Anda di halaman 1dari 32

1

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1.

Latar Belakang
Rinosinusitis dikenal luas oleh masyarakat awam sebagai penyakit sinusitis

dan merupakan salah satu penyakit yang sering dikeluhkan dengan berbagai tingkatan
gejala klinik. Hidung dan sinus paranasal merupakan bagian dari sistem pernafasan
sehingga infeksi yang menyerang bronkus dan paru, dapat juga menyerang hidung
dan sinus paranasal.
Sinusitis merupakan penyakit yang sering ditemukan dalam praktek dokter
sehari-hari, bahkan dianggap sebagai salah satu penyebab gangguan paling banyak di
seluruh dunia (Soetjipto, 2010). Sinusitis didefinisikan sebagai inflamasi mukosa
sinus paranasal. Penyebab utamanya ialah selesma (common cold) yang merupakan
infeksi virus, yang selanjutnya dapat diikuti oleh infeksi bakteri (Soetjipto, 2010).
Sering dalam praktek dokter sehari-hari pasien rinosinusitis kronik datang
dengan berbagai keluhan. Mulai dari keluhan hidung tersumbat, ingus purulen,
kongesti pada wajah, gangguan penghidu (Hiposmia / anosmia), nyeri tekan pada
wajah (gejala mayor). Dan juga ada yang mengeluhkan sakit kepala, bau mulut, sakit
gigi, batuk, sering lemah, demam (gejala minor). Untuk menegakkan diagnostik
rinosinusitis kronik bila dijumpai dua atau lebih gejala yang menetap selama 12
minggu atau lebih (Fokkens, 2012).
Sinusitis ini dapat menyerang semua usia, namun dalam penelitian, penderita
sinusitis akan meningkat seiring bertambahnya usia seseorang. Menurut Fokkens
(2012) dalam penelitiannya menyatakan bahwa prevalensi rinosinusitis kronik
meningkat seiring pertambahan usia dengan rata-rata 6,6% pada kelompok usia 50-59
tahun, sementara itu setelah usia 60 tahun, prevalensi menurun menjadi 4,7%.
Desrosiers (2011) dalam penelitiannya menyatakan angka kejadian rinosinusitis

kronik meningkat pada usia 12 tahun dan bertambah banyak dengan pertambahan
usia.
Terdapat berbagai varian rasio perbandingan pria dan wanita yang menderita
rinosinusitis kronik. Dari Kanada tahun 2003 diperoleh angka prevalensi rinosinusitis
kronik sekitar 5 % dengan rasio wanita berbanding pria yaitu 6 : 4 (lebih tinggi pada
kelompok wanita) (Fokkens, 2007). Manor (2010) dalam penelitiannya juga
menyatakan bahwa dari 137 pasien rinosinusitis, terdapat wanita sebanyak 83 orang
sedangkan pria 54 orang. Multazar (2011) menyatakan proporsi penderita
rinosinusitis kronik lebih banyak dijumpai pada jenis kelamin wanita sebanyak
57,09%, sedangkan pria 42,9%.
Tingginya angka kejadian rinosinusitis kronik yang ditemukan pada berbagai
profesi pekerjaan disebabkan oleh seringnya terpapar oleh alergen atau polutan yang
berpotensi menyebabkan rinosinusitis kronik. Apabila terus-menerus terpapar oleh
lingkungan yang berpolusi, udara dingin dan kering serta kebiasaan merokok yang
lama akan menyebabkan perubahan mukosa dan merusak silia (Mangunkusumo,
2011).
Terdapat empat jenis sinus yang sering terkena infeksi bakteri pada penyakit
rinosinusitis, yaitu sinus frontalis, maksilaris, etmoidalis, dan sfenoidalis. Namun,
sinus maksila merupakan sinus yang paling sering terinfeksi, oleh karena merupakan
sinus paranasal yang terbesar dan letak ostiumnya lebih tinggi dari dasar sinus. Selain
itu dasar sinus maksila adalah dasar akar gigi sehingga infeksi gigi dapat
menyebabkan sinusitis maksila (Ballenger, 1997). Apabila rinosinusitis terjadi pada
beberapa sinus,maka ia dikenali sebagai multisinusitis,sedangkan bila mengenai
semua sinus paranasal dikenal sebagai pansinusitis (Rosenfeld, 2007).
Kasus rinosinusitis kronik menjadi masalah kesehatan global karena
menyebabkan beban ekonomi yang tinggi dan berdampak pada penurunan kualitas
hidup, produktivitas kerja, daya konsentrasi bekerja dan belajar.
Selain berdampak pada penurunan kualitas hidup dan aspek sosioekonomi
(Lund, 2007), rinosinusitis kronik yang tidak tertangani dengan baik akan

menyebabkan beberapa komplikasi seperti infeksi intrakranial, infeksi orbita, dan


mukokel (kista) (Gianonni et al, 2006).
Berdasarkan uraian diatas, penulis tertarik untuk meneliti tentang gambaran
rinosinusitis kronik di RSUP H. Adam Malik Medan tahun 2014.
1.2.

Rumusan Masalah
Dengan memperhatikan latar belakang masalah di atas, maka peneliti

merumuskan masalah penelitian dalam bentuk pertanyaan penelitian sebagai berikut:


Bagaimanakah gambaran rinosinusitis kronik yang terdapat di RSUP Haji Adam
Malik Medan pada tahun 2014?
1.3.
Tujuan Penelitian
1.3.1. Tujuan Umum
Mengetahui gambaran rinosinusitis kronik yang terdapat di Rumah Sakit
Umum Pusat Haji Adam Malik Medan pada tahun 2014.
1.3.2. Tujuan Khusus
1. Mengetahui prevalensi rinosinusitis kronik di RSUP H. Adam Malik Medan
pada tahun 2014
2. Mengetahui distribusi penyakit rinosinusitis kronik berdasarkan usia dan jenis
kelamin
3. Mengetahui distribusi penyakit rinosinusitis kronik berdasarkan pekerjaan
4. Mengetahui distribusi penyakit rinosinusitis kronik berdasarkan keluhan
utama
5. Mengetahui distribusi penyakit rinosinusitis kronik berdasarkan jenis sinus
yang terlibat
6. Mengetahui distribusi penyakit rinosinusitis kronik berdasarkan jumlah sinus
yang terlibat
7. Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya rinosinusitis kronik
8. Mengetahui distribusi penyakit rinosinusitis kronik berdasarkan jenis terapi
yang dilakukan.

1.4.

Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut:

1. Peneliti dapat mengetahui angka kejadian rinosinusitis kronik di RSUP H.


Adam Malik Medan pada tahun 2014
2. Sebagai sumber informasi untuk

dokter

agar

dapat

melakukan

penatalaksanaan selanjutnya
3. Hasil penelitian ini sebagai bahan untuk pengembangan ilmu pengetahuan
kesehatan dan memberikan data untuk mendukung penelitian-penelitian
selanjutnya.

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1.

Anatomi Hidung
Bentuk luar hidung sangat bervariasi dalam hal ukuran dan bentuk, terutama

karena perbedaan tulang-tulang rawan hidung. Punggung hidung meluas dari akar
hidung di wajah ke puncaknya ( ujung hidung ). Pada permukaan inferior terdapat
dua lubang, yakni naris anterior yang terpisah satu dari yang lain oleh septum nasi.
Septum nasi ini yang untuk sebagian berupa tulang dan untuk sebagian berupa tulang
rawan, membagi kavum nasi menjadi dua rongga kanan dan kiri (Moore, 2002 ).
Bagian dari kavum nasi yang letaknya sesuai dengan ala nasi dan tepat di
belakang nares anterior disebut vestibulum. Vestibulum dilapisi oleh kulit yang
mempunyai banyak kelenjar sebasea dan rambut-rambut yang disebut vibrise
(Soetjipto, 2011).
Setiap kavum nasi mempunyai 4 buah dinding, yaitu dinding lateral, medial,
inferior, dan superior. Dinding lateral terdapat 4 buah konka. Konka inferior adalah
yang terbesar dan letaknya paling bawah, konka media yang lebih kecil, konka
superior yang lebih kecil lagi, dan konka suprema adalah yang terkecil (Soetjipto,
2011).
Konka nasalis superior, konka nasalis media, dan konka nasali inferior
membagi kavum nasi menjadi empat lorong : meatus nasalis superior, meatus nasalis
medius, meatus nasalis inferior, dan hiatus semilunaris ( Moore, 2002 ).
Meatus nasalis superior adalah sebuah lorong yang sempit antara konka
nasalis superior dan konka nasalis media dan merupakan tempat bermuaranya sinus
etmoidalis superior melalui satu atau lebih lubang ( Moore, 2002 ).
Meatus nasalis medius berukuran lebih panjang dan lebih luas daripada
meatus nasalis superior. Bagian anterosuperior meatus nasalis ini berhubungan
dengan sebuah lubang yang berukuran seperti corong, yakni infundibulum yang
merupakan jalan pengantar kedalam sinus frontalis. Hubungan masing-masing sinus
frontalis ke infundibulum terjadi melalui duktus frontonasalis. Sinus maksilaris juga
bermuara ke dalam meatus nasalis medius ( Moore, 2002 ).

Meatus nasalis inferior adalah sebuah lorong horizontal yang terletak


inferolateral terhadap konka nasalis inferior. Duktus nasolacrimalis bermuara
dibagian anterior meatus nasalis inferior ( Moore, 2002 ).
Hiatus semilunaris adalah sebuah alur yang berbentuk setengah lingkaran dan
merupakan muara sinus frontalis. Bulla etmoidalis adalah sebuah tonjolan yang
membuat di sebelah superior hiatus semilunaris, dan baru terlihat setelah konka
nasalis media disingkirkan. Bulla etmoidalis ini dibentuk oleh cellulae ethmoidales
tengah yang membentuk sinus etmoidalis ( Moore, 2002).
Dinding medial hidung adalah septum nasi. Septum dibentuk oleh tulang dan
tulang rawan. Bagian atas dibentuk oleh lamina perpendikularis os etmoid dan bagian
posterior dibentuk oleh os vomer. Bagian tulang rawan yaitu kartilago septum
(lamina kuadrangularis) dan kolumela. Pada bagian tulang rawan septum dilapisi
perikondrium, bagian tulang dilapisi periosteum, sedangkan bagian luar dilapisi
mukosa hidung (Snell, 2006; Soetjipto, 2011).
Dinding inferior merupakan dasar rongga hidung yang dibentuk oleh os
maksila dan os palatum (permukaan atas palatum durum). Dinding superior atau atap
hidung yang sempit dibentuk oleh lamina kribosa, yang memisahkan rongga
tengkorak dari rongga hidung. Lamina kribosa merupakan lempeng tulang berasal
dari os etmoid, tulang ini berlubang-lubang tempat masuknya serabut saraf
olfaktorius. Di bagian posterior, atap rongga hidung dibentuk os sfenoid (Snell, 2006;
Soetjipto, 2011).
Bagian atas rongga hidung mendapat perdarahan dari arteri etmoid anterior
dan posterior. Bagian bawah hidung diperdarahi oleh cabang arteri maksilaris interna,
yaitu ujung arteri palatina mayor, dan arteri sfenopalatina. Bagian depan hidung
mendapat perdarahan dari cabang-cabang arteri fasialis. Bagian depan septum
terdapat anastomosis dari cabang-cabang arteri sfenopalatina, arteri etmoid anterior,
arteri labialis anterior, dan arteri palatina mayor, yang disebut pleksus Kiesselbach
(littles area). Pleksus Kiesselbach letaknya superfisial dan mudah cedera oleh
trauma, sehingga sering menjadi sumber epistaksis. Vena-vena hidung mempunyai

nama yang sama dan berjalan berdampingan dengan arterinya. Vena-vena ini
membentuk suatu pleksus kavernosus yang rapat di bawah membrana mukosa.
Drainase vena terutama melalui vena oftalmika, fasialis anterior, dan sfenopalatina
(Soetjipto, 2011; Snell, 2006).
Kompleks Ostiomeatal (KOM) adalah celah pada dinding lateral hidung yang
dibatasi oleh konka media dan lamina papirasea. Struktur anatomi yang membentuk
KOM adalah prosesus unsinatus, infundibulum etmoid, hiatus semilunaris, bula
etmoid, agger nasi, dan resesus frontal. KOM adalah unit fungsional yang merupakan
tempat ventilasi dan drainase dari sinus-sinus yang terletak di anterior yaitu sinus
maksila, etmoid anterior, dan frontal. Bila terjadi obstruksi pada KOM, maka akan
terjadi perubahan patologis yang signifikan pada sinus yang terkait (Soetjipto, 2011).
2.2.

Anatomi Sinus Paranasal

2.2.1. Sinus Maksilaris


Pada waktu lahir sinus maksila berupa celah kecil di sebelah medial orbita.
Pada awalnya dasarnya lebih tinggi daripada dasar rongga hidung, kemudian terus
mengalami penurunan, sehingga pada usia delapan tahun menjadi sama tinggi.
Perkembangannya berjalan kearah bawah dan amembentuk sempurna setelah erupsi
gigi permanen. Ukuran rata-rata pada bayi yang baru lahir 7-8 x 4-6 mm dan pada
usia 15 tahun 31-32 x 18-20 x 19-20 mm dan isinya kira-kira 15 ml. (Ballanger,
2002)
Sinus maksila merupakan sinus paranasal yang terbesar. Sinus maksila
terletak di dalam korpus maksilaris dan sinus ini berbentuk piramid. Dinding anterior
sinus yaitu permukaan fasial os maksila yang disebut fosa kanina, dinding
posteriornya adalah permukaan infra-temporal maksila, dinding medialnya adalah
dinding lateral rongga hidung, dinding superior adalah dasar orbita, dan dinding
inferior yaitu prosesus alveolaris dan palatum (Soetjipto, 2011).
Sinus maksila bermuara ke dalam meatus nasi medius melalui hiatus
semilunaris. Karena sinus etmoid anterior dan sinus frontal bermuara ke

infundibulum, kemudian ke hiatus semilunaris, kemungkinan penyebaran infeksi dari


sinus-sinus ini ke sinus maksila adalah besar (Snell, 2006).
Membrana mukosa sinus maksilaris dipersarafi oleh nervus alveolaris superior
dan nervus infraorbitalis (Snell, 2006).

Gambar 2.1. Anatomi Sinus Paranasal (Hwang PH, 2009).


2.2.2. Sinus Frontalis
Bentuk dan ukuran sinus frontal sangat bervariasi, dan seringkali juga sangat
berbeda bentuk dan ukurannya dari sinus pasangannya. Ukuran rata-rata sinus frontal
yaitu tinggi 3 cm, lebar 2-2,5 cm, dalam 1,5-2 cm dan isi rata-rata 6-7 ml. Dinding
depan sinus frontal hampir selalu diploik, terutama pada bagian luar atau sudut
infero-lateral dan pada sulkus superior tempat pertemuan dinding anterior dan
posterior (Benninger, 2003).

Dinding medial sinus merupakan septum sinus tulang interfrontalis yang


biasanya berada dekat garis tengah, tetapi biasanya berdeviasi pada penjalarannya ke
posterior, sehingga sinus yang satu bisa lebih besar daripada yang lain. Sinus frontalis
bermuara ke dalam meatus medius melalui duktus nasofrontalis. Kadang-kadang
kedua sinus frontalis tidak terbentuk atau yang lebih lazim tidak terbentuk salah satu
sinus (Hilger, 1997).
2.2.3. Sinus Sfenoid
Sinus sfenoid terletak di dalam korpus os sfenoid di belakang sinus etmoid
posterior. Sinus sfenoid dibagi dua oleh sekat yang disebut septum intersfenoid.
Batas-batas sinus ini adalah bagian superior terdapat fosa serebri media dan kelenjar
hipofise, sebelah inferior adalah atap nasofaring, sebelah lateral berbatasan dengan
sinus kavernosus dan arteri karotis interna, dan di sebelah posterior berbatasan
dengan fosa serebri posterior di daerah pons (Soetjipto, 2011).
2.2.4. Sinus Etmoid
Sinus etmoid terdapat di dalam os etmoid, di antara konka media dan dinding
medial orbita. Sinus etmoid terdiri dari sel-sel yang jumlahnya bervariasi. Sinus ini
terpisah dari orbita oleh selapis tipis tulang, sehingga infeksi dengan mudah menjalar
dari sinus ke dalam orbita. Berdasarkan letaknya, sinus etmoid dibagi menjadi sinus
etmoid anterior yang bermuara di meatus medius dan sinus etmoid posterior yang
bermuara di meatus superior. Sel-sel sinus etmoid anterior biasanya kecil dan banyak,
terletak di depan lempeng yang menghubungkan bagian posterior konka media
dengan dinding lateral (lamina basalis), sedangkan sel-sel sinus etmoid posterior
biasanya lebih besar dan lebih sedikit jumlahnya dan terletak di posterior dari lamina
basalis (Snell, 2006; Soetjipto, 2011).
Di bagian terdepan sinus etmoid anterior terdapat bagian sempit yang disebut
resesus frontal, yang berhubungan dengan sinus frontal. Sel etmoid yang terbesar
disebut bula etmoid. Pada daerah etmoid anterior terdapat suatu penyempitan yang

10

disebut infundibulum, tempat bermuara ostium sinus maksila. Pembengkakan atau


peradangan di resesus frontal dapat menyebabkan sinusitis frontal dan bila di
infundibulum menyebabkan sinusitis maksila. Membrana mukosa dipersarfi oleh
nervus etmoidalis anterior dan posterior (Soetjipto, 2011; Snell, 2006).
2.3.

Fisiologi Sinus Paranasal

2.3.1. Sistem Mukosiliar


Sistem mukosiliar akan menjaga agar saluran napas atas selalu bersih dan
sehat dengan mengalirkan keluar partikel debu, bakteri, virus, alergen, toksin dan
lain-lain yang terperangkap pada lapisan mukus ke arah nasofaring. Silia memiliki
gerakan-gerakan teratur, bersama palut lendir akan mendorong partikel-partikel asing
dan bakteri yang terhirup ke rongga hidung menuju nasofaring dan orofaring.
Partikel-partikel asing tersebut selanjutnya akan ditelan dan dihancurkan di lambung
dengan

demikian

mukosa

saluran

napas

mempunyai

kemampuan

untuk

membersihkan dirinya sendiri (Cohen, 2006).


Pola gerakan silia yaitu gerakan cepat dan tiba-tiba ke satu arah (active stroke)
dengan ujungnya menyentuh lapisan mukoid sehingga menggerakkan lapisan
tersebut. Kemudian silia bergerak kembali lebih lambat dengan ujung yang tidak
mencapai lapisan tadi (recovery stroke). Perbandingan durasi gerak silia kira-kira 3:1,
sehingga gerakannya seolah-olah menyerupai ayunan tangan seorang perenang. Silia
tidak bergerak secara serentak, tetapiberurutan seperti efek domino (metachronical
waves) dengan arah yang sama pada satu area. Gerak silia mempunyai frekuensi
denyut (ciliary beat frequency) sebesar 1000 getaran per menit (Hwang PH, 2009).
Keberhasilan sistem mukosiliar sebagai suatu mekanisme pertahanan lokal
pada hidung dan sinus paranasal bergantung kepada transportasi mukosiliar yang
dikenal sebagai bersihan mukosilier. Bersihan mukosilier yang baik akan mencegah
terjadinya infeksi di dalam hidung dan sinus paranasal. Bersihan mukosilier
ditentukan oleh keadaan silia, palut lendir dan interaksi antara keduanya. Daya
pembersih mukosiliar dapat berkurang akibat perubahan komposisi palut lendir,

11

aktivitas silia, peningkatan sel-sel infeksi, perubahan histopatologi sel hidung,


hambatan sel sekresi atau obstruksi anatomi (Cohen, 2006).
2.3.2. Fungsi Sinus Paranasal
Beberapa teori mengemukakan, fungsi sinus paranasal yaitu: (1) sebagai
pengatur kondisi udara, (2) sebagai penahan suhu, (3) membantu keseimbangan
kepala, (4) membantu resonansi suara, (5) peredam perubahan tekanan udara, dan (6)
membantu produksi mukus untuk membersihkan rongga hidung (Soetjipto, 2011).
Penelitian yang paling terbaru pada fungsi sinus berfokus pada molekul
Nitrous Okside (NO). Studi menunjukkan bahwa produksi Nitrous Okside sinus
intranasal adalah secara primer pada sinus. Telah diketahui bahwa Nitrous Okside
beracun pada bakteri, jamur, dan virus pada tingkatan sama rendah 100ppb.
Konsentrasi dari unsur ini dapat menjangkau 30.000 ppb dimana beberapa peneliti
sudah berteori tentang mekanisme dari sterilisasi sinus. Nitrous Okside juga
meningkatkan pergerakan silia (Angraini, 2005).
2.4.

Defenisi Rinosinusitis Kronik


Rinosinusitis kronik merupakan inflamasi dari mukosa hidung dan sinus

paranasal yang ditandai dengan dua atau lebih gejala, dimana salah satu gejalanya
merupakan sumbatan hidung (nasal blockage/obstruction/congestion) atau nasal
discharge (anterior/posterior nasal drip) selama 12 minggu atau lebih, serta diikuti
ada atau tanpa nyeri tekan di daerah wajah dan penurunan atau hilangnya daya
penghidu (Fokkens, 2012).
Berdasarkan anatomi sinus yang terlibat, sinusitis dapat diklasifikasikan
sebagai sinusitis maksila, sinusitis etmoid, sinusitis frontal, dan sinusitis sfenoid.
Sinus yang paling sering terkena infeksi adalah sinus maksilaris dan sinus etmoidalis,
sedangkan sinus frontalis dan sinus sfenoidalis lebih jarang (Mangunkusumo, 2010).
Sebuah

penelitian

menyebutkan, pasien

dengan rinosinusitis

kronik

dilaporkan lebih merasakan nyeri jasmani dan fungsi sosial yang lebih buruk

12

dibanding pasien dengan penyakit kronik lainnya seperti penyakit paru obstruksi
kronik, gagal jantung kongestif, dan nyeri punggung. Dampak penyakit rinosinusitis
kronik terhadap kualitas hidup pasien sebanding dengan keparahan penyakit kronik
lainnya. Oleh karena itu, sama halnya dengan penyakit kronik yang lain, penyakit
rinosinusitis kronik sebaiknya ditangani secara proaktif (Desrosiers, 2011).
2.5.

Etiologi

2.5.1. Virus
Rhinosinusitis akibat virus disebut common cold. Virus yang menginfeksi
antara lain : rhinovirus (50%), coronavirus (20%), influenza, parainfluenza,
respiratory syncytial virus, adenovirus dan enterovirus (Mangunkusumo, 2010).
2.5.2. Bakteri
Bakteri patogen yang sering menyebabkan rinosinusitis bakteri akut adalah S.
pneumoniae dan H. influenza. Patogen ini menjadi penyebab utama terjadinya
rinosinusitis sejak kali pertama dilakukan penelitian. Sedangkan patogen yang sering
pada rinosinusitis bakteri kronik adalah S. aureus, staphylococcus koagulase
negative, bakteri anaerob dan bakteri gram negative (Brown, 2008).
2.5.3. Jamur
Aspergilosis adalah salah satu jamur yang paling sering dijumpai pada infeksi
virus paranasal dengan ciri khas sekret mukopurulen yang berwarna hijau kecoklatan.
Mukormikosis pula merupakan infeksi oppurtunistik ganas yang dapat berkembang
menjadi patogenik pada orang yang menderita asidosis diabetik dan imunosupresi.
Pada penderita ini dijumpai sekret warna pekat, gelap, berdarah dan gambaran konka
yang berwarna hitam atau merah bata. Candida bersama histoplasmosis,
koksidoimilosis, sporotrikosis, serokosporamikosis, dan blastomikosis adalah kasus
yang jarang mengenai hidung (Boeis, 1997).

13

2.5.4. Alergi
Rinitis adalah suatu reaksi alergi yang diperantarai oleh imunoglobulin.
Reaksi ini melibatkan suatu antibodi, biasanya IgE, yang mana bagian Fc antibodi
melekat pada suatu sel yang mengandung mediator atau prekursornya (sel mast,
basofil, eosinofil, makrofag). Bagian Fab dari antibodi ini berinteraksi dengan alergen
spesifik dan akibatnya terjadi aktivasi beberapa enzim membran. Hasil pembelahan
enzimatik menyebabkan pelepasan mediator seperti histamin, prostaglandin dan
leukotrien. Mediator ini menyebabkan suatu reaksi tipe segera yang timbul, misalnya
edema. Selain itu, juga akan terjadi reaksi lambat yang selanjutnya cenderung terjadi
akibat pelepasan mediator dari sel mast dan demikian pula eosinofil, makrofag dan
trombosit (Boeis, 1997).
2.5.5. Kelainan Anatomi dan Struktur Hidung
Kelainan anatomi hidung dan sinus dapat mengganggu fungsi mukosiliar
secara lokal. Jika permukaan mukosa yang saling berhadapan mendekat atau bertemu
satu sama lain, maka aktivitas silia akan terhenti. Deviasi septum, polip, konka bulosa
atau kelainan struktur lain di daerah kompleks osteomeatal dan ostium sinus dapat
menghalangi transportasi mukosiliar (Hilger, 1997).
2.5.6. Hormonal
Pada penelitian Sobot et al didapati bahwa 61% wanita yang hamil pada
trimester pertama menderita nasal congestion. Namun patogenesisnya masih belum
jelas (Brook, 2012).

2.5.7. Lingkungan
Udara dingin umumnya menyebabkan vasokonstriksi, sedangkan udara hangat
menyebabkan pembengkakan akibat vasodilatasi. Perubahan suhu lingkungan yang
mendadak dapat merangsang kongesti hidung dan/atau rinore (Hilger, 1997).

14

2.6.

Patofisiologi
Lapisan mukoperiosteum sinus paranasalis mempunyai daya tahan luar biasa

terahadap penyakit selain kemampuan untuk memulihkan dirinya sendiri. Pada


dasarnya, faktor-faktor lokal yang memungkinkan penyembuhan mukosa sinus yang
terinfeksi adalah drainase dan ventilasi yang baik. Bila faktor anatomi menyebabkan
kegagalan drainase dan ventilasi sinus, maka terbentuk suatu medium untuk infeksi
selanjutnya oleh kokus mikroaerofilik atau anaerobik, akibatnya berupa edema,
sumbatan, dan infeksi (Hilger, 2013).
Sekresi lendir yang menetap dalam sinus bisa dipicu oleh 1). Obstruksi
mekanik di kompleks ostiomeatal karena faktor anatomi atau 2). Edema mukosa yang
disebabkan oleh berbagai etiologi (misalnya, rinitis alergi, rinitis virus, rinistis bakteri
akut). Stagnasi lendir di sinus membentuk media yang kaya untuk pertumbuhan
berbagai patogen. Tahap awal sinusitis sering infeksi virus yang umumnya
berlangsung hingga 10 hari dan yang benar-benar sembuh dalam 99% kasus. Namun,
sejumlah kecil pasien dengan infeksi bakteri akut sekunder dapat berkembang yang
umumnya disebabkan oleh bakteri aerobik (misalnya, Streptococcus pneumoniae,
Haemophilus influenzae, Moraxella catarrhalis). Awalnya, sinusitis akut yang
dihasilkan hanya melibatkan satu jenis bakteri aerobik. Dengan terjadinya infeksi,
flora campuran, organisme anaerob, dan, kadang-kadang, jamur memberikan
kontribusi untuk pathogenesis (Brook, 2012).
Rinosinusitis pada dasarnya bersifat rinogenik. Pada rinosinusitis kronik,
sumber infeksi berulang biasanya infundibulum etmoidalis dan resesus frontalis.
Karena inflamasi menyebabkan saling menempelnya mukosa yang berhadapan,
akibatnya terjadi gangguan transpor mukosiliar, menyebabkan retensi mukus dan
mempertinggi pertumbuhan bakteri dan virus (Hilger, 2013).
Gambar 2.2. Patofisiologi Rinosinusitis (Hilger, 2013).

15

2.7.

Gejala Klinis
Setiap gejala rinosinusitis, keparahan dan durasinya harus didokumentasi. The

American Academy of Otolaryngology-Head and Neck Surgery (AAO-HNS) telah


membuat kriteria mayor dan minor untuk mempermudahkan mendiagnosa
rinosinusitis. Rinosinusitis dapat didiagnosa apabila dijumpai dua atau lebih kriteria
mayor atau satu kriteria mayor ditambah dua atau lebih kriteria minor. Gejalanya
menurut kriteria mayor dan minor adalah:
Gejala Mayor :
- Obstruksi hidung
- Sekret pada daerah hidung/ sekret belakang hidung yang sering disebut
PND (Postnasal drip).

16

- Kongesti pada daerah wajah


- Nyeri /rasa tertekan pada wajah
- Kelainan penciuman(Hiposmia / anosmia)
- Demam (hanya pada akut)
Gejala Minor:
- Sakit kepala
- Sakit/ rasa penuh pada telinga
- Halitosis/ nafas berbau
- Sakit gigi
- Batuk dan iritabilitas
- Demam (semua nonakut)
- Lemah
2.7.1. Gejala Subjektif
a. Nyeri
Nyeri yang sesuai dengan daerah sinus yang terkena. Pada peradangan
aktif sinus maksila atau frontal, nyeri biasanya sesuai dengan daerah yang
terkena. Pada sinus yang letaknya lebih dalam seperti sinus etmoid
posterior dan sfenoid, nyeri terasa jauh di dalam kepala, tak jelas letaknya
atau disebarkan ke perifer kepala di daerah yang tidak ada hubungan
dengan lokasi sinus.
b. Sakit Kepala
Sakit kepala pada penyakit sinus lebih sering unilateral atau lebih
terasa di satu sisi atau dimulai sebagai nyeri kepala unilateral dan meluas
ke sisi lainnya. Sakit kepala yang bersumber di sinus akan meningkat jika
membungkukkan badan ke depan dan jika badan tiba-tiba digerakkan. Sakit
kepala ini akan menetap saat menutup mata, saat istirahat. Sakit kepala
akibat penyakit di sinus frontal dinyatakan sebagai nyeri yang tajam,

17

menusuk-nusuk, melalui mata atau nyeri dan rasa berat yang biasanya
menetap.
c. Nyeri pada Penekanan
Nyeri bila disentuh dan nyeri pada penekanan jari mungkin terjadi
pada penyakit sinus yang berhubungan dengan permukaaan wajah seperti
sinus frontal, sinus etmoid anterior dan sinus maksila. Nyeri tekan pada os
frontal apabila ada penekanan di sudut medial rongga orbita. Pada
pemeriksaan sel-sel etmoid anterior, tekanan dilakukan pada sudut medial
orbital pada planum orbita os etmoid. Pada pemeriksaan sinus maksila,
harus dilakukan penekanan pada fosa kanina os maksila superior.
d. Gangguan Penciuman
Keluhan yang paling sering adalah kehilangan sensasi penciuman.
2.8.

Diagnosis
Rinosinusitis kronik ditegakkan jika pasien memiliki dua atau lebih gejala

mayor atau satu gejala mayor dan dua atau lebih gejala minor yang menetap lebih
dari 12 minggu, rinosinusitis kronik harus dipertimbangkan dalam diferensial
diagnosis jika pasien memiliki satu faktor mayor atau dua lebih faktor minor selama
lebih dari 12 minggu (Benninger et al 2003).
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan fisik dengan rinoskopi anterior dan posterior,
pemeriksaan nasoendoskopi sangat dianjurkan untuk diagnosis yang lebih tepat dan
dini. Tanda khas adalah adanya pus di meatus medius atau di daerah meatus superior.
(Mangunkusumo dan Rifki, 2010).
2.8.1. Anamnesa
Riwayat gejala yang diderita lebih dari 12 minggu, dan sesuai dengan dua
gejala mayor atau satu gejala mayor ditambah dua gejala minor dari kumpulan gejala
dan tanda menurut Rhinosinusitis Task Force, 2006. Yang termasuk gejala mayor

18

adalah : nyeri atau rasa tertekan pada daerah wajah, hidung tersumbat, ingus purulen,
gangguan penghidu. Gejala-gejala minor antara lain: sakit kepala, demam, halitosis,
nyeri gigi dan batuk (Busquets et al, 2006).
Sakit kepala merupakan salah satu tanda yang paling umum dan paling
penting pada sinusitis. Sakit kepala yang timbul merupakan akibat adanya kongesti
dan edema di ostium sinus dan sekitarnya. Sakit kepala yang bersumber dari sinus
akan meningkat jika membungkukkan badan dan jika badan tiba-tiba digerakkan.
Sakit kepala ini akan menetap saat menutup mata, saat istirahat atau saat berada di
kamar gelap. Hal ini berbeda dengan sakit kepala yang disebabkan oleh mata
(Fokkens et al, 2012; Ballenger, 2004).
Nyeri yang sesuai dengan daerah sinus yang terkena dapat ada atau mungkin
tidak. Pada peradangan aktif sinus maksila atau frontal, nyeri biasanya sesuai dengan
daerah yang terkena. Pada sinus yang letaknya lebih dalam, nyeri terasa jauh di dalam
kepala dan tak jelas lokasinya. Pada kenyataannya peradangan pada satu atau semua
sinus sering kali menyebabkan nyeri di daerah frontal (Ballenger, 2004).
Gangguan penghidu (hiposmia) terjadi akibat sumbatan pada fisura
olfaktorius di daerah konka media. Pada kasus-kasus kronik, hal ini dapat terjadi
akibat degenerasi filamen terminal nervus olfaktorius, meskipun pada kebanyakan
kasus, indera penghidu dapat kembali normal setelah proses infeksi hilang (Fokkens
et al, 2012; Ballenger, 2004).
2.8.2. Pemeriksaan Fisik
Inspeksi yang diperhatikan adanya pembengkakan pada muka. Pembengkakan
di pipi sampai kelopak mata bawah yang berwarna kemerahan mungkin menunjukkan
sinusitis maksila. Pembengkakan di kelopak mata atas mungkin menunjukkan
sinusitis frontal. Sinusitis etmoid jarang menyebabkan pembengkakan di luar, kecuali
bila telah terbentuk abses (Soetjipto, 2011).
Rinoskopi anterior adalah alat dasar untuk pemeriksaan fisik yang paling
spesifik yang berkaitan dengan keadaan patologis pada daerah sinunasal. Ia adalah

19

pemeriksaan yang tepat untuk mengevaluasi pasien sebelum dan sesudah pemakaian
dekongestan topikal. Sebelum dekongesti, pemeriksa mengevaluasi permukaaan
anterior nasal. Biasanya hanya setelah dekongesti, middle turbinate dapat
divisualisasi secara jelas (Benninger, 2003). Rinoskopi posterior bila diperlukan
untuk melihat patologi di belakang rongga hidung sekaligus untuk melihat keadaan
nasofaring (Soepardi, 2011; Shah, 2008).
2.8.3. Pemeriksaan Penunjang
Transluminasi mempunyai manfaat terbatas, hanya dapat dipakai memeriksa
sinus maksila dan sinus frontal, bila terdapat kista yang besar di dalam sinus maksila,
akan tampak terang pada pemeriksaan transluminasi. Transluminasi pada sinus frontal
hasilnya lebih meragukan. Gambaran yang terang berarti sinus berkembang dengan
baik dan normal, sedangkan gambaran yang gelap mungkin berarti sinusitis atau
hanya menunjukkan sinus yang tidak berkembang (Soetjipto dan Mangunkusumo
2010).
Endoskopi nasal dapat menilai kondisi rongga hidung, adanya sekret, patensi
kompleks osteomeatal, ukuran konka nasi, edema disekitar orifisium tuba, hipertrofi
adenoid dan penampakan mukosa sinus. Endoskopi nasal lebih baik dalam
penerangan daripada rinoskopi anterior untuk pemeriksaan meatus medius dan
superior. Indikasi endoskopi nasal yaitu evaluasi bila pengobatan konservatif
mengalami kegagalan (Selvianti, 2008; Fokkens, 2012).
Pemeriksaan penunjang pilihan utama untuk menilai gambaran sinus adalah
CT-scan. Kelebihannya ialah mampu memberi gambaran sinus pada rinosinusitis
kronik yang gejalanya tidak sesuai dengan pemeriksaan klinis. Diagnosis dapat
ditegakkan dengan atau tanpa naso-endoskopi. Namun, CT-scan memiliki
keterbatasan yaitu sulit membedakan rinosinusitis dengan infeksi virus saluran
pernafasan bagian atas, kecuali jika sudah timbul komplikasi. Visualisasi optimal
didapatkan dengan coronal scans (Shah, 2008). Pemeriksaan penunjang yang lain
adalah foto polos, yaitu dengan posisi Waters, PA dan lateral. Biasanya foto tersebut

20

hanya mampu menilai kondisi sinus-sinus besar seperti sinus maksila dan frontal
(Mangunkusumo, 2010). Sinuskopi dilakukan dengan pungsi menembus dinding
medial sinus maksila melalui meatus inferior dan dengan alat endoskopi bisa dilihat
kondisi sinus maksila yang sebenarnya. Tindakan selanjutnya dapat dilakukan irigasi
sinus untuk terapi. MRI hanya dilakukan jika ada kecurigaan komplikasi pada orbita
dan intrakranial (Shah, 2008).
2.9.

Penatalaksaan
Tujuan terapi sinusitis adalah untuk mepercepat penyembuhan, mencegah

komplikasi, dan mencegah perubahan menjadi kronik (Mangunkusumo, 2010). Jenis


terapi dibagi menjadi 2 pilihan, yaitu secara medikamentosa dan pembedahan.
2.9.1. Terapi Medikamentosa
Antibiotik yang dipilih adalah yang berspektrum luas, yaitu golongan
penisilin seperti amoksisilin. Jika kuman resisten terhadap amoksisilin, maka
diberikan amoksisilin-klavulanat atau sefalosporin generasi ke-2. Antibiotik diberikan
selama 10-14 hari meskipun gejala klinik sudah hilang (Mangunkusumo, 2010). Jika
penderita tidak menunjukkan perbaikan dalam 72 jam, maka dilakukan reevaluasi dan
mengganti antibiotik yang sesuai.
Kortikosteroid sebagai anti inflamasi yaitu berefek untuk mengurangi
besarnya polip, memperbaiki gejala seperti hidung tersumbat, rinore, post nasal drip,
dan berkurang atau hilangnya daya penghidu. Kortikosteroid nasal berupa flutikason
propionat, mometason furoat, betametason, dan lainnya (Desrosiers, 2011; Fokkens,
2012).
Terapi tambahan lainnya berupa dekongestan oral/topikal yaitu golongan
agonis alfa adrenergic, saline irrigation, anti histamine, mukolitik, antagonis
leukotriene, anti mikotik, imunomodulator, dan aspirin desentisisasi (Desrosiers,
2011).

21

Pengobatan secara medikamentosa menunjukkan hasil yang lebih memuaskan


jika diberikan sesuai dengan hasil kultur (Busquets, 2006). Gold standard untuk
kultur sinus adalah pungsi sinus maksilaris, namun hal ini harus dilakukan pada
pasien tertentu dan dilakukan dengan hati-hati karena dapat menyebabkan komplikasi
minor seperti nyeri dan perdarahan. Kultur sinus sangat penting dalam memilih jenis
obat pada rinosinusitis kronik karena organisme patogennya berbeda dengan ABRS.
Antibiotik yang biasanya diberikan pada rinosinusitis kronik adalah yang sesuai
untuk kuman gram negatif (S. aureus) dan anaerob (Shah, 2008).
2.9.2. Penatalaksanaan Operatif
Tindakan bedah menjadi pilihan mengatasi rinosinusitis kronik, dengan
munculnya endoskopi membuat sebagian besar operasi menjadi minimal invasif.
Bedah sinus endoskopi mendrainase sinus dan memastikan patensi kompleks
ostiomeatal (KOM) (witterick dan Kolenda, 2004). Indikasi untuk terapi pembedahan
ini yaitu : (1) obstruksi hidung yang komplit dikarenakan polip atau medialisasi
dinding hidung lateral, (2) abses orbital, (3) komplikasi intakranial, (4) polip
antrokoana, (5) rinosinusitis fungal (Hamilos, 2011).
2.10.

Komplikasi

2.10.1. Kelainan Orbita


Infeksi dari sinus paranasal dapat meluas ke orbita secara langsung atau
melalui sistem vena yang tidak berkatup. Komplikasi orbita ini dapat berupa selulitis
orbita dan abses orbita. Gejalanya dapat dilihat sebagai pembengkakan kelopak mata,
atau edema merata di seluruh orbita, atau gangguan gerakan bola mata dan gangguan
visus sampai jelas adanya abses yang mengeluarkan pus. Pasien harus dirawat dan
diberikan antibiotik dosis tinggi intravena dan dirujuk ke dokter spesialis THT. Bila
keadaan tidak membaik dalam 48 jam atau ada tanda-tanda komplikasi ke
intrakranial, perlu dilakukan tindakan bedah (Giannoni et al, 2006).

22

2.10.2. Kelainan Intrakranial


Komplikasi intrakranial berupa meningitis, abses subdural, abses otak,
trombosis sinus kavernosus. Rongga sinus frontal, etmoid dan sfenoid hanya
dipisahkan dengan fosa kranii anterior oleh dinding tulang yang tipis sehingga infeksi
dapat meluas secara langsung melalui erosi pada tulang. Penyebaran infeksi dapat
juga melalui sistem vena. Sinusitis maksila karena infeksi gigi sering menyebabkan
abses intrakranial. Bila ada komplikasi intrakranial gejalanya dapat terlihat sebagai
kesadaran yang menurun atau kejang-kejang. Pasien perlu dirawat dan diberikan
antibiotik dosis tinggi secara intravena dan hal ini merupakan indikasi untuk tindakan
operasi (Giannoni et al, 2006).
2.10.3. Kelainan Tulang (Osteomielitis )
Paling sering timbul akibat sinusitis frontal dan biasanya ditemukan pada
anak-anak. Pada osteomielitis sinus maksila dapat timbul fistula oroantral atau fistula
pada pipi. Nyeri dan nyeri tekan dahi setempat sangat berat. Gejala sistemik berupa
malaise demam dan menggigil. Pembengkakan di atas alis mata juga lazim terjadi dan
bertambah hebat bila terbentuk abses subperiosteal, dimana terbentuk edema
supraorbita dan mata menjadi tertutup (Mangunkusumo, 2011; Hilger, 2013).
2.10.4. Kelainan Paru
Kelainan pada paru seperti bronkitis kronik dan bronkiektasis. Adanya
kelainan sinus paranasal disertai dengan kelainan paru ini disebut sinobronkitis.
Selain itu dapat juga menyebabkan kambuhnya asma bronkial yang sukar dihilangkan
sebelum sinusitis disembuhkan (Mangunkusumo, 2011).
2.10.5. Mukokel
Bila saluran keluar sinus tersumbat dapat timbul mukokel. Sering timbul di
sinus frontal meskipun dapat juga terjadi di sinus maksila, etmoid atau sfenoid. Di
dalam mukokel terjadi pengumpulan lendir yang steril yang kemudian menjadi

23

kental. Mukokel dapat menjadi besar dan mendesak organ disekitarnya terutama
orbita. Mukokel menimbulkan gejala sakit kepala dan pembengkakan di atas sinus
yang terkena (Giannoni et al, 2006).

BAB 3
KERANGKA KONSEP DAN DEFENISI OPERASIONAL

24

3.1.

Kerangka Konsep
Berdasarkan uraian di atas peneliti ingin mengetahui karakterisitik penderita

rinosinusitis di Departemen THT-KL Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera


Utara/ RSUP Haji Adam Malik-Medan pada periode 1 Januari 2015 sampai dengan
31 Desember 2015.

Karakteristik Penderita :

Usia
Jenis Kelamin
Pekerjaan
Keluhan Utama
Lokasi Sinus yang

Terkena
Jumlah Sinus yang

Terlibat
Faktor yang

Mempengaruhi
Jenis Terapi

Rinosinusitis Kronik

Gambar 3.1. Kerangka Konsep Penelitian

3.2.

Variabel dan Definisi Operasional


Tabel 3.1. Definisi Operasional Penelitian

No Variabel

Defenisi Operasional

Cara

Alat

Hasil

Skala

25

1.

Usia

Jumlah tahun hidup

Pengukuran
Observasi

responden sejak lahir

Ukur
Rekam

Ukur
Ukur
Persentase Ordinal

medis

sampai didiagnosis
menderita rinosinusitis
yang dinyatakan
dalam satuan tahun.
Pembagian kelompok
umur
- 1-10 tahun
- 11-20 tahun
- 21-30 tahun
- 31-40 tahun
- 41-50 tahun
- 51-60 tahun
2.

Jenis Kelamin

- 61-70 tahun
Sifat jasmani yang

Observasi

membedakan dua

Rekam

Persentase Nominal

medis

makhluk sebagai laki3.

Pekerjaan

laki dan perempuan.


Kegiatan rutin atau
sehari-hari yang
dilakukan penderita
rinosinusitis yang
tercatat pada kartu
status. Kelompok
pekerjaan :
1. Pelajar/Mahasiswa
2. PNS/TNI/POLRI

Observasi

Rekam
medis

Persentase Nominal

26

3. Pegawai Swasta
4. Pensiunan
PNS/TNI/POLRI
5. Wiraswasta
6. Ibu Rumah Tangga
7. Petani
8. Pekerja lepas
9. Tidak Bekerja/ di
4.

Keluhan

bawah umur
Keluhan yang paling

Utama

berat yang dirasakan

Observasi

Rekam

Persentase Nominal

medis

oleh pasien
rinosinusitis yang
menyebabkan pasien
berobat ke dokter,
terdiri dari gejala
mayor, gejala minor,
5.

Lokasi Sinus

dan gejala tambahan.


Organ sinus yang

yang Terkena

mengalami kelainan

Observasi

Rekam

Persentase Nominal

medis

pada penderita
rinosinusitis.
1. Sinus maksila
2. Sinus etmoid
3. Sinus frontal
6.

Jumlah Sinus

4. Sinus sfenoid
Jumlah organ sinus

yang Terlibat

yang mengalami
kelainan pada pasien
rinosinusitis.

Observasi

Rekam
medis

Persentase Ordinal

27

1. Single rinosinusitis
2. Multisinusitis
7.

Faktor yang

3. Pansinusitis
semua faktor atau

Observasi

Mempengaruhi riwayat yang dapat

Rekam

Persentase Nominal

medis

mempengaruhi
terjadinya rinosinusitis
kronik seperti alergi,
asma, sensitif terhadap
aspirin, dan faktor
lainnya yang tercatat
8.

Jenis Terapi

dalam rekam medis.


Penatalaksanaan yang

Observasi

menjadi pilihan untuk


mengobati penderita
rinosinusitis kronik.
Jenis terapi yang
dipilih ada 2, yaitu
secara medikamentosa
dan tindakan operasi.

BAB 4
METODE PENELITIAN

4.1.

Jenis Penelitian

Rekam
medis

Persentase Nominal

28

Jenis penelitian ini bersifat deskriptif yaitu untuk mengetahui gambaran


rinosinusitis kronik di RSUP Haji Adam Malik Medan pada tahun 2014 dengan
menggunakan data sekunder yang diperoleh dari data rekam medis pasien.
4.2.

Waktu dan Tempat Penelitian


Penelitian ini akan dilaksanakan pada Juli 2015 hingga September 2015 yang

bertempat di RSUP Haji Adam Malik Medan. Rumah sakit ini adalah milik
pemerintah dan merupakan rumah sakit tipe A. Rumah sakit ini juga berperan sebagai
rumah sakit rujukan dari beberapa rumah sakit yang ada di kawasan Sumatera.
4.3.

Populasi dan Sampel Penelitian

4.3.1. Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah semua penderita rinosinusitis kronik yang
tercatat dalam rekam medis di RSUP Haji Adam Malik Medan pada periode 1 Januari
2014 sampai dengan 31 Desember 2014.
4.3.2. Sampel
Sampel dalam penelitian ini adalah penderita rinosinusitis kronik yang berobat
di RSUP Haji Adam Malik Medan pada tahun 2014. Pengambilan sampel dilakukan
secara total sampling, yaitu dengan mengambil seluruh anggota populasi sebagai
subjek penelitian.

4.3.3. Kriteria Inklusi


1. Seluruh pasien yang didiagnosa rinosinusitis kronik
2. Memiliki status rekam medis yang lengkap
4.3.4. Kriteria eksklusi

29

1. Data rekam medis yang diagnosis akhirnya bukan rinosinusitis


4.4.

Teknik Pengumpulan Data


Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan data sekunder, yaitu data

yang diperoleh dari pencatatan data rekam medis pasien penderita rinosinusitis kronik
di RSUP Haji Adam Malik Medan pada tahun 2014.
4.5.

Pengolahan dan Analisa Data


Pengolahan data dilakukan secara manual dengan melihat banyaknya penyakit

rinosinusitis kronik berdasarkan data yang diambil dari rekam medis di RSUP Haji
Adam Malik Medan. Kemudian data akan dianalisa dengan menggunakan program
aplikasi analisis statistik.

DAFTAR PUSTAKA

Adams, G.L., Boeis, L.R., and Hilger, P.A., 1994. Boeis- Buku Ajar Telinga Hidung
dan Tenggorokkan. Edisi ke-6. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran, 473-479.

30

Angraini, R., 2005. Anatomi dan Fungsi Sinus Paranasal. Available from:
http://library.usu.ac.id/download/fk/06001191.pdf. [Acessed 22 April 2015].
Benninger MS, Ferguson BJ, Hadley JA, et al. 2003. Adult chronic rhinosinusitis: def
initions, diagnosis, epidemiology, and pathophysiology. Otolaryngol Head
Neck Surg, 129 (3 Suppl): S1-32
Brook,

I.,

2012.

Chronic

Sinusitis.

WebMD

LLC.

Available

from:

http://emedicine.medscape.com/article/232791-overview. [Acessed 22 April


2015].
Brown, C., 2008. Chronic Rhinosinusitis: Its My Sinus Doc!. Australian Family
Physician Vol 37. No.4.
Busquets et al, 2006. Non Polypoid Rhinosinusitis : Classification, Diagnosis and
Treatment. In : Bailey BJ, Johnson JT, Kohut RI, Pillsbury HC, Tardy ME.
Head and Neck Surgery Otolaryngology. 4th Edition. Vol 2. Philadelphia :
Lippincot Williams & Wilkins. hal: 405-416.
Cohen NA. Sinonasal mucociliary clearance in health and disease. Ann Otol Rhinol
Laryngol Suppl. 2006;196:20-6
Desrosiers, M., et al., 2011. Canadian clinical practice guidelines for acute and
chronic rhinosinusitis. Allergy, Ashtma & Clinical Immunology. Vol 7,
Number 2: 1-38.
Fokkens, W.J., Lund, V.J., Mullol J., Bachert, C., et al. 2012. European Position Paper
on Rhinosinusitis and Nasal Polyps. Rhinology Official Journal of the
European and International Societies.Vol 50, Supplement 23: 1-298.
Gionanni et al, 2006. Complications of Rhinosinusitis. In : Bailey BJ, Johnson JT,
Kohut RI, Pillsbury HC, Tardy ME. Head and Neck Surgery Otolaryngology.
4th Edition. Vol 2. Philadelphia : Lippincot Williams & Wilkins.

31

Hwang PH, Abdalkhani A. Embriology, anatomy and physiology of nose and


paranasal sinuses. Dalam: Snow JB, Wackym PA, editor. Ballengers
otolaryngology, head and neck surgery. Edisi ke-17. Shelton: BC Decker Inc.
hal: 455-63.
Hamilos, Daniel L., 2011. Chronic rhinosinusitis: Epidemiology and medical
management. Journal Allergy Clinical Immunology. Vol 128, Number 4: 693707.
Lund VJ, 2007, Surgical managament of rhinosinusitis. In : Scott-Browns
Otorhinolaryngology, Head and Neck Surgery. Volume 2. Hodder Arnold an
Hachette UK Company, London. hal: 1478-90.
Mangunkusumo, E., dan Soetjipto, D., 2011. Sinusitis. In: Soepardi, E.A., ed. Buku
Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher. Edisi 6.
Jakarta: Badan Penerbit FKUI. hal: 150-154.
Moore, K.L, Agur, A.M.R., 2002. Anatomi Klinis Dasar. Jakarta: Hipokrates. hal:
397-401.
Multazar, A., 2011. Karakteristik Penderita Rinosinusitis Kronis di RSUP H. Adam
Malik Medan Tahun 2008. Tesis. Medan: Program Pendidikan Magister
Kedokteran Ilmu Kesehatan THT-KL FK USU.
Rosenfeld, R.M., et al., 2007. Clinical Practice Guideline: Adult Sinusitis. American
of Otolaryngology-Head and Neck Surgery Foundation (137): S1-S31.
Selvianti.,

dan

Kristyono,

Irwan.,

2008.

Patofisiologi,

Diagnosis,

dan

Penatalaksanaan Rinosinusitis Kronik Tanpa Polip Nasi pada Orang Dewasa.


Jurnal THT-KL Universitas Airlangga. Vol 1, No.1.

32

Shah, A.R., Salamone, F.N., and Tami, T.A., 2008. Acute & Chronic Sinusitis. In:
Lalwani, A.K. Otolaryngology Head and Neck Surgery. 2nd ed. USA:
McGraw-Hill Companies, Inc., 277-281.
Witterick IJ, Kolenda J., 2004. Surgical management of chronic rhinosinusitis.
Immunol Allergy Clin North Am, :119-34.

Anda mungkin juga menyukai