Anda di halaman 1dari 1

Suara Pita

Pita kehilangan suara. Kali ini bukan sekedar sakit tenggorokan atau nyeri ketika
bicara, Pita benar-benar tak bisa bersuara. Tak satupun bunyi bisa keluar dari
mulutnya. Sebagai seorang orator dan aktivis yang menjadi corong penyampai
aspirasi dan sosok yang mewakili mereka yang suaranya terlalu kecil, suara Pita
tentu sangat berharga. Kehilangan suara adalah hal terburuk yang terjadi pada Pita
sepanjang dua puluh tahun hidupnya di dunia. Baginya, kehilangan suara bahkan
lebih buruk daripada kehilangan kekasih atau kehilangan kesempatan kuliah ke
luar negeri. Sampai kali ini.
Orang-orang yang mengenal Pita, atau yang dekat dengannya, hampir selalu
mengidentikkan Pita dengan suaranya. Suara Pita memang khas; nyaring tapi tidak
melengking, renyah tapi tidak garing. Tak peduli di dalam atau di luar ruangan,
suara Pita akan selalu terdengar. Ia tak selalu perlu berteriak. Ada semacam nada
bius dalam nada suara Pita yang membuat semua telinga menyadari
keberadaannya; menyadari dan kemudian mencari sumber suara. Dalam semesta
seorang Pita, apa yang disampaikannya tak lebih penting dari caranya
menyampaikan. Tiap ia berorasi, baik itu di halaman gedung rektorat, di jalan
depan kampus, di lapangan voli tempat warga kampung berkumpul, di panggung
audiensi dengan pejabat, atau di manapun, suara Pita pasti membuat semua
mendengarnya, meski mereka belum tentu memahami isi orasinya. Suara Pita
adalah kemasan yang akan menarik semua orang, dan dalam kemasan itu, Pita
memasukkan apa-apa yang memang perlu didengarkan. Mereka yang tadinya
hanya ingin mendengar suara Pita, pada akhirnya akan terpaku menyimak pikiran
yang diutarakan, seperti ibu-ibu yang datang ke pengajian karena ingin
memperoleh bingkisan tapi akhirnya pulang dengan bonus pengetahuan. Sampai
kemarin. Hari ini, Pita kehilangan suara.

Anda mungkin juga menyukai