nglegi

Profil Lintasan SendowoLor


Lokasi
Lintasan profil pada lokasi ini terbagi menjadi 3 lokasi pengamatan
yaitu Lp 38, Lp 41, dan Lp 42 yang terletak didaerah Sendowo Lor yang
berada pada bagian tengah pada daerah penelitian, dengan koordinat (Lp
38) X: 454045, Y: 9129031, (Lp 41) X: 454974, Y: 9128760, dan X:
455398, Y: 9129236.
Litologi
Liasan profil ini, berada pada Satuan Batupasir vulkanik Formasi
Sambipitu dengan tebal total 2,837 m dengan litologi penyusunnya berupa
perlapisan batupasir vulkanik dengan sisipan berupa batulempung dengan
beberapa kenampakan struktur sedimen adalah perlapisan,

laminasi,

gradded bedding, dan convolute dengan penjelasan lapisan sebagai


berikut (lampiran 5) :
1.)

Lokasi Pengamatan 43

Pada lapisan pertama didapatkan batupasir vulkanik dengan jenis


klastik berwarna hitam, ukuran butir pasir sangat kerakal kasar (128
1/2 mm), menyudut membundar

tanggung,

terpilah

buruk,

kemas

terbuka, memiliki fragmen berupa andesit, matriks berupa pasir kasar,


dengan semen silika, dan memiliki struktur sedimen berupa perlapisan
bersusun (graded bedding). Pada

lapisan

kedua

didapatkan

batupasir

vulkanik dengan jenis klastik berwarna coklat, ukuran kasar (1/2 mm),
fragmen kuarsa dan hornblende,matriks pasir sedang dengan semen silika,
dan memiliki struktur sedimen berupa perlapisan sejajar. Pada lintasan ini
memiliki memiliki corak yaitu penipisan ke arah atas.

2.)

Lokasi Pengamatan 42

Pada lapisan pertama didapatkan batupasir vulkanik dengan jenis


klastik berwarna coklat, ukuran butir pasir sangat kasar kasar (1
1/2 mm), menyudut membundar

tanggung, terpilah buruk, kemas

terbuka, memiliki fragmen berupa andesit, matriks berupa pasir kasar,


dengan semen silika, dan memiliki struktur sedimen berupa perlapisan
bersusun (graded bedding). Pada
vulkanik dengan

lapisan

kedua

didapatkan

batupasir

jenis klastik berwarna coklat, ukuran kasar (1/2 mm),

fragmen kuarsa, plagioklas dan hornblende, matrik pasir sedang, dan semen
silika, dan memiliki struktur sedimen berupa perlapisan sejajar. Pada lapisan
ketiga didapatkan batupasir sedang dengan jenis klastik berwarna coklat,
ukuran sedang (1/4 mm), fragmen kuarsa dan hornblende,dengan semen
silika, dan memiliki struktur sedimen berupa perlapisan sejajar. Pada lapisan
keempat didapatkan batupasir dengan jenis klastik berwarna coklat,
ukuran halus (1/8 mm), fragmen kuarsa dan hornblende,dengan semen
silika, dan memiliki struktur sedimen berupa laminasi.
3.)

Lokasi Pengamatan 38

Pada lapisan pertama didapatkan batupasir sedang dengan jenis


klastik berwarna coklat, ukuran sedang (1/4 mm), fragmen kuarsa dan
plagioklas, dengan semen silika, dan memiliki struktur sedimen berupa
perlapisan sejajar. Pada lapisan kedua didapatkan batupasir dengan jenis
klastik berwarna coklat, ukuran halus (1/8 mm), fragmen kuarsa dan
hornblende,dengan semen silika, dan memiliki struktur sedimen berupa
laminasi. Pada lapisan ketiga didapatkan lempung dengan jenis klastik
berwarna hitam, ukuran butir lempung ( 1/256 mm), dan memiliki struktur
sedimen berupa perlapisan sejajar.

Pada lapisan keempat didapatkan batupasir vulkanik dengan jenis


klastik berwarna coklat, ukuran butir kerikil - sangat kasar (2 1 mm),
menyudut membundar tanggung, terpilah buruk, kemas terbuka, memiliki
fragmen berupa andesit, matriks berupa pasir kasar, dengan semen silika,
dan memiliki struktur sedimen berupa perlapisan bersusun (graded bedding).
Pada lapisan kelima didapatkan batupasir sedang dengan jenis klastik
berwarna coklat, ukuran sedang (1/4 mm), fragmen kuarsa dan plagioklas,
matrik mineral lempung, dan semen silika, dan memiliki struktur sedimen
berupa perlapisan sejajar.Pada
dengan

jenis klastik

lapisan

keenam

didapatkan

batupasir

berwarna coklat, ukuran halus (1/8 mm), fragmen

kuarsa dan plagioklas,matrik mineral lempung semen silika, dan memiliki


struktur sedimen berupa convolute. Pada

lapisan

ketujuh

didapatkan

batupasir dengan jenis klastik berwarna coklat, ukuran sangat halus


(1/16

mm),

fragmen kuarsa

dan

plagioklas,matrik

mineral lempung

semen silika, dan memiliki struktur sedimen berupa laminasi. Pada lapisan
kedelapan didapatkan lempung dengan jenis klastik berwarna putih, ukuran
butir lempung ( 1/256 mm), dan memiliki struktur sedimen berupa
perlapisan sejajar.
Sedangkan pada lapisan kesembilan didapatkan batupasir vulkanik
dengan jenis klastik berwarna coklat, ukuran kasar (1/2 mm), fragmen kuarsa,
dan plagioklas, matrik pasir sedang, dan semen silika, dan memiliki struktur
sedimen berupa perlapisan sejajar.
Interpretasi Fasies
Interpretasi fasies pada lintasan ini dilakukan berdasarkan dari 3 acuan
peneliti terdahulu yaitu menurut Bouma (1962), Mutti (1992), dan Walker
(1978).

Berdasarkan pada konsep Bouma (1962).


Pada lintasan ini terlihat adanya kenampakan struktur sedimen
yang mencirikan adanya pengaruh arus turbidit sesuai dengan konsep sikuen
Bouma yaitu adanya perlapisan

bersusun

batupasir

dengan

struktur

sedimen graded bedding (T-a), batupasir sedang dengan struktur perlapisan


(T-b) yang menandakan terjadinya rezim aliran atas, pasir halus dengan
struktur convolute (T-c), Batupasir dengan struktur sedimen laminasi (T-d),
dan lempung dengan struktur perlapisan sejajar (T-e) sebagai interval terakhir
atau interval paling atas di dalam sikuen Bouma Lp 38. Sedangkan pada
Lp 42 dan Lp 43 walaupun tidak didapatkan interval bouma lengkap,
tapi dapat dinterpretasikan sebagai fasies Classical Turbidite (CT). Hal
ini bisa saja terjadi dikarenakan sistem pengendapan yang saling
menyilang antar sikuen sehingga kemungkinan hilangnya interval dalam satu
paket lengkap sikuen Bouma terjadi.
Struktur sedimen yang terbentuk pada lintasan ini cukup kuat
untuk membuktikan bahwa litologi pada lintasan ini diendapakan dengan
arus turbidit jika dilihat dan

dianalisa

menggunakan

konsep

Bouma

karena semua interval pada sikuen Bouma ditemukan pada lintasan 38 ini.

Berdasarkan pada konsep Mutti (1992).

Lintasan Sendowo Lor termasuk kedalam

Fine Grain fasies (FGF)

yaitu masuk ke dalam fasies F9a yang didominsi oleh endapan berukuran
pasir halus lempung yang didukung dengan munculnya sikuen bouma
lengkap

dan

berasosiasi

dengan

fasies clasical

turbidite,

walaupun

didapatkan lapisan yang memiliki ukuran butir pasir kasar merupakan


salah satu penciri dari Fine Grain Facies (FGF ) yang merupakan produk
dari low density turbidity current (LDTC).

Berdasarkan pada konsep Walker (1978)


Pada profil lintasan Sendowo Lor pada Lp 38, Lp 42, dan LP
43

ini memperlihatkan adanya kenampakan struktur sedimen

adanya gejala turbidit yaitu interval

penciri

Bouma yang lengkap (Ta Te)

yang menunjukkan bahwa lintasan ini masuk kedalam fasies classical


turbidite (CT), selain itu sebagai penciri lainnya adalah corak penebalan
ke arah atas yang merupakan salah satu ciri ciri fasies Classical Turbidite.
Dari keseluruhan hasil analisa diatas, maka penulis dapat menginterpretasikan
bahwa lintasan Sendowo Lor ini diendapkan pada suatu komplek kipas
bawah, pada bagian smooth portion of suprafan lobes on mid fan (Walker,
1978). Dapat terlihat bahwa pada lintasan ini batupasir yang diendapkan
merupakan batupasir
vulkanik

yang

yang

dikuatkan

berasal

atau

bersumber

dari

aktifitas

dengan ditemukannya material material

vulkanik seperti kuarsa, hornblende, dan mineral lainnya yang bersumber


dari aktifitas vulkanik.

Gambar 10. Menunjukkan beberapa struktur dan litologi pada lintasan


Sendowo Lor.

Profil Lintasan Seropan


Lokasi
Lintasan profil pada lokasi ini terbagi menjadi 3 lokasi pengamatan
yaitu Lp31, Lp 27 dan Lp 26 yang terletak didaerah Seropan yang berada
pada bagian timur - selatan pada daerah penelitian, dengan koordinat X:
455680, Y: 9127898, X: 455296, Y: 9127919, dan X: 454819, Y: 9128385
Litologi
Lintasan profil ini, berada pada Satuan Batupasir Formasi Sambipitu
dengan tebal

total

4,521

dengan

litologi

penyusunnya

berupa

perlapisan batupasir gampingan dengan sisipan berupa batulempung dengan


beberapa kenampakan struktur sedimen adalah perlapisan, laminasi, gradded
bedding, convolute, dan slump pada litologi batugamping (Lp 31),(lampiran
6) :
1 ). Lokasi Pengamatan 31
Pada lapisan atas batupasir Sambipitu ini terdapat kontak dengan
litologi batugamping Oyo yang berwarna putih,struktur sedimen slump
,memiliki ukuran butir arenit ( pasir sedang 1/4 mm),butiran

membundar

tanggung,terpilah buruk dengan kemas tertutup serta memiliki komposisi


berupa Alochem: pecahan cangkang, Mikrit :lumpur karbonat, Sparit:
kalsit.
Pada lapisan kedua didapatkan batugamping berwarna putih, struktur
sedimen perlapisan sejajar, memiliki ukuran butir arenit ( pasir halus 1/8
mm), butiran

membundar, terpilah buruk dengan kemas terbuka serta

memiliki komposisi berupa Alochem: pecahan cangkang, Mikrit :lumpur


karbonat, Sparit: kalsit. Pada lapisan ketiga didapatkan batugamping berwarna
putih, struktur sedimen perlapisan sejajar, memiliki ukuran butir arenit ( pasir
sedang 1/4 mm), butiran membundar tanggung, terpilah buruk dengan kemas

tertutup serta memiliki komposisi berupa Alochem: pecahan cangkang, Mikrit


:lumpur karbonat, Sparit: kalsit. Pada
batugamping

berwarna

putih,

lapisan

keempat

struktur sedimen

didapatkan

perlapisan

sejajar,

memiliki ukuran butir arenit ( pasir halus 1/8 mm), butiran membundar
tanggung, terpilah baik dengan kemas tertutup serta memiliki komposisi
berupa Alochem: pecahan cangkang, Mikrit :lumpur karbonat, Sparit: kalsit.
Pada lapisan kelima didapatkan batugamping berwarna putih, struktur sedimen
bioturbasi, memiliki ukuran butir arenit ( pasir sedang 1/4 mm), butiran
membundar, terpilah baik dengan kemas tertutup serta memiliki komposisi
berupa Alochem: pecahan fosil, Mikrit:lumpur karbonat, Sparit: kalsit. Pada
lapisan

keenam

didapatkan

batugamping

berwarna

putih,

struktur

sedimen bioturbasi, memiliki ukuran butir arenit ( pasir halus 1/8 mm),
butiran membundar, terpilah baik dengan kemas tertutup serta memiliki
komposisi berupa Alochem: pecahan cangkang, Mikrit :lumpur karbonat,
Sparit: kalsit. Pada lapisan

ketujuh didapatkan batugamping berwarna

putih, struktur sedimen flute cast, memiliki ukuran butir arenit ( pasir kasar
1/2 mm), butiran membundar, terpilah baik dengan kemas tertutup serta
memiliki komposisi berupa Alochem: pecahan cangkang, Mikrit :lumpur
karbonat, Sparit: kalsit. Dari keempat lapisan ini menunjukkan corak
perselingan antara kalkarenit sedang halus, dan memiliki total ketebalan
2,128 m.
2 ). Lokasi Pengamatan 27
Pada lapisan pertama didapatkan batupasir gampingan dengan jenis
klastik berwarna coklat, ukuran butir pasir sangat kasar - kasar (1 1/2
mm), menyudut, terpilah buruk, kemas terbuka, memiliki fragmen berupa
hornblende dan kuarsa, matriks berupa pasir halus, dengan semen karbonat,
dan memiliki struktur sedimen berupa graded bedding. Pada lapisan kedua
didapatkan batupasir gampingan dengan jenis klastikberwarna coklat,
ukuran butir pasir kasar (1/2 mm), menyudut, terpilah buruk, kemas terbuka,

memiliki fragmen berupa plagioklas dan kuarsa, matriks berupa pasir halus,
dengan semen karbonat, dan memiliki struktur sedimen perlapisan sejajar.
Pada

lapisan

ketiga

didapatkan

batupasir

gampingan

dengan

jenis

klastik berwarna coklat, ukuran butir pasir sedang (1/4 mm), membundar
tanggung, terpilah buruk, kemas terbuka, memiliki fragmen berupa
plagioklas dan kuarsa, matriks berupa pasir halus, dengan semen karbonat,
dan memiliki struktur sedimen convolute. Pada lapisan keempat didapatkan
batupasir gampingan dengan jenis klastik berwarna coklat, ukuran butir
pasir

halus

(1/8

mm),

membundar, terpilah buruk,

kemas terbuka,

memiliki fragmen berupa hornblende, plagioklas, dan kuarsa, matriks


berupa lempung, dengan semen karbonat, dan memiliki struktur sedimen
laminasi. Dari keseluruhan lapisan yang ada menunjukkan corak penipisan
ke arah atas. Dengan total ketebalan 0,725 m.
3.)

Lokasi Pengamatan 26

Pada lapisan pertama didapatkan batupasir gampingan dengan jenis


klastik berwarna coklat, ukuran butir pasir halus (1/4 mm), membundar
tanggung, terpilah buruk, kemas

terbuka,

memiliki

fragmen

berupa

hornblende dan kuarsa, matriks berupa mineral lempung, dengan semen


karbonat, dan memiliki struktur sedimen perlapisan sejajar. Pada

lapisan

kedua didapatkan batupasir gampingan dengan jenis klastik berwarna


coklat, ukuran butir pasir sangat halus (1/8 mm), membundar tanggung,
terpilah buruk, kemas terbuka, memiliki fragmen berupa plagioklas, dan
kuarsa,

matriks

berupa lempung, dengan semen karbonat, dan memiliki

struktur sedimen laminasi. Pada lapisan ketiga didapatkan lempung dengan


jenis klastik berwarna coklat, ukuran butir lempung ( <1/256 mm), dan
memiliki struktur sedimen berupa pelapisan sejajar. Pada lapisan keempat
didapatkan batupasir gampingan dengan

jenis klastik berwarna coklat,

ukuran butir pasir sangat sedang - halus (1/4 1/8 mm), menyudut, terpilah
buruk, kemas terbuka, memiliki fragmen berupa kuarsa dan plagioklas,

matriks berupa mineral lempung, dengan semen karbonat, dan memiliki


struktur sedimen berupa graded bedding. Pada lapisan kelima didapatkan
batupasir gampingan dengan jenis klastik berwarna coklat, ukuran butir
pasir halus (1/8 mm), membundar tanggung, terpilah buruk, kemas terbuka,
memiliki fragmen berupa kuarsa dan plagioklas, matriks berupa pasir sangat
halus, dengan semen karbonat, dan memiliki struktur sedimen perlapisan
sejajar. Pada lapisan keenam didapatkan batupasir gampingan dengan jenis
klastik berwarna coklat, ukuran butir pasir sedang (1/4 mm), membundar
tanggung, terpilah buruk, kemas terbuka, memiliki fragmen berupa kuarsa dan
hornblende, matriks berupa pasir halus, dengan semen karbonat, dan memiliki
struktur sedimen perlapisan sejajar. Pada

lapisan

ketujuh

didapatkan

batupasir gampingan dengan jenis klastik berwarna coklat, ukuran butir


pasir halus (1/8 mm), membundar tanggung, terpilah buruk, kemas terbuka,
memiliki fragmen berupa kuarsa dan plagioklas, matriks berupa pasir mineral
lempung, dengan semen karbonat, dan memiliki struktur sedimen ripple. Pada
lapisan kedelapan didapatkan batupasir gampingan dengan jenis klastik
berwarna hitam, ukuran butir pasir sangat halus (1/16 mm), membundar
tanggung, terpilah buruk, kemas terbuka, memiliki fragmen berupa kuarsa
dan plagioklas, matriks berupa pasir mineral lempung, dengan semen
karbonat, dan memiliki struktur laminasi. Pada lapisan kesembilan didapatkan
lempung dengan jenis

klastik berwarna coklat, ukuran butir lempung (

<1/256 mm), dan memiliki struktur sedimen berupa pelapisan sejajar.Pada


lapisan kesepuluh didapatkan batupasir gampingan dengan jenis klastik
berwarna coklat, ukuran butir pasir sangat kasar - sedang (1/2 1/4 mm),
menyudut, terpilah buruk, kemas terbuka, memiliki fragmen berupa kuarsa
dan hornblende, matriks berupa pasir halus, dengan semen karbonat, dan
memiliki struktur sedimen berupa graded bedding. Pada lapisan kesebelas
didapatkan batupasir gampingan dengan

jenis klastik berwarna coklat,

ukuran butir pasir sedang (1/4 mm), membundar tanggung, terpilah buruk,
kemas terbuka, memiliki fragmen berupa kuarsa dan plagioklas, matriks
berupa pasir halus, dengan semen karbonat, dan memiliki struktur sedimen

perlapisan sejajar.
Pada lapisan keduabelas didapatkan batupasir gampingan dengan
jenis

klastik berwarna coklat, ukuran butir pasir halus (1/8 mm),

membundar tanggung, terpilah buruk, kemas terbuka, memiliki fragmen


berupa kuarsa dan plagioklas, matriks berupa mineral lempung, dengan
semen karbonat, dan memiliki struktur sedimen cross bedding. Pada lapisan
ketigabelas

didapatkan

batupasir

gampingan

dengan

jenis

klastik

berwarna coklat, ukuran butir pasir sangat halus (1/16 mm), membundar,
terpilah buruk, kemas terbuka, memiliki fragmen berupa kuarsa, matriks
berupa mineral lempung, dengan semen karbonat, dan memiliki struktur
sedimen laminasi.Dari keseluruhan lapisan yang ada, secara garis besar
menunjukkan corak penebalan ke arah atas. Walaupun pada tiap paket sikuen
memiliki corak penipisan ke arah atas, lapisan
lapisan ini memiliki corak umum menebal ke atas (thick up) dengan total
ketebalan 1,668 m.
Interpretasi Fasies

Interpretasi fasies pada lintasan ini dilakukan berdasarkan dari 3 acuan


peneliti terdahulu yaitu menurut Bouma (1962), Mutti (1992), dan Walker
(1978).

Berdasarkan pada konsep Bouma (1962).

Pada lintasan ini terlihat adanya kenampakan struktur sedimen


yang mencirikan adanya pengaruh arus turbidit sesuai dengan konsep sikuen
Bouma yaitu adanya perlapisan

bersusun

batupasir

dengan

struktur

sedimen graded bedding (T-a), batupasir sedang dengan struktur perlapisan


(T-b) yang menandakan terjadinya rezim aliran atas, pasir halus

dengan

struktur convolute, ripple, cross bedding (T-c), Batupasir dengan struktur


sedimen laminasi (T-d), dan lempung dengan struktur perlapisan sejajar (T-e)
sebagai interval terakhir atau interval paling atas di dalam sikuen Bouma Lp

26 dan Lp 27. Sedangkan pada Lp 31 tidak didapatkan interval bouma,


sehingga pada Lp 31 ini tidak dapat dimasukkan ke dalam model fasies
Classical Turbidite ( CT ). Struktur sedimen yang terbentuk pada lintasan
ini

cukup

kuat

untuk membuktikan bahwa litologi pada lintasan ini

diendapkan dengan arus turbidit jika dilihat dan dianalisa menggunakan


konsep Bouma karena semua interval pada sikuen Bouma ditemukan pada
lintasan Lp 26 dan 27 ini.

Berdasarkan pada konsep Mutti (1992).

Lintasan Seropan termasuk kedalam

Fine Grain fasies (FGF) yaitu

masuk ke dalam fasies F9a yang didominasi oleh endapan berukuran


pasir halus lempung yang didukung dengan munculnya sikuen bouma
lengkap

dan

berasosiasi

dengan

fasies

clasical turbidite,

walaupun

didapatkan lapisan yang memiliki ukuran butir pasir kasar merupakan salah
satu penciri dari Fine Grain Facies (FGF ) yang merupakan produk dari
low density turbidity current (LDTC).

Berdasarkan pada konsep Walker (1978)

Pada profil lintasan Seropan pada Lp 26, Lp 27 ini memperlihatkan


adanya kenampakan struktur sedimen penciri adanya gejala turbidit yaitu
interval

Bouma

yang lengkap (Ta Te) yang menunjukkan bahwa

lintasan ini masuk kedalam fasies classical (CT), selain itu sebagai penciri
lainnya adalah corak penebalan ke arah atas yang merupakan salah satu ciri
ciri fasies Classical Turbidite. Sedangkan pada LP 31 menunjukkan
perselingan kalkarenit ( sedang halus ), disertai struktur slump dan
adanya struktur sedimen bioturbasi penciri endapan shelf. Sehingga pada
lapisan ini dapat dimasukkan ke dalam fasies Slump (SL) dan Massive
Sandstone (MS). Dari keseluruhan hasil analisa diatas, maka penulis dapat
menginterpretasikan bahwa lintasan Seropan ini diendapkan pada suatu
komplek kipas bawah komplek kipas atas, pada bagian smooth to

channelled of suprafan lobes on mid fan, channelled portion of suprafan lobes


on mid fan, dan upper fan channel fill (Walker, 1978). Dapat terlihat bahwa
pada lintasan ini batupasir yang diendapkan merupakan batupasir

yang

berasal atau bersumber dari aktifitas vulkanik yang dikuatkan dengan


ditemukannya material material vulkanik seperti kuarsa, hornblende, dan
mineral lainnya yang bersumber dari aktifitas vulkanik dan semen yang
berasal dari percampuran endapan sedimen karbonat, sehingga pada batupasir
tersebut didapatkan batupasir gampingan.

Sedangkan pada batugamping ini merupakan hasil dari endapan


klastik pada daerah shelf dimana aktifitas terumbu sudah banyak. Hal ini
dikarenakan adanya kenaikan muka air laut secara berangsur pada
batugamping, ditunjukkan dari adanya struktur slump pada lapisan paling
tua dan berangsur menjadi perlapisan sejajar.
Gambar 11. Menunjukkan beberapa struktur dan litologi pada lintasan Seropan.

Lintasan Terukur (Measuring Section) Ngalang


Lokasi
Lintasan pada lokasi ini terdapat di sepanjang sungai Ngalang yang
memotong bagian tengah daerah telitian dari utara selatan.
Litologi
Lintasan ini menunjukkan adanya 4 satuan batuan dengan 4 formasi
yang berbeda dari tua ke muda, yaitu: Batupasir Semilir, Breksi Nglanggran,
Batupasir Sambipitu, dan Batugamping Oyo (lampiran 7) :
1 ). Batupasir Sambipitu
Dari hasil analisa profil, maka didapatkan data sebagai berikut, :
- Dilihat

dari

fasies

yang ada pada

Lintasan

Terukur

ini,

maka dapat disimpulkan bahwa batupasir pada daerah Lintasan Terukur ini,
dicirikan oleh fasies pebbly sandstone, fasies massive sandstone,

dan

fasies classical turbidites. Formasi Sambipitu sendiri terendapkan pada


lingkungan pengendapan (Suprafan Lobes On Middle Fan ( Channelled
Portion of Suprafan Lobes, Smooth To Channeled, dan Smooth Portion
of Suprafan Lobes) ,Walker, 1978)
( Lampiran 7 ).

Gambar 12. Hasil interpretasi lingkungan pengendapan Batupasir Sambipitu


pada Suatu Kipas Bawah Laut (Walker, 1978).

DAFTAR PUSTAKA
Koesoemadinata,R.P,

1980,

Prinsip

Prinsip

Sedimentasi,

Bandung,Penerbit ITB.
Walker, R.G., 1978, Facies Models, Geological Association of
Canada, Toronto.
Mutti, E, 1992, Turbidites Sandstones, Universitas
de Parma Italy
nd

Bemmelen, R.W. 1949, van., The Geology of Indonesia, vol IA, 2

ed, The

Haque Martinus Nijhoff, Netherlands.


Dunham, R. J., 1962, Classification of Carbonate Rock According to
Depositional Texture, In Han, W. E. (ed) 1962, Classification of Carbonate
Rock, AAPG, Bull. Men 1, p. 108 121.
Harahap, Bhakti H., Syaiful Bachri, Dkk, 2003 , Stratigraphic Lexicon
of Indonesia,Geological Research And Development Centre.

Anda mungkin juga menyukai