Anda di halaman 1dari 70

1

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang


Penyakit kusta adalah penyakit kronik yang disebabkan oleh kuman
Mycobacterium leprae yang pertama kali menyerang susunan saraf tepi,
selanjutnya dapat menyerang kulit, mukosa (mulut), saluran pernafasan bagian
atas, system retikulo endothelial, mata, otot, tulang, dan testis (Amiruddin 2000
p.260). Adapun penyakit ini disebabkan karena Mycobacterium leprae yang
ditemukan oleh G.A. Hansen pada tahun 1874 di Norwegia, yang sampai sekarang
belum dapat dibiakkan dalam media artificial. M. leprae berbentuk basil dengan
ukuran 3-8 m x 0,5 m, tahan asam dan alcohol serta gram positif (Kosasih
2007, p.74).
Pada tahun 2005 di Indonesia tercatat 21.537 penderita kusta terdaftar, jumlah
kasus baru sebanyak 19.695 penderita, 8,74% penderita mengalami cacat tingkat
II serta 9,09% di antaranya adalah penderita kusta anak. Menurut data kusta
nasional tahun 2000, sebanyak 5% penderita kusta mengalami reaksi kusta. Di
Indonesia kusta mencapai tahap eliminasi sejak tahun 2000, tapi sampai sekarang
kasusnya masih belum menurun lagi, dan masih dijumpai kasus pada anak
(11,3%), angka kecacatan sebesar 10,8% serta 81% kasus masih tergolong
multibasiler atau banyak bakterinya (Depkes, 2007).
Jika penyakit ini tidak dilakukan penatalaksanaan yang tepat atau terlambat
didiagnosa dan tidak mendapat MDT maka pasien mempunyai risiko tinggi untuk
terjadinya kerusakan saraf dan kecacatan (Juanda et al 2007, p.87). Tetapi dengan
perkembangan peralatan dan teknik diagnosis yang semakin canggih maka pasien
kusta dapat didiagnosa secara dini sehingga dapat dicegah kemungkinan
terjadinya komplikasi. Semakin canggih peralatan dan semakin invasifnya
tindakan pengobatan sangat mengurangi morbiditas dan mortalitas, salah satunya
dengan penatalaksanaan yang tepat dalam menangani kasus ini yaitu deteksi dini
dan pengobatan kusta dengan regimen MDT (Multi Drug Therapy) (Rachmah &
Cahanar 2000, p.265-270).

Osteomielitis adalah suatu penyakit infeksi pada tulang yang disebabkan


adanya infeksi bakteri pada jaringan tulang tersebut. Menurut Brunner & Suddart,
infeksi yang terjadi pada tulang lebih sulit disembuhkan dibandingkan dengan
infeksi yang terjadi pada jaringan lunak, hal ini dikarenakan terbatasnya aliran
darah, terbatasnya respon jaringan inflamasi sehingga menyebabkan terjadinya
nekrosis atau kematian jaringan. Osteomielitis dapat terjadi secara hematogen
yang terjadi akibat penyebaran infeksi dari fokus infeksi yang sebelumnya dan
secra eksogen yang terjadi karena adanya invasi dari luar ke tulang secara
langsung akibat luka tembus, fraktur tebuka, kontaminasi selama pembedahan
serta adanya luka bakar.
Menurut penelitian yang dilakukan di Amerika, ditemukan sekitar 25%
osteomielitis akut akan berlanjut menjadi osteomielitis kronis. Osteomielitis
sering ditemukan pada usia dekade I-II; tetapi dapat pula ditemukan pada bayi dan
infant. Kejadian osteomielitis ini lebih sering terjadi pada anak laki-laki
dibandingkan anak perempuan dengan perbandingan 2:1(Wong. 2008). Lokasi
yang tersering ialah pada tulang-tulang panjang seperti femur, tibia, radius,
humerus, ulna, dan fibula (Yuliani 2010). Kejadian tertinggi osteomielitis lebih
sering terjadi pada Negara berkembang. Prevalensi keseluruhan adalah 1
kasus per 5.000 anak, sedangkan prevalensi neonatalnya adalah sekitar 1
kasus per1.000.
per 100.000

Insiden osteomielitis vertebral


penduduk.

Namun,

tingkat

adalah sekitar
mortalitas

2,4 kasus
osteomielitis

adalah rendah, kecuali jika sudah terdapat sepsis atau kondisi medis berat yang
terjadi (Randall, 2011).
Pada dasarnya, semua jenis organisme, termasuk virus, parasit, jamur, dan
bakteri, dapat menghasilkan osteomielitis, tetapi paling sering disebabkan oleh
bakteri patogenik tertentu dan mikobakteri. Penyebab osteomielitis pyogenik
adalah

kuman

Pseudomonas.

Staphylococcus
Infeksi

dapat

aureus

(70-80%),

Escherichia coli

mencapai tulang dengan

dan

melakukan

perjalanan melalui aliran darah atau menyebar dari jaringan di dekatnya.


Osteomielitis juga dapat terjadi langsung pada tulang itu sendiri jika terjadi cedera

yang mengekspos tulang, sehingga kuman dapat langsung masuk melalui luka
tersebut.
Dengan adanya kejadian ini, maka diperlukan penanganan yang sesuai untuk
mencegah komplikasi dari adanya osteomielitis. Penanganan osteomielitis saat ini
yang dilakukan adalah dengan pemberian antibiotik dan debridement, namun
sebagai perawat diperlukan peran khusus agar osteomielitis tidak menjadi
komplikasi lainnya. Berdasarkan uraian diatas, maka diperlukan perhatian dari
perawat untuk mengetahui dan memahami tentang Asuhan Keperawatan pada
klien dengan infeksi dan inflamasi musculoskeletal : Osteomielitis.
1.2 Rumusan masalah
1. Bagaimanakah

konsep

dari

Morbus

Hansen

dengan

komplikasi

Osteomielitis post Amputasi?


2. Bagaimanakah asuhan keperawatan pada pasien dengan Morbus Hansen
dengan komplikasi Osteomielitis post Amputasi?
1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan umum
Mahasiswa

mampu

mengetahui

dan

memahami

konsep Asuhan

Keperawatan klien Morbus Hansen dengan komplikasi Osteomielitis post


Amputasi
1.3.2 Tujuan Khusus
Mahasiswa mampu memahami :
1. Definisi Morbus Hansen, Osteomielitis, dan Amputasi
2. Etiologi Morbus Hansen, Osteomielitis, dan Amputasi
3. Patofisiologi Morbus Hansen, Osteomielitis, dan Amputasi
4. Klasifikasi Morbus Hansen, Osteomielitis, dan Amputasi
5. Manifestasi klinis Morbus Hansen, Osteomielitis, dan Amputasi
6. Pemeriksaan diagnostik Morbus Hansen, Osteomielitis, dan Amputasi
7. Penatalaksanaan Morbus Hansen, Osteomielitis, dan Amputasi
8. Pencegahan Morbus Hansen, Osteomielitis, dan Amputasi
9. Komplikasi Morbus Hansen, Osteomielitis, dan Amputasi
10. Konsep asuhan keperawatan Morbus Hansen dengan komplikasi Osteomielitis
post amputasi

Faktor resiko:

BAB 2
TINJAUAN TEORI
2.1 Konsep Morbus Hansen
2.1. 1 Definisi Morbus Hansen
Morbus Hansen atau penyakit kusta adalah penyakit kronik yang
disebabkan oleh kuman Mycobacterium leprae yang pertama kali menyerang
susunan saraf tepi, selanjutnya dapat menyerang kulit, mukosa (kulit), saluran
pernafasan bagian atas, sistem etikulo endothelial, mata, otot, tulang dan testis
(Subdirektorat Kusta dan Frambusia, 2007).
Kusta atau lepra (leprosy) atau disebut juga Morbus Hansen merupakan
penyakit menular kronis yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium leprae,
melalui kulit dan mukosa hidung. Penyakit kusta terutama menyerang saraf tepi,

kulit dan organ tubuh lain kecuali susunan saraf pusat yang apabila tidak
didiagnosis dan diobati secara dini dapat menimbulkan kecacatan (Subdirektorat
Kusta dan Frambusia, 2007).
Penyakit kusta adalah penyakit menular kronis yang disebabkan oleh M.
leprae yang menyerang saraf tepi, kulit dan jaringan tubuh lainnya keculai saraf
pusat (Kemenkes RI, 2007)
Dapat disimpulkan bahwa penyakit kusta adalah penyakit infeksi yang
kronik, penyebabnya ialah Mycobacterium leprae yang intra seluler obligat, saraf
perifer sebagai afinitas pertama, lalu mulut dan mukosa traktus respiratorius
bagian atas, kemudian dapat ke organ-organ lain kecuali susunan saraf pusat.
2.1.2 Etiologi Morbus Hansen
Mycobacterium leprae dan telah ditemukan sejak tahun 1500 SM. Cara
penularannya belum diketahui, diduga melalui kontak langsung yang erat dan
lama, mungkin melalui penyebaran droplet dari tipe leptomatosa, ada juga yang
menduga melalui insekta atau inhalasi. Yang pertama diserang adalah saraf tepi
dengan manifestasi pertama pada kulit, lalu menyerang mukosa saluran
pernafasan atas dan organ lain kecuali sistem saraf pusat. Terutama pada usia
antara 25 35 tahun, makin muda usia makin kurang kekebalan, sehingga anakanak sangat rentan. Juga terutama mengenai keadaan sosioekonomi rendah yang
sanitasinya buruk, gizi buruk, dan perumahan tak adekuat. Masa inkubasinya
sangat lama diperkirakan 2 5 tahun (Subdirektorat Kusta dan Frambusia, 2007).
Perjalanan Klinis
Perjalanan klinis pernyaki kusta merupakan suatu proses yang lambat dan
menahun sehingga seringkali penderita tidak menyadari adanya proses penyakit di
dalam tubuhnya. Sebagian besar penduduk yang tinggal di daerah endemik kusta
pernah terinfeksi M. leprae. Proses ini berjalan sangat lambat sebelum munculnya
gejala klinis yang pertama. Setelah melewati masa inkubasi yang cukup panjang
(sekitar 2 5 tahun) akan muncul gejala awal (Kemenkes RI, 2007).
2.1.3 Patofisiologi Morbus Hansen
Mekanisme penularan yang tepat belum diketahui. Beberapa hipotesis
telah dikemukakan seperti adanya kontak dekat dan penularan dari udara. Setelah
micobaterium leprae masuk ke dalam tubuh, perkembangan penyakit kusta
tergantung pada kerentanan seseorang. Respon setelah masa tunas dilampaui

tergantung pada derajat sistem imun. Apabila sistem imun seluler tinggi, penyakit
berkembang ke arah tuberkuloid dan jika rendah berkembang ke arah
lepromatous. Mycobaterium leprae berprediksi di daerah yang relative dingin
yaitu di daerah akral dengan vaskularisasi sedikit. Derajat penyakit tidak selalu
sebanding dengan derajat infeksi karena imun setiap individu berbeda. Gejala
klinis lebih sebanding dengan tingkat reaksi seluler daripada intensitas infeksi.
Oleh karena itu penyakit kusta disebut penyakit imunologi.
Terdapat bukti bahwa tidak semua orang yang terinfeksi oleh kuman M.
leprae menderita kusta, dan diduga faktor genetika juga ikut berperan, setelah
melalui penelitian dan pengamatan pada kelompok penyakit kusta di keluarga
tertentu. Belum diketahui pula mengapa dapat terjadi tipe kusta yang berbeda
pada setiap individu (Alcais, et al, 2005). Faktor ketidakcukupan gizi juga diduga
merupakan faktor penyebab. Penyakit ini sering dipercaya bahwa penularannya
disebabkan oleh kontak antara orang yang terinfeksi dan orang yang sehat (Kaur
& Van, 2002). Dalam penelitian terhadap insidensi, tingkat infeksi untuk kontak
lepra lepromatosa beragam dari 6,2 per 1000 per tahun di Cebu, Philipina (Doul et
al, 1942).
Dua pintu keluar dari M. leprae dari tubuh manusia diperkirakan adalah
kulit dan mukosa hidung. Telah dibuktikan bahwa kasus lepromatosa
menunjukkan adanya sejumlah organisme di dermis kulit. Bagaimanapun masih
belum dapat dibuktikan bahwa organisme tersebut dapat berpindah ke permukaan
kulit. Walaupun terdapat laporan bahwa ditemukanya bakteri tahan asam di epitel
deskuamosa dikulit, Weddel et al melaporkan bahwa mereka tidak menemukan
bakteri tahan asam di epidermis (Wedell, 1963). Dalam penelitian terbaru, Job et
al menemukan adanya sejumlah M. leprae yang besar di lapisan keratin
superfisial kulit di penderita kusta lepromatosa. Hal ini membentuk sebuah
pendugaan bahwa organisme tersebut dapat keluar melalui kelenjar keringat (Joy
et al, 1999).
Pentingnya mukosa hidung telah dikemukakan oleh Schffer pada 1898.
Jumlah dari bakteri dari lesi mukosa hidung di kusta lepromatosa, menurut
Shepard, antara 10.000 hingga 10.000.000 bakteri. Pedley melaporkan bahwa
sebagian besar pasien lepromatosa memperlihatkan adanya bakteri di sekret

hidung mereka. Davey dan Rees mengindikasi bahwa sekret hidung dari pasien
lepromatosa dapat memproduksi 10.000.000 organisme per hari (Wikipedia,Inc,
2014). Pintu masuk dari M. leprae ke tubuh manusia masih menjadi tanda tanya.
Saat ini diperkirakan bahwa kulit dan saluran pernapasan atas menjadi gerbang
dari masuknya bakteri. Rees dan McDougall telah sukses mencoba penularan
kusta melalui aerosol di mencit yang ditekan sistem imunnya. Laporan yang
berhasil juga dikemukakan dengan pencobaan pada mencit dengan pemaparan
bakteri di lubang pernapasan. Banyak ilmuwan yang mempercayai bahwa saluran
pernapasan adalah rute yang paling dimungkinkan menjadi gerbang masuknya
bakteri, walaupun demikian pendapat mengenai kulit belum dapat disingkirkan
(Wikipedia,Inc, 2014). Masa inkubasi pasti dari kusta belum dapat dikemukakan.
Beberapa peneliti berusaha mengukur masa inkubasinya. Masa inkubasi minimum
dilaporkan adalah
beberapa

minggu,

berdasarkan

adanya

kasus

kusta

pada

bayi

muda

(Wikipedia,Inc,2014). Masa inkubasi maksimum dilaporkan selama 30 tahun. Hal


ini dilaporan berdasarkan pengamatan pada veteran perang yang pernah terekspos
di daerah endemik dan kemudian berpindah ke daerah non-endemik. Secara
umum, telah disetujui, bahwa masa inkubasi rata-rata dari kusta adalah 3-5 tahun
(Wikipedia,Inc,2014).
2.1.4 Klasifikasi Morbus Hansen
Setelah diagnosa ditegakkan pasien perlu diklasifikasikan sesuai dengan
klasifikasi WHO yang bertujuan untuk : 1) Menentukan regimen pengobatan,
prognosis dan komplikasi; 2) Menentukan operasional, misalnya menemukan
pasien-pasien yang menular yang mempunyai nilai epidemiologis tinggi sebagai
target utama pengobatan; dan 3) Mengidentifikasi pasien yang kemungkinan besar
akan menderita cacat. Klasifikasi kusta adalah :
1) Pausi basiller (PB), yang terdiri dari: PB 1, dengan jumlah lesi 1 dan tidak
ada kerusakan saraf; PB 2, pausi basiller dengan jumlah lesi 2 5 asimetris,
mati rasa jelas, kerusakan hanya 1 saraf;
2) Multi basiller (MB). Termasuk kusta tipe Lepromatosa (LL), Borderline
Lepromatous dimorphus (B) dan Lepromatous (L) menurut Madrid dan

semua tipe kusta dengan BTA positif, terdapat banyak lesi, mati rasa dan
simetris.
Klasifikasi penyakit kusta menurut Depkes (2006) yaitu dibagi menjadi tipe
paucibacillary (PB) dan multibacillary (MB). Tipe paucibacillary atau tipe kering
memiliki ciri bercak atau makula dengan warna keputihan, ukurannya kecil dan
besar, batas tegas, dan terdapat di satu atau beberapa tempat di badan ( pipi,
punggung, dada, ketiak, lengan, pinggang, pantat, paha, betis atau pada punggung
kaki ), dan permukaan bercak tidak berkeringat. Kusta tipe ini jarang menular
tetapi apabila tidak segera diobati menyebabkan kecacatan (Sofianty, 2009). Tipe
yang kedua yaitu multibacillary atau tipe basah memiliki ciri-ciri berwarna
kemerahan, tersebar merata diseluruh badan, kulit tidak terlalu kasar, batas
makula tidak begitu jelas, terjadi penebalan kulit dengan warna kemerahan, dan
tanda awal terdapat pada cuping telinga dan wajah (Hiswani, 2001). Menurut
Burns et al., (2010), penyakit kusta diklasifikasikan berdasar pada skala Ridley
dan Jopling yaitu tipe TT (tuberkuloid), BT (borderline tuberculoid), BL
(borderline lepromatous), dan LL (lepromatosa).
Berdasarkan pada kondisi klinis, bakteriologis, imunologis dan histopatologinya,
tipe-tipe kusta tersebut dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
Klasifikasi penyakit kusta berdasarkan skala ridley dan jopling
Tuberculoid Borderline
(TT)
Tuberculoid
(BT)
Lesi

1-3

Sedikit

Bordeline
(BB)

Basal
Smear

1+

Sedikit atau
banyak dan
asimetris
2+

Tes
lepromin

3+

2+

Histology

Sel epitelberkurang > kerusakan saraf,

Borderline
lepramantou
s
(BL)
banyak

Lepramantous
(LL)

Banyak
simetris

3+

4+

dan

Peningkatan histiocyte, sel busa,

Gambara
n
Klinis

sarkoid seperti granuloma


Berupa
Gangguan
macula,
saraf yang
batasan
ringan. Lesi
jelas
pada tipe
dan
ini
ditemukan
menyerupai
lesi yang
lesi pada
regresi
tipe
dengan
tuberculoid
permukaan (TT).
ersisik.
Bentuk tipe
Tipe kusta
kusta ini
ini biasanya labil atau
disertai
mudah
kelemahan berubah
otot dan
penebalan
saraf
perifer.
Bentuk tipe
kusta ini
stabil dan
tidak
mungkin
berubah.

Paling tidak
stabil dengan
lesi yang
bervariasi
baik ukuran,
bentuk dan
distribusinya
.

granuloma, seperti xanthoma


Lesi
pada Lesi
menetap
tipe kusta ini dalam
jumlah
dimulain
yang banyak dan
dengan
berkilauan, lesi
infiltrate
berbentuk
yang
bilateral.
selanjutnya
menyebar ke
seluruh
tubuh.
Bentuk tipe
Borderline
Lepramatou
s tidak stabil
atau mudah
berubah

Lazimnya kusta dibagi dalam 3 bentuk klinis dengan sifat-sifat khusus, yakni;
1. Lepra tuberkuloid (LT)
Penyakit lepra tuberkuloid disertai dengan respons T-helper tipe 1 (IFN-)
dan penyakit lepra lepromatosa disertai dengan respons T-helper tipe 2 yang
tidak efektif. Penyakit lepprae tuberkuloid: lesi kulit yang kering, bersisik, dan
tak kentara yang disertai gangguan sensibilitas dan lesi saraf perifer yang
asimetrik. Juga disebut lepra paucibacillair adalah bentuk terlokalisasi dengan
1-5 luka (laesio). Bentuk ini paling sering terjadi, k.l 75% dari semua
penderita, tidak bersifat menular dan agak mudah disembuhkan. Pasien LT
ternyata masih memiliki daya tangkis imunologi yang agak baik. Gejala

10

pertama berupa noda-noda pucat di kulit yang hilang rasa dan penebalan sarafsaraf yang nyeri di berbagai tempat di tubuh, biasanya sangat nyata di cuping
telinga, muka dan kaki tangan. Bila tidak diobati saraf-saraf tersebut akan
dirusak, menjadi hilang rasa dan mudah terluka. Karena luka-luka ini tidak
dirasakan oleh penderita, biasanya luka menjadi borok serius dengan merusak
jaringan. Akibatnya adalah cacat hebat sekunder, terutama di telapak kaki dan
jeriji tangan yang akhirnya menjadi buntung. Basil lepra hanya dapat dideteksi
dalam jumlah kecil pada luka-luka LT.
2. Lepra lepromateus (LL)
Penyakit lepra lepromatosa (anergikk): penebalan kulit dan pembentukan
nodul yang menimbulkan cacat tubuh dengan disertai kerusakan pada sistem
saraf akibat invasi mikobakterium ke dalam sel-sel makrofag perineural dan
sel-sel Schwann. Juga disebut lepra multibacillair, adalah bentuk tersebar yang
bersifat sangat menular, lebih sukar dan lebih lama disembuhkan. Bentuk ini
bercirikan benjol kemerah-merahan kecil (noduli) yang penuh dengan basil,
dengan hampir semua saraf perifer terkena infeksi. Lebih sering timbul gejala
berupa

demam, anemia dan turunnya berat badan. Lagipula dapat timbul

deformasi akibat infiltrate di muka, kelumpuhan urat saraf muka (paresis


facialis) dan mutilasi hidung karena keruntuhan tulang rawan, yang
menyebabkan pasien berparas singa. Kelumpuhan dan kebutaan sering kali
terjadi pada kasus ini. Kerusakan saraf lebih lambat dibandingkan pada LT.
bila tidak diobati, selain saraf, juga organ dalam akan rusak.
3. Lepra borderline (LB) adalah kombinasi dari LT dan LL
Dapat dibagi lagi dalam 3 bentuk 3 bentuk peralihan. Tergantung dari
cirinya masing-masing bentuk disebut tuberculoid borderline (LTB), lepromateus
borderline (LLB) dan lepra tak tertentu.
2.1.5 Manifestasi Klinis Morbus Hansen
Menurut Kemenkes RI (2007) untuk menetapkan diagnosis penyakit kusta
perlu dicari tanda utama (cardinal sign) yaitu:
a. Lesi yang anestesi yang dapat berupa hipopigmentasi atau eritematous.

11

b. Penebalan saraf tepi yang disertai dengan gangguan saraf. Gangguan ini
disesbabkan oleh peradagan saraf tepi (neuritis perifer). Gangguan dapat
berupa: gangguan sensoris, motoris dan otonom.
c. Kerokan jaringan kulit menunjukkan BTA positif .
Seseorang dapat dikatakan menderita kusta bila ditemukan satu dari tanda
utama tersebut di atas. Pada dasarnya penderita kusta dapat didiagnosis dengan
pemeriksaan klinis, namun pada penderita yang dicurigai (suspek) yang
ditemukan tanda utama namun masih diragukan, dapat dilakukan pemeriksaan
kerokan kulit.
Tanda-tanda pasien suspek menurut Kemenkes RI (2007) adalah:
a. Tanda pada kulit: bercak kemerahan atau putih, kulit mengkilat, bercak
tidak gatal, adanya bagian yang tidak ditumbuhi rambut atau tidak
berkeringat
b. Tanda pada saraf: kesemutan, nyeri pada anggota tubuh atau wajah,
gangguan gerak pada ekstremitas atau wajah, deformitas, ulkus.
2.1.6 Pemeriksaan diagnostik Morbus Hansen
Beberapa pemeriksaan penunjang yang dilakukan antara lain sebagai
berikut :
1. Adanya Mycobacterium Leprae pada pemeriksaan bakteriologi
2. Pada pemeriksaan laboratorium pengecatan Zn ditemukan bakteri tahan
asam berwarna merah (globi). Kepadatan BTA tanpamembedakan solid
dan transolid pada sebuah sediaan dinyatakan menggunakan indeks massa
bakteri dengan nila 0-6+ apabila tidak ada BTA dalam 100 lapang pandang
(LP)
1+ bila 1-10 BTA dalam 100 LP
2+ bila 1-10 BTA dalam 10 LP
3+ bila 1-10 BTA rata-rata dalam 1 LP
4+ bila 11-100 BTA rata-rata dalam 1 LP
5+ bila 101-1000 BTA rata-rata dalam 1 LP
6+ bila > 1000 BTA rata-rata dalam 1 LP
3. Pemeriksaan histopatologik (biopsy kulit)
4. Pemeriksaan serologi kulit
5. Tes lepramin untuk menentukan tipe kusta
2.1.7 Penatalaksanaan Morbus Hansen

12

Pasien harus minum obat secara teratur sampai dinyatakan sembuh, pasien
mendapat pengobatan Multi Drug Therapy (MDT) di Puskesmas secara gratis dan
lama pengobatan 6 9 bulan pada pasien kusta tipe PB dan 12 18 bulan pada
pasien kusta tipe MB. Regimen pengobatan rekomendasi dari WHO yaitu:
1) MDT untuk kusta PB 1
1. Dewasa dengan berat badan 50 70 kg: Rifampisin 600 mg, ofloxasin 400
mg, minosiklin 100 mg.
2. Pada anak usia kurang dari 5 14 tahun : Rifampisin 300 mg, ofloxasin 200
mg, minosiklin 50 mg.
3. Anak usia kurang dari 5 tahun dan ibu hamil tidak diberi Rifampisin
Ofloxasin Minocyclin (ROM).
4. Pemberian obat sekali saja langsung Relies From Treatment (RFT), bila
obat-obat ini belum datang dari WHO maka sementara semua kasus PB 1
diobati selama 6 bulan dengan regimen PB 2 5. lesi satu dengan
pembesaran syaraf diberikan regimen PB 2 5.

2) MDT untuk kusta PB 2 5


Regimen obat kusta PB 2 5 terdiri dari 2 macam obat yaitu Rifampisin
dan Dapson (DDS). Program pemberiannya yaitu : 1) Hari ke 1 : Obat diberikan
dan diminum di puskesmas dengan pengawasan petugas puskesmas terdiri dari 2
kapsul: Rifampisin 300 mg dan 1 tablet DDS 100 mg. 2) Hari ke 2 : Obat
diteruskan selama sebulan ( 28 hari ) obat dibawa pulang dan ditelan setiap hari di
rumah yaitu tablet DDS 100 mg. Setelah selesai minum obat sesuai dengan
jumlah dosis dan batas waktu yang ditentukan, tanpa pemeriksaan laboratorium
pasien dinyatakan RFT dan diawasi selama 2 tahun pada kusta tipe MB.
Pada pasien kusta yang terlambat diobati dengan obat MDT dapat
menimbulkan kecacatan seperti : jari-jari tangan atau kaki terjadi pemendekan
atau kontraktur, tangan lunglai, kaki simper dan kebutaan. Pasien yang beresiko
terjadi kecacatan adalah : pasien yang terlambat ditemukan dan terlambat diobati
dengan kombinasi MDT; pasien dengan reaksi terutama reaksi refersal; dan pasien
dengan banyak bercak di kulit terletak di dekat saraf.
2.1.8 Pencegahan Morbus Hansen

13

Tes lepromin digunakan untuk menetapkan apakah seseorang memiliki


daya tangkis yang cukup terhadap bentuk LL. Tes diberikan sebagai suatu injeksi
intrakutan dari basil lepra mati. Hasil negative berarti orang tersebut memiliki
system imun lemah dan sangat peka untuk infeksi dengan basil lepra. Dengan
vaksinasi BCG yang bersangkutandapat dijadikan lepromin positif (basil dari
Calmette-Guerin).
Pasien LL selalu memberikan hasil negative, sedangkan pasuen LT dengan
imun respons agak normal memberikan hasil positif. Vaksinasi dengan vaksin
BCG memberikan perlindungan yang cukup baik terhadap infeksi bentuk LL.
Khasiat ini telah dipertegas pada peneltian besar besaran di Malawi pada tahun
1996. Vaksin-vaksin baru terhadap lepra sedang dalam penyelidikan.
2.1.9 Komplikasi Morbus Hansen
Reaksi kusta adalah suatu episode dalam perjalanan kronis penyakit kusta
yang merupakan reaksi kekebalan (cellular respons) atau reaksi antigen antibody
(humoral respon) dengan akibat merugikan pasien. Reaksi ini dapat terjadi
sebelum pada saat, maupun sesudah pengobatan. Umumnya ditandai dengan
bercak bertambah merah disertai dengan peradangan akut pada kulit, syaraf,
timbul benjolan kemerahan yang nyeri, syaraf tepi menjadi sakit, nyeri dan
bengkak, demam dan lesu, tangan dan kaki mungkin membengkak. Paling sering
terjadi pada 6 bulan sampai 1 tahun setelah selesai pengobatan.
Reaksi kusta merupakan peristiwa awal terjadinya kecacatan bila dideteksi
dan diobati dengan obat dan dosis khusus menggunakan Prednisone. Ada 2
macam reaksi kusta: tipe I (reversal) dan tipe II (Erythema Nodusum Leprosum).
Hal-hal yang mempermudah terjadinya reaksi kusta misalnya : pasien
dalam kondisi lemah; kehamilan; sesudah mendapat imunisasi; pembedahan; stres
fisik; dan saat setelah melahirkan.
Tabel Perbedaan reaksi tipe 1 dan tipe 2
No
1

Tanda/gejala
Keadaan umum

Tipe 1
Umumnya baik, demam

Tipe 2
Ringan sampai berat disertai

Peradangan

ringan atau tanpa demam


Bercak kulit lama menjadi

kelemahan umum dan demam tinggi


Timbul nodi=ul kemerahan, lunak,

kulit

meradang, dapat timbul

nyeri. Biasanya pada lengan dan

saraf

bercak baru
Sering terjadi, umumnya

tungkai. Nodul dapat pecah (ulserasi)


Dapat terjadi

berupa nyeri tekan saraf

14

dan/atau gangguan fungsi


4

saraf
Hampir tidak ada

Perdangan

Terjadi pada mata, kelenjar getah

organ lain

bening, sendi, ginjal, testis dan lain-

Waktu timbul

Segera setelah pengobatan

lain
Setelah lebih dari 6 bulan

Tipe kusta

Dapat terjadi pada PB dan MB

pengobatan
Hanya terjadi pada MB

Tabel Perbedaan reaksi ringan dan berat pada tipe 1 dan 2


No
1

Tanda/gejala
Kulit

Saraf tepi

Reaksi tipe 1
ringan
Bercak merah,

Berat
Berca

merah,

tebal, nyeri*

tebal,

nyeri

Tanpa

nyeri

perabaan
Tanpa gangguan

Reaksi tipe 2
ringan
Nodul
merah,

berat
Nodul

panas, nyeri

panas, yeri yang

merah,

bertambah parah

bertambah

sampai pecah

parah

sampai

pecah
Nyeri

pada

Nyeri

pada

perabaan
Gangguan fungsi

fungsi

Tanpa

nyeri

perabaan
Tanpa gangguan
fungsi

perabaan,
gangguan

Keadaan

Tanpa demam

Dapat demam /

Dapat demam /

fungsi
demam

umum
Gangguan

tanpa demam
-

tanpa demam
-

Iridocyclitis,

pada

organ

lain

epididimoorchit
is,

nefritis,

limfadenitis,
hidung pelana
* bila ada reaksi pada lesi kulit yang dekat dengan saraf dikategorikan sebagai reaksi berat

Sebelum memulai penanganan reaksi, terlebih dahulu lakukan identifikasi


tipe reaksi yang dialami serta derajat reaksinya.
Hal ini dilihat dari kesimpulan pada format POD, yaitu:
1. Laphgolthalmus baru terjadi pada 6 bulan terakhir
2. Nyeri raba saraf tepi

15

3.
4.
5.
6.

Kekakuan otot berkurang dalam 6 bulan terakhir


Rasa raba berkurang dalam 6 bulan terakhir
Adanya bercak pecah atau nodul pecah
Adanya bercak meradang di atas lokasi saraf tepi
Jika ada salah satu dari tanda di atas maka terdapat reaksi berat atau perlu

diberikan obat anti reaksi. Terdiri dari:


1. Prednison, untuk penangan atau pengobatan reaksi
2. Lamprene, untuk penanganan atau pengobatan reaksi ENL yang berulang
Penangan reaksi ringan:
1.
2.
3.
4.

Berobat jalan, istirahat di rumah


Analgetik / anipiretik bila perlu
MDT tetap diberikan dengan dosis tetap
Menghindari faktor pencetus

Penangan reaksi berat:


1.
2.
3.
4.
5.

Imobilisasi lokal
Analgetik / antipiretik bila perlu
MDT tetap diberikan dengan dosis tetap
Menghindari faktor pencetus
Memberikan obat anti reaksi

Tingkat Kecacatan Pasien Kusta


Tingkat kecacatan merupakan suatu keadaan atau kondisi pasien yang
diakibatkan oleh penyakitnya (kusta) yang dapat digolongkan menurut berat
ringannya kecacatan tersebut.
Mengingat bahwa organ paling berfungsi dalam kegiatan sehari-hari
adalah mata, tangan dan kaki, maka WHO ( 1998, dalam Subdirektorat Kusta dan
Frambusia, 2007) membagi cacat menjadi 3 tingkatan kecacatan yaitu sesuai tabel
di bawah ini.

Tingkat
0

TINGKAT KECACATAN
Mata
Telapak tangan / kaki
Tidak ada kelainan mata akibat kusta
Tidak ada anestesi, tidak ada kerusakan

Ada kelainan mata akibat kusta, namun

yang tampak akibat kusta


Ada anestesi namun tidak cacat atau

tidak tampak. Penurunan visus (sedikit)

kelainan yang tampak

akibat kusta
Ada lagophthalmus,

Ada cacat yang tampak. Misal: ulkus, claw

II

visus

sangat

16

terganggu akibat kusta

fingers, drop foot

Sumber: (Subdirektorat Kusta dan Frambusia, 2007)

2.2 Konsep Osteomielitis


2.2.1 Definisi Osteomielitis
Osteomielitis adalah proses inflamasi akut atau kronis dari tulang dan
struktur sekunder tulang akibat dari infeksi oraganisme piogenik (Helmi,
2014).
Osteomielitis adalah infeksi akut tulang yang dapat terjadi karena
penyebaran infeksi dari darah (osteomielitis hematogen) atau, yang lebih
sering, setelah kontaminasi fraktur terbuka atau reduksi bedah (osteomielitis
eksogen) (Corwin, 2009).
2.2.2 Etiologi Osteomielitis
Luka tusuk pada jaringan lunak atau tulang, yang terjadi akibat gigitan
hewan atau manusia, atau injeksi intramuskular yang salah tempat, dapat
menyebabkan osteomielitis eksogen. Bakteri adalah penyebab umum
osteomielitis akut, namun virus, jamur, dan mikroorganisme lain dapat
berperan (Corwin, 2009). Penyebab osteomielitis yang paling umum baik
osteomielitis hematogen dan osteomielitis inokulasi langsung adalah
stafilococcus aureus.
2.2.3 Patofisiologi Osteomielitis
Osteomielitis mungkin dilokalisasi atau mungkin menyebar melalui
sumsum tulang, dan korteks periosteum. Patogen bakteri bervariasi
berdasarkan usia pasien dan mekanisme infeksi.
Hematogenous osteomielitis atau osteomieitis hematogen akut ditandai
dengan infeksi akut pada tulang disebabkan oleh perkembangbiakan bakteri
dalam tulang dari sumber yang jauh. Kondisi ini terutama terjadi pada anakanak di mana perkembangan metafisis yang pesat dan sangat vaskular
menjadi predisposisi penting untuk perkembangan bakteri.
Osteomielitis inokulasi langsung. Osteomielitis inokulasi terjadi akibat
adanya kontak langsung antara jaringan dan bakteri pada kondisi trauma atau

17

operasi. Manifestasi klinis dari osteomielitis inokulasi langsung lebih lokal


dari pada osteomielitis hematogen dan cenderung melibatkan beberapa
organisme.
Osteomielitis kronis merupakan kondisi yang terus menerus atau
berulang, terlepas dari penyebab awal dan/atau mekanisme terjadinya kondisi
osteomielitis.
Kondisi osteomielitis pada kondisi klinik bisa terjadi dengan adanya
riwayat pernah mengalami fraktur terbuka, riwayat pembedahan dengan
pemasangan fiksasi interna. Ada berbagai predisposisi yang meningkatkan
risiko osteomielitis, meliputi: tidak adekuatnya nutrisi dan higienis, faktor
imunitas dan virulensi kuman, serta adanya port de entree dari luka terbuka.
Proses selanjutnya terjadi hiperemi dan edema di daerah metafisis
disertai pembentukan pus. Terbentuknya pus dalam tuang di mana jaringan
tulang tidak dapat berekspansi akan menyebabkan tekanan dalam tulang
bertambah. Peninggian tekanan dalam tulang mengakibatkan terganggunya
sirkulasi dan timbul trombosis pada pembuluh darah tulang dan akhirnya
menyebabkan nekrosis tulang. Disamping proses yang disebutkan di atas,
pembentukan tulang baru yang ekstensif terjadi pada bagian dalam
periosteum sepanjang diafisis sehingga terbentuk suatu jaringan sekuestrum.
Apabila pus menembus tulang, maka terjadi pengaliran pus (discharge)
keluar melalui lubang yang disebut kloaka atau melalui sinus pada jaringan
lunak dan kulit. Pada tahap selanjutnya penyakit akan berkembang menjadi
osteomielitis kronis. Pada daerah tulang kanselosa, infeksi dapat terlokalisasi,
serta diliputi oleh jaringan fibrosa yang membentuk abses tulang kronis.
2.2.4 Klasifikasi Osteomielitis
Menurut kejadiannya osteomyelitis terbagi menjadi 2 yaitu :
1. Osteomyelitis Primer Kuman-kuman mencapai tulang secara langsung
melalui luka.
2.

Osteomyelitis Sekunder

Adalah kuman-kuman mencapai

tulang melalui aliran darah dari suatu focus primer ditempat lain (misalnya
infeksi saluran nafas, genitourinaria furunkel).
Sedangkan osteomyelitis menurut keberlangsungannya dibedakan atas :

18

1. Osteomielitis hematogen akut


Pada dasarnya merupakan penyakit pada tulang yang sedang tumbuh. Lebih
sering terjadi pada anak laki-laki tiga kali lebih sering dibandingkan perempuan.
Tulang yang sering terkena adalah tulang panjang, dimana yang tersering adalah
femur, yang diikuti oleh tibia, fibula, humerus, radius dan ulna. Penyebab
tersering adalah staphylococcuc aureus. Gejala yang sering terjadi diantaranya
adalah :
1) Nyeri daerah lesi
2) Teraba panas pada daerah sekitar lesi
3) Kemerahan pada area yang terinfeksi
4) Demam, menggigil, malaise, pembesaran kelenjar limfe regionaln
tenggorokan.
5) Sakit kepala d
6) Sering ada riwayat infeksi sebelumnya atau ada luka
7) Pembengkakan lokal
8) Kesukaran untuk bergerak pada ekstremitas yang terkena.
Penentuan diagnosis dapat dilakukan dengan :
1) Aspirasi ; aspirasi dilakukan untuk memperoleh pus dari subkutis,
subperiost.
2) Pemeriksaan pencitraan sinar X akan mengeliminasi penyebab lain dari
gejala yang timbul dan menunjukkan adanya fraktur patologis. CT scan
mengidentifikasi abnormalitas korteks, abses, saluran sinus, dan
sekuestrum. Sedangkan MRI berguna untuk mendeteksi penyebaran
infeksi ke jaringan lunak dan sumsum tulang.
3) Pemeriksaan sintigrafi ; pada pemeriksaan ini sensitivitas pemeriksaannya
terbatas pada minggu pertama dan sama sekali tidak spesifik.
4) Pemeriksaan laboratorium ; terdapat leukositosis dan peningkatan laju
endap darah, serta protein C-reaktif (CRP).

19

Gambar 2.4: Osteomyelitis akut.


2. Osteomielitis kronis
Awitan osteomyelitis kronis mungkin tidak jelas membutuhkan waktu beberap
bulan, atau tahun untuk sampai terjadi. Osteomielitis akut yang tidak diterapi
secara adekuat, akan berkembang menjadi osteomielitis kronik. Adanya abses
Brodie pada foto sinar X meningkatkan resiko infeksi berulang. Abses yang
terbentuuk jika area yang terinfeksi teratasi sebagian oleh pertahanan tubuh
meninggalkan materi yang terinfeksi dorman dalam suatu abses yang dibatasi oleh
korteks tulang.

Gambar 2.4 :Osteomielitis kronik pada tibia.


Gejala yang biasa ditemukan pada osteomielitis kronik antara lain :
1) Ada luka, bernanah, berbau busuk, nyeri
2) Gejala-gejala umum tidak ada
3) Gangguan fungsi kadang-kadang kontraktur
4) Terdapat sekuester kecil
5) Pemeriksaan Laboratorium ; LED meningkat

20

2.2.5 Manifestasi Klinis Osteomielitis


1. Gejala osteomielitis hematogen pada anak-anak adalah demam,
menggigil, dan keengganan menggerakan ekstremitas tertentu. Pada
individu dewasa, gejala mungkin samar dan berupa demam, keletihan,
dan malaise. Infeksi saluran napas, saluran kemih, telinga, atau kulit
sering mendahului osteomielitis hematogen.
2. Osteomielitis eksogen biasanya disertai tanda cedera dan inflamasi di
tempat nyeri. Terjadi demam dan pembesaran nodus limfe regional.
2.2.6 Pemeriksaan diagnostik Osteomielitis
1. Pada pemeriksaan darah rutin didapatkan adanya peningkatan leukosit,
LED, dan protein C-reaktif.
2. Pemeriksaan kultur sangat diperlukan untuk pemberian antimikroba yang
maksimal.
3. Pemeriksaan foto polos akan didapatkan adanya sekueserum pada tulang
tibia dan fibula atau destruksi tulang akibat adanya nekrosis dari tulang
yang mengalami osteomielitis.
2.2.7 Penatalaksanaan Osteomielitis
Penatalaksanaan terhadap osteomielitis disesuaikan dengan manifestasi
klinik yang ada, antara lain :
Penatalaksanaan Keperawatan :
Tujuan perawatan adalah mengembalikan pasien kegaya hidup normalnya,
tanpa infeksi dan dengan mobilitas serta fungsi ekstremitas senormal mungkin.
1. Periode perawatan yang lama rasa tidak nyaman dan nyeri yang dilami pasien
menimbulkan ansietas berat. Melakukan elevasi dan sokongan pada tulang yang
terinfeksi akan mengurangi rasa tidak nyaman dan nyeri.
2. Daerah yang terkena harus diimobilisasi untuk mengurangi ketidaknyamanan
dan mencegah terjadinya fraktur (pasien dianjurkan untuk bedrest).
3. Lakukan rendaman salin hangat selama 20 menit beberapa kali per hari untuk
meningkatkan aliran daerah.
4. Penggunaan gibs atau bidai yang dapat dibuka akan memudahkan inspeksi
inspeksi area secara teratur dan membantu perawatan luka tanpa menimbulkan
ketidaknyaman pada pasien.
5. Pemberian Nutrisi yang adekuat selama proses perawatan

21

Penatalaksanaan medik
Sasaran awal terapi adalah mengontrol dan menghentikan proses infeksi.
1. Kultur darah dan swab dan kultur abses dilakukan untuk mengidentifikasi
organisme dan memilih antibiotika yang terbaik, karena terkadang infeksi
disebabkan oleh lebih dari satu patogen.
2. Berdasarkan hasil spesimen kultur yang telah diperoleh, maka dimulai
pemberian terapi antibiotika intravena, dengan asumsi bahwa dengan infeksi
staphylococcus yang peka terhadap penisilin semi sintetik atau sefalosporin.
Tujuannya adalah mengontrol infeksi sebelum aliran darah ke daerah tersebut
menurun akibat terjadinya trombosis. Pemberian dosis antibiotika terus
menerus sesuai waktu sangat penting untuk mencapai kadar antibiotika dalam
darah yang terus menerus tinggi.
3. Antibiotika yang paling sensitif terhadap organisme penyebab yang diberikan
bila telah diketahui biakan dan sensitivitasnya. Bila infeksi tampak telah
terkontrol, antibiotika dapat diberikan per oral dan dilanjutkan sampai 3 bulan.
Untuk meningkatkan absorpsi antibiotika oral, jangan diminum bersama
makanan.
4. Bila pasien tidak menunjukkan respons terhadap terapi antibiotika, tulang
yang terkena harus dilakukan pembedahan, jaringan purulen dan nekrotik
diangkat dan daerah itu diiringi secara langsung dengan larutan salin fisiologis
steril. Terapi antibiotika tetap dianjurkan.
5. PMMA (Polymethylmethacrylate antibiotik beads)
Penanganan pengobatan osteomyelitis oleh PMMA dilakukan secara terapi
komplementer dan secara alternatif, dimana AB beads merupakan terapi
antibiotik intravena yang digunakan sebagai antibiotik pada pembedahan
debridement pada osteomyelitis dan juga digunakan pada tulang yang
terinfeksi. Polymethylmethacrylate antibiotik beads mempunyai fungsi
sebagai antibiotik yang diberikan setelah operasi debridement dari
osteomyelitis, antibiotik ini diletakkan setelah pembedahan dalam rongga
tulang yang terinfeksi dalam bentuk manik-manik yang mensterilkan dan
mempertahankan ruang pada tulang yang mengalami nekrosis. Pada akhirnya
sebuah seroma, yang merupakan koleksi serum, mediator inflamasi, dan

22

antibiotik, kan membentuk rongga pada tulang yang dibedah dan diikuti
dengan penutupan luka. Sterilisasi yang efektif dalam pengobatan ini akan
mempertahankan konsentrasi antibiotik terapeutik dalam seroma tersebut
selama tiga sampai empat minggu. Pada metode ini mempunyai waktu paruh
antara 3-4 minggu dan diganti lagi untuk pemberian untuk minggu berikutnya.
Manfaat dari antibitik beads (PMMA) adalah menurun toksisitas sistemik
yang merugikan, efeknya mengurangi lamanya penyinaran dan perawatan
rawat inap yang berhubungan dengan pembiayaan, secara keseluruhan PMMA
menghilangkan kebutuhan akan akses intravena mereka serta dapat
meningkatkan kenyamanan dan awal ambulation bagi pasien (Kent Molly, dkk
2006).
6. Pada osteomielitis kronik, antibiotika yang digunakan sama dengan antibiotik
yag diberikan pada osteomyelitis akutdisertai kombinasi obat yang umumnya
digunakan untuk mencegah terjadinya resistensi antibiotik.
7. Dilakukan sequestrektomi (pengangkatan involukrum secukupnya supaya ahli
bedah dapat mengangkat sequestrum). Kadang harus dilakukan pengangkatan
tulang untuk memajankan rongga yang dalam menjadi cekungan yang dangkal
(saucerization). Semua tulang dan kartilago yang terinfeksi dan mati diangkat
supaya dapat terjadi penyembuhan yang permanen.
8. Luka dapat ditutup rapat untuk menutup rongga mati (dead space) atau
dipasang tampon agar dapat diisi oleh jaringan granulasi atau dilakukan
grafting dikemudian hari. Dapat dipasang drainase berpengisap untuk
mengontrol hematoma dan mebuang debris. Dapat diberikan irigasi larutan
salin normal selama 7 sampai 8 hari.
9. Rongga yang didebridemen dapat diisi dengan graft tulang kanselus untuk
merangsang penyembuhan. Pada defek yang sangat besar, rongga dapat diisi
dengan transfer tulang berpembuluh darah atau flup otot (dimana suatu otot
diambil dari jaringan sekitarnya namun dengan pembuluh darah yang utuh)
(Brunner & Suddart, 2001).

2.2.8 Pencegahan Osteomielitis

23

Pencegahan osteomielitis dapat dilakukan dengan :


1. Penanganan infeksi lokal yang dapat menurunkan angka penyebaran
hematogen.
2. Penanganan infeksi jaringan lunak maka akan dapat mengontrol terjadinya
erosi tulang.
3. Pemilihan pasien dengan teliti dan perhatian terhadap lingkungan operasi dan
teknik pembedahan dapat menurunkan insiden terjadinya osteomielitis
pascaoperasi.
4. Pemberian Antibiotika profilaksis, yang diberikan untuk mencapai kadar
jaringan yang memadai saat pembedahan dan selama 24 jam sampai 48 jam
setelah operasi.
5. Teknik perawatan luka pascaoperasi aseptik akan menurunkan insiden infeksi
superfisial dan potensial terjadinya osteomielitis.
2.2.9 Komplikasi Osteomielitis
Komplikasi

yang

terjadi

dari

adanya

osteomielitis

akut

adalah

osteomielitis kronis, yang ditandai dengan adanya nyeri hebat yang tidak
berkurang dan terjadi penurunan fungsi dari bagian tubuh yang terkena.
Komplikasi lain dari osteomielitis antara lain (Anonim, 2012) :
1. Kematian tulang (osteonekrosis)
Infeksi pada tulang dapat menghambat sirkulasi darah dalam tulang,
menyebabkan kematian tulang. Jika terjadi nekrosis pada area yang luas,
kemungkinan harus diamputasi untuk mencegah terjadinya penyebaran
infeksi.
2. Arthritis septic
Dalam beberapa kasus, infeksi dalam tulang bisa menyebar ke dalam sendi di
dekatnya.
3. Gangguan pertumbuhan
Pada anak-anak lokasi paling sering terjadi osteomielitis adalah pada daerah
yang lembut, yang disebut lempeng epifisis, di kedua ujung tulang panjang
pada lengan dan kaki. Pertumbuhan normal dapat terganggu pada tulang yang
terinfeksi.
4. Kanker kulit
Jika osteomielitis

menyebabkan

timbulnya

luka

terbuka

yang

menyebabkan keluarnya nanah, maka kulit disekitarnya berisiko tinggi terkena


karsinoma sel skuamosa.

24

Dalam kepustakaan lain, disebutkan bahwa osteomielitis juga dapat menimbulkan


komplikasi berikut ini (Hidiyaningsih, 2012) :
1.

Abses tulang
2. Bakteremia
3. Fraktur
2.3 Konsep Amputasi Below Knee
2.3.1 Definisi Amputasi
Amputasi bawah lutut adalah amputasi utama yang paling sering
dikerjakan pada alat gerak bawah.amputasi bawah lutut adalah prosedur yang
memerlukan perhatian cermat terhadap detail tekniknya. Sisi pemotongan adalah
level dimana terdapat cukup jaringan lunak untuk menghasilkan puntung yang
dapat sembuh dengan baik dan mempunyai toleransi terhadap prostetik.
2.3.2 Komplikasi Amputasi
Beberapa komplikasi yang terjadi pada kasus amputasi adalah :
1.
2.
3.
4.
5.
6.

Masalah kulit
Infeksi
Masalah tulang : osteoporosis, bone spurs, scoliosis
Perubahan berat badan
Kontraktur sendi
Edema

2.3.3 Manajemen Rehabilitasi Amputasi Periode Paska Operasi


1. Anamnesa
Penilaian kembali status fisik, sosial vokasional dan psikologis kapan dan
sebab dilakukan amputasi, tanggal revisi, status amputasi sebelumnya,
prosedur operasi sebelumnya, nyeri.
2. Pemeriksaan fisik
Evaluasi penglihatan, status mental dan keadaan luka paska operasi.
2.3.4 Prinsipi Manajemen Rehabilitasi Paska Amputasi
Pada penyembuhan luka bekas operasi, mengontrol nyeri, mencegah dan
mengatasi komplikasi paska amputasi, mempertahankan kekuatan seluruh tubuh
dan meningkatkan kekuatan otot yang mengontrol puntung.

25

m.
leprae
melalui
m. leprae
melalui
droplet
droplet

2.4 WOC

Masuk ke tubuh

Imun baik

Imun buruk

Sitokin prainflamasi & molekul

Makrofag aktif

makrofag

Fagositosis

histiosif
Fagosit m. leprae
infeksi
Trauma
Anestesi
Pausi
sensorik
lesi
Inflamasi
pada
Basiler
kulit
pada
kulit
Tidak
M.
leprae
timbul
tereliminasi
kusta

Pembentukan
sel
Pembentukan sel epitel
epitel
Gangguan kelenjar
Pembentukan
tuberkel
minyak, keringat,
Gangguan
aliran
darah
penglihatan
Drop
Drop
Tangan
hand Gangguan
Kelemahan
motorik
Drop
Kaki
saraf
foot tepi lagophthalmus
Mata
m. leprae
Gangguan
Regenerasi
Infeksi
Kulit
Luka
otonom
Multi
berkembang
kering
Basiler
saraf
saraftepi
biak
tepi

26

BTA positif / negatif

MORBUS HANSEN

Hambatan mobilitas fisik

Ulkus
Ulkus kronis

Resiko cedera
Kerusakan jaringan
Ulkus
Infasi m. leprae ke
cakra epifisis tulang
OSTEOMIELITIS

Reaktifasi m. leprae di saraf tepi

27

Peningkatan tekanan
jaringan tulang

Iskemia dan
nekrosis tulang
Nyeri

AMPUTASI

Luka post-amputasi

Hambatan
mobilitas fisik

Perubahan
muskuloskeletal

Perubahan
integritas kulit

Resiko jatuh

Perubahan
fungsi tubuh

Pertahanan
primer inadekut

Gangguan citra
tubuh

Resiko infeksi

2.5 Konsep Asuhan Keperawatan Pada Klien Morbus Hansen dengan

Komplikasi Osteomielitis post amputasi


2.5.1 Pengkajian
1. Identitas Klien
Pengkajian klien meliputi Nama pasien , usia dan jenis kelamin
merupakan data dasar yang penting. suku/bangsa, agama, pendidikan, pekerjaan
klien untuk mengetahui tingkat sosial ekonomi klien, resiko trauma pekerjaan dan
kemungkinan kontrak dengan penderita kusta, alamat dimana tempat tinggal klien

28

penting karena kusta paling sering terjadi di daerah dengan tingkat sosial ekonomi
yang rendah dan insidennya meningkat pada daerah tropis/sub tropis.
2. Keluhan utama
1) Sakit atau nyeri.
Pasien yang datang dengan awitan gejala akut (mis. Nyeri lokal,
pembengkakan, eritema, demam) atau kambuhan keluarnya pus dari sinus
disertai nyeri, pembengkakan dan demam sedang.
2) Kekakuan dan kelemahan
Pasien selalu menghindar dari tekanan didaerah tersebut dan melakukan
gerakan perlindungan. Pada osteomielitis akut, pasien akan mengalami
kelemahan umum akibat reaksi sistemik infeksi.
3) Kelainan bentuk/pembengkakan
Pada osteomielitis akut akan terlihat pembengkakan pada ekstremitas yang
terkena.
4) Masalah keseimbangan dan koordinasi
3. Riwayat penyakit dahulu
Pasien pernah dirawat dengan Morbus Hansen maupun Osteomielitis
sebelumnya, atau pernah mendapatkan terapi kortikosteroid dalam jangka waktu
yang lama, riwayat kontrol, alergi riwayat pembedahan sebelumnya seperti
amputasi.
4. Riwayat penyakit keluarga
Riwayat keluarga dengan Morbus Hansen, Diabetes mellitus.
5. Perilaku yang mempengaruhi kesehatan
Perilaku klien sebelum sakit yang mempengaruhi kesehatan seperti riwayat
minum alcohol, merokok, penggunaan obat kortikosteroid, serta kebiasaan
olahraga
2.5.2 Observasi dan Pemeriksaan Fisik
1. Tanda-tanda vital
Pengkajian seperti suhu, tekanan darah, nadi, respirasi dan tingkat kesadaran
pasien.
2. Sistem muskuloskeletal
Pemeriksaan seperti nervus
1) Inpeksi
Memperhatikan dan mencatat :

29

1.
2.
3.
4.
5.
6.

Ukuran dan kontur sendi


Memeriksa kulit dan jaringan (sikatriks, tanda lahir, fistula)
Warna kemerahan atau kebiruan atau hiperpigmentasi
Pembengkakan
Deformitas
Gaya berjalan (gait)
Dalam pemeriksaan fisik memperlihatkan adanya daerah inflamasi,
pembengkakan nyata, hangat yang nyeri tekan. Cairan purulen dapat
terlihat. Pasien akan mengalami kelemahan umum akibat reaksi sistemik
infeksi. Pasien akan mengalami peningkatan suhu tubuh, dan pada
osteomielitis kronik, peningkatan suhu mungkin minimal, yang terjadi
pada sore dan malam hari.

2) Palpasi
Pada saat akan meraba posisi klien perlu diperbaiki agar dapat dinilai dari
posisi anatomis. Pemeriksaan ini merupakan pemeriksaan dua arah karenanya
perlu diperhatikan ekspresi wajah klien. Hal-hal yang perlu dicatat :
1. Perubahan suhu dan kelembaban kulit
2. Bila terjadi pembengkakan, apakah terdapat fluktuasi atau hanya edema
terutama area persendian
3. Nyeri tekan (tenderness), dan krepitasi. Catat letak kelainannya
3) Range of Motion (ROM)
Pergerakan yang diberikan adalah gerakan aktif dan gerakan pasif. Halhal yang perlu diperhatikan dan dicatat adalah keluhan nyeri klien, gerakan
abnormal klien (di area fraktur), gangguan gerak (contraction dan contructure).
Selain diperiksa pada posisi duduk dan berbaring, juga perlu dilihat waktu berdiri
dan berjalan. Jalan [erlu dinilai untuk mengetahui apakah picang disebabkan
karena insability, nyeri, discrepancy, atau, fixed deformity.
4) Muscle Testing
Pemeriksaan kekuatan otot tidak dilakukan, karena pada pasien dengan
osteomyelitis dianjurkan untuk immobilisasi.
2.5.3 Diagnosia Keperawatan
Berdasarkan pada data pengkajian, diagnosa keperawatan pasien dengan
osteomielitis dapat meliputi yang berikut :

30

Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan


intake inadekuat

Defisit perawatan diri mandi berhubungan dengan hambatan mobilitas fisik

Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan imobilisasi fisik

Nyeri akut berhubungan dengan agen injuri fisik

Gangguan citra tubuh berhubungan dengan tindakan amputasi

Kurang pengetahuan mengenai program pengobatan berhubungan dengan


kurang terpaparnya informasi

Ansietas berhubungan dengan perubahan status kesehatan

2.5.4 Intervensi Keperawatan


1. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
intake inadekuat
NOC :
Nutritional Status : food and Fluid Intake
Kriteria Hasil :
1) Adanya peningkatan berat badan sesuai dengan tujuan
2) Berat badan ideal sesuai dengan tinggi badan
3) Mampu mengidentifikasi kebutuhan nutrisi
4) Tidak ada tanda tanda malnutrisi
5) Tidak terjadi penurunan berat badan yang berarti
NIC :
Nutrition Management
1) Kaji adanya alergi makanan
2) Kolaborasi dengan ahli gizi untuk menentukan jumlah kalori dan nutrisi yang
dibutuhkan pasien.
3) Anjurkan pasien untuk meningkatkan intake Fe
4) Anjurkan pasien untuk meningkatkan protein dan vitamin C
5) Berikan substansi gula
6) Yakinkan diet yang dimakan mengandung tinggi serat untuk mencegah
konstipasi
7) Berikan makanan yang terpilih ( sudah dikonsultasikan dengan ahli gizi)
8) Ajarkan pasien bagaimana membuat catatan makanan harian.

31

9) Monitor jumlah nutrisi dan kandungan kalori


10) Berikan informasi tentang kebutuhan nutrisi
11) Kaji kemampuan pasien untuk mendapatkan nutrisi yang dibutuhkan
Nutrition Monitoring
1) BB pasien dalam batas normal
2) Monitor adanya penurunan berat badan
3) Monitor tipe dan jumlah aktivitas yang biasa dilakukan
4) Monitor interaksi anak atau orangtua selama makan
5) Monitor lingkungan selama makan
6) Jadwalkan pengobatan dan tindakan tidak selama jam makan
7) Monitor kulit kering dan perubahan pigmentasi
8) Monitor turgor kulit
9) Monitor kekeringan, rambut kusam, dan mudah patah
10) Monitor mual dan muntah
11) Monitor kadar albumin, total protein, Hb, dan kadar Ht
12) Monitor makanan kesukaan
13) Monitor pertumbuhan dan perkembangan
14) Monitor pucat, kemerahan, dan kekeringan jaringan konjungtiva
15) Monitor kalori dan intake nuntrisi
16) Catat adanya edema, hiperemik, hipertonik papila lidah dan cavitas oral.
17) Catat jika lidah berwarna magenta, scarlet
2. Defisit perawatan diri mandi berhubungan dengan hambatan mobilitas fisik
NOC :
Self care : Activity of Daily Living (ADLs)
Kriteria Hasil :
1)Klien terbebas dari bau badan
2)Menyatakan kenyamanan terhadap kemampuan untuk melakukan ADLs
3)Dapat melakukan ADLS dengan bantuan
NIC :

32

Self Care assistane : ADLs


1) Monitor kemempuan klien untuk perawatan diri yang mandiri.
2) Monitor kebutuhan klien untuk alat-alat bantu untuk kebersihan diri,
berpakaian, berhias, toileting dan makan.
3) Sediakan bantuan sampai klien mampu secara utuh untuk melakukan selfcare.
4) Dorong klien untuk melakukan aktivitas sehari-hari yang normal sesuai
kemampuan yang dimiliki.
5) Dorong untuk melakukan secara mandiri, tapi beri bantuan ketika klien tidak
mampu melakukannya.
6) Ajarkan klien/ keluarga untuk mendorong kemandirian, untuk memberikan
bantuan hanya jika pasien tidak mampu untuk melakukannya.
7) Berikan aktivitas rutin sehari- hari sesuai kemampuan.
8) Pertimbangkan usia klien jika mendorong pelaksanaan aktivitas sehari-hari.
3. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan imobilisasi fisik
NOC : Tissue Integrity : Skin and Mucous Membranes
Kriteria Hasil :
1) Integritas kulit yang baik bisa dipertahankan (sensasi, elastisitas, temperatur,
hidrasi, pigmentasi)
2) Tidak ada luka/lesi pada kulit
3) Perfusi jaringan baik
4) Menunjukkan pemahaman dalam proses perbaikan kulit dan mencegah terjadinya
sedera berulang
5) Mampu melindungi kulit dan mempertahankan kelembaban kulit dan perawatan
alami
NIC : Pressure Management
1) Anjurkan pasien untuk menggunakan pakaian yang longgar
2) Hindari kerutan pada tempat tidur
3) Jaga kebersihan kulit agar tetap bersih dan kering
4) Mobilisasi pasien (ubah posisi pasien) setiap dua jam sekali
5) Monitor kulit akan adanya kemerahan

33

6) Oleskan lotion atau minyak/baby oil pada derah yang tertekan


7) Monitor aktivitas dan mobilisasi pasien
8) Monitor status nutrisi pasien
9) Memandikan pasien dengan sabun dan air hangat
4. Nyeri akut berhubungan dengan agen injuri fisik
NOC :
1) Pain Level,
2) Pain control,
3) Comfort level
Kriteria Hasil :
1) Mampu mengontrol nyeri (tahu penyebab nyeri, mampu menggunakan
tehnik nonfarmakologi untuk mengurangi nyeri, mencari bantuan)
2) Melaporkan bahwa nyeri berkurang dengan menggunakan manajemen nyeri
3) Mampu mengenali nyeri (skala, intensitas, frekuensi dan tanda nyeri)
4) Menyatakan rasa nyaman setelah nyeri berkurang
5) Tanda vital dalam rentang normal
NIC :
Pain Management
1) Lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif termasuk lokasi, karakteristik,
durasi, frekuensi, kualitas dan faktor presipitasi
2) Observasi reaksi nonverbal dari ketidaknyamanan
3) Gunakan teknik komunikasi terapeutik untuk mengetahui pengalaman nyeri
pasien
4) Kaji kultur yang mempengaruhi respon nyeri
5) Evaluasi pengalaman nyeri masa lampau
6) Evaluasi bersama pasien dan tim kesehatan lain tentang ketidakefektifan
kontrol nyeri masa lampau
7) Bantu pasien dan keluarga untuk mencari dan menemukan dukungan
8) Kontrol lingkungan yang dapat mempengaruhi nyeri seperti suhu ruangan,
pencahayaan dan kebisingan

34

9) Kurangi faktor presipitasi nyeri


10) Pilih dan lakukan penanganan nyeri (farmakologi, non farmakologi dan inter
personal)
11) Kaji tipe dan sumber nyeri untuk menentukan intervensi
12) Ajarkan tentang teknik non farmakologi
13) Berikan analgetik untuk mengurangi nyeri
14) Evaluasi keefektifan kontrol nyeri
15) Tingkatkan istirahat
16) Kolaborasikan dengan dokter jika ada keluhan dan tindakan nyeri tidak
berhasil
17) Monitor penerimaan pasien tentang manajemen nyeri
Analgesic Administration
1) Tentukan lokasi, karakteristik, kualitas, dan derajat nyeri sebelum pemberian
obat
2)

Cek instruksi dokter tentang jenis obat, dosis, dan frekuensi

3)

Cek riwayat alergi


4) Pilih analgesik yang diperlukan atau kombinasi dari analgesik ketika
pemberian lebih dari satu

5)

Tentukan pilihan analgesik tergantung tipe dan beratnya nyeri

6)

Tentukan analgesik pilihan, rute pemberian, dan dosis optimal

7)

Pilih rute pemberian secara IV, IM untuk pengobatan nyeri secara teratur

8)

Monitor vital sign sebelum dan sesudah pemberian analgesik pertama kali

9)

Berikan analgesik tepat waktu terutama saat nyeri hebat

10)

Evaluasi efektivitas analgesik, tanda dan gejala (efek samping)

5. Gangguan citra tubuh berhubungan dengan tindakan amputasi


NOC :
Respon adaptif terhadap tantangan fungsional yang bermakna akibat
ketunadayaan fisik.
Kriteria hasil :
1) Mengidentifikasi kekuatan personal
2) Mengenali dampak situasi pada hubungan personal dan gaya hidup

35

3) Mengenali perubahan aktual pada penampilan tubuh


4) Menunjukkan penerimaan penampilan
5) Bersikap realistic mengenai hubungan antara tubuh dan lingkungan
6) Mengungkapkan keinginan untuk menggunakan sumber yang disarankan
setelah dipulangkan dari Rumah Sakit
7) Mengambil tanggung jawab untuk perawatan diri
8) Memelihara interaksi sosial yang dekat dan hubungan personal
NIC :
1) Dengarkan pasien dan keluarga secara aktif dan akui realitas kekhawatiran
terhadap perawatan, kemajuan dan prognosis
2) Beri dorongan kepada pasien dan keluarga untuk mengungkapkan perasaan
3) Dukung mekanisme koping yang biasa digunakan pasien
4) Bantu pasien dan keluarga untuk mengidentifikasi kekuatan dan mengenali
keterbatasan
5) Bantu pasien dan keluarga secara bertahap menjadi terbiasa dengan
perubahan pada tubuhnya
6. Kurang pengetahuan mengenai program pengobatan berhubungan dengan kurang
terpaparnya informasi
NOC :
1) Kowlwdge : disease process
2) Kowledge : health Behavior
Kriteria Hasil :
1) Pasien dan keluarga menyatakan pemahaman tentang penyakit, kondisi,
prognosis dan program pengobatan
2) Pasien dan keluarga mampu melaksanakan prosedur yang dijelaskan secara
benar
3) Pasien dan keluarga mampu menjelaskan kembali apa yang dijelaskan
perawat/tim kesehatan lainnya.
NIC :

36

Teaching : disease Process


1) Berikan penilaian tentang tingkat pengetahuan pasien tentang proses
penyakit yang spesifik
2) Jelaskan patofisiologi dari penyakit dan bagaimana hal ini berhubungan
dengan anatomi dan fisiologi, dengan cara yang tepat.
3) Gambarkan tanda dan gejala yang biasa muncul pada penyakit, dengan
4)
5)
6)
7)
8)

cara yang tepat


Gambarkan proses penyakit, dengan cara yang tepat
Identifikasi kemungkinan penyebab, dengna cara yang tepat
Sediakan informasi pada pasien tentang kondisi, dengan cara yang tepat
Hindari jaminan yang kosong
Sediakan bagi keluarga atau SO informasi tentang kemajuan pasien

dengan cara yang tepat


9) Diskusikan perubahan gaya hidup yang mungkin diperlukan untuk
mencegah komplikasi di masa yang akan datang dan atau proses
pengontrolan penyakit
10) Diskusikan pilihan terapi atau penanganan
11) Dukung pasien untuk mengeksplorasi atau mendapatkan second opinion
dengan cara yang tepat atau diindikasikan
12) Eksplorasi kemungkinan sumber atau dukungan, dengan cara yang tepat
13) Rujuk pasien pada grup atau agensi di komunitas lokal, dengan cara yang
tepat
14) Instruksikan pasien mengenai tanda dan gejala untuk melaporkan pada
pemberi perawatan kesehatan, dengan cara yang tepat
7. Ansietas berhubungan dengan perubahan status kesehatan
NOC :
1) Anxiety control
2) Coping
3) Impulse control
Kriteria Hasil :
1) Klien mampu mengidentifikasi dan mengungkapkan gejala cemas
2) Mengidentifikasi, mengungkapkan dan menunjukkan tehnik untuk mengontol
cemas
3) Vital sign dalam batas normal
4) Postur tubuh, ekspresi wajah, bahasa tubuh dan tingkat aktivitas menunjukkan
berkurangnya kecemasan
NIC :

37

Anxiety Reduction (penurunan kecemasan)


1) Gunakan pendekatan yang menenangkan
2) Nyatakan dengan jelas harapan terhadap pelaku pasien
3) Jelaskan semua prosedur dan apa yang dirasakan selama prosedur
4) Pahami prespektif pasien terhdap situasi stres
5) Temani pasien untuk memberikan keamanan dan mengurangi takut
6) Berikan informasi faktual mengenai diagnosis, tindakan prognosis
7) Dorong keluarga untuk menemani anak
8) Lakukan back / neck rub
9) Dengarkan dengan penuh perhatian
10) Identifikasi tingkat kecemasan
11) Bantu pasien mengenal situasi yang menimbulkan kecemasan
12) Dorong pasien untuk mengungkapkan perasaan, ketakutan, persepsi
13) Instruksikan pasien menggunakan teknik relaksasi

38

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN NERS


FAKULTAS KEPERAWATAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

PENGKAJIAN KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH


Tanggal MRS
Tanggal Pengkajian
Jam Pengkajian

: 9/3/2015
: 30/3/2015
: 09.00

Hari Rawat Ke

: 22

IDENTITAS
1. Nama Pasien
2. Umur
3. Suku/Bangsa
4. Pendidikan
5. Pekerjaan
6. Alamat
7. Biaya

Jam Masuk
: 09.33
No. RM
: 0536xx
Diagnosa Masuk : MH, Chronic
Ulcer

: Tn.M
: 50 tahun
: Madura
: SD
: Ternak kambing
: Surabaya
: BPJS

KELUHAN UTAMA
Keluhan Utama : Pasien menyatakan malu dengan keadaan kaki yang telah

diamputasi dan takut dikucilkan oleh masyarakat


RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG
1. Riwayat Penyakit Sekarang :
Pada tahun 2000 pasien merasa nyeri terbakar di kedua pergelangan kaki bawah
sehingga kesulitan tidur, kemudian pasien berobat ke Puskesmas dan dokter umum
swasta, diagnose yang didapatkan adalah rematik. Karena pengobatan yang diberikan
tidak mampu menangani keluhan pasien ,pada tahun 2014 pasien berobat ke RS Kusta
Sumber Glagah dari rekomendasi teman dan inisiatif pasien sendiri dengan keluhan
timbul nanah di luka kaki sebelah kiri, diagnosa yang didapatkan adalah Morbus
Hansen/ Kusta. Keadaan luka tersebut memburuk yang kemudian terdiagnosa
osteomielitis sehingga pasien diamputasi below knee sinistra pada tanggal 25-3-2015.
RIWAYAT PENYAKIT DAHULU
1. Pernah Dirawat
: Ya
Tidak
Hansen
2. Riwayat Penyakit Kronik Dan Menular : Ya
Riwayat Kontrol
:
Riwayat Penggunaan Obat:
3. Riwayat Alergi
:
Obat
Ya
Tidak Jenis :
Makanan
Ya
Tidak Jenis :
Lain-Lain
Ya
Tidak Jenis :
4. Riwayat Operasi :
- Kapan

Ya
:

Tidak

Kapan : 2001 Diagnosa :Morbus


Tidak

Jenis :

39

- Jenis Operasi
5. Lain-Lain :

RIWAYAT PENYAKIT KELUARGA


Ya
Tidak
- Jenis
: Morbus Hansen/ Kusta
- Genogram
:

= Laki-laki
= Perempuan
= Laki-laki meninggal
= Perempuan meninggal
= Hubungan keluarga
= Perceraian
= Pasien yang teridentifikasi
= Tinggal serumah

PERILAKU YANG MEMPENGARUHI KESEHATAN


Perilaku Sebelum Sakit Yang Mempengaruhi Kesehatan :
Alkohol
Ya
Tidak
Keterangan
Merokok
Ya
Tidak
Keterangan
3 batang sehari
Obat
Ya
Tidak
Keterangan
Olah Raga
Ya
Tidak
Keterangan -

Masalah Keperawatan
:
Tidak terdapat
masalah keperawatan

40

OBSERVASI DAN PEMERIKASAAN FISIK


1. Tanda-Tanda Vital
S: 37 C
N : 88x/menit T : 110/80 mmHg
RR : 22x/menit
Kesadaran :
Composmentis
Apatis
Somnolen
Koma
2. Sistem Pernafasan
a. RR
: 22x/menit
b. Keluhan
:
Sesak
Nyeri Waktu Nafas
Orthopnea
Batuk
:Produktif
Tidak Produktif
Sekret :
Konsistensi
:
Warna :
Bau
:
c. Penggunaan Otot Bantu Nafas :
d.
e.
f.
g.

PCH
Irama Nafas
Friction Rub
Pola Nafas
Biot
h. Suara Nafas

:
:
:
:

Ya
Teratur
Dispnoe

Kusmaul

Vesikuler
Tracheal
Ronki
Crackles
Ya

Bronko Vesikuler
Bronkhial
Wheezing

i.

Alat Bantu Nafas :

j.

Jenis
Penggunaan WSD
- Jenis

Jumlah Cairan

Undulasi

Tekanan

k. Tracheostomi

l.

Lain-lain

Sopor

Tidak
Tidak Teratur

Tidak
Flow

Ya

Chyne Stokes

lpm

Tidak

Masalah Keperawatan
:
Tidak terdapat
masalah keperawatan

41

3. Sistem Kardiovaskuler
a. TD : 110/80 mmHg
b. N
: 88 x/menit
c. HR : 22 x/menit
d. Keluhan Nyeri Dada :
P
:
Q
:
R
:
S
:
T
:
e. Irama jantung :
f. Suara jantung :
g. Ictus Cordis :
h. CRT : < 2 detik
i. Akral :
Hangat
Pucat
Panas
j. Sirkulasi Perifer :
k. JVP :
l. CVP :
m. CTR :
n. EKG & Interpretasinya :

Masalah Keperawatan
:
Ya

Tidak terdapat
masalah

Tidak

reguler
normal (S1/S2 tunggal)
gallop

ireguler
murmur
lain-lain

Kering

Merah

Basah

Dingin
Normal

Menurun

o. Lain-lain :

4. Sistem Persyarafan
a. S
: 37 C
b. GCS : E4 V5 M6
c. Refleks Fisiologis :
d. Refleks Patologis :
e. Keluhan Pusing :
P
:
Q
:
R
:
S
:
T
:
f.

Masalah
Keperawatan :
Patella
Tricep
Bicep
Babinsky
Brudzinsky Kernig
Ya
Tidak

Pemeriksaan Saraf Kranial


N1
:
Normal
melalui hidung
N2
:
Normal
N3
:
Normal
N4
:
Normal
bawah

Tidak Ket:mampu

Tidak terdapat
masalah

mengidentifikasi

bau

Tidak Ket :Respon pupil terhadap cahaya (+)


Tidak Ket :mampu mengangkat kelopak mata
Tidak Ket:mampu menggerakkan bola mata ke

42

g.
h.
i.
j.
k.
l.
m.
n.

N5
:
Normal
Tidak Ket:mampu menggerakkan rahang,
memejamkan mata
N6
:
Normal
Tidak Ket:mampu menggerakkan bola mata ke
kiri dan kekanan
N7
:
Normal
Tidak Ket:mampu
menjulurkan
lidah,
mengangkat alis mata
N8
:
Normal
Tidak Ket :tidak terkaji
N9
:
Normal
Tidak Ket :mampu membedakan rasa manis
dan asam
N10
:
Normal
Tidak Ket : mampu menelan
N11
:
Normal
Tidak Ket:mampu
menggerakkan
bahu
maksimal
N12
:
Normal
Tidak Ket : mampu menjulurkan lidah
Pupil
:
Anisokor
Isokor Diameter: 3mm/3mm
Sclera
:
Anikterus
Ikterus
Konjunctiva :
Ananemis
Anemis
Istirahat/Tidur :
8 Jam/Hari Gangguan Tidur :
IVD :
EVD :
ICP :
Lain-lain
:

5. Sistem Perkemihan
a. Kebersihan Genital :
b. Sekret
:
c. Ulkus
:
d. Kebersihan Meatus Uretra :
e. Keluhan Kencing
:
Bila ada, jelaskan

f.

Kemampuan berkemih:
Spontan

Bersih
Ada
Ada
Bersih
Ada

Kotor
Tidak
Tidak
Kotor
Tidak

Masalah Keperawatan
:
Tidak terdapat
masalah keperawatan

Alat bantu, sebutkan


Jenis
:
Ukuran
:
Hari Ke:

g. Produksi Urine : 25 ml/jm


Warna
: Kuning jernih
Bau
: Amonia
h. Kandung kemih membesar :
i. Nyeri Tekan
:
j. Intake Cairan :Oral : 1500 cc/hari

Ya
Ya
Parenteral :

Tidak
Tidak
cc/hari

43

k. Balance Cairan :

l.

Lain-lain:

6. Sistem Pencernaan
a. TB : 160
b. IMT : 20,25
c. LOLA: 26

BB
Interpretasi

: 47
: Risiko rendah

Masalah Keperawatan
:
Tidak terdapat
masalah keperawatan

d. Mulut
: Bersih
Kotor
Berbau
e. Membran Mukosa : Lembab
Kering
Stomatitis
f. Tenggorokan
:
Sakit Menelan
Kesulitan Menelan
Pembesaran Tonsil
Nyeri Tekan
g. Abdomen
: Tegang
Kembung
Asites
h. Nyeri Tekan
: Ya
Tidak
i. Luka Operasi
: Ada
Tidak
Tanggal Operasi :
Jenis operasi
:
Lokasi
:
Keadaan
:
Drain
:
Ada
Tidak
- Jumlah
:
- Warna
:
- Kondisi area sekitar inserasi :
j. Peristaltik
: 14 x/menit
k. BAB
: 1 x/hari
Terakhir Tanggal : 30-3-2015
l. Konsistensi
:
Keras
Lunak
Cair
Lendir/Darah
m. Diit
:
Padat
Lunak
Cair
n. Diit khusus
:

o. Nafsu Makan
p. Porsi Makan
q. Lain-Lain

:
:
:

Baik
Habis

Menurun Frekuensi: 3X/Hari


Tidak
Keterangan :

44
Masalah Keperawatan
:
7. Sistem Penglihatan
a. Pengkajian segmen anterior dan posterior :
OD
Visus
Tidak terkaji
Palpebra
Conjungtiva
Edema (-)
Kornea
BMD
Anemis
Pupil
Iris
Hitam, jernih
Lensa
TIO
Tidak terkaji

Isokor,
3 mmNyeri
b. Keluhan
P

Ya

Jernih
Q
:

OS

Tidak terkaji
Edema (-)
Anemis
Hitam, jernih
Tidak terkaji
Isokor,
Tidak 3 mm
Jernih

Jernih
S
:

Jernih

Tidak terkaji
c. Luka Operasi
:
Tanggal Operasi
:
Jenis Operasi
:
Lokasi
:
Keadaan
:
d. Pemeriksaan Penunjang :
e. Lain-lain
:

Tidak terdapat
masalah

Tidak terkaji
Ada

Tidak

Masalah Keperawatan
:
8. Sistem Pendengaran
a. Pengkajian Segmen Anterior Dan Posterior :
ODtampakadanya
Tidak
Auricula
deformitas, tidak
ada benjolan,
simetris
Tidakada benda asing
maupun serumen
Tidak tampak adanya
perforasi

MEA
Membran
Tymphani

Tidak terdapat
masalah
OS
Tidak
tampakadanya
deformitas, tidak
ada benjolan,
simetris
Tidakada benda asing
maupun serumen
Tidak tampak adanya
perforasi

Tidak terkaji

Tidak terkaji

Tidak terkaji

Tidak terkaji

45

Rinne
Weber
Swabach
b. Tes Audiometri :

c. Keluhan Nyeri :
P
Q
R
S
T

Ya

Tidak

Ada

Tidak

:
:

Bebas

:
:
:
:
:

d. Luka Operasi
:
Tanggal Operasi :
Jenis Operasi
:
Lokasi
:
Keadaan
:
e. Alat Bantu Dengar :
f. Lain-lain :

9. Sistem Integumen
a. Pergerakan sendi
b. Kekuatan Otot

Terbatas
Masalah Keperawatan
:

5
5
c. Kelainan Ekstremitas :
Ya
Tidak
d. Kelianan Tulang Belakang :
Ya
Tidak Tidak terdapat
- Frankel
:
masalah keperawatan
e. Fraktur
:
Ya
Tidak
- Jenis
:
f. Traksi
:
Ya
Tidak
- Jenis
:
- Beban
:
- Lama Pemasangan
:
g. Penggunaan Spalk/Gips :
Ya
Tidak
h. Keluhan Nyeri
:
Ya
Tidak
P
: nyeri pada luka post op amputasi
Q
:nyeri tumpul. Pasien belum pernah mengalami nyeri serupa

sebelumnya
R
: nyeri sekitar luka jahitan. Nyeri berkurang saat digunakan untuk
berbaring dan diganjal bantal. Nyeri bertambah ketika untuk berpindah
tempat
S
: skala nyeri 4 (0-10)
T
: nyeri hilang timbul

46

i.
j.
k.
l.
m.

n.
o.
p.
q.

Sirkulasi Perifer
:
baik
Kompartemen Syndrome :
Ya
Tidak
Kulit :
Ikterik
Sianosis
Kemerahan
Hiperpigmentasi
Turgor:
Baik
Kurang
Jelek
Luka Operasi
:
Ada
Tidak
Tanggal Operasi : Rabu, 25-3-2015
Jenis Operasi
: Amputasi Below Knee Sinistra
Lokasi
: Below Knee Sinistra
Keadaan
: Baik
Drain
:
Ada
tidak
Jumlah
:
5 cc
Warna
:
merah
Kondisi Area Sekitar Inserasi :
luka jahitan sedikit membuka, keluar
darah di sela jahitan
ROM : Aktif
POD : Nyeri tekan : saraf ulnaris kanan tidak ada, kekuatan otot : jari ke 5 P,
ibu jari P
Cardinal Sign : BTA (+), lesi anastesi (+)
Lain-lain
:

10. Sistem Integumen


a. Penilaian Risiko Decubitus
ASPEK
YANG
DINILAI
PERSEPSI
SENSORI
KELEMBABAN
AKTIVITAS
MOBILISASI
NUTRISI

KRITERIA PENILAIAN
1
2
TERBATAS
SANGAT
SEPENUHNY
TERBATAS
A
TERUS
MENERUS
SANGAT LEMBAB
BASAH
BEDFAST
IMMOBILE
SEPENUHNY
A
SANGAT BURUK

NILAI

KETERBATASAN
RINGAN

TIDAK
ADA
GANGGUAN

KADANG2 BASAH

JARANG BASAH

CHAIRFAST

KADANG2 JALAN

SANGAT
TERBATAS

KETERBATASAN
RINGAN

KEMUNGKINAN

ADEKUAT

LEBIH
SERING
JALAN
TIDAK
ADA
KETERBATASA
N
SANGAT BAIK

2
3
4

47

TIDAK
ADEKUAT
GESEKAN
&
TIDAK
POTENSIAL
PERGESERA
BERMASALAH
MENIMBULKA
BERMASALAH
N
N MASALAH
NOTE : Pasien dengan nilai total < 16 maka dapat dikatakan bahwa pasien berisiko
mengalami dekubitus (pressure ulcers).
(15 or 16 = low risk, 13 or 14 = moderat risk, 12 or less = high risk)

b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.

Warna
Pitting Edem
Eksoriasis
Psoriasis
Pruritus
Urtikaria
Lain-Lain

:
: +/:
:
:
:
:

Grade :
Ya
Ya
Ya
Ya

Tidak
Tidak
Tidak
Tidak

11. Sistem Endokrin


a. Pembesaran Thyroid
:
b. Pembesaran Kelenjar Getah Bening :
c. Hipoglikemia
:
d. Hiperglikemia
:
e. Kondisi Kaki DM:
- Luka Gangren
:
Ya
Jenis
:
- Lama Luka
:
- Warna
:
- Luas Luka
:
- Kedalaman
:
- Kulit Kaki
:
- Kuku Kaki
:
- Telapak Kaki
:
- Jari Kaki
:
- Infeksi
:
Ya
- Riwayat Luka Sebelumnya :
Ya
- Jika Ya :
- Tahun
:
- Jenis Luka
:
- Lokasi
:
- Riwayat Amputasi Sebelumnya
:
- Jika Ya
- Tahun
: 2015
- Lokasi
: Below Knee Sinistra
f. ABI
:
g. Lain-Lain
:

PENGKAJIAN PSIKOSOSIAL

TOTAL NILAI

19

Masalah Keperawatan
:
Tidak terdapat
masalah keperawatan

Ya
Ya
Ya
Ya

Tidak
Tidak
Tidak
Tidak

Tidak

Tidak
Tidak

Ya

Tidak
Masalah Keperawatan
:
Tidak terdapat
masalah keperawatan

Masalah Keperawatan
:
Tidak terdapat
masalah

48

a. Persepsi klien terhadap penyakitnya :


Pasien tidak menerima keadaan situasi diri dan malu terhadap
masyarakat
b. Ekspresi klien terhadap penyakitnya
Murung/Diam
Gelisah
Tegang
Marah/Menangis
c. Reaksi saat interaksi :
Kooperatif
Tidak Kooperatif
Curiga
d. Gangguan konsep diri :
Klien menyatakan akan segera sembuh dan dapat kembali melakukan aktivitas
seperti sebelum sakit dengan bantuan alat gerak
e. Lain-lain :

PERSONAL HYGIENE & KEBIASAAN


a. Kebrsihan diri :
Mandi 2x sehari
b. Kemampuan klien dalam pemenuhan kebutuhan :
- Mandi
:
di bantu seluruhnya
mandiri
- Ganti pakaian
:
dibantu seluruhnya
mandiri
- Kramas
:
dibantu seluruhnya
mandiri
- sikat gigi
:
dibantu seluruhnya
mandiri
- Memotong kuku :
dibantu seluruhnya
mandiri
- Berhias
:
dibantu seluruhnya
mandiri
- Makan
:
dibantu seluruhnya
mandiri

Masalah Keperawatan
:
Tidak terdapat
masalah keperawatan
dibantu sebagian
dibantu sebagian
dibantu sebagian
dibantu sebagian
dibantu sebagian
dibantu sebagian
dibantu sebagian

PENGKAJIAN SPIRITUAL
a. Kebiasaan beribadah
- Sebelum sakit :
sering
kadang-kadang
tidak pernah
- Selama sakit :
sering
kadang-kadang
tidak pernah
b. Bantuan yang diperlukan klien untuk memenuhi kebutuhan beribadah :
Masalah Keperawatan
:
Tidak terdapat
masalah keperawatan
PEMERIKSAAN PENUNJANG (Laboratorium, Radiologi, EKG, USG, dll)
HB : 9,5
Leukosit : 10.200

49

Trombosit : 564.000
Albumin : 2,8
Kreatinin : 0,81
SGOT : 26
SGPT : 28
TERAPI
Levofloxacin 1 x 750 mg
Metronidazol 3 x 250 mg
Asam Mefenamat 3 x 500 mg
Noremi 1 x 1 ampul
Metronidazol salep + IPL
Diit TKTP
DATA TAMBAHAN LAIN

Surabaya, 30 Maret 2015

Kelompok 14

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN NERS


FAKULTAS KEPERAWATAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

TANGGAL
DATA
ETIOLOGI
30/3/2015 DS :
M.Leprae
Pasien menyatakan malu
dengan keadaan kaki
Menyerang kulit dan
yang telah diamputasi
saraf tepi
dan takut dikucilkan
oleh masyarakat
Ulkus

MASALAH
GANGGUAN
CITRA TUBUH

50

DO :
- Pasien menghindari
menatap luka
amputasi
- post op amputasi below
knee sinistra
- pasien tidak mampu
berpindah maupun
berdiri tanpa alat
bantu
30/3/2015

DS : DO :
- Leukosit : 10.200
- Hemoglobin : 9,5
- Port de entry : Post
op amputasi below
knee sinistra,
chronic ulcer
- Terdapat luka
jahitan pada lutut
bawah kiri dengan p
: 8 cm
- Produksi drainase
(+) : warna merah 5
cc pus (-)
- luka jahitan sedikit
membuka, keluar
darah di sela jahitan

30/3/2015

DS : DO :
- Pasien mengalami
kondisi paska
bedah : Post op
amputasi below knee
sinistra
- Pasien mengalami

Invasi kuman ke tulang


dan sendi
Osteomielitis
Amputasi
Gangguan citra tubuh

M.Leprae

RISIKO
INFEKSI

Merusak kulit dan saraf


tepi
Ulkus
Ulkus kronis,
Osteomielitis
Amputasi pada kaki
yang mengalami
osteomielitis
Peningkatan pemajanan
lingkungan terhadap
pathogen
Risiko Infeksi

M.Leprae
Merusak kulit dan saraf
tepi
Ulkus
Osteomielitis

RISIKO JATUH

51

30/3/2015

lesi anastesi pada


telapak kaki kanan
Lokasi kamar mandi
agak jauh dari kamar
inap pasien
Pasien menggunakan
alat bantu : kursi
roda

DS :
- P : nyeri pada luka
post op amputasi
- Q : nyeri tumpul.
Pasien belum
pernah mengalami
nyeri serupa
sebelumnya
- R : nyeri sekitar
luka jahitan. Nyeri
berkurang saat
digunakan untuk
berbaring dan
diganjal bantal.
Nyeri bertambah
ketika untuk
berpindah tempat
- S : skala nyeri 4 (010)
- T : nyeri hilang
timbul
DO :
- Pasien terlihat
meringis menahan
nyeri saat berpindah
tempat
- Pasien berfokus
pada diri sendiri
- Nafsu makan
menurun, makan
pagi habis porsi
- TD : 110/80 mmHg
- N : 88x/menit
- S : 37 C
- RR : 22x/menit

Amputasi pada kaki


yang mengalami
osteomielitis
Kondisi paska bedah
Risiko jatuh
NYERI AKUT
M.Leprae
Merusak kulit dan saraf
tepi
Ulkus
Osteomielitis
Amputasi pada kaki
yang mengalami
osteomielitis
Kondisi paska bedah
Nyeri akut

52

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN NERS


FAKULTAS KEPERAWATAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

DAFTAR PRIORITAS DIAGNOSA KEPERAWATAN


TANGGAL : 30 Maret 2015
1. Gangguan Citra tubuh berhubungan dengan amputasi
2. Nyeri Akut berhubungan dengan agen cedera fisik ; luka post amputasi
3.Resiko Infeksi berhubungan dengan peningkatan pemajanan lingkungan
terhadap patogen sekunder amputasi
4. Resiko Jatuh berhubungan dengan kehilangan salah satu anggota gerak bawah

53

54

INTERVENSI KEPERAWATAN
Nama
: Tn. M
Usia
: 50 tahun
HARI/
WAKTU
TANGGAL
30/3/2015
09.15

DIAGNOSA KEPERAWATAN
(Tujuan, Kriteria Hasil
Gangguan citra tubuh
berhubungan dengan amputasi
Tujuan : Setelah dilakukan
tindakan keperawatan selama
3x24 jam diharapkan pasien
mengalami citra tubuh yang
baik dengan kriteria hasil :
- Mulai menunjukkan adaptasi
dan menyatakan penerimaan
pada situasi diri
- Mengenali dan menyatu dengan
perubahan dalam konsep diri
yang akurat tanpa harga diri
negative
- Kepuasan terhadap penampilan
dan fungsi tubuh
- Keinginan untuk menyentuh

Diagnosa Medis
: Morbus Hansen, Chronic Ulcer
No. Rekam Medis
: 0536xx
INTERVENSI
RASIONAL
1. Pertimbangkan persiapan pasien
dan pandangan terhadap amputasi

Pasien yang memandang amputasi


sebagai rekonstruksi akan menerima
diri yang baru lebih cepat ekspresi,
emosi membantu pasien, mulai
menerima kenyataan dan realitas
hidup

2. Dorong ekspresi ketakutan ,


perasaan negatif dan kehilangan
bagian tubuh

Ekspresi emosi membantu pasien


mulai menerima kenyataan dan
realitas hidup tanpa tungkai

3. Beri penguatan informasi paska


operasi, termasuk tipe/luka
amputasi, harapan tindakan operasi,
kontrol nyeri dan rehabilitasi

Memberikan kesempatan untuk


menanyakan dan mengasimilasi
gambaran diri dan fungsi yang dapat
membantu penyembuhan

4. Observasi derajat dukungan yang


ada untuk pasien

Dukungan yang cukup dari orang


terdekat membantu rehabilitasi

55

bagian tubuh yang


mengalami gangguan

30/3/2015

09.15

Nyeri akut berhubungan dengan


Setelah dilakukan tindakan
keperawatan selama 3x24 jam
nyeri pasien berkurang dengan
kriteria
- pasien menyatakan nyeri
berkurang/hilang
- skala nyeri (1-3)
- frekuensi nafas, jantung,
tekanan darah dalam batas
normal

5. Dorong partisipasi dalam aktivitas


sehari-hari, berikan kesempatan
untuk memandang atau merawat
puntung demi menunjukkan tanda
positif penyembuhan

Meningkatkan kemandirian dan


harga diri

6. Diskusikan persepsi pasien


tentang diri dan hubungannya
dengan perubahan dan bagaimana
pasien melihat dirinya dalam pola
atau peran fungsi yang biasanya.

Membantu mengartikan masalah


sehubungan dengan pola hidup
sebelumnya dan membantu
pemecahan masalah

1. observasi isyarat non verbal,


ketidaknyamanan, tanda vital

1. mengetahui adanya
peningkatan skala nyeri

2. berikan informasi tentang nyeri,


penyebab,berapa lama akan
berlangsung dan antisipasi
terhadap ketidaknyamanan
ajarkan penggunaan teknin non
farmakologi, distraksi music,
relaksasi kompres hangat serta
nafas dalam

2. menambah pengetahuan pasien


dan keluarga tentang nyeri dan
cara mengatasinya

56

30/3/2015

09.15

pasien memperlihatkan
teknik relaksasi secara
individual yang efektif
untuk mencapai
kenyamanan
melaporkan pola tidur yang
baik
mempertahankan selera
makan yang baik

3. motivasi pasien untuk


meningkatkan istirahat
4. ciptakan lingkungan yang
terapeutik
5. kelola pemberian analgesik
sesuai indikasi

Risiko infeksi berhubungan


1. Mempertahankan teknik aspetik
dengan peningkatan pemajanan
bila mengganti balutan atau
lingkungan terhadap patogen
merawat luka
sekunder amputasi
2. Inspeksi balutan dan luka
Tujuan : setelah dilakukan
tindakan keperawatan selama
3x 24 jam pasien terhindar dari
infeksi dengan kriteria
-

Bebas purulent dan eritema


Kadar leukosit normal
Suhu dbn (36,5-37,5 C)
Regenarsi jaringan baik

3. mengurangi intensitas dan


pengalihan terhadap
ketidaknyamanan
4. istirahat cukup mampu
mengontrol nyeri
5. mencegah terjadinya
rangsangan reseptor nyeri
sehingga tidak dapat
dipersepsikan sebagai
ketidaknyamanan
Meminimalkan kesempatan
introduksi bakteri
Deteksi dini terjadinya infeksi
memberikan kesempatan untuk
intervensi tepat waktu dan mencegah
komplikasi lebih serius

3. Awasi tanda vital dan kadar


leukosit

Peningkatan suhu/ takikardia dan


peningkatan sepsis dapat menjadi
tanda sepsis

4. Kolaborasi antibiotik sesuai

Terapi antibiotik yang disesuaikan


dengan organisme khusus berguna

57

30/3/2015

09.15

Terbebas dari tanda dan


gejala infeksi

indikasi

untuk pencegahan infeksi

Risiko jatuh berhubungan


dengan kehilangan salah satu
anggota gerak bawah

1. Identifikasi karakteristik
lingkungan yang dapat
meningkatkan potensi jatuh

Deteksi dini keadaan lingkungan


yang meningkatkan potensi jatuh
untuk meminimalkan risiko jatuh

Tujuan : setelah dilakukan


tindakan keperawatan selama
1x 24 jam klien terhindar dari
jatuh dengan kriteria hasil :

2. Pantau cara berjalan,


keseimbangan, dan tingkat keletihan
saat ambulasi

Memantau cara berjalan,


keseimbangan, dan keletihan saat
ambulasi diperlukan untuk
mengetahui perkembangan pasien
dan mencegah jatuh

3) Lakukan perujukan ke ahli


fisioterapi

Kekuatan otot yang baik akan


memberikan keseimbangan yang
baik

4) Atur tata letak barang di tempat


yang mudah dijangkau pasien dan
keterjangkauan kamar mandi

Kemudahan dalam menjangkau


barang-barang pribadi akan
meminimalkan risiko jatuh

5) Sediakan alat bantu ( walker ) dan


ajarkan pemakaian yang tepat

Alat bantu (walker) akan


memudahkan pasien dalam
beraktivitas, contoh menuju kamar
mandi

- Pasien mampu mengidentifikasi


risiko yang meningkatkan
kerentanan terhadap terjatuh
- Lingkungan aman
- Pasien mampu menghindari
cedera fisik akibat jatuh

58

IMPLEMENTASI KEPERAWATAN
Nama
: Tn. M
Usia
: 50 tahun
Hari/Tgl/Shift No.DK
30/3/2015
1

Jam
13.00

PAGI
13.05

13.10

Diagnosa Medis
: Morbus Hansen, Chronic Ulcer
No. Rekam Medis
: 0536xx
Implementasi
Paraf Jam
Evaluasi (SOAP)
1. Mengkaji dan mempertimbangkan
13.30 S :
persiapan pasien dan pandangan
- Pasien menyatakan amputasi
terhadap amputasi
bertujuan untuk mencegah
penyakit bertambah parah
Pasien
menyatakan merasa
2. Mendorong ekspresi ketakutan,
kehilangan bagian tubuh
perasaan negatif, dan kehilangan
Pasien
menyatakan dukungan
bagian tubuh
yang ada untuk pasien
didapat dari teman sekamar
3. Memberi penguatan informasi
O:
paska operasi termasuk tipe/luka
- Pasien mampu menjawab
amputasi, harapan tindakan operasi,

Paraf

59

kontrol nyeri dan rehabilitasi


13.15

kembali pertanyaan berkaitan


dengan tipe, lokasi amputasi,
harapan tindakan operasi,
dan kontrol nyeri serta
rehabilitasi
- post op amputasi below knee
sinistra hari ke 5

4. Mengkaji derajat dukungan yang


ada untuk pasien

A : Masalah teratasi sebagian


P : Lanjutkan intervensi
- Dorong partisipasi dalam
aktivitas sehari-hari
- berikan kesempatan untuk
memandang atau merawat
puntung demi menunjukkan
tanda positif penyembuhan
30/3/2015

09.20

1. Mengobservasi isyarat non verbal,


tanda ketidaknyamanan

09.25

2. Mengajarkan teknik non


farmakolog : nafas dalam saat nyeri
timbul
3. Mengelola pemberian analgesik

PAGI

13.00

S:
- Pasien menyatakan masih
merasa nyeri, skala nyeri 4,
nyeri timbul saat berpindah
tempat
O:

60

12.00

30/3/2015

09.30

PAGI

asam mefenamat 500 mg

1. Mengganti balutan, melepas drain


dan merawat luka dengan
mempertahankan teknik aspetik

09.45

2. Menginspeksi balutan dan luka

09.50

3. Mengelola pemberian antibiotic


metronidazole salep sesuai indikasi

Pasien terlihat meringis


menahan nyeri
- Pasien berfokus pada diri
sendiri
- Makan siang habis porsi
- TD : 110/70 mmHg N :
92x/menit S 37C RR
20x/menit
A : masalah teratasi sebagian
P : lanjutkan intervensi
- Observasi TTV, isyarat non
verbal ketidaknyamanan
- Ciptakan lingkungan
terapeutik
- Motivasi pasien untuk
meningkatkan istirahat
- Kelola pemberian analgesik
asam mefenamat 3x500 mg
12.30 S : O:
- Perawatan luka
menggunakan teknik aseptik
- Kondisi luka jahitan bersih,
pus (-), jahitan sedikit
membuka, keluar darah

61

12.00

4. Mengawasi tanda vital dan kadar


leukosit

12.10

5. Mengelola pemberian terapi


metronidazole p.o 250 mg

disela jahitan. Panjang luka


jahitan 8 cm
Post op amputasi below
knee sinistra hari ke 5
S 36,5 C, TD110/90 mmHg,
HR 89x/menit, RR 22
x/menit, Leukosit 10.200,
HB 9,5

A : Masalah teratasi sebagian

30/3/2015

14.00

1. Mengidentifikasi karakteristik
lingkungan yang dapat
meningkatkan potensi jatuh

14.10

2. Memantau cara berjalan,

PAGI

P : Lanjutkan intervensi
- Rawat luka dengan teknik
aseptik
- awasi tanda vital dan kadar
leukosit
- kelola pemberian antibiotik
metronidazole salf,
levofloxacin 1x750 mg,
metronidazole 3x250 mg
14.30 S : Pasien menyatakan belum
mau menggunakan walker
karena takut jatuh
O:

62

keseimbangan, dan tingkat


keletihan saat ambulasi

14.15

31/3/2015
PAGI

3. Mengatur tata letak barang di


tempat yang mudah dijangkau
pasien dan keterjangkauan kamar
mandi

14.20

4. Menyediakan alat bantu ( walker )


dan ajarkan pemakaian yang tepat

14.25

5. Kolaborasi dengan fisioterapi untuk


latihan kekuatan otot knee sinistra

10.00

1. Mendorong partisipasi dalam


aktivitas sehari-hari, berikan
kesempatan untuk memandang atau
merawat puntung demi
menunjukkan tanda positif

Kamar mandi agak jauh dari


kamar perawatan pasien
Tata letak barang mudah
dijangkau
Walker sudah tersedia, tetapi
pasien belum mau
menggunakan walker
Pasien mampu
memperagakan latihan
kekuatan otot knee sinistra

A : Masalah teratasi sebagian


P : Lanjutkan intervensi
- Latih kekuatan otot knee
sinistra setiap hari
- Motivasi dan ajarkan pasien
untuk menggunakan alat
bantu walker
10.30

S:
- Pasien menyatakan menerima
keadaan diri
- Pasien menyatakan mampu
berperan dalam fungsi yang

63

penyembuhan
10.10

10.15

biasanya dan tidak akan


merasa malu terhadap
masyarakat

2. Berikan kesempatan untuk


memandang atau merawat puntung
demi menunjukkan tanda positif
penyembuhan
3. Mendiskusikan persepsi pasien
tentang diri dan hubungannya
dengan perubahan dan bagaimana
pasien melihat dirinya dalam pola
atau peran fungsi yang biasanya.

O:
- Pasien menatap luka saat
dilakukan perawatan luka
- Pasien mampu berpindah ke
kursi roda dengan bantuan
minimal
A : Masalah teratasi
P : Hentikan intervensi

31/2//2015

12.00
12.10
12.15
12.20

1. Mengobservasi TTV, isyarat non


verbal ketidaknyamanan
2. menciptakan lingkungan terapeutik
3. Memotivasi pasien untuk
meningkatkan istirahat
4. Mengelola pemberian analgesik
asam mefenamat 500 mg

15.00

S:
- Pasien menyatakan nyeri
berkurang, skala nyeri 4,
nyeri timbul saat berpindah
tempat
- Pasien menyatakan dapat
tidur siang
O:
- Pasien terlihat rileks
- Makan siang habis porsi

64

31/3/2015
PAGI

09.00
09.10

1. Melakukan rawat luka dengan


teknik aseptik
2. Mengelola pemberian antibiotic
metronidazole salf

12.00

2. Mengobservasi tanda-tanda vital

12.10

3. Mengkolaborasikan antibiotik
metronidazole p.o 250 mg

TD : 120/80 mmHg N : 91
x/menit S 36,1C RR
22x/menit
A : masalah teratasi sebagian
P : lanjutkan intervensi
- Observasi TTV, isyarat non
verbal ketidaknyamanan
- Ciptakan lingkungan
terapeutik
- Motivasi pasien untuk
meningkatkan istirahat
- Kelola pemberian analgesik
asam mefenamat 3x500 mg
14.00 S : O:
- Perawatan luka
menggunakan teknik aseptik
- Kondisi luka jahitan bersih,
pus (-), jahitan sedikit
membuka, keluar darah
disela jahitan. Panjang luka
jahitan 8 cm
- Post op amputasi below
knee sinistra hari ke 6

65

TD : 120/80 mmHg N : 91
x/menit S 36,1C RR
22x/menit
A : Masalah teratasi sebagian

31/3/2015
SIANG

14.00
14.20

1. Latih kekuatan otot knee sinistra


setiap hari
2. Motivasi dan ajarkan pasien untuk
menggunakan alat bantu walker

P : Lanjutkan intervensi
- Rawat luka dengan teknik
aseptik setiap hari
- awasi tanda vital dan kadar
leukosit
- kelola pemberian antibiotik
metronidazole salf,
levofloxacin 1x750 mg,
metronidazole 3x250 mg
15.00 S : Pasien menyatakan bersedia
menggunakan walker
O:
- Tata letak barang mudah
dijangkau
- Pasien mampu
menggunakan walker
dengan bantuan
- Pasien mampu
memperagakan latihan

66

kekuatan otot knee sinistra


A : Masalah teratasi sebagian
P : Lanjutkan intervensi
- Latih kekuatan otot knee
sinistra setiap hari
1/4/2015

12.00
12.10
12.15
12.20

1/4/2015
PAGI

09.00

1. Mengobservasi TTV, isyarat non


verbal ketidaknyamanan
2. Menciptakan lingkungan terapeutik
3. Memotivasi pasien untuk
meningkatkan istirahat
4. Mengelola pemberian analgesik
asam mefenamat 3x500 mg

15.00

S:
- Pasien menyatakan nyeri
berkurang, skala nyeri 3
- Pasien menyatakan dapat
tidur siang
O:
- Pasien terlihat rileks
- Makan siang habis 1 porsi
- TD : 110/90 mmHg N : 89
x/menit S 36,5C RR
22x/menit
A : masalah teratasi
P : hentikan intervensi

1. Melakukan rawat luka dengan


teknik aseptik

09.30

S:O:

67

09.10
12.00

1/4/2015
PAGI

14.00

2. Mengelola pemberian antibiotik


metronidazole salf
3. Mengelola pemberian antibiotic p.o
metronidazole 3x250 mg

Melatih kekuatan otot knee sinistra


setiap hari

Perawatan luka
menggunakan teknik aseptik
- Kondisi luka jahitan bersih,
pus (-), jahitan sedikit
membuka, keluar darah
disela jahitan. Panjang luka
jahitan 8 cm
- Post op amputasi below
knee sinistra hari ke 7
- TD : 110/90 mmHg N : 89
x/menit S 36,5C RR
22x/menit
A : Masalah teratasi sebagian
P : Lanjutkan intervensi
- Rawat luka dengan teknik
aseptik setiap hari
- awasi tanda vital
- kelola pemberian antibiotik
metronidazole salf,
levofloxacin 1x750 mg,
metronidazole 3x250 mg
S : Pasien menyatakan sudah
menggunakan walker dengan
bantuan

68

O:
- Tata letak barang mudah
dijangkau
- Pasien mampu
menggunakan walker
dengan bantuan
- Pasien mampu
memperagakan latihan
kekuatan otot knee sinistra
A : Masalah teratasi sebagian
P : Lanjutkan intervensi
- Latih kekuatan otot knee
sinistra setiap hari

69

70

DAFTAR PUSTAKA
Amirudin, M. 2003. Penyakit Kusta. Makassar : Hassanudin Unversity Press.
Blackwell, W. 2014. Diagnosis : Definition and Classification 2015-2017. 10 th
edition. Philadelphia : Elsevier
Bulecheck GM, ButcherHK, Dotchman JM, 2013. Nursing Intervention
Clasification. 6th edition. Philadelphia : Elsevier.
Corwin, Elisabeth J. 2009. Patofisiologi: buku saku. Edisi 3. Jakarta: EGC
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2007. Pedoman Kusta Nasional
untuk sentinel surveilans. Jakarta
Djuanda. 2007. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Jakarta : PKUI
Graham, R. 2005. Dermatoligi. Edisi 8. Erlangga
Kemenkes RI. 2007. Pedoman Nasional Pengendalian Penyakit Kusta. Jakarta:
Dirjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Kemenkes RI
Kosasih, A. 2007. Ilmu penyakit Kulit dan Kelamin. Jakarta : FK UI
Mansjoer, Arif dkk. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Jilid 2. Edisi 3. Media
Aesculapius. Jakarta : FK UI
Noor Helmi,Zairin. 2014. Buku Ajar Gangguan Muskuloskeletal. Jakarta:
Salemba Medika
Subdirektorat Kusta dan Frambusia. 2007. Modul Pelatihan Program P2 Kusta
Bagi UPK
Moorheads, Jhonson M, Mausmi, Swanson E. 2013. Nursing Outcome
Classification. 5th edition. Philadelphia : Elsevier.
Zulkifli.2003. Penyakit Kusta dan Masalah yang ditimbulkannya. Medan : USU
Digital Library

Anda mungkin juga menyukai