BAB 1
PENDAHULUAN
Namun,
tingkat
adalah sekitar
mortalitas
2,4 kasus
osteomielitis
adalah rendah, kecuali jika sudah terdapat sepsis atau kondisi medis berat yang
terjadi (Randall, 2011).
Pada dasarnya, semua jenis organisme, termasuk virus, parasit, jamur, dan
bakteri, dapat menghasilkan osteomielitis, tetapi paling sering disebabkan oleh
bakteri patogenik tertentu dan mikobakteri. Penyebab osteomielitis pyogenik
adalah
kuman
Pseudomonas.
Staphylococcus
Infeksi
dapat
aureus
(70-80%),
Escherichia coli
dan
melakukan
yang mengekspos tulang, sehingga kuman dapat langsung masuk melalui luka
tersebut.
Dengan adanya kejadian ini, maka diperlukan penanganan yang sesuai untuk
mencegah komplikasi dari adanya osteomielitis. Penanganan osteomielitis saat ini
yang dilakukan adalah dengan pemberian antibiotik dan debridement, namun
sebagai perawat diperlukan peran khusus agar osteomielitis tidak menjadi
komplikasi lainnya. Berdasarkan uraian diatas, maka diperlukan perhatian dari
perawat untuk mengetahui dan memahami tentang Asuhan Keperawatan pada
klien dengan infeksi dan inflamasi musculoskeletal : Osteomielitis.
1.2 Rumusan masalah
1. Bagaimanakah
konsep
dari
Morbus
Hansen
dengan
komplikasi
mampu
mengetahui
dan
memahami
konsep Asuhan
Faktor resiko:
BAB 2
TINJAUAN TEORI
2.1 Konsep Morbus Hansen
2.1. 1 Definisi Morbus Hansen
Morbus Hansen atau penyakit kusta adalah penyakit kronik yang
disebabkan oleh kuman Mycobacterium leprae yang pertama kali menyerang
susunan saraf tepi, selanjutnya dapat menyerang kulit, mukosa (kulit), saluran
pernafasan bagian atas, sistem etikulo endothelial, mata, otot, tulang dan testis
(Subdirektorat Kusta dan Frambusia, 2007).
Kusta atau lepra (leprosy) atau disebut juga Morbus Hansen merupakan
penyakit menular kronis yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium leprae,
melalui kulit dan mukosa hidung. Penyakit kusta terutama menyerang saraf tepi,
kulit dan organ tubuh lain kecuali susunan saraf pusat yang apabila tidak
didiagnosis dan diobati secara dini dapat menimbulkan kecacatan (Subdirektorat
Kusta dan Frambusia, 2007).
Penyakit kusta adalah penyakit menular kronis yang disebabkan oleh M.
leprae yang menyerang saraf tepi, kulit dan jaringan tubuh lainnya keculai saraf
pusat (Kemenkes RI, 2007)
Dapat disimpulkan bahwa penyakit kusta adalah penyakit infeksi yang
kronik, penyebabnya ialah Mycobacterium leprae yang intra seluler obligat, saraf
perifer sebagai afinitas pertama, lalu mulut dan mukosa traktus respiratorius
bagian atas, kemudian dapat ke organ-organ lain kecuali susunan saraf pusat.
2.1.2 Etiologi Morbus Hansen
Mycobacterium leprae dan telah ditemukan sejak tahun 1500 SM. Cara
penularannya belum diketahui, diduga melalui kontak langsung yang erat dan
lama, mungkin melalui penyebaran droplet dari tipe leptomatosa, ada juga yang
menduga melalui insekta atau inhalasi. Yang pertama diserang adalah saraf tepi
dengan manifestasi pertama pada kulit, lalu menyerang mukosa saluran
pernafasan atas dan organ lain kecuali sistem saraf pusat. Terutama pada usia
antara 25 35 tahun, makin muda usia makin kurang kekebalan, sehingga anakanak sangat rentan. Juga terutama mengenai keadaan sosioekonomi rendah yang
sanitasinya buruk, gizi buruk, dan perumahan tak adekuat. Masa inkubasinya
sangat lama diperkirakan 2 5 tahun (Subdirektorat Kusta dan Frambusia, 2007).
Perjalanan Klinis
Perjalanan klinis pernyaki kusta merupakan suatu proses yang lambat dan
menahun sehingga seringkali penderita tidak menyadari adanya proses penyakit di
dalam tubuhnya. Sebagian besar penduduk yang tinggal di daerah endemik kusta
pernah terinfeksi M. leprae. Proses ini berjalan sangat lambat sebelum munculnya
gejala klinis yang pertama. Setelah melewati masa inkubasi yang cukup panjang
(sekitar 2 5 tahun) akan muncul gejala awal (Kemenkes RI, 2007).
2.1.3 Patofisiologi Morbus Hansen
Mekanisme penularan yang tepat belum diketahui. Beberapa hipotesis
telah dikemukakan seperti adanya kontak dekat dan penularan dari udara. Setelah
micobaterium leprae masuk ke dalam tubuh, perkembangan penyakit kusta
tergantung pada kerentanan seseorang. Respon setelah masa tunas dilampaui
tergantung pada derajat sistem imun. Apabila sistem imun seluler tinggi, penyakit
berkembang ke arah tuberkuloid dan jika rendah berkembang ke arah
lepromatous. Mycobaterium leprae berprediksi di daerah yang relative dingin
yaitu di daerah akral dengan vaskularisasi sedikit. Derajat penyakit tidak selalu
sebanding dengan derajat infeksi karena imun setiap individu berbeda. Gejala
klinis lebih sebanding dengan tingkat reaksi seluler daripada intensitas infeksi.
Oleh karena itu penyakit kusta disebut penyakit imunologi.
Terdapat bukti bahwa tidak semua orang yang terinfeksi oleh kuman M.
leprae menderita kusta, dan diduga faktor genetika juga ikut berperan, setelah
melalui penelitian dan pengamatan pada kelompok penyakit kusta di keluarga
tertentu. Belum diketahui pula mengapa dapat terjadi tipe kusta yang berbeda
pada setiap individu (Alcais, et al, 2005). Faktor ketidakcukupan gizi juga diduga
merupakan faktor penyebab. Penyakit ini sering dipercaya bahwa penularannya
disebabkan oleh kontak antara orang yang terinfeksi dan orang yang sehat (Kaur
& Van, 2002). Dalam penelitian terhadap insidensi, tingkat infeksi untuk kontak
lepra lepromatosa beragam dari 6,2 per 1000 per tahun di Cebu, Philipina (Doul et
al, 1942).
Dua pintu keluar dari M. leprae dari tubuh manusia diperkirakan adalah
kulit dan mukosa hidung. Telah dibuktikan bahwa kasus lepromatosa
menunjukkan adanya sejumlah organisme di dermis kulit. Bagaimanapun masih
belum dapat dibuktikan bahwa organisme tersebut dapat berpindah ke permukaan
kulit. Walaupun terdapat laporan bahwa ditemukanya bakteri tahan asam di epitel
deskuamosa dikulit, Weddel et al melaporkan bahwa mereka tidak menemukan
bakteri tahan asam di epidermis (Wedell, 1963). Dalam penelitian terbaru, Job et
al menemukan adanya sejumlah M. leprae yang besar di lapisan keratin
superfisial kulit di penderita kusta lepromatosa. Hal ini membentuk sebuah
pendugaan bahwa organisme tersebut dapat keluar melalui kelenjar keringat (Joy
et al, 1999).
Pentingnya mukosa hidung telah dikemukakan oleh Schffer pada 1898.
Jumlah dari bakteri dari lesi mukosa hidung di kusta lepromatosa, menurut
Shepard, antara 10.000 hingga 10.000.000 bakteri. Pedley melaporkan bahwa
sebagian besar pasien lepromatosa memperlihatkan adanya bakteri di sekret
hidung mereka. Davey dan Rees mengindikasi bahwa sekret hidung dari pasien
lepromatosa dapat memproduksi 10.000.000 organisme per hari (Wikipedia,Inc,
2014). Pintu masuk dari M. leprae ke tubuh manusia masih menjadi tanda tanya.
Saat ini diperkirakan bahwa kulit dan saluran pernapasan atas menjadi gerbang
dari masuknya bakteri. Rees dan McDougall telah sukses mencoba penularan
kusta melalui aerosol di mencit yang ditekan sistem imunnya. Laporan yang
berhasil juga dikemukakan dengan pencobaan pada mencit dengan pemaparan
bakteri di lubang pernapasan. Banyak ilmuwan yang mempercayai bahwa saluran
pernapasan adalah rute yang paling dimungkinkan menjadi gerbang masuknya
bakteri, walaupun demikian pendapat mengenai kulit belum dapat disingkirkan
(Wikipedia,Inc, 2014). Masa inkubasi pasti dari kusta belum dapat dikemukakan.
Beberapa peneliti berusaha mengukur masa inkubasinya. Masa inkubasi minimum
dilaporkan adalah
beberapa
minggu,
berdasarkan
adanya
kasus
kusta
pada
bayi
muda
semua tipe kusta dengan BTA positif, terdapat banyak lesi, mati rasa dan
simetris.
Klasifikasi penyakit kusta menurut Depkes (2006) yaitu dibagi menjadi tipe
paucibacillary (PB) dan multibacillary (MB). Tipe paucibacillary atau tipe kering
memiliki ciri bercak atau makula dengan warna keputihan, ukurannya kecil dan
besar, batas tegas, dan terdapat di satu atau beberapa tempat di badan ( pipi,
punggung, dada, ketiak, lengan, pinggang, pantat, paha, betis atau pada punggung
kaki ), dan permukaan bercak tidak berkeringat. Kusta tipe ini jarang menular
tetapi apabila tidak segera diobati menyebabkan kecacatan (Sofianty, 2009). Tipe
yang kedua yaitu multibacillary atau tipe basah memiliki ciri-ciri berwarna
kemerahan, tersebar merata diseluruh badan, kulit tidak terlalu kasar, batas
makula tidak begitu jelas, terjadi penebalan kulit dengan warna kemerahan, dan
tanda awal terdapat pada cuping telinga dan wajah (Hiswani, 2001). Menurut
Burns et al., (2010), penyakit kusta diklasifikasikan berdasar pada skala Ridley
dan Jopling yaitu tipe TT (tuberkuloid), BT (borderline tuberculoid), BL
(borderline lepromatous), dan LL (lepromatosa).
Berdasarkan pada kondisi klinis, bakteriologis, imunologis dan histopatologinya,
tipe-tipe kusta tersebut dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
Klasifikasi penyakit kusta berdasarkan skala ridley dan jopling
Tuberculoid Borderline
(TT)
Tuberculoid
(BT)
Lesi
1-3
Sedikit
Bordeline
(BB)
Basal
Smear
1+
Sedikit atau
banyak dan
asimetris
2+
Tes
lepromin
3+
2+
Histology
Borderline
lepramantou
s
(BL)
banyak
Lepramantous
(LL)
Banyak
simetris
3+
4+
dan
Gambara
n
Klinis
Paling tidak
stabil dengan
lesi yang
bervariasi
baik ukuran,
bentuk dan
distribusinya
.
Lazimnya kusta dibagi dalam 3 bentuk klinis dengan sifat-sifat khusus, yakni;
1. Lepra tuberkuloid (LT)
Penyakit lepra tuberkuloid disertai dengan respons T-helper tipe 1 (IFN-)
dan penyakit lepra lepromatosa disertai dengan respons T-helper tipe 2 yang
tidak efektif. Penyakit lepprae tuberkuloid: lesi kulit yang kering, bersisik, dan
tak kentara yang disertai gangguan sensibilitas dan lesi saraf perifer yang
asimetrik. Juga disebut lepra paucibacillair adalah bentuk terlokalisasi dengan
1-5 luka (laesio). Bentuk ini paling sering terjadi, k.l 75% dari semua
penderita, tidak bersifat menular dan agak mudah disembuhkan. Pasien LT
ternyata masih memiliki daya tangkis imunologi yang agak baik. Gejala
10
pertama berupa noda-noda pucat di kulit yang hilang rasa dan penebalan sarafsaraf yang nyeri di berbagai tempat di tubuh, biasanya sangat nyata di cuping
telinga, muka dan kaki tangan. Bila tidak diobati saraf-saraf tersebut akan
dirusak, menjadi hilang rasa dan mudah terluka. Karena luka-luka ini tidak
dirasakan oleh penderita, biasanya luka menjadi borok serius dengan merusak
jaringan. Akibatnya adalah cacat hebat sekunder, terutama di telapak kaki dan
jeriji tangan yang akhirnya menjadi buntung. Basil lepra hanya dapat dideteksi
dalam jumlah kecil pada luka-luka LT.
2. Lepra lepromateus (LL)
Penyakit lepra lepromatosa (anergikk): penebalan kulit dan pembentukan
nodul yang menimbulkan cacat tubuh dengan disertai kerusakan pada sistem
saraf akibat invasi mikobakterium ke dalam sel-sel makrofag perineural dan
sel-sel Schwann. Juga disebut lepra multibacillair, adalah bentuk tersebar yang
bersifat sangat menular, lebih sukar dan lebih lama disembuhkan. Bentuk ini
bercirikan benjol kemerah-merahan kecil (noduli) yang penuh dengan basil,
dengan hampir semua saraf perifer terkena infeksi. Lebih sering timbul gejala
berupa
11
b. Penebalan saraf tepi yang disertai dengan gangguan saraf. Gangguan ini
disesbabkan oleh peradagan saraf tepi (neuritis perifer). Gangguan dapat
berupa: gangguan sensoris, motoris dan otonom.
c. Kerokan jaringan kulit menunjukkan BTA positif .
Seseorang dapat dikatakan menderita kusta bila ditemukan satu dari tanda
utama tersebut di atas. Pada dasarnya penderita kusta dapat didiagnosis dengan
pemeriksaan klinis, namun pada penderita yang dicurigai (suspek) yang
ditemukan tanda utama namun masih diragukan, dapat dilakukan pemeriksaan
kerokan kulit.
Tanda-tanda pasien suspek menurut Kemenkes RI (2007) adalah:
a. Tanda pada kulit: bercak kemerahan atau putih, kulit mengkilat, bercak
tidak gatal, adanya bagian yang tidak ditumbuhi rambut atau tidak
berkeringat
b. Tanda pada saraf: kesemutan, nyeri pada anggota tubuh atau wajah,
gangguan gerak pada ekstremitas atau wajah, deformitas, ulkus.
2.1.6 Pemeriksaan diagnostik Morbus Hansen
Beberapa pemeriksaan penunjang yang dilakukan antara lain sebagai
berikut :
1. Adanya Mycobacterium Leprae pada pemeriksaan bakteriologi
2. Pada pemeriksaan laboratorium pengecatan Zn ditemukan bakteri tahan
asam berwarna merah (globi). Kepadatan BTA tanpamembedakan solid
dan transolid pada sebuah sediaan dinyatakan menggunakan indeks massa
bakteri dengan nila 0-6+ apabila tidak ada BTA dalam 100 lapang pandang
(LP)
1+ bila 1-10 BTA dalam 100 LP
2+ bila 1-10 BTA dalam 10 LP
3+ bila 1-10 BTA rata-rata dalam 1 LP
4+ bila 11-100 BTA rata-rata dalam 1 LP
5+ bila 101-1000 BTA rata-rata dalam 1 LP
6+ bila > 1000 BTA rata-rata dalam 1 LP
3. Pemeriksaan histopatologik (biopsy kulit)
4. Pemeriksaan serologi kulit
5. Tes lepramin untuk menentukan tipe kusta
2.1.7 Penatalaksanaan Morbus Hansen
12
Pasien harus minum obat secara teratur sampai dinyatakan sembuh, pasien
mendapat pengobatan Multi Drug Therapy (MDT) di Puskesmas secara gratis dan
lama pengobatan 6 9 bulan pada pasien kusta tipe PB dan 12 18 bulan pada
pasien kusta tipe MB. Regimen pengobatan rekomendasi dari WHO yaitu:
1) MDT untuk kusta PB 1
1. Dewasa dengan berat badan 50 70 kg: Rifampisin 600 mg, ofloxasin 400
mg, minosiklin 100 mg.
2. Pada anak usia kurang dari 5 14 tahun : Rifampisin 300 mg, ofloxasin 200
mg, minosiklin 50 mg.
3. Anak usia kurang dari 5 tahun dan ibu hamil tidak diberi Rifampisin
Ofloxasin Minocyclin (ROM).
4. Pemberian obat sekali saja langsung Relies From Treatment (RFT), bila
obat-obat ini belum datang dari WHO maka sementara semua kasus PB 1
diobati selama 6 bulan dengan regimen PB 2 5. lesi satu dengan
pembesaran syaraf diberikan regimen PB 2 5.
13
Tanda/gejala
Keadaan umum
Tipe 1
Umumnya baik, demam
Tipe 2
Ringan sampai berat disertai
Peradangan
kulit
saraf
bercak baru
Sering terjadi, umumnya
14
saraf
Hampir tidak ada
Perdangan
organ lain
Waktu timbul
lain
Setelah lebih dari 6 bulan
Tipe kusta
pengobatan
Hanya terjadi pada MB
Tanda/gejala
Kulit
Saraf tepi
Reaksi tipe 1
ringan
Bercak merah,
Berat
Berca
merah,
tebal, nyeri*
tebal,
nyeri
Tanpa
nyeri
perabaan
Tanpa gangguan
Reaksi tipe 2
ringan
Nodul
merah,
berat
Nodul
panas, nyeri
merah,
bertambah parah
bertambah
sampai pecah
parah
sampai
pecah
Nyeri
pada
Nyeri
pada
perabaan
Gangguan fungsi
fungsi
Tanpa
nyeri
perabaan
Tanpa gangguan
fungsi
perabaan,
gangguan
Keadaan
Tanpa demam
Dapat demam /
Dapat demam /
fungsi
demam
umum
Gangguan
tanpa demam
-
tanpa demam
-
Iridocyclitis,
pada
organ
lain
epididimoorchit
is,
nefritis,
limfadenitis,
hidung pelana
* bila ada reaksi pada lesi kulit yang dekat dengan saraf dikategorikan sebagai reaksi berat
15
3.
4.
5.
6.
Imobilisasi lokal
Analgetik / antipiretik bila perlu
MDT tetap diberikan dengan dosis tetap
Menghindari faktor pencetus
Memberikan obat anti reaksi
Tingkat
0
TINGKAT KECACATAN
Mata
Telapak tangan / kaki
Tidak ada kelainan mata akibat kusta
Tidak ada anestesi, tidak ada kerusakan
akibat kusta
Ada lagophthalmus,
II
visus
sangat
16
17
Osteomyelitis Sekunder
tulang melalui aliran darah dari suatu focus primer ditempat lain (misalnya
infeksi saluran nafas, genitourinaria furunkel).
Sedangkan osteomyelitis menurut keberlangsungannya dibedakan atas :
18
19
20
21
Penatalaksanaan medik
Sasaran awal terapi adalah mengontrol dan menghentikan proses infeksi.
1. Kultur darah dan swab dan kultur abses dilakukan untuk mengidentifikasi
organisme dan memilih antibiotika yang terbaik, karena terkadang infeksi
disebabkan oleh lebih dari satu patogen.
2. Berdasarkan hasil spesimen kultur yang telah diperoleh, maka dimulai
pemberian terapi antibiotika intravena, dengan asumsi bahwa dengan infeksi
staphylococcus yang peka terhadap penisilin semi sintetik atau sefalosporin.
Tujuannya adalah mengontrol infeksi sebelum aliran darah ke daerah tersebut
menurun akibat terjadinya trombosis. Pemberian dosis antibiotika terus
menerus sesuai waktu sangat penting untuk mencapai kadar antibiotika dalam
darah yang terus menerus tinggi.
3. Antibiotika yang paling sensitif terhadap organisme penyebab yang diberikan
bila telah diketahui biakan dan sensitivitasnya. Bila infeksi tampak telah
terkontrol, antibiotika dapat diberikan per oral dan dilanjutkan sampai 3 bulan.
Untuk meningkatkan absorpsi antibiotika oral, jangan diminum bersama
makanan.
4. Bila pasien tidak menunjukkan respons terhadap terapi antibiotika, tulang
yang terkena harus dilakukan pembedahan, jaringan purulen dan nekrotik
diangkat dan daerah itu diiringi secara langsung dengan larutan salin fisiologis
steril. Terapi antibiotika tetap dianjurkan.
5. PMMA (Polymethylmethacrylate antibiotik beads)
Penanganan pengobatan osteomyelitis oleh PMMA dilakukan secara terapi
komplementer dan secara alternatif, dimana AB beads merupakan terapi
antibiotik intravena yang digunakan sebagai antibiotik pada pembedahan
debridement pada osteomyelitis dan juga digunakan pada tulang yang
terinfeksi. Polymethylmethacrylate antibiotik beads mempunyai fungsi
sebagai antibiotik yang diberikan setelah operasi debridement dari
osteomyelitis, antibiotik ini diletakkan setelah pembedahan dalam rongga
tulang yang terinfeksi dalam bentuk manik-manik yang mensterilkan dan
mempertahankan ruang pada tulang yang mengalami nekrosis. Pada akhirnya
sebuah seroma, yang merupakan koleksi serum, mediator inflamasi, dan
22
antibiotik, kan membentuk rongga pada tulang yang dibedah dan diikuti
dengan penutupan luka. Sterilisasi yang efektif dalam pengobatan ini akan
mempertahankan konsentrasi antibiotik terapeutik dalam seroma tersebut
selama tiga sampai empat minggu. Pada metode ini mempunyai waktu paruh
antara 3-4 minggu dan diganti lagi untuk pemberian untuk minggu berikutnya.
Manfaat dari antibitik beads (PMMA) adalah menurun toksisitas sistemik
yang merugikan, efeknya mengurangi lamanya penyinaran dan perawatan
rawat inap yang berhubungan dengan pembiayaan, secara keseluruhan PMMA
menghilangkan kebutuhan akan akses intravena mereka serta dapat
meningkatkan kenyamanan dan awal ambulation bagi pasien (Kent Molly, dkk
2006).
6. Pada osteomielitis kronik, antibiotika yang digunakan sama dengan antibiotik
yag diberikan pada osteomyelitis akutdisertai kombinasi obat yang umumnya
digunakan untuk mencegah terjadinya resistensi antibiotik.
7. Dilakukan sequestrektomi (pengangkatan involukrum secukupnya supaya ahli
bedah dapat mengangkat sequestrum). Kadang harus dilakukan pengangkatan
tulang untuk memajankan rongga yang dalam menjadi cekungan yang dangkal
(saucerization). Semua tulang dan kartilago yang terinfeksi dan mati diangkat
supaya dapat terjadi penyembuhan yang permanen.
8. Luka dapat ditutup rapat untuk menutup rongga mati (dead space) atau
dipasang tampon agar dapat diisi oleh jaringan granulasi atau dilakukan
grafting dikemudian hari. Dapat dipasang drainase berpengisap untuk
mengontrol hematoma dan mebuang debris. Dapat diberikan irigasi larutan
salin normal selama 7 sampai 8 hari.
9. Rongga yang didebridemen dapat diisi dengan graft tulang kanselus untuk
merangsang penyembuhan. Pada defek yang sangat besar, rongga dapat diisi
dengan transfer tulang berpembuluh darah atau flup otot (dimana suatu otot
diambil dari jaringan sekitarnya namun dengan pembuluh darah yang utuh)
(Brunner & Suddart, 2001).
23
yang
terjadi
dari
adanya
osteomielitis
akut
adalah
osteomielitis kronis, yang ditandai dengan adanya nyeri hebat yang tidak
berkurang dan terjadi penurunan fungsi dari bagian tubuh yang terkena.
Komplikasi lain dari osteomielitis antara lain (Anonim, 2012) :
1. Kematian tulang (osteonekrosis)
Infeksi pada tulang dapat menghambat sirkulasi darah dalam tulang,
menyebabkan kematian tulang. Jika terjadi nekrosis pada area yang luas,
kemungkinan harus diamputasi untuk mencegah terjadinya penyebaran
infeksi.
2. Arthritis septic
Dalam beberapa kasus, infeksi dalam tulang bisa menyebar ke dalam sendi di
dekatnya.
3. Gangguan pertumbuhan
Pada anak-anak lokasi paling sering terjadi osteomielitis adalah pada daerah
yang lembut, yang disebut lempeng epifisis, di kedua ujung tulang panjang
pada lengan dan kaki. Pertumbuhan normal dapat terganggu pada tulang yang
terinfeksi.
4. Kanker kulit
Jika osteomielitis
menyebabkan
timbulnya
luka
terbuka
yang
24
Abses tulang
2. Bakteremia
3. Fraktur
2.3 Konsep Amputasi Below Knee
2.3.1 Definisi Amputasi
Amputasi bawah lutut adalah amputasi utama yang paling sering
dikerjakan pada alat gerak bawah.amputasi bawah lutut adalah prosedur yang
memerlukan perhatian cermat terhadap detail tekniknya. Sisi pemotongan adalah
level dimana terdapat cukup jaringan lunak untuk menghasilkan puntung yang
dapat sembuh dengan baik dan mempunyai toleransi terhadap prostetik.
2.3.2 Komplikasi Amputasi
Beberapa komplikasi yang terjadi pada kasus amputasi adalah :
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Masalah kulit
Infeksi
Masalah tulang : osteoporosis, bone spurs, scoliosis
Perubahan berat badan
Kontraktur sendi
Edema
25
m.
leprae
melalui
m. leprae
melalui
droplet
droplet
2.4 WOC
Masuk ke tubuh
Imun baik
Imun buruk
Makrofag aktif
makrofag
Fagositosis
histiosif
Fagosit m. leprae
infeksi
Trauma
Anestesi
Pausi
sensorik
lesi
Inflamasi
pada
Basiler
kulit
pada
kulit
Tidak
M.
leprae
timbul
tereliminasi
kusta
Pembentukan
sel
Pembentukan sel epitel
epitel
Gangguan kelenjar
Pembentukan
tuberkel
minyak, keringat,
Gangguan
aliran
darah
penglihatan
Drop
Drop
Tangan
hand Gangguan
Kelemahan
motorik
Drop
Kaki
saraf
foot tepi lagophthalmus
Mata
m. leprae
Gangguan
Regenerasi
Infeksi
Kulit
Luka
otonom
Multi
berkembang
kering
Basiler
saraf
saraftepi
biak
tepi
26
MORBUS HANSEN
Ulkus
Ulkus kronis
Resiko cedera
Kerusakan jaringan
Ulkus
Infasi m. leprae ke
cakra epifisis tulang
OSTEOMIELITIS
27
Peningkatan tekanan
jaringan tulang
Iskemia dan
nekrosis tulang
Nyeri
AMPUTASI
Luka post-amputasi
Hambatan
mobilitas fisik
Perubahan
muskuloskeletal
Perubahan
integritas kulit
Resiko jatuh
Perubahan
fungsi tubuh
Pertahanan
primer inadekut
Gangguan citra
tubuh
Resiko infeksi
28
penting karena kusta paling sering terjadi di daerah dengan tingkat sosial ekonomi
yang rendah dan insidennya meningkat pada daerah tropis/sub tropis.
2. Keluhan utama
1) Sakit atau nyeri.
Pasien yang datang dengan awitan gejala akut (mis. Nyeri lokal,
pembengkakan, eritema, demam) atau kambuhan keluarnya pus dari sinus
disertai nyeri, pembengkakan dan demam sedang.
2) Kekakuan dan kelemahan
Pasien selalu menghindar dari tekanan didaerah tersebut dan melakukan
gerakan perlindungan. Pada osteomielitis akut, pasien akan mengalami
kelemahan umum akibat reaksi sistemik infeksi.
3) Kelainan bentuk/pembengkakan
Pada osteomielitis akut akan terlihat pembengkakan pada ekstremitas yang
terkena.
4) Masalah keseimbangan dan koordinasi
3. Riwayat penyakit dahulu
Pasien pernah dirawat dengan Morbus Hansen maupun Osteomielitis
sebelumnya, atau pernah mendapatkan terapi kortikosteroid dalam jangka waktu
yang lama, riwayat kontrol, alergi riwayat pembedahan sebelumnya seperti
amputasi.
4. Riwayat penyakit keluarga
Riwayat keluarga dengan Morbus Hansen, Diabetes mellitus.
5. Perilaku yang mempengaruhi kesehatan
Perilaku klien sebelum sakit yang mempengaruhi kesehatan seperti riwayat
minum alcohol, merokok, penggunaan obat kortikosteroid, serta kebiasaan
olahraga
2.5.2 Observasi dan Pemeriksaan Fisik
1. Tanda-tanda vital
Pengkajian seperti suhu, tekanan darah, nadi, respirasi dan tingkat kesadaran
pasien.
2. Sistem muskuloskeletal
Pemeriksaan seperti nervus
1) Inpeksi
Memperhatikan dan mencatat :
29
1.
2.
3.
4.
5.
6.
2) Palpasi
Pada saat akan meraba posisi klien perlu diperbaiki agar dapat dinilai dari
posisi anatomis. Pemeriksaan ini merupakan pemeriksaan dua arah karenanya
perlu diperhatikan ekspresi wajah klien. Hal-hal yang perlu dicatat :
1. Perubahan suhu dan kelembaban kulit
2. Bila terjadi pembengkakan, apakah terdapat fluktuasi atau hanya edema
terutama area persendian
3. Nyeri tekan (tenderness), dan krepitasi. Catat letak kelainannya
3) Range of Motion (ROM)
Pergerakan yang diberikan adalah gerakan aktif dan gerakan pasif. Halhal yang perlu diperhatikan dan dicatat adalah keluhan nyeri klien, gerakan
abnormal klien (di area fraktur), gangguan gerak (contraction dan contructure).
Selain diperiksa pada posisi duduk dan berbaring, juga perlu dilihat waktu berdiri
dan berjalan. Jalan [erlu dinilai untuk mengetahui apakah picang disebabkan
karena insability, nyeri, discrepancy, atau, fixed deformity.
4) Muscle Testing
Pemeriksaan kekuatan otot tidak dilakukan, karena pada pasien dengan
osteomyelitis dianjurkan untuk immobilisasi.
2.5.3 Diagnosia Keperawatan
Berdasarkan pada data pengkajian, diagnosa keperawatan pasien dengan
osteomielitis dapat meliputi yang berikut :
30
31
32
33
34
3)
5)
6)
7)
Pilih rute pemberian secara IV, IM untuk pengobatan nyeri secara teratur
8)
Monitor vital sign sebelum dan sesudah pemberian analgesik pertama kali
9)
10)
35
36
37
38
: 9/3/2015
: 30/3/2015
: 09.00
Hari Rawat Ke
: 22
IDENTITAS
1. Nama Pasien
2. Umur
3. Suku/Bangsa
4. Pendidikan
5. Pekerjaan
6. Alamat
7. Biaya
Jam Masuk
: 09.33
No. RM
: 0536xx
Diagnosa Masuk : MH, Chronic
Ulcer
: Tn.M
: 50 tahun
: Madura
: SD
: Ternak kambing
: Surabaya
: BPJS
KELUHAN UTAMA
Keluhan Utama : Pasien menyatakan malu dengan keadaan kaki yang telah
Ya
:
Tidak
Jenis :
39
- Jenis Operasi
5. Lain-Lain :
= Laki-laki
= Perempuan
= Laki-laki meninggal
= Perempuan meninggal
= Hubungan keluarga
= Perceraian
= Pasien yang teridentifikasi
= Tinggal serumah
Masalah Keperawatan
:
Tidak terdapat
masalah keperawatan
40
PCH
Irama Nafas
Friction Rub
Pola Nafas
Biot
h. Suara Nafas
:
:
:
:
Ya
Teratur
Dispnoe
Kusmaul
Vesikuler
Tracheal
Ronki
Crackles
Ya
Bronko Vesikuler
Bronkhial
Wheezing
i.
j.
Jenis
Penggunaan WSD
- Jenis
Jumlah Cairan
Undulasi
Tekanan
k. Tracheostomi
l.
Lain-lain
Sopor
Tidak
Tidak Teratur
Tidak
Flow
Ya
Chyne Stokes
lpm
Tidak
Masalah Keperawatan
:
Tidak terdapat
masalah keperawatan
41
3. Sistem Kardiovaskuler
a. TD : 110/80 mmHg
b. N
: 88 x/menit
c. HR : 22 x/menit
d. Keluhan Nyeri Dada :
P
:
Q
:
R
:
S
:
T
:
e. Irama jantung :
f. Suara jantung :
g. Ictus Cordis :
h. CRT : < 2 detik
i. Akral :
Hangat
Pucat
Panas
j. Sirkulasi Perifer :
k. JVP :
l. CVP :
m. CTR :
n. EKG & Interpretasinya :
Masalah Keperawatan
:
Ya
Tidak terdapat
masalah
Tidak
reguler
normal (S1/S2 tunggal)
gallop
ireguler
murmur
lain-lain
Kering
Merah
Basah
Dingin
Normal
Menurun
o. Lain-lain :
4. Sistem Persyarafan
a. S
: 37 C
b. GCS : E4 V5 M6
c. Refleks Fisiologis :
d. Refleks Patologis :
e. Keluhan Pusing :
P
:
Q
:
R
:
S
:
T
:
f.
Masalah
Keperawatan :
Patella
Tricep
Bicep
Babinsky
Brudzinsky Kernig
Ya
Tidak
Tidak Ket:mampu
Tidak terdapat
masalah
mengidentifikasi
bau
42
g.
h.
i.
j.
k.
l.
m.
n.
N5
:
Normal
Tidak Ket:mampu menggerakkan rahang,
memejamkan mata
N6
:
Normal
Tidak Ket:mampu menggerakkan bola mata ke
kiri dan kekanan
N7
:
Normal
Tidak Ket:mampu
menjulurkan
lidah,
mengangkat alis mata
N8
:
Normal
Tidak Ket :tidak terkaji
N9
:
Normal
Tidak Ket :mampu membedakan rasa manis
dan asam
N10
:
Normal
Tidak Ket : mampu menelan
N11
:
Normal
Tidak Ket:mampu
menggerakkan
bahu
maksimal
N12
:
Normal
Tidak Ket : mampu menjulurkan lidah
Pupil
:
Anisokor
Isokor Diameter: 3mm/3mm
Sclera
:
Anikterus
Ikterus
Konjunctiva :
Ananemis
Anemis
Istirahat/Tidur :
8 Jam/Hari Gangguan Tidur :
IVD :
EVD :
ICP :
Lain-lain
:
5. Sistem Perkemihan
a. Kebersihan Genital :
b. Sekret
:
c. Ulkus
:
d. Kebersihan Meatus Uretra :
e. Keluhan Kencing
:
Bila ada, jelaskan
f.
Kemampuan berkemih:
Spontan
Bersih
Ada
Ada
Bersih
Ada
Kotor
Tidak
Tidak
Kotor
Tidak
Masalah Keperawatan
:
Tidak terdapat
masalah keperawatan
Ya
Ya
Parenteral :
Tidak
Tidak
cc/hari
43
k. Balance Cairan :
l.
Lain-lain:
6. Sistem Pencernaan
a. TB : 160
b. IMT : 20,25
c. LOLA: 26
BB
Interpretasi
: 47
: Risiko rendah
Masalah Keperawatan
:
Tidak terdapat
masalah keperawatan
d. Mulut
: Bersih
Kotor
Berbau
e. Membran Mukosa : Lembab
Kering
Stomatitis
f. Tenggorokan
:
Sakit Menelan
Kesulitan Menelan
Pembesaran Tonsil
Nyeri Tekan
g. Abdomen
: Tegang
Kembung
Asites
h. Nyeri Tekan
: Ya
Tidak
i. Luka Operasi
: Ada
Tidak
Tanggal Operasi :
Jenis operasi
:
Lokasi
:
Keadaan
:
Drain
:
Ada
Tidak
- Jumlah
:
- Warna
:
- Kondisi area sekitar inserasi :
j. Peristaltik
: 14 x/menit
k. BAB
: 1 x/hari
Terakhir Tanggal : 30-3-2015
l. Konsistensi
:
Keras
Lunak
Cair
Lendir/Darah
m. Diit
:
Padat
Lunak
Cair
n. Diit khusus
:
o. Nafsu Makan
p. Porsi Makan
q. Lain-Lain
:
:
:
Baik
Habis
44
Masalah Keperawatan
:
7. Sistem Penglihatan
a. Pengkajian segmen anterior dan posterior :
OD
Visus
Tidak terkaji
Palpebra
Conjungtiva
Edema (-)
Kornea
BMD
Anemis
Pupil
Iris
Hitam, jernih
Lensa
TIO
Tidak terkaji
Isokor,
3 mmNyeri
b. Keluhan
P
Ya
Jernih
Q
:
OS
Tidak terkaji
Edema (-)
Anemis
Hitam, jernih
Tidak terkaji
Isokor,
Tidak 3 mm
Jernih
Jernih
S
:
Jernih
Tidak terkaji
c. Luka Operasi
:
Tanggal Operasi
:
Jenis Operasi
:
Lokasi
:
Keadaan
:
d. Pemeriksaan Penunjang :
e. Lain-lain
:
Tidak terdapat
masalah
Tidak terkaji
Ada
Tidak
Masalah Keperawatan
:
8. Sistem Pendengaran
a. Pengkajian Segmen Anterior Dan Posterior :
ODtampakadanya
Tidak
Auricula
deformitas, tidak
ada benjolan,
simetris
Tidakada benda asing
maupun serumen
Tidak tampak adanya
perforasi
MEA
Membran
Tymphani
Tidak terdapat
masalah
OS
Tidak
tampakadanya
deformitas, tidak
ada benjolan,
simetris
Tidakada benda asing
maupun serumen
Tidak tampak adanya
perforasi
Tidak terkaji
Tidak terkaji
Tidak terkaji
Tidak terkaji
45
Rinne
Weber
Swabach
b. Tes Audiometri :
c. Keluhan Nyeri :
P
Q
R
S
T
Ya
Tidak
Ada
Tidak
:
:
Bebas
:
:
:
:
:
d. Luka Operasi
:
Tanggal Operasi :
Jenis Operasi
:
Lokasi
:
Keadaan
:
e. Alat Bantu Dengar :
f. Lain-lain :
9. Sistem Integumen
a. Pergerakan sendi
b. Kekuatan Otot
Terbatas
Masalah Keperawatan
:
5
5
c. Kelainan Ekstremitas :
Ya
Tidak
d. Kelianan Tulang Belakang :
Ya
Tidak Tidak terdapat
- Frankel
:
masalah keperawatan
e. Fraktur
:
Ya
Tidak
- Jenis
:
f. Traksi
:
Ya
Tidak
- Jenis
:
- Beban
:
- Lama Pemasangan
:
g. Penggunaan Spalk/Gips :
Ya
Tidak
h. Keluhan Nyeri
:
Ya
Tidak
P
: nyeri pada luka post op amputasi
Q
:nyeri tumpul. Pasien belum pernah mengalami nyeri serupa
sebelumnya
R
: nyeri sekitar luka jahitan. Nyeri berkurang saat digunakan untuk
berbaring dan diganjal bantal. Nyeri bertambah ketika untuk berpindah
tempat
S
: skala nyeri 4 (0-10)
T
: nyeri hilang timbul
46
i.
j.
k.
l.
m.
n.
o.
p.
q.
Sirkulasi Perifer
:
baik
Kompartemen Syndrome :
Ya
Tidak
Kulit :
Ikterik
Sianosis
Kemerahan
Hiperpigmentasi
Turgor:
Baik
Kurang
Jelek
Luka Operasi
:
Ada
Tidak
Tanggal Operasi : Rabu, 25-3-2015
Jenis Operasi
: Amputasi Below Knee Sinistra
Lokasi
: Below Knee Sinistra
Keadaan
: Baik
Drain
:
Ada
tidak
Jumlah
:
5 cc
Warna
:
merah
Kondisi Area Sekitar Inserasi :
luka jahitan sedikit membuka, keluar
darah di sela jahitan
ROM : Aktif
POD : Nyeri tekan : saraf ulnaris kanan tidak ada, kekuatan otot : jari ke 5 P,
ibu jari P
Cardinal Sign : BTA (+), lesi anastesi (+)
Lain-lain
:
KRITERIA PENILAIAN
1
2
TERBATAS
SANGAT
SEPENUHNY
TERBATAS
A
TERUS
MENERUS
SANGAT LEMBAB
BASAH
BEDFAST
IMMOBILE
SEPENUHNY
A
SANGAT BURUK
NILAI
KETERBATASAN
RINGAN
TIDAK
ADA
GANGGUAN
KADANG2 BASAH
JARANG BASAH
CHAIRFAST
KADANG2 JALAN
SANGAT
TERBATAS
KETERBATASAN
RINGAN
KEMUNGKINAN
ADEKUAT
LEBIH
SERING
JALAN
TIDAK
ADA
KETERBATASA
N
SANGAT BAIK
2
3
4
47
TIDAK
ADEKUAT
GESEKAN
&
TIDAK
POTENSIAL
PERGESERA
BERMASALAH
MENIMBULKA
BERMASALAH
N
N MASALAH
NOTE : Pasien dengan nilai total < 16 maka dapat dikatakan bahwa pasien berisiko
mengalami dekubitus (pressure ulcers).
(15 or 16 = low risk, 13 or 14 = moderat risk, 12 or less = high risk)
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.
Warna
Pitting Edem
Eksoriasis
Psoriasis
Pruritus
Urtikaria
Lain-Lain
:
: +/:
:
:
:
:
Grade :
Ya
Ya
Ya
Ya
Tidak
Tidak
Tidak
Tidak
PENGKAJIAN PSIKOSOSIAL
TOTAL NILAI
19
Masalah Keperawatan
:
Tidak terdapat
masalah keperawatan
Ya
Ya
Ya
Ya
Tidak
Tidak
Tidak
Tidak
Tidak
Tidak
Tidak
Ya
Tidak
Masalah Keperawatan
:
Tidak terdapat
masalah keperawatan
Masalah Keperawatan
:
Tidak terdapat
masalah
48
Masalah Keperawatan
:
Tidak terdapat
masalah keperawatan
dibantu sebagian
dibantu sebagian
dibantu sebagian
dibantu sebagian
dibantu sebagian
dibantu sebagian
dibantu sebagian
PENGKAJIAN SPIRITUAL
a. Kebiasaan beribadah
- Sebelum sakit :
sering
kadang-kadang
tidak pernah
- Selama sakit :
sering
kadang-kadang
tidak pernah
b. Bantuan yang diperlukan klien untuk memenuhi kebutuhan beribadah :
Masalah Keperawatan
:
Tidak terdapat
masalah keperawatan
PEMERIKSAAN PENUNJANG (Laboratorium, Radiologi, EKG, USG, dll)
HB : 9,5
Leukosit : 10.200
49
Trombosit : 564.000
Albumin : 2,8
Kreatinin : 0,81
SGOT : 26
SGPT : 28
TERAPI
Levofloxacin 1 x 750 mg
Metronidazol 3 x 250 mg
Asam Mefenamat 3 x 500 mg
Noremi 1 x 1 ampul
Metronidazol salep + IPL
Diit TKTP
DATA TAMBAHAN LAIN
Kelompok 14
TANGGAL
DATA
ETIOLOGI
30/3/2015 DS :
M.Leprae
Pasien menyatakan malu
dengan keadaan kaki
Menyerang kulit dan
yang telah diamputasi
saraf tepi
dan takut dikucilkan
oleh masyarakat
Ulkus
MASALAH
GANGGUAN
CITRA TUBUH
50
DO :
- Pasien menghindari
menatap luka
amputasi
- post op amputasi below
knee sinistra
- pasien tidak mampu
berpindah maupun
berdiri tanpa alat
bantu
30/3/2015
DS : DO :
- Leukosit : 10.200
- Hemoglobin : 9,5
- Port de entry : Post
op amputasi below
knee sinistra,
chronic ulcer
- Terdapat luka
jahitan pada lutut
bawah kiri dengan p
: 8 cm
- Produksi drainase
(+) : warna merah 5
cc pus (-)
- luka jahitan sedikit
membuka, keluar
darah di sela jahitan
30/3/2015
DS : DO :
- Pasien mengalami
kondisi paska
bedah : Post op
amputasi below knee
sinistra
- Pasien mengalami
M.Leprae
RISIKO
INFEKSI
M.Leprae
Merusak kulit dan saraf
tepi
Ulkus
Osteomielitis
RISIKO JATUH
51
30/3/2015
DS :
- P : nyeri pada luka
post op amputasi
- Q : nyeri tumpul.
Pasien belum
pernah mengalami
nyeri serupa
sebelumnya
- R : nyeri sekitar
luka jahitan. Nyeri
berkurang saat
digunakan untuk
berbaring dan
diganjal bantal.
Nyeri bertambah
ketika untuk
berpindah tempat
- S : skala nyeri 4 (010)
- T : nyeri hilang
timbul
DO :
- Pasien terlihat
meringis menahan
nyeri saat berpindah
tempat
- Pasien berfokus
pada diri sendiri
- Nafsu makan
menurun, makan
pagi habis porsi
- TD : 110/80 mmHg
- N : 88x/menit
- S : 37 C
- RR : 22x/menit
52
53
54
INTERVENSI KEPERAWATAN
Nama
: Tn. M
Usia
: 50 tahun
HARI/
WAKTU
TANGGAL
30/3/2015
09.15
DIAGNOSA KEPERAWATAN
(Tujuan, Kriteria Hasil
Gangguan citra tubuh
berhubungan dengan amputasi
Tujuan : Setelah dilakukan
tindakan keperawatan selama
3x24 jam diharapkan pasien
mengalami citra tubuh yang
baik dengan kriteria hasil :
- Mulai menunjukkan adaptasi
dan menyatakan penerimaan
pada situasi diri
- Mengenali dan menyatu dengan
perubahan dalam konsep diri
yang akurat tanpa harga diri
negative
- Kepuasan terhadap penampilan
dan fungsi tubuh
- Keinginan untuk menyentuh
Diagnosa Medis
: Morbus Hansen, Chronic Ulcer
No. Rekam Medis
: 0536xx
INTERVENSI
RASIONAL
1. Pertimbangkan persiapan pasien
dan pandangan terhadap amputasi
55
30/3/2015
09.15
1. mengetahui adanya
peningkatan skala nyeri
56
30/3/2015
09.15
pasien memperlihatkan
teknik relaksasi secara
individual yang efektif
untuk mencapai
kenyamanan
melaporkan pola tidur yang
baik
mempertahankan selera
makan yang baik
57
30/3/2015
09.15
indikasi
1. Identifikasi karakteristik
lingkungan yang dapat
meningkatkan potensi jatuh
58
IMPLEMENTASI KEPERAWATAN
Nama
: Tn. M
Usia
: 50 tahun
Hari/Tgl/Shift No.DK
30/3/2015
1
Jam
13.00
PAGI
13.05
13.10
Diagnosa Medis
: Morbus Hansen, Chronic Ulcer
No. Rekam Medis
: 0536xx
Implementasi
Paraf Jam
Evaluasi (SOAP)
1. Mengkaji dan mempertimbangkan
13.30 S :
persiapan pasien dan pandangan
- Pasien menyatakan amputasi
terhadap amputasi
bertujuan untuk mencegah
penyakit bertambah parah
Pasien
menyatakan merasa
2. Mendorong ekspresi ketakutan,
kehilangan bagian tubuh
perasaan negatif, dan kehilangan
Pasien
menyatakan dukungan
bagian tubuh
yang ada untuk pasien
didapat dari teman sekamar
3. Memberi penguatan informasi
O:
paska operasi termasuk tipe/luka
- Pasien mampu menjawab
amputasi, harapan tindakan operasi,
Paraf
59
09.20
09.25
PAGI
13.00
S:
- Pasien menyatakan masih
merasa nyeri, skala nyeri 4,
nyeri timbul saat berpindah
tempat
O:
60
12.00
30/3/2015
09.30
PAGI
09.45
09.50
61
12.00
12.10
30/3/2015
14.00
1. Mengidentifikasi karakteristik
lingkungan yang dapat
meningkatkan potensi jatuh
14.10
PAGI
P : Lanjutkan intervensi
- Rawat luka dengan teknik
aseptik
- awasi tanda vital dan kadar
leukosit
- kelola pemberian antibiotik
metronidazole salf,
levofloxacin 1x750 mg,
metronidazole 3x250 mg
14.30 S : Pasien menyatakan belum
mau menggunakan walker
karena takut jatuh
O:
62
14.15
31/3/2015
PAGI
14.20
14.25
10.00
S:
- Pasien menyatakan menerima
keadaan diri
- Pasien menyatakan mampu
berperan dalam fungsi yang
63
penyembuhan
10.10
10.15
O:
- Pasien menatap luka saat
dilakukan perawatan luka
- Pasien mampu berpindah ke
kursi roda dengan bantuan
minimal
A : Masalah teratasi
P : Hentikan intervensi
31/2//2015
12.00
12.10
12.15
12.20
15.00
S:
- Pasien menyatakan nyeri
berkurang, skala nyeri 4,
nyeri timbul saat berpindah
tempat
- Pasien menyatakan dapat
tidur siang
O:
- Pasien terlihat rileks
- Makan siang habis porsi
64
31/3/2015
PAGI
09.00
09.10
12.00
12.10
3. Mengkolaborasikan antibiotik
metronidazole p.o 250 mg
TD : 120/80 mmHg N : 91
x/menit S 36,1C RR
22x/menit
A : masalah teratasi sebagian
P : lanjutkan intervensi
- Observasi TTV, isyarat non
verbal ketidaknyamanan
- Ciptakan lingkungan
terapeutik
- Motivasi pasien untuk
meningkatkan istirahat
- Kelola pemberian analgesik
asam mefenamat 3x500 mg
14.00 S : O:
- Perawatan luka
menggunakan teknik aseptik
- Kondisi luka jahitan bersih,
pus (-), jahitan sedikit
membuka, keluar darah
disela jahitan. Panjang luka
jahitan 8 cm
- Post op amputasi below
knee sinistra hari ke 6
65
TD : 120/80 mmHg N : 91
x/menit S 36,1C RR
22x/menit
A : Masalah teratasi sebagian
31/3/2015
SIANG
14.00
14.20
P : Lanjutkan intervensi
- Rawat luka dengan teknik
aseptik setiap hari
- awasi tanda vital dan kadar
leukosit
- kelola pemberian antibiotik
metronidazole salf,
levofloxacin 1x750 mg,
metronidazole 3x250 mg
15.00 S : Pasien menyatakan bersedia
menggunakan walker
O:
- Tata letak barang mudah
dijangkau
- Pasien mampu
menggunakan walker
dengan bantuan
- Pasien mampu
memperagakan latihan
66
12.00
12.10
12.15
12.20
1/4/2015
PAGI
09.00
15.00
S:
- Pasien menyatakan nyeri
berkurang, skala nyeri 3
- Pasien menyatakan dapat
tidur siang
O:
- Pasien terlihat rileks
- Makan siang habis 1 porsi
- TD : 110/90 mmHg N : 89
x/menit S 36,5C RR
22x/menit
A : masalah teratasi
P : hentikan intervensi
09.30
S:O:
67
09.10
12.00
1/4/2015
PAGI
14.00
Perawatan luka
menggunakan teknik aseptik
- Kondisi luka jahitan bersih,
pus (-), jahitan sedikit
membuka, keluar darah
disela jahitan. Panjang luka
jahitan 8 cm
- Post op amputasi below
knee sinistra hari ke 7
- TD : 110/90 mmHg N : 89
x/menit S 36,5C RR
22x/menit
A : Masalah teratasi sebagian
P : Lanjutkan intervensi
- Rawat luka dengan teknik
aseptik setiap hari
- awasi tanda vital
- kelola pemberian antibiotik
metronidazole salf,
levofloxacin 1x750 mg,
metronidazole 3x250 mg
S : Pasien menyatakan sudah
menggunakan walker dengan
bantuan
68
O:
- Tata letak barang mudah
dijangkau
- Pasien mampu
menggunakan walker
dengan bantuan
- Pasien mampu
memperagakan latihan
kekuatan otot knee sinistra
A : Masalah teratasi sebagian
P : Lanjutkan intervensi
- Latih kekuatan otot knee
sinistra setiap hari
69
70
DAFTAR PUSTAKA
Amirudin, M. 2003. Penyakit Kusta. Makassar : Hassanudin Unversity Press.
Blackwell, W. 2014. Diagnosis : Definition and Classification 2015-2017. 10 th
edition. Philadelphia : Elsevier
Bulecheck GM, ButcherHK, Dotchman JM, 2013. Nursing Intervention
Clasification. 6th edition. Philadelphia : Elsevier.
Corwin, Elisabeth J. 2009. Patofisiologi: buku saku. Edisi 3. Jakarta: EGC
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2007. Pedoman Kusta Nasional
untuk sentinel surveilans. Jakarta
Djuanda. 2007. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Jakarta : PKUI
Graham, R. 2005. Dermatoligi. Edisi 8. Erlangga
Kemenkes RI. 2007. Pedoman Nasional Pengendalian Penyakit Kusta. Jakarta:
Dirjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Kemenkes RI
Kosasih, A. 2007. Ilmu penyakit Kulit dan Kelamin. Jakarta : FK UI
Mansjoer, Arif dkk. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Jilid 2. Edisi 3. Media
Aesculapius. Jakarta : FK UI
Noor Helmi,Zairin. 2014. Buku Ajar Gangguan Muskuloskeletal. Jakarta:
Salemba Medika
Subdirektorat Kusta dan Frambusia. 2007. Modul Pelatihan Program P2 Kusta
Bagi UPK
Moorheads, Jhonson M, Mausmi, Swanson E. 2013. Nursing Outcome
Classification. 5th edition. Philadelphia : Elsevier.
Zulkifli.2003. Penyakit Kusta dan Masalah yang ditimbulkannya. Medan : USU
Digital Library