tentang beberapa mtDNA dan y-DNA terbaru dari populasi Dayak dan orang laut
Nusantara.
Ketiga paper ini menarik dalam konteks mencari struktur populasi pertama Sunda
dan Sahul, khususnya era Plestosen Sundaland. Big picture yang dimaksud di
atas adalah bahwa Sundaland pertama kali dihuni oleh populasi yang terkait
dengan populasi Negrito yang saat ini menyebar di Semenanjung Malaysia,
Thailand, dan daratan Indocina, serta kemungkinan sisa-sisa populasi Negrito
tersebut terdeteksi di Sumatra, Borneo dan Jawa.
Lalu di mana posisi populasi yang mendiami Sahul? Sepertinya, populasi yang
bergerak ke arah timur adalah keturunan dari populasi Negrito yang lebih dulu
mendiami Sundaland ribuan tahun. Setidaknya itulah gambaran umum yang
diungkap oleh penanda genetik garis keturunan manusia (mtDNA dan y-DNA).
Peta sebaran mtDNA khusus Australasia digambarkan lebih jelas oleh Toomas
Kivisild (2015), juga pernah dikaji Mannis van Oven (2010) dan disempurnakan
oleh usulan Kong et al. (2010)
Lalu, siapakah Orang Asli ini dan apa yang mereka lakukan di hutan tropis
Pleistocene Sundaland?
Manusia prasejarah pertama kali hadir di Semenanjung Melayu ketika permukaan
laut surut di era Pleistosen, dan paparan dasar laut bagian barat Asia Tenggara
mulai terekspos. Paparan ini dikenal dengan paparan Sunda, atau Sundaland,
membentang ke arah timur dari Kalimantan sampai Bali, ke arah utara dari
Palawan di Filipina dan Vietnam di Indochina, sampai Jawa di bagian selatan.
Populasi yang pertama kali mendiami Sundaland menyebar ke segala penjuru,
awalnya mereka kembali ke utara dan juga bergerak ke pesisir timur benua,
mengeksplorasi, kemudian mendiami berbagai tempat yang dianggap nyaman dan
aman. Menjelajahi Sundaland kemungkinan tidak akan memakan waktu lebih dari
seribu tahun.
Sebagai pembanding, untuk sampai ke ujung selatan benua Amerika, manusia
memerlukan waktu beberapa ribu tahun dengan jalan kaki atau dengan perahu.
Jarak dari Alaska sampai ujung selatan kira-kira lima kali jarak Bangkok ke Bali.
Karena Sundaland tidak memiliki gunung atau gurun, maka tidak akan sesulit
mengarungi dataran rendah Sundaland. Mereka yang bergerak ke arah Indocina
atau Palawan akan menyusuri dataran rendah tersebut. Beberapa dari mereka juga
akan melintasi dataran rendah yang sekarang menjadi Laut Jawa. Jika pusatnya di
antara Jawa dan Sumatra, maka ketika beberapa area Sundaland mulai menjadi
laut dangkal, sebaran mereka tidak akan jauh dari tanah air mereka, misalnya
Semenanjung Melayu, Jawa, Sumatra, Borneo dan Bali.
Bukti arkeologi adanya hunian di Semenanjung Melayu ditemukan di Kota
Tampan, di bagian utara Malaysia, diperkirakan berumur 40.000 sampai 75.000
tahun, yaitu dengan ditemukannya alat-alat dari batu. Fosil Tam Pa Ling di Laos
berumur 45.000 sampai 63.000 tahun, merupakan fosil manusia modern tertua di
Asia Tenggara. Kemudian, alat batu juga ditemukan di gua Lang Rongrien, di
Thailand selatan, diperkirakan berumur 43.000 tahun. Temuan artefak di Gua
Niah, Serawak berumur 46.000 tahun menambah bukti bahwa manusia modern
telah menghuni Sundaland sebelum mereka migrasi ke Australia. Gua Tabon di
Palawan ditemukan bukti hunian manusia modern berupa deposit berumur 37.000
sampai 58.000 tahun.
Di luar Sundaland, potongan peralatan yang memungkinkan manusia
menyeberang dari Wallacea ke Sahul ditemukan berumur 42.000 tahun, di Timor.
Temuan lukisan dinding di Leang Timpuseng membuktikan bahwa manusia sudah
mencapai Sulawesi Selatan 40.000 tahun yang lalu. Dari mana manusia tersebut?
Mungkinkah mereka dalam perjalanan menuju Sahul?
Berdasarkan data genetik, yang diwakili salah satunya oleh mitokondrial DNA
(mtDNA; diturunkan oleh ibu kepada anak-anaknya), menunjukkan bahwa
populasi di Semenanjung Melayu dan sekitarnya memiliki diversitas yang tinggi.
Keberadaan garis keturunan maternal yang cukup tua pada populasi Orang Asli,
menunjukkan bahwa sejarah hunian manusia di Semenanjung Melayu lebih lama
dibanding daerah di sebelah utara atau timur semenanjung. Penanda basal genetik
di Asia Tenggara juga ditunjukkan oleh perbedaan keragaman di sebagian besar
DNA (nucleus DNA) pada populasi Orang Asli. Mereka ini juga bisa dibilang
yang pernah menghuni Sundaland. Mereka menyebar dan menjelajah wilayah
yang sebagian besar hutan tropis ini, mulai dari seantero Sumatra, dari Borneo
sampai Bali, dan dari Palawan sampai Jawa.
Jaman es berlangsung dari 100.000 sampai 10.000 tahun yang lalu di luar daerah
tropis. Hal ini menjadikan area tropis Sundaland sebagai area paling ideal sebagai
tempat tinggal dengan iklimnya yang sejuk bagi tumbuhan, hewan, dan manusia.
Jaman es terjadi dalam dua fase, fase pertama berlangsung dari 57.000 sampai
28.000 tahun yang lalu, diikuti periode singkat yang stabil, dan puncaknya yang
dikenal dengan Last Glacial Maximum (LGM) yang berlangsung dari 27.000
sampai 10.000 tahun yang lalu.
Pada saat LGM, terbentuk hamparan sabana di sepanjang Selat Malaka, dan area
di sekitar Gua Batu dekat Kuala Lumpur terjadi pergantian musim basah dan
kering. Di bagian utara Borneo terbentuk hutan hujan tropis, menjadi daerah
favorit untuk hunian. Sebagaimana laut mulai merayapi pedalaman paparan
Sunda, sekaligus menciptakan danau-danau dan teluk-teluk kecil di dataran
rendah yang makin lama makin besar. Dan mungkin paralel dengan hal tersebut,
adanya cerita Orang Asli tentang naiknya air laut dari dalam tanah, yang membuat
mereka meninggalkan tanah airnya.
Sekitar 60.000 tahun yang lalu, Semenanjung Melayu hanya dihuni sekelompok
kecil manusia modern (temuan fosil dari Tam Pa Ling, Laos, berumur 63.000
tahun setidaknya mendukung adanya hunian manusia modern di Asia Tenggara).
Namun sampai saat ini, tak satupun tahu persis bagaimana kondisi Sundaland
secara umum. Namun berdasarkan sejarah geologis, cuaca Sundaland saat itu
lebih dingin dibanding sekarang. Karena fluktuasi suhu pada jaman es, iklim
berubah sangat cepat, dan terjadi selama berabad-abad. Selama cuaca dingin,
suhu rata-rata siang hari di dataran rendah berkisar 21oC, dibandingkan saat
ini sekitar 28oC. Bayangkan cuaca siang hari di Bandung setelah hujan. Tidak
terlalu dingin. Sangat sejuk dan menyegarkan. Jika Sundaland seperti Bandung
siang hari paska hujan, manusia sekarang pun pasti rela dikirim ke masa tersebut
untuk menjadi saksi jaman es. Tinggi air laut saat itu, sekitar -60m di bawah
permukaan saat ini, dan sebagain dari dasar laut masih berupa daratan kering,
terutama daerah antara Belitung dan Borneo. Daerah tersebut ditumbuhi hutan
kerangas dan rawa dengan hutan-hutan dengan aliran sungai menuju tepi landas
benua. Hutan kering tersebut dihuni hewan-hewan merumput seperti gajah, rusa,
badak, seladang (kerbau) dan banteng.
Bersamaan dengan perubahan iklim, kondisi geografi mengubah sejarah. Ketika
Orang Asli menjelajah bagian barat Sundaland, banyak area terbuka di hutanhutan dan hanya sedikit pepohonan, daripada hutan saat ini, karena pengaruh
cuaca dingin. Kemudian abad yang lebih hangat dan basah pun tiba, hutan
menjadi lebat kembali. Orang Asli mulai mendiami gua-gua batu kapur dan mulai
membakar pepohonan di sekitar gua untuk menciptakan lingkungan sekitarnya
lebih terang. Kawasan hutan-pinggiran seperti zona transisi ekologi, ecotones
yang kaya umbi-umbian dan sayuran yang bisa dimakan. Selama musim dingin,
ecotones kaya sumber daya seperti itu gampang dijumpai di seantero
Semenanjung Melayu. Di sanalah lokasi pilihan Orang Asli dalam mencari makan
sehari-hari.
Jika asumsi Orang Asli datang dari arah barat (India) melalui pesisir pantai, maka
mereka bakal sampai di bagian barat dari Thailand selatan. Mereka akan
menjumpai dataran rendah memanjang ke selatan sampai Singapura. Pegunungan
granit dan batu kapur di dataran tinggi di semenanjung masih utuh tak tersentuh.
Mungkin hanya sesekali dijelajah oleh Orang Asli untuk mencari tempat hunian,
namun ketika mereka mulai menemukan gua batu kapur, mereka mulai menetap
untuk menghindari angin, hujan dan mungkin hanya untuk menikmati tidur siang
setelah berburu.
Lalu, siapa sajakah Orang Asli tersebut?
Berdasarkan bukti mtDNA, maka populasi tertua yang masih mewarisi garis
keturunan mtDNA tertua (macrohaplogroup N, M dan R) adalah populasi protoMelayu (Aboriginal Malays), yaitu Temuan dan Semelai, termasuk Jakun, dengan
sebaran mtDNA N21, N22, dan R (N21 terdeteksi juga pada populasi Sumatra dan
Bali, dengan diversitas lebih tinggi berada di populasi Sumatra dan Bali; R
kemudian paparan Sahul) sekitar 50.000 tahun yang lalu, sebelum Sundaland
berubah secara keseluruhan.
Berdasarkan sebaran mtDNA dan diversitasnya, bahwa pusat sebaran atau asalusul mereka adalah area di antara pulau Jawa, Sumatra dan Borneo. Keragaman
mtDNA populasi aborigin Kamboja menunjukkan migrasi dari arah selatan untuk
mtDNA tertua di sana (Zhang et al., 2014), diversitas mtDNA populasi aborigin
Malaysia juga menunjukkan hal yang sama (Baer et al., 2010). mtDNA populasi
aborigin Australia adalah subclade dari N* (mtDNA O di daerah gurun Australia,
S menyebar, N13 dan N14 di Kimberley) serta subclade dari M* (M42 di
Arnhem). Masih sulit menentukan hubungan populasi Nusa Tenggara (mtDNA
N* dan M* serta R) dengan yang di Jawa serta Bangka/Sumatra Selatan.
Diversitas mtDNA N dan M antara ketiganya belum dikaji, kita tidak tahu apakah
mereka berbagi haplotype yang sama, atau perbandingan polimorfisme HVS-I
antara ketiga area tersebut. Atau mungkin karena mereka tidak yakin secara persis
subhaplogroup mana yang akan ditujukan pada M* dan N* tersebut.
Untuk merekonstruksi populasi pertama Sundaland memang cukup rumit, namun
sedikit bagian dari populasi tersebut bisa terlacak dengan bantuan mtDNA dan yDNA populasi saat ini. Sedikit gambaran pada skema mtDNA N di bawah:
Gelombang Kedua
Sebagian besar garis keturunan populasi Gelombang Pertama sekarang tersebar
luas di wilayah terdekat, seperti Jawa, Sumatra, Borneo, juga termasuk interior
Semenanjung Melayu dan Thailand. Sebagian dari mereka meninggalkan
Sundaland menuju arah timur, dan juga ke arah utara. Mereka meninggalkan jejak
haplotype yang berumur sangat tua, berasal dari daerah di mana haplotype
tersebut ditemukan (autochthonous), dan mendukung pandangan bahwa
perkembangan in situ mtDNA Australasia terjadi di sekitar Wallacea dan Sahul.
Berdasarkan keragaman genetik, garis keturunan Gelombang Pertama menyebar
ke arah utara melalui Semenanjung Melayu, Thailand, Kamboja, serta Laos, dan
ke arah timur, yaitu Nusa Tenggara, kepulauan Maluku, dan kemudian sampai di
paparan Sahul. Berdasarkan sebaran mtDNA dan keragamannya, bahwa pusat
sebaran atau asal-usul mereka adalah area di antara pulau Jawa dan Sumatra.
Keragaman mtDNA populasi aborigin Kamboja menunjukkan migrasi dari arah
selatan untuk mtDNA tertua di sana (M68, M69, M78, N7: Zhang et al., 2014),
keragaman mtDNA populasi aborigin Malaysia juga menunjukkan hal yang sama
(Baer et al., 2010). mtDNA populasi aborigin Australia adalah subclade dari
macro-haplogroup N* (mtDNA O/N12 di daerah gurun Australia Tengah,
dan Australia, dan pada akhirnya menghuni sekitar Teluk Carpentaria, di ujung
utara Queensland. M42 dan M74 (M74a di China Selatan dan Vietnam) adalah
keturunan dari M4274, mereka berpisah di Sundaland, dengan M74 bergerak ke
arah utara dan timur laut (M74b di Mamanwa, Filipina).
Populasi aborigin Australia di sekitar Teluk Carpentaria (M42a) dan
Mamanwa (M74b sama-sama mewarisi gen dari Denisovan (Kebetulan?
Tentu tidak. Di India (Dravida, Austro-asiatik) ditemukan M42b, perlu kajian
lebih lanjut hubungan M42b dengan garis keturunan M42 yang lain. mtDNA
M42, O/N12 bersama dengan Y-DNA C-RPS4Y* (garis keturunan pria Adonara
dan Flores di dominasi Y-DNA C-M38* dan C-RPS4Y*, sedangkan aborigin
Australia di daerah Arnhem didominasi Y-DNA C-M374) adalah populasi tertua
di Wallacea dan Sahul, merekalah yang membuat aborigin Australia (terutama
Arnhem) dan populasi di NTT (Adonara dan Flores) berkerabat dekat secara
genetik. Hal tersebut yang menjadikan NTT secara genetik sebagai daerah melting
pot.
M14 dan M15, banyak ditemukan di bagian utara Australia sekitar Arnhem, M14
3 mutasi dari macrohaplogroup M, sedangkan M15 13 mutasi dari M. Sebagian
M15 bergerak ke arah barat di sekitar Kimberley. Kedua mtDNA ini memang
belum dilakukan kajian yang mendalam, namun bisa disimpulkan bahwa
keduanya adalah haplogroup yang langka di Australia.
Menjelajahi Oceania
Pendudukan Oceania (Melanesia, Polynesia dan Micronesia) sangat terkait erat
dengan sejarah populasi Indonesia, karena nenek moyang populasi Oceania pada
dasarnya adalah masih garis keturunan populasi gelombang pertama yang
menghuni Sundaland, yang juga terkait dengan Orang Asli Semenanjung
Malaysia, dan populasi gelombang kedua tersebut, yang kemudian migrasi dari
Sundaland ke Sahul, menjadi nenek moyang populasi Oceania. Bisa disimpulkan,
bahwa gelombang kedua tersebut adalah penduduk pribumi Sundaland (lihat
ulasan Y-DNA K2b1 dan mtDNA P) yang migrasi ke Sahul sekitar 55-50.000
tahun yang lalu.
Sebelum 8000 tahun yang lalu, Australia dan Papua masih bersatu sebagai
paparan Sahul, dan pada akhirnya menjadi tujuan populasi pribumi Sundaland
sekitar 50.000 tahun yang lalu, setidaknya dari bukti arkeologi di Australia
(Roberts RG, Jones R, Smith MA, 1990:
Thermoluminescence dating of a 50,000-year-old human occupation site in
northern Australia), dan sekitar 40.000 yang lalu di Papua Nugini (Groube et al.,
1986: A 40,000 year-old human occupation site at Huon Peninsula, Papua New
Guinea). Meskipun pendudukan awal Oceania secara rinci, seperti populasi
berasal dari mana, jalur-jalur yang mungkin ditempuh, serta kapan migrasi
tersebut terjadi, masih diperdebatkan banyak pihak, penelitian berdasarkan
penanda genetik maternal (mtDNA) dan penanda genetik paternal (Y-DNA)
kadang masih menunjukkan hasil yang bertentangan.
Sebagian besar penelitian mendukung pandangan bahwa populasi Australia dan
Papua Nugini berasal dari populasi yang berbeda karena tidak adanya
kekerabatan genetik di antara mereka (Redd and Stoneking, 1990: Peopling of
Sahul: mtDNA variation in aboriginal Australian and Papua New Guinean
populations; Huoponen et al., 2001: Mitochondrial DNA variation in an
aboriginal Australian population: evidence for genetic isolation and regional
differentiation; Ingman and Gyllensten, 2003: Mitochondrial genome variation
and evolutionary history of Australian and New Guinean aborigines; Van Holst
Pellekaan et al., 2006: Mitochondrial genomics identifies major haplogroup in
Aboriginal Australians; Kayser et al., 2001: Independent histories of human Y
chromosomes from Melanesia and Australia), sementara penelitian lain
berdasarkan polimorfisme sisipan Alu, dan sebaran Heliobacter pylori
menunjukkan bukti bahwa mereka memiliki nenek moyang yang sama.
Perdebatan ini bisa dijawab setelah diperkenalkannya analisis genome, dengan
resolusi yang lebih mendalam dan rinci.
Dua penelitian yang menganalisa data SNP dari populasi aborigin Australia
dan Papua Nugini (McEvoy et al., 2010: Whole-genome genetic diversity in a
sample of Australians with deep aboriginal ancestry; Pugach et al., 2013:
Genome-wide data substantiate Holocene gene flow from India to Australia),
meskipun mengkonfirmasi perpisahan populasi pribumi Australia dari populasi
Eurasia, mampu mengidentifikasi populasi highlander Papua Nugini sebagai
kerabat terdekat populasi aborigin Australia (mtDNA P [Friedlaender et al.,
2005], dan Y-DNA K2b1 [Karafet et al., 2014] telah memberikan petunjuk awal
bahwa populasi aborigin Australia, highlander Papua Nugini dan Aeta di Filipina
berkerabat dekat secara genetik).
Simon Easteal et al juga menemukan diversitas yang ekstrim pada populasi PNG.
Mereka mencoba membuat pemetaan garis keturunan di PNG, berhasil
mengidentifikasi dua pusat sebaran, haplogroup P dan Q, dengan garis keturunan
menyebar ke segala arah. Dua garis keturunan maternal yang nampaknya sangat
tua, dan terpisah dari mtDNA di luar Afrika. Menariknya, haplogroup Q tidak
ditemui pada garis keturunan maternal di Australia (ada Q2b di timur laut
Australia, sepertinya mereka yang mencoba menyeberang ke Australia ketika
masih sebagai paparan Sahul, dan berhenti di sekitar Teluk Carpentaria,
Queensland bagian utara), dan haplogroup P hanya ditemui beberapa saja, sebagai
minoritas di Australia. Hal ini menunjukkan bahwa terjadi isolasi yang cukup
ekstrim antara populasi Australia dan PNG walaupun mereka pernah bersatu
dalam paparan Sahul.
Pendudukan awal Sahul berdasarkan bukti arkeologi, dan diferensiasi genetik
populasi aborigin Australia dan highlander Papua Nugini, membuat para peneliti
kemudian mengubah pandangan bahwa sebaran ke arah Pasifik bagian barat
(Oceania terdekat) adalah bagian dari migrasi pertama setelah mereka sampai di
Sahul (setidaknya 15.000 tahun setelah menghuni Sahul). Pandangan ini tidak
memiliki bukti yang cukup, setelah diuji bersama dengan dua hipotesa yang lain,
berkenaan dengan asal-usul populasi Papua Nugini, menggunakan sekitar 1 juta
SNP dari populasi Oceania (Wollstein et al. 2010: Demographic history of
Oceania inferred from genome-wide data). Tiga model diuji, dan model
demografik yang didukung analisis SNP menggambarkan perpisahan leluhur
Papua Nugini dari leluhur Eurasia; adanya kemungkinan kecil Papua Nugini
berkaitan dengan populasi Asia Timur; namun tidak ada bukti bahwa populasi
Papua Nugini terkait langsung dengan populasi Afrika.
Analisis genome membantah kemungkinan hipotesis early dispersal (oleh
populasi Negrito Sundaland berasal dari Afrika), namun untuk mengidentifikasi
kemungkinan jalur yang diambil oleh migrasi gelombang pertama juga masih
merupakan tantangan yang harus dijawab, sebagaimana bukti arkeologi dari jejak
jalur pesisir pantai selatan out of Africa pasti sudah hilang tertelan lautan pada
ujung Last Glacial Maximum (LGM), dan sisa-sisa genetik purba bisa jadi telah
tergantikan oleh peristiwa-peristiwa migrasi berikutnya.
Berkenaan populasi aborigin Australia dan highlander Papua Nugini, kehadiran
kelompok Negrito Malaysia dan Filipina serta pribumi Andaman, diduga adalah
keturunan langsung dari diaspora out of Africa melalu jalur pesisir pantai selatan
benua Asia, sementara populasi yang hidup di Asia Tenggara saat ini telah
terbukti muncul kemudian, sebaran yang berbeda dari arah utara (Lahr and Foley,
1994: Multiple dispersals and modern human origins; Reich et al. 2011: Denisova
admixture and the first modern human dispersals into Southeast Asia and
Oceania; Rasmussen et al. 2011: An aboriginal Australian genome reveals
separate human dispersals into Asia). Kekerabatan genetik antara populasi
aborigin Australia dan Negrito Filipina awalnya berdasarkan data Y-DNA (Delfin
et al., 2011: The Y-chromosome landscape of the Philippines: extensive
heterogeneity and varying genetic affinities of Negrito and non-Negrito groups),
dan bukti tersebut diperkuat dengan analisa genome, yang mengungkap afinitas
populasi aborigin Australia dan highlanders Papua Nugini dengan populasi Aeta
dan Mamanwa, kelompok Negrito dari Filipina, adalah cukup dekat (Pugach I et
al., 2013: Genome-wide data substantiate Holocene gene flow from India to
Australia; Reich et al., 2011). Untuk menguji kekerabatan genetik antara populasi
pribumi Asia Tenggara dan pribumi Eurasia yang datang dari arah utara, perlu
kajian tersendiri terhadap mtDNA haplogroup N dan M serta R antara kedua
wilayah tersebut, dan menentukan basal garis keturunan yang membedakan kedua
garis keturunan itu.
Selanjutnya, data genotip skala besar memungkinkan estimasi waktu perpisahan
antara nenek moyang aborigin Australia dengan populasi lainnya. Menggunakan
korelasi dalam pola linkage disequilibrium (LD) genome antar populasi untuk
memperkirakan waktu divergensi mereka, Pugach et al. mengestimasi populasi
Eurasia dan aborigin Australia terpisah secara genetik dari populasi Afrika sekitar
66.000 tahun yang lalu (lebih muda dari perpisahan antara Y-DNA CT dari YDNA B dari kajian Karmin et al. 2015 yang menempatkan perpisahan CT dari B
sekitar 100.000 tahun yang lalu; perpisahan proto-Eurasia dan pygmy Afrika
Tengah), sedangkan perpisahan antara populasi aborigin Australia dan
highlanders Papua Nugini dari populasi awal Eurasia sekitar 43.000 tahun yang
lalu (terpisahnya Y-DNA Australasia CDF dari Y-DNA Eurasia CEF, serta
mtDNA M & N dari L3, menurut Karmin et al. perpisahan terjadi paska letusan
Toba 73.000 tahun yang lalu. Sesuai dengan umur mtDNA N dan M sekitar
70.000 tahun yang lalu), dan perpisahan antara populasi Australia, Papua Nugini,
dan Mamanwa Negrito diperkirakan terjadi 36.000 (Pugach et al., 2013) (Y-DNA
K2b1 dan mtDNA P, menurut Kamin et al. 50.000 tahun yang lalu. Namun
menurut Gomes et al. sebelum 37.000 tahun yang lalu). Menurut kajian aDNA
dari peneliti Rusia, populasi aborigin Australia menginjak Sahul sekitar 49.200
tahun yang lalu [interval:43.900-54.600 tahun yang lalu]).
Walaupun demikian, umur 43.000 tahun tersebut sesuai dengan estimasi waktu
sebaran bakteri H. pylori. Lebih jauh lagi, umur tersebut menunjukkan bahwa
populasi aborigin Australia dan highlanders Papua Nugini berpisah setelah
mereka sampai di Sahul, ~50.000 tahun yang lalu, dan bukan pada saat permukaan
air mulai memisah Sahul 8000 tahun yang lalu. Singkatnya, populasi aborigin
Australia sudah sampai di Sahul 43-50.000 tahun yang lalu. Untuk
memastikannya, bukti arkeologi sangat dibutuhkan. Manusia purba dari Lake
Mungo sebenarnya bisa menjawa teka-teki ini, karena diperkirakan mtDNA
manusia purba tersebut lebih tua dari mtDNA N dan M serta berbeda dari garis
keturunan L3 dari Afrika yang dipercaya sebagai nenek moyang seluruh mtDNA
di luar Afrika.
Menurut bukti arkeologi, kehadiran populasi pribumi di Australasia pada
Paleolitik Atas terkonfirmasi dengan temuan di Timor berumur 42.000 tahun,
Borneo 46.000 tahun, Papua Nugini 43-49.000 tahun, Melanesia dan Australia
lebih dari 48.000 tahun (tersebar di seluruh penjuru Australia). Jadi estimasi
Pugach et al. tentang perpisahan antara populasi aborigin Australia, highlanders
Papua Nugini dan Negrito Filipina terlalu muda dibandingkan bukti arkeologi.
Austronesia serta bahwa sebaran bahasa Austronesia bisa dijelaskan hanya dengan
pembauran budaya saja. Kecenderungan proporsi keturunan Austronesia dan
waktu percampuran menunjukkan bahwa penyebaran petani Austronesia di
seluruh wilayah Indonesia terjadi dari barat ke timur. Untuk memudahkan, Anda
harus melihat peta genetik Nusa Tenggara, dan Anda akan menjumpai bahwa
populasi yang migrasi dari arah barat ke timur adalah garis keturunan Austronesia
wanita, yang nantinya akan bertemu dengan garis keturunan pria Papua yang
menjadi penduduk lokal di Wallacea.
Informasi penting lainnya adalah analisis laju percampuran pada autosome dan Xchromosome pada populasi Nusa Tenggara dan Maluku. Populasi Nusa Tenggara
yang dianalisa adalah kepompok penutur Austronesia, memperlihatkan frekuensi
keturunan Asia yang lebih tinggi pada X-chromosome dibandingkan dengan
estimasi genome secara keseluruhan, menunjukkan bahwa percampuran dalam
kelompok populasi tersebut lebih banyak melibatkan wanita dari Asia (penanda
mtDNA penutur Austronesia wanita adalah mtDNA M7c3c, F1a1, B4a1a1, jika
mtDNA E termasuk, mereka adalah penutur proto-Malayo-Polynesia atau protoAustronesia, yang juga diklasifikasikan sebagai mtDNA Asia, walau sebenarnya
asalnya dari wilayah antara timur laut Borneo dan barat laut Sulawesi). mtDNA
F1a1 juga kandidat untuk penutur Austroasiatik, bersama dengan N9a6 dan R9b.
Pola tersebut tidak terlihat pada populasi Maluku, populasi yang dianalisa adalah
penutur bahasa Papua. Perbedaan tersebut, dalam hal percampuran antara
kelompok keturunan Papua dan Austronesia, sekali lagi konsisten dengan
hipotesis bahwa kelompok Austronesia menganut sistem matrilokal (Jordan et al.,
2009: Matrilocal residence is ancestral in Austronesian societies; Hage P &
Marck J, 2003: Matrilineality and the Melanesian origin of Polynesian Y
chromosomes)
Pentingnya pemetaan migrasi manusia skala besar dalam prasejarah Kepulauan
Asia Tenggara digambarkan juga dalam sebuah penelitian yang
mendemonstrasikan kesuksesan migrasi di Asia Tenggara sebagai populasi yang
garis keturunannya berhasil ditelusuri dari berbagai sumber (Lipson et al. 2014:
Reconstructing Austronesian population history in Island Southeast Asia).
Dengan metode yang relatif bebas dari ketidakpastian yang berhubungan dengan
gender, Lipson berhasil membuat peta populasi campuran, proporsi percampuran,
dan asal keturunan dari masing-masing populasi campuran tersebut. Komponen
Austronesia, yang terkait dengan populasi aboriginal Taiwan, ditemukan dimanamana dan terlihat di semua populasi Asia Tenggara (dan Polynesia). Hal ini
terjadi karena Lipson mengamati garis keturunan pria. Komponen Papua
(Melanesia) terbatas hanya di Indonesia Timur dan Polynesia. Komponen Negrito
terlihat dalam berbagai proporsi pada semua populasi di Filipina, dan juga pada
populasi Indonesia bagian barat walau dalam proporsi kecil, dan tidak ditemui di
Indonesia Timur. Komponen Austroasiatik juga cukup besar di Indonesia bagian
barat, namun tak terlihat di tempat lainnya di Kepulauan Asia Tenggara, kecuali
pada populasi Manggarai di pulau Flores yang masih dalam wilayah Wallacea.
Pada populasi Toraja, agak sulit menentukan apakah garis keturunan pria Negrito
atau Papua (Melanesia). Namun jika garis keturunan pria Mandar adalah sebagian
Papua, dan tidak ada Negrito, maka tak berlebihan jika Toraja juga memiliki garis
keturunan pria dari Papua (C-RPS4Y*, C-M38, F-P14*, K-M526*, M-P34, SM254).
Penelitian tersebut juga mengestimasi waktu percampuran di Kepulauan Asia
Tenggara, namun hasilnya lebih muda daripada estimasi waktu kedatangan
penutur Austronesia di Kepulauan Asia Tenggara berdasarkan bukti arkeologi dan
bahasa, dan estimasi waktu tersebut lebih muda dari waktu kedatangan penutur
Austronesia di Indonesia Timur, Polynesia dan Fiji. Meskipun Lipson et al.
berpendapat bahwa estimasi yang lebih muda tersebut mencerminkan aliran gen
yang terjadi di masa-masa sejarah yang tidak bisa dideteksi oleh metoda yang
lain, namun perlu waspada kemungkinan adanya bias dan keterbatasan metode
yang dipakai Lipson et al.
Karena estimasi waktu percampuran yang tidak konklusif, sulit untuk
mengungkap pemetaan peristiwa yang menjelaskan perjalanan garis keturunan
Austroasiatik di Indonesia bagian barat. Lipson et al. mengusulkan tiga skenario:
proporsi garis keturunan pribumi yang tinggi: M21a, M21b, dan R21 (Hill et al.,
2006; Oppenheimer 2011). Senoi merupakan gabungan, dengan garis keturunan
maternal sekitar setengahnya adalah keturunan Semang dan setengahnya dari Indo
China. Hal ini sesuai dengan dugaan bahwa mereka keturunan penutur awal
Austroasiatik, yang menyebarkan bahasa dan budaya cocok tanam ke area selatan
Semenanjung Melayu sekitar 4000 tahun yang lalu dan bercampur dengan
populasi Semang. Populasi aborigin Melayu lebih beragam, berkerabat dekat
dengan populasi di kepulauan Nusantara, mereka juga mewarisi haplogroup yang
sangat tua dan langka. Kontra dengan ekspektasi sebelumnya, salah satu urutan
genom mtDNA mereka, R9b, berasal dari Indo China sekitar Last Glacial
Maximum (LGM), diikuti oleh sebaran awal Holocene melalui Semenanjung
Melayu ke kepulauan Nusantara.
Walau jumlah Orang Asli hanya 0,5% dari populasi setempat, namun mereka
mencakup keanekaragaman fenotipik yang cukup tinggi. Bahasa mereka termasuk
Aslian, cabang dari rumpun Austroasiatik, yang merupakan bahasa seluruh
populasi Orang Asli, dan bahasa Melayu yang merupakan rumpun Austronesia.
Tradisi Semang diasosiasikan dengan bahasa Aslian Utara, mencari makan di
hutan, egaliterisme, patrilinial, and perawakan orang Negrito. Negrito di
Semenanjung Malaysia mempunyai ciri-ciri fisikal yang sangat menyerupai orang
Pygmy di Afrika dibandingkan dengan kelompok etnik lain di Asia Tenggara.
Sebagai tambahan, ciri-ciri mereka juga secara keseluruhannya berbeda
berbanding dua kelompok Orang Asli di Semenanjung Malaysia lainnya, yaitu
Senoi dan aborigin Melayu. Tradisi Senoi, direpresentasikan oleh Semai dan
Temiar, yang dikaitkan dengan bahasa Aslian Tengah, melakukan praktik
peladangan berpindah di dataran tinggi, kelompok yang tinggal di rumah panjang,
egaliterisme, keturunan kognatik, perawakan bervariasi dari orang Negrito sampai
Mongoloid. Tradisi Aborigin Melayu meliputi dialek Melayu (berbeda dari
Semelai yang masih memakai bahasa Aslian Selatan), praktik strata sosial, ahli
dalam mengumpulkan dan berdagang hasil hutan, melakukan perlawanan keras
terhadap Islam dan pendatang yang lain, dan diasosiasikan dengan perawakan
Mongoloid.
sebagai M4). Dengan ditemukannya cabang paling tua dari M74 di China Selatan,
sedangkan subgroup M74b di Bidayuh dan Besemah, menunjukkan bahwa
sebaran dimulai dari China Selatan menuju ke arah Sundaland.
Haplogroup M20 di Bidayuh tergabung dengan grup di China Selatan, dan
keduanya berkelompok dengan M51 yang ditemukan di Cham (Vietnam) dan
Besemah (Sumatra).
Keragaman garis keturunan haplogroup N
Orang Asli: N21, N22 dan R21. Garis keturunan N21 pada populasi Temuan
sepertinya keturunan dari haplotype leluhur yang ditemukan di Cham (Vietnam),
menunjukkan asal-usulnya dari Indo China pada Pleistocene Akhir berdasarkan
estimasi umur DNA. N22 terbatas pada populasi Temuan, sedikit di Filipina,
Sumba, dan Sumatra. R21 terbatas pada populasi Negrito di Malaysia Barat,
cukup banyak pada populasi Senoi, yang mungkin adalah pendatang dari Indo
China. N9a tersebar di Asia Timur, namun subclade-nya N9a6 sepertinya terbatas
pada populasi di kepulauan Nusantara (sedikit di Sumatra dan Jawa, namun tidak
ada di Filipina dan Taiwan). N9a6 dan keturunannya N9a6a cukup banyak di
Malaysia, khususnya Bidayuh dan Seletar.
B sangat umum ditemukan di kepulauan Nusantara, dan Polynesia. Sebarannya
bervariasi pada populasi Malaysia, dengan B4a dan B5b di Bidayuh, B4b dan B6
di Temuan, dan B4c di Seletar. Dua garis keturunan B4a di Bidayuh termasuk
B4a1a1a, Polynesian motif, mencerminkan aliran gen dari arah Pasifik (lebih
tepatnya Halmahera, Maluku sebagai lokasi munculnya motif) selama periode
pertengahan Holocene. Atau, bisa juga populasi in situ garis keturunan
mtDNA B4a*. Ada juga B4a yang belum terkelompokkan, berbagi basal mutasi
dengan B4a namun tidak diklasifikasikan. Type leluhur dari haplogroup B4b, B4c
dan B5b ditemukan pada populasi China Selatan, menunjukkan asal-usul dan
sebaran dari daratan Asia Tenggara ke kepulauan Nusantara. Menariknya, B4c2
yang ditemukan di Seletar, diekstrak dari rambut kuno populasi Negrito,
mengindikasikan terjadinya difusi dari daratan Asia Tenggara pada Pleistocene
Akhir.
F sangat umum ditemukan di Asia Tenggara, dengan F1a1a sangat tinggi di
Temiar, Senoi. F1ac berbagi basal mutasi yang sama dengan F1a, kecuali
nucleotide posisi 4086 yang ada di Bidayuh, Besemah dan Semende.
Yang paling menarik dari penelitian ini adalah terbatasnya keragaman mtDNA
populasi Seletar. Hanya ada 4 haplogroup terdeteksi, mencerminkan rendahnya
keragaman haplotype, meskipun tidak se-ekstrim populasi orang laut Moken.
Keragaman mtDNA yang terbatas di Seletar ini bisa diakibatkan karena
pergeseran genetik, ditambah dengan jumlah populasi yang kecil, sekitar 800
individu. Ini bisa menjelaskan kenapa N9a6, yang sedikit ditemukan di kepulauan
Asia Tenggara, namun sangat tinggi pada populasi Seletar.
Hasil analysis HVS-I mengindikasikan bahwa mayoritas mtDNA Orang Asli tidak
mirip dengan garis keturunan maternal yang ada di Eurasia (bahkan dari Afrika).
Bahwa terdapat sejumlah garis keturunan pribumi pada Orang Asli yang bukan
dari haplotype asal Afrika, (beberapa menduga dari Eurasia) pada akar haplogroup
M, N, dan R. Harus dipahami bahwa Asia Tenggara memiliki akar haplogroup M,
N, dan R, yang berbeda dari Eurasia. mtDNA N dari Eurasia tidak akan
menurunkan keturunan yang sama dengan mtDNA N dari Asia Tenggara (yang
juga disebut dengan mtDNA Australasia).
Orang Asli didominasi oleh mtDNA haplogroup M21a pada populasi Mendriq
dan Batek Semang, R21 pada populasi Jahai Semang dan Temiar Senoi, F1a pada
populasi Temiar Senoi, N21 pada populasi Semelai, M22 pada populasi Temuan,
dan R9b pada populasi Aborigin Melayu (Temuan dan Semelai). Dari semuanya,
hanya F1a yang berasal dari luar Semenanjung Melayu. F1a berasal dari aborigin
Kamboja, sekitar geografi populasi Tompuon (Zhang et al., 2014).
Orang Asli memiliki haplotype yang sama pada tingkat yang cukup tinggi,
menunjukkan mereka kehilangan keragaman karena pergeseran genetik, dengan
aborigin Melayu lebih beragam daripada Semang dan Senoi. Mendriq memiliki
keragaman terendah, dengan jumlah mereka sampai hari ini hanya beberapa ratus
individu, di mana >84% peta genetik mereka adalah haplogroup M21a. Yang
paling beragam adalah Temuan aborigin Melayu, dan Temiar Senoi berada di
antara Mendriq dan Temuan. Perbedaan ini tercermin dalam nilai 3 Orang Asli
secara keseluruhan: keragaman Semang terendah dan keragaman aborigin Melayu
tertinggi, dengan Senoi berada di antaranya. Semuanya, secara substansial tidak
lebih beragam dari 5 populasi Sumatra (Medan, Pekanbaru, Bangka, Padang, and
Palembang). Bisa diinterpretasikan bahwa pergerakan migrasi adalah dari
arah Sundaland (lebih tepatnya Sumatra).
Dua haplogroup yang umum dan menyebar luas di Asia Tenggara adalah
mtDNA haplogroup B dan R9, dengan R9 mencakup mtDNA haplogroup F.
Meskipun teridentifikasi cukup tinggi pada populasi Semai Senoi, haplogroup B
hanya ditemukan kecil pada populasi Orang Asli, kecuali B5b yang cukup tinggi
pada populasi Batek, mungkin karena pergeseran genetik. Sepertinya B5b masuk
ke Batek dari arah selatan (Sumatra, Indonesia), karena hanya sebuah tipe turunan
yang hanya ada di satu kelompok etnis, dan sekuens leluhurnya ditemukan di
Sumatra dan Indonesia Timur, dan tidak ditemukan di Indo China (Hill, Soares,
Mormina, and Richards)
Dua cabang utama haplogroup R9, yaitu R9b dan F lahir sekitar 53.000 tahun
yang lalu (Macaulay et al. 2005). Beberapa clade dalam haplogroup tersebut ada
pada Orang Asli, masing-masing dengan sebaran yang berbeda. Sebaran R9b jauh
lebih luas di Asia Tenggara dibandingkan haplogroup F, sehingga memberikan
jalan untuk menentukan waktu pendudukan awal. Di antara Orang Asli, R9b
hanya ditemukan pada populasi aborigin Melayu (baik Semelai maupun Temuan)
dan sebagian besar diwakili hanya oleh 1 tipe HVS-I, ada pada kedua kelompok.
R9b jarang ada di tempat lain tetapi ditemukan dengan frekuensi rendah di
Vietnam, Thailand, dan Indonesia (Hill C, Soares P, Mormina M, dan M
Richards) dan di provinsi-provinsi Yunnan serta Guangxi di China Selatan.
Munculnya R9b tak lepas dari pra-R9b yang terpisah 29.000 ( 6.600) tahun yang
lalu di Indochina dan terpisahnya R9b ~19,000 ( 5.400) tahun lalu di Vietnam /
China Selatan. Kemudian satu garis keturunan di mana populasi R9b Thai,
aborigin Melayu, dan Indonesia semuanya lahir sekitar 9000 (2,700) tahun yang
lalu. Banyak populasi R9b Indonesia adalah keturunan, dan tidak ada hubungan
antara aborigin Melayu dan Indonesia selain mereka memiliki leluhur yang sama.
Pola keseluruhan menunjukkan bahwa R9b mengalami diversifikasi di Indo China
dan kemudian menyebar ke selatan, Semenanjung Melayu setidaknya 9000 tahun
yang lalu, dengan garis keturunannya kemudian menyebar ke seluruh kepulauan
Nusantara.
F1a, sangat umum dijumpai dan menyebar di Asia Tenggara, paling banyak pada
populasi Senoi, di mana hanya haplogroup F1a1a ada di sana (hampir setengah
Temiar dan seorang individu Semai; namun tidak ada pada populasi Semang dan
Temuan, meskipun ada jejak kecil di populasi Semelai). Leluhur F1a1a berbagi
haplotype dengan populasi Indonesia, Taiwan dan China. F1a1a banyak dijumpai
pada populasi Thailand utara dan Vietnam. Keturunan F1a1a ditemukan pada
populasi Semelai, dan Senoi. Mereka ada hubungan dengan populasi Nikobar,
yang mewarisi F1a1a cukup tinggi. Dengan ditemukannya leluhur mereka di Indo
China, hal ini mencerminkan bahwa beberapa populasi Senoi dan Nikobar
memiliki leluhur yang sama dari Indo China (lebih tepatnya daerah Kamboja,
baca populasi aborigin Kamboja). Leluhur F1a1a lahir sekitar ~10.700 (4,500)
tahun yang lalu, di mana berdasarkan diversitas kontrol-area, umurnya hanya
7000 (3,000) di Indo China. Hal ini menunjukkan bahwa mereka migrasi ke
Semenanjung Melayu dari arah utara (Indo China) dan kawin dengan leluhur
Semang, ketika jaman es berakhir.
N9a ditemukan dalam bentuk turunan N9a6a pada 3 populasi Orang Asli dengan
jumlah yang sama, meskipun sebarannya tidak sama dan paling beragam pada
populasi aborigin Melayu. N9a6a berumur sekitar 5.500 (2,600) tahun dan
sharing dengan populasi Melayu di Malaysia dan Indonesia. Mereka lahir dari
N9a6, yang banyak dijumpai pada populasi China Selatan, Indo China, dan
Sumatra. Berdasarkan sebarannya, menunjukkan sejarah yang mirip dengan R9b,
dengan garis leluhur berada di daratan Asia Tenggara, yang migrasi melalui
Malaysia ke kepulauan Nusantara.
Haplogroup N21 lahir tak lama setelah haplogroup N (hanya berjarak 3 mutasi,
lihat skema di bawah) ada sekitar 63.000 tahun yang lalu. N21 ditemukan hanya
pada populasi aborigin Melayu (Semelai dan Temuan) dan beberapa populasi
Melayu di Malaysia (Seletar), dan Indonesia. Meskipun sangat jarang di
Indonesia, namun sangat beragam dibandingkan garis keturunan aborigin Melayu,
yang juga cukup beragam dalam filogenetik N21, menunjukkan bahwa N21
berasal dari kepulauan Nusantara dan kemudian migrasi ke Semenanjung Melayu.
N22 juga ditemukan pada populasi Temuan, di Indonesia jarang namun lebih
beragam.
Dalam haplogroup M, terdapat clade lokal yang sangat tua, M21 dengan 3 garis
keturunan: M21a, M21b, M21c. M21 berumur sekitar 57.000 tahun yang lalu.
M21a paling banyak dijumpai pada populasi Semang (dengan frekuensi cukup
tinggi pada populasi Mendriq) dan juga ditemukan pada populasi Mani, populasi
Semang di Thailand selatan, menunjukkan bahwa M21a adalah keturunan leluhur
populasi Semang. Populasi Mani berbagi tipe sekuens dengan Batek dan Jahai.
Pola sebaran sepertinya dari Semang ke Senoi lalu ke aborigin Melayu dan
kemudian ke Dayak Borneo Selatan.
M21b lebih jarang, memiliki leluhur yang sama dengan M21a (M21ab) sekitar
44.000 tahun yang lalu, dan bisa dikatakan haplogroup pribumi Semenanjung
Melayu. Dijumpai pada populasi Semang dan Senoi, dengan garis keturunannya
ada pada populasi aborigin Melayu dan beberapa populasi kepulauan Indonesia.
M21c, saudara M21ab lebih jarang lagi, ada pada populasi Semelai. Hal ini
menunjukkan bahwa bisa jadi adanya hubungan yang cukup tua (pra-glasial)
antara kelompok pribumi yang berbeda.
R21 kemungkinan besar adalah saudara dekat R9, hanya ada pada populasi Jahai
Semang dan Temiar Senoi. R21 lahir dari leluhurnya, haplogroup R, 60.000 tahun
yang lalu, meskipun hampir seumuran dengan R9, hanya lebih muda. Seperti
M21, sepertinya R21 adalah pribumi Semang/Senoi dan merepresentasikan
leluhur yang hidup pada era Pleistocene Akhir di Semenanjung Melayu yang
tidak menyebar luas. Ada kemungkinan bahwa mereka hidup terisolasi sejak
Pleistocene Akhir.
Hal yang penting lagi, tak satupun populasi Semang mirip dengan populasi
pribumi Andaman yang juga memiliki haplogroup M pribumi, M31 dan M32.
Berdasarkan penanda genetik populasi Aeta Filipina, data genetik kurang
terakhir (LGM), sekitar 10.000 tahun yang lalu, pertengahan Holocene, dan akhir
jaman Holocene. Ketiga Orang Asli memiliki leluhur lokal setidaknya berumur
50.000 tahun, dan semuanya terdampak oleh migrasi yang terjadi di Semenanjung
Melayu setelah itu, besar maupun kecil. Perbedaan-perbedaan di antara Orang
Asli mencerminkan leluhur yang berbeda dibandingkan model etnogenesis lokal.
Model Bellwood terlalu sederhana; tidak mendeteksi adanya migrasi dari arah
utara, yang diasosiasikan dengan budaya Hoabinhian, ribuan tahun sebelum
migrasi Neolitik yang disarankan Bellwood. Penting juga untuk mengetahui
evolusi lokal dari Orang Asli, dari setidaknya awal Holocene sampai sekarang,
yang berpengaruh terhadap gen populasi Senoi dan aborigin Melayu, dan dari
kepulauan Nusantara, yang khusus berpengaruh terhadap aborigin Melayu.
Jelas sekarang, bahwa Orang Asli merepresentasikan proses demografi yang
terjadi di Asia Tenggara (khususnya prasejarah Sundaland): beberapa garis
keturunan maternal yang bisa ditelusuri kembali ke jaman pendudukan awal lebih
dari 50.000 tahun yang lalu; beberapa merepresentasikan persebaran pada glasial
akhir dan awal Holocene; dan beberapa menunjukkan pergeseran populasi di
jaman Neolitik atau paska-Neolitik, dan mungkin juga penyebaran bahasa. Bukti
migrasi 10,000 tahun yang lalu di Semenajung Melayu membuka pikiran,
memberikan pandangan baru dalam menginterpretasikan kebudayaan Hoabinhian,
kemungkinan sebaran forager Asia Tenggara beradaptasi dengan bentang area
vegetasi yang berbeda sebelum naiknya permukaan laut di awal Holocene, dan
variabilitas osteologis dari ditunjukkan oleh sisa-sisa manusia di akhir Pleistocene
dan awal Holocene Asia Tenggara.
haplotype: Istilah untuk kumpulan angka yang terdiri dari Y-chromosome, atau
mtDNA. Haplotype juga dikenal sebagai penanda genetik.
Ancestral haplotype: haplotype leluhur yang disimpulkan dengan cara
membandingkan dengan haplotype keturunan dan dengan menghilangkan mutasi
yang ada.
Y-chromosome: kromosom sex pria atau penanda genetik laki-laki. Garis
keturunan maternal (hanya diturunkan ayah ke anak laki-laki.
mtDNA (mitochondrial DNA): biasanya dipakai sebagai penanda genetik
perempuan. Garis keturunan maternal (diturunkan ibu kepada anak-anaknya, dan
hanya anak perempuan yang mewariskan mitokondrial ke anak-anaknya) bisa
ditelusuri dengan menguji mtDNA.
Genotype: kumpulan gen dari individu. Istilah ini juga merujuk pada dua genetik
varian yang diwarisi untuk gen tertentu. Manifestasi genotype berkontribusi untuk
sifat-sifat yang dapat diamati dari individu, yang disebut phenotype.
Phenotype: sifat-sifat yang bisa diamati dari individu, seperti tinggi badan, warna
mata, rambut, dan golongan darah. Beberapa sifat sebagian besar ditentukan oleh
genotype, sedangkan sifat lainnya sangat ditentukan oleh faktor lingkungan.
Founder effect: pengurangan variasi genetik yang terjadi ketika sebagian kecil
dari populasi besar membentuk populasi baru. Populasi baru bisa jadi sangat
berbeda dari populasi asli, baik genotipe maupun fenotipe. Dalam beberapa kasus,
founder effect berperan dalam hadirnya spesies baru.
Genetic drift: pergeseran genetik, sebuah mekanisme dalam evolusi. Pergeseran
genetik dapat menyebabkan sifat tertentu menjadi dominan, atau menghilang dari
sebuah populasi. Efek dari pergeseran genetik yang paling menonjol terjadi di
populasi kecil (terisolasi).
terjadi dalam waktu yang sangat singkat. Bayangkan, dalam satu malam, suhu
bisa turun 20 derajat!
6. Zaman es berulang secara periodik setiap 11.500 tahun.
7. Satu inci hujan menghasilkan 10 inci salju. Di tahun 2007 ini, Colorado tertutup
salju setinggi 30 kaki dalam satu kali badai saja. Baca kisahnya di
www.iceagenow.com/Record_Lows_2007.htm
8. Saat ini, Kutub Artik memiliki suhu yang cukup dingin untuk mengakibatkan
Zaman Es. Yang dibutuhkan Cuma tambahan kelembaban sedikit saja, untuk
menghasilkan lebih banyak salju. Saat ini dengan meningkatnya temperatur air
laut akibat pergerakan vulkanik, kelembaban semakin meningkat di Kutub Artik.
9. Untuk melihat daftar Glasir (glacier) yang mulai terbentuk saat ini, lihat situs
www.iceagenow.com Data ini tidak dimuat oleh media massa. Besar
kemungkinan, kita semua akan mengalami Zaman es.
10. Film An Inconvenient Truthnya
Al Gore menyesatkan banyak orang. Informasi yang benar dalam film tersebut
hanya soal semakin meningkatkan temperature air laut akan memicu kemunculan
Zaman Es dalam waktu sekejap.
Kenapa Ini Sangat Penting?
Meski kita nggak tinggal di kawasan yang akan tertutup lapisan es setinggi
ratusan atau ribuan kaki, kita tetap harus menyiapkan diri. Dalam bukunya Not
by Fire, but by Ice karya arsitek bernama Robert Felix, disebutkan tentang
perubahan kutub dan berbagai bencana alam yang akan menyertainya. Persediaan
makanan di seluruh dunia akan habis selama beberapa tahun. Pertanian tak
mungkin dilakukan, karena kekacauan iklim.
Untuk info lengkap soal ini, linknya : Planet X ada di sistem kita. Tapi
keberadaannya diragukan. Saat ketemu, langsung ditutup2i. Soal matahari gelap
(dark sun) yang merupakan kembaran matahari kita, nanti akan kusinggung
sedikit. Keberadaan dark sun memang nggak banyak dibahas oleh para astronom.
Karena, kalau orang mulai fokus ke dark sun, dengan sendirinya akan nemu
Planet X. Karena Planet X mengorbit diantara matahari dan matahari gelap.
Soal ini akan kubahas nanti, keep an open mind please, karena mengacu pada teks
kuno. Matahari hitam adalah bintang. Tapi nggak berpijar.
Analoginya :
Kita melihat rumah & kebun di malam hari. Hanya bagian2 yang diterangi lampu
taman kan, yang kelihatan? Kalau berdiri depan pagar rumah, apa tikus yang
berada di pojok taman, tak diterangi lampu juga keliatan? Pasti nggak. Yang
kelihatan Cuma yang diterangi lampu taman. Seperti inilah kondisi tata surya kita,
jika diamati dari bumi. Makanya sekarang NASA juga memiliki teleskop Infra
Merah.
Sumeria dan Planet X
Tulisan kuno bangsa Sumeria sejak 6000 tahun lalu mencantumkan Planet Nibiru
sebagai bagian dari system solar kita. Nibiru berarti planet yang bersilangan.
Deskripsi Nibiru sama persis dengan Planet X (Planet Ke Sepuluh).
Menurut catatan astronomi kuno yang dicocokkan dengan pengetahuan modern :
Planet X memiliki orbit eliptik seperti komet, dengan perjalanan melampaui orbit
Pluto.
Kalkulasi Observatorium
Dr. Thomas C. Van Flandern, astronom dan ilmuwan dari Oberservatorium Naval
Amerika mengatakan, perubahan kutub di Uranus dan Neptunus, terjadi akibat
sebuah planet. Bersama rekannya, Dr. Richard Harrington, ia membuat kalkulasi
tentang sebuah planet (urutan ke 10 di system tata surya kita) dengan ukuran 23
kali lebi besar dari bumi, serta memiliki tingkat orbit eliptikal yang tinggi.
Penemuan ini melengkapi teori Sitchin, bahwa letak planet X dekat dari Bumi.
Pada tahun 1982, NASA mengeluarkan statement tentang keberadaan Planet X.
Namun sekarang, NASA menolak berkomentar sama sekali.
Jika Planet X Mendekat
Setiap kali Planet X mendekat, berbagai perubahan drastic terjadi di Bumi.
Perubahan ini mengakibatkan kerusakan besar dan kepunahan. Sejarah
mengisahkan peristiwaperistiwa ini. Monumen peninggalan peradaban lampau
menjadi saksi kejadian tersebut. Sebut saja, Legenda Atlantis, Lemuria, Indian
Maya dan perabadan lainnya, yang hanyut terbenam lautan atau punah sekejap,
terjadi akibat kedatangan Planet X. Sisa-sisa kebudayaan mereka bisa kita temui
di Florida, Jepang dan kawasan Mediterania.
Semakin dekat Planet X dari bumi, semakin kuat daya magnetic dan gravitasinya.
Ini bisa kita rasakan setiap hari. Semakin dekat planet X dengan kita, semakin
cepat laju pergerakannya. Berbagai bencana dahsyat yang susul menyusul
terjadi di berbagai negara hanyalah awal kecil dari apa sesungguhnya akan terjadi.
Penghuni NIBIRU
Mungkinkah akan terjadi perang antara kita, warga Bumi dengan Anunnaki?
Presiden Amerika Ronald Reagan pernah menyinggung soal ancaman dari luar
angkasa dalam salah satu pidatonya. Reagan juga mengusulkan dibentuknya
system persenjataan berbasis luar angkasa (STAR WARS). Mungkinkah saat itu
sudah ada kontak dengan mahluk luar angkasa?
Dan, bukan hanya para Anunnaki saja yang ada di luar angkasa. Berbagai bangsa
alien yang berperadaban tinggi juga diyakini berdiam di galaksi kita.Tapi, karena
kita ngomongin Planet X (Nibiru), maka focus kita adalah Anunnaki.
Fisik Anunnaki
Bandingkan manusia gua (Neanderthal) dengan manusia modern. Di mana
bedanya secara fisik? Banyak sekali. Manusia modern (kita) memiliki fisik yang
lebih estetik (indah) dan halus dibandingkan manusia gua. Dan itu hasil perpaduan
DNA Anunnaki dengan kita. Bangsa Anunnaki sendiri memiliki ciriciri
fisik :
* Tinggi ratarata
78 kaki (3 meter)
* Kulit putih
* Rambut pirang atau merah, mata biru
Makanya kulit putih sejak jaman dulu identik dengan kasta lebih tinggi atau
dianggap lebih estetik, karena masih menganut standar patokan Anunnaki.
Bangsa Kaukasia (kulit putih pirang mata biru) memiliki paling banyak cirri-ciri
fisik Anunnaki. Ini bisa dilihat dari golongan darah mereka, yaitu Rhesus
negative. Kapan-kapan kubahas ya soal golongan darah! Menarik banget! Karena
rhesus negative, bukan berasal dari DNA kita. Tapi, dari Anunnaki (alien).
Makanya Amerika menyerbu Irak dengan dalih, mencari senjata nuklir. Karena
sisa radioaktifnya terdeteksi. Kenapa waktu AS menyerbu Irak, juga menjarah
museum, dan artifak2 kuno dari jaman Sumeria juga diambil? Mencari apa?
Kunci untuk menemukan Stargate (Gerbang Bintang), portal milik bangsa
Anunnakikah? Makanya sampai habis-habisan.
Ada 270 ribu lebih artifak kuno dari Museum Nasional Bahgdad, Irak yang
dijarah tentara Bush. Cuma sedikit yang dikembalikan, sisanya hilang..nggak
berbekas. Ada apa dibalik ini? Apa yang dicari?? Pasti sesuatu yang URGENT
banget. Ini berita soal penjarahannya di tahun 2003 :
http://wsws.org/articles/2003/apr2003/loota19.shtml
http://www.guardian.co.uk/Iraq/Story/0,2763,940082,00.html
Beberapa fakta menarik yang kutemukan :
* Mungkinkah sebuah bintang punya kekuatan luar biasa? Mungkin! Karena ada
satu bintang kerdil (dwarf star, sebutannya) yaitu SIRIUS (atau dog star) yang
memiliki tingkat kepadatan yang sangat solid, melebihi matahari. Padahal
ukurannya jauh lebih kecil, namun untuk kepadatan massa, Sirius paling berat.
Jika bintang ini masuk orbit, atau bertabrakan..maka efeknya lumayan fatal. *
Kalau dikaji tulisan tulisan kuno tentang astronomi kita, maka..Bumi pada
awalnya menempati posisi lebih dekat dengan matahari. Harihari di bumi lebih
singkat, lebih panas, dan penduduknya berkulit gelap karena melanin yang tinggi
(makanya penelitian tentang manusia pertama, atau Adam, menemukan bahwa
Adam ini seorang negroid, kulit hitam). Saat itu, planet yang lebih kondusif dari
sisi iklim, jarak dengan matahari dan atmosfir adalah Mars. Namun karena ada
tubrukan, maka Jupiter masuk orbit. Jadi jarak bumi menjauh dari matahari. Ini
berpengaruh pada banyak hal, seperti warna kulit penduduk, lama hari, dll.
Source: www.surabayamuda.com ,www.forum.kafegaul.com,
www.bluefame.com