BAB 1
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Rinosinusitis dikenal luas oleh masyarakat awam sebagai penyakit sinusitis
dan merupakan salah satu penyakit yang sering dikeluhkan dengan berbagai tingkatan
gejala klinik. Hidung dan sinus paranasal merupakan bagian dari sistem pernafasan
sehingga infeksi yang menyerang bronkus dan paru, dapat juga menyerang hidung
dan sinus paranasal.
Sinusitis merupakan penyakit yang sering ditemukan dalam praktek dokter
sehari-hari, bahkan dianggap sebagai salah satu penyebab gangguan paling banyak di
seluruh dunia (Soetjipto, 2010). Sinusitis didefinisikan sebagai inflamasi mukosa
sinus paranasal. Penyebab utamanya ialah selesma (common cold) yang merupakan
infeksi virus, yang selanjutnya dapat diikuti oleh infeksi bakteri (Soetjipto, 2010).
Sering dalam praktek dokter sehari-hari pasien rinosinusitis kronik datang
dengan berbagai keluhan. Mulai dari keluhan hidung tersumbat, ingus purulen,
kongesti pada wajah, gangguan penghidu (Hiposmia / anosmia), nyeri tekan pada
wajah (gejala mayor). Dan juga ada yang mengeluhkan sakit kepala, bau mulut, sakit
gigi, batuk, sering lemah, demam (gejala minor). Untuk menegakkan diagnostik
rinosinusitis kronik bila dijumpai dua atau lebih gejala yang menetap selama 12
minggu atau lebih (Fokkens, 2012).
Sinusitis ini dapat menyerang semua usia, namun dalam penelitian, penderita
sinusitis akan meningkat seiring bertambahnya usia seseorang. Menurut Fokkens
(2012) dalam penelitiannya menyatakan bahwa prevalensi rinosinusitis kronik
meningkat seiring pertambahan usia dengan rata-rata 6,6% pada kelompok usia 50-59
tahun, sementara itu setelah usia 60 tahun, prevalensi menurun menjadi 4,7%.
Desrosiers (2011) dalam penelitiannya menyatakan angka kejadian rinosinusitis
kronik meningkat pada usia 12 tahun dan bertambah banyak dengan pertambahan
usia.
Terdapat berbagai varian rasio perbandingan pria dan wanita yang menderita
rinosinusitis kronik. Dari Kanada tahun 2003 diperoleh angka prevalensi rinosinusitis
kronik sekitar 5 % dengan rasio wanita berbanding pria yaitu 6 : 4 (lebih tinggi pada
kelompok wanita) (Fokkens, 2007). Manor (2010) dalam penelitiannya juga
menyatakan bahwa dari 137 pasien rinosinusitis, terdapat wanita sebanyak 83 orang
sedangkan pria 54 orang. Multazar (2011) menyatakan proporsi penderita
rinosinusitis kronik lebih banyak dijumpai pada jenis kelamin wanita sebanyak
57,09%, sedangkan pria 42,9%.
Tingginya angka kejadian rinosinusitis kronik yang ditemukan pada berbagai
profesi pekerjaan disebabkan oleh seringnya terpapar oleh alergen atau polutan yang
berpotensi menyebabkan rinosinusitis kronik. Apabila terus-menerus terpapar oleh
lingkungan yang berpolusi, udara dingin dan kering serta kebiasaan merokok yang
lama akan menyebabkan perubahan mukosa dan merusak silia (Mangunkusumo,
2011).
Terdapat empat jenis sinus yang sering terkena infeksi bakteri pada penyakit
rinosinusitis, yaitu sinus frontalis, maksilaris, etmoidalis, dan sfenoidalis. Namun,
sinus maksila merupakan sinus yang paling sering terinfeksi, oleh karena merupakan
sinus paranasal yang terbesar dan letak ostiumnya lebih tinggi dari dasar sinus. Selain
itu dasar sinus maksila adalah dasar akar gigi sehingga infeksi gigi dapat
menyebabkan sinusitis maksila (Ballenger, 1997). Apabila rinosinusitis terjadi pada
beberapa sinus,maka ia dikenali sebagai multisinusitis,sedangkan bila mengenai
semua sinus paranasal dikenal sebagai pansinusitis (Rosenfeld, 2007).
Kasus rinosinusitis kronik menjadi masalah kesehatan global karena
menyebabkan beban ekonomi yang tinggi dan berdampak pada penurunan kualitas
hidup, produktivitas kerja, daya konsentrasi bekerja dan belajar.
Selain berdampak pada penurunan kualitas hidup dan aspek sosioekonomi
(Lund, 2007), rinosinusitis kronik yang tidak tertangani dengan baik akan
Rumusan Masalah
Dengan memperhatikan latar belakang masalah di atas, maka peneliti
1.4.
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut:
dokter
agar
dapat
melakukan
penatalaksanaan selanjutnya
3. Hasil penelitian ini sebagai bahan untuk pengembangan ilmu pengetahuan
kesehatan dan memberikan data untuk mendukung penelitian-penelitian
selanjutnya.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Anatomi Hidung
Bentuk luar hidung sangat bervariasi dalam hal ukuran dan bentuk, terutama
karena perbedaan tulang-tulang rawan hidung. Punggung hidung meluas dari akar
hidung di wajah ke puncaknya ( ujung hidung ). Pada permukaan inferior terdapat
dua lubang, yakni naris anterior yang terpisah satu dari yang lain oleh septum nasi.
Septum nasi ini yang untuk sebagian berupa tulang dan untuk sebagian berupa tulang
rawan, membagi kavum nasi menjadi dua rongga kanan dan kiri (Moore, 2002 ).
Bagian dari kavum nasi yang letaknya sesuai dengan ala nasi dan tepat di
belakang nares anterior disebut vestibulum. Vestibulum dilapisi oleh kulit yang
mempunyai banyak kelenjar sebasea dan rambut-rambut yang disebut vibrise
(Soetjipto, 2011).
Setiap kavum nasi mempunyai 4 buah dinding, yaitu dinding lateral, medial,
inferior, dan superior. Dinding lateral terdapat 4 buah konka. Konka inferior adalah
yang terbesar dan letaknya paling bawah, konka media yang lebih kecil, konka
superior yang lebih kecil lagi, dan konka suprema adalah yang terkecil (Soetjipto,
2011).
Konka nasalis superior, konka nasalis media, dan konka nasali inferior
membagi kavum nasi menjadi empat lorong : meatus nasalis superior, meatus nasalis
medius, meatus nasalis inferior, dan hiatus semilunaris ( Moore, 2002 ).
Meatus nasalis superior adalah sebuah lorong yang sempit antara konka
nasalis superior dan konka nasalis media dan merupakan tempat bermuaranya sinus
etmoidalis superior melalui satu atau lebih lubang ( Moore, 2002 ).
Meatus nasalis medius berukuran lebih panjang dan lebih luas daripada
meatus nasalis superior. Bagian anterosuperior meatus nasalis ini berhubungan
dengan sebuah lubang yang berukuran seperti corong, yakni infundibulum yang
merupakan jalan pengantar kedalam sinus frontalis. Hubungan masing-masing sinus
frontalis ke infundibulum terjadi melalui duktus frontonasalis. Sinus maksilaris juga
bermuara ke dalam meatus nasalis medius ( Moore, 2002 ).
nama yang sama dan berjalan berdampingan dengan arterinya. Vena-vena ini
membentuk suatu pleksus kavernosus yang rapat di bawah membrana mukosa.
Drainase vena terutama melalui vena oftalmika, fasialis anterior, dan sfenopalatina
(Soetjipto, 2011; Snell, 2006).
Kompleks Ostiomeatal (KOM) adalah celah pada dinding lateral hidung yang
dibatasi oleh konka media dan lamina papirasea. Struktur anatomi yang membentuk
KOM adalah prosesus unsinatus, infundibulum etmoid, hiatus semilunaris, bula
etmoid, agger nasi, dan resesus frontal. KOM adalah unit fungsional yang merupakan
tempat ventilasi dan drainase dari sinus-sinus yang terletak di anterior yaitu sinus
maksila, etmoid anterior, dan frontal. Bila terjadi obstruksi pada KOM, maka akan
terjadi perubahan patologis yang signifikan pada sinus yang terkait (Soetjipto, 2011).
2.2.
10
demikian
mukosa
saluran
napas
mempunyai
kemampuan
untuk
11
paranasal yang ditandai dengan dua atau lebih gejala, dimana salah satu gejalanya
merupakan sumbatan hidung (nasal blockage/obstruction/congestion) atau nasal
discharge (anterior/posterior nasal drip) selama 12 minggu atau lebih, serta diikuti
ada atau tanpa nyeri tekan di daerah wajah dan penurunan atau hilangnya daya
penghidu (Fokkens, 2012).
Berdasarkan anatomi sinus yang terlibat, sinusitis dapat diklasifikasikan
sebagai sinusitis maksila, sinusitis etmoid, sinusitis frontal, dan sinusitis sfenoid.
Sinus yang paling sering terkena infeksi adalah sinus maksilaris dan sinus etmoidalis,
sedangkan sinus frontalis dan sinus sfenoidalis lebih jarang (Mangunkusumo, 2010).
Sebuah
penelitian
menyebutkan, pasien
dengan rinosinusitis
kronik
dilaporkan lebih merasakan nyeri jasmani dan fungsi sosial yang lebih buruk
12
dibanding pasien dengan penyakit kronik lainnya seperti penyakit paru obstruksi
kronik, gagal jantung kongestif, dan nyeri punggung. Dampak penyakit rinosinusitis
kronik terhadap kualitas hidup pasien sebanding dengan keparahan penyakit kronik
lainnya. Oleh karena itu, sama halnya dengan penyakit kronik yang lain, penyakit
rinosinusitis kronik sebaiknya ditangani secara proaktif (Desrosiers, 2011).
2.5.
Etiologi
2.5.1. Virus
Rhinosinusitis akibat virus disebut common cold. Virus yang menginfeksi
antara lain : rhinovirus (50%), coronavirus (20%), influenza, parainfluenza,
respiratory syncytial virus, adenovirus dan enterovirus (Mangunkusumo, 2010).
2.5.2. Bakteri
Bakteri patogen yang sering menyebabkan rinosinusitis bakteri akut adalah S.
pneumoniae dan H. influenza. Patogen ini menjadi penyebab utama terjadinya
rinosinusitis sejak kali pertama dilakukan penelitian. Sedangkan patogen yang sering
pada rinosinusitis bakteri kronik adalah S. aureus, staphylococcus koagulase
negative, bakteri anaerob dan bakteri gram negative (Brown, 2008).
2.5.3. Jamur
Aspergilosis adalah salah satu jamur yang paling sering dijumpai pada infeksi
virus paranasal dengan ciri khas sekret mukopurulen yang berwarna hijau kecoklatan.
Mukormikosis pula merupakan infeksi oppurtunistik ganas yang dapat berkembang
menjadi patogenik pada orang yang menderita asidosis diabetik dan imunosupresi.
Pada penderita ini dijumpai sekret warna pekat, gelap, berdarah dan gambaran konka
yang berwarna hitam atau merah bata. Candida bersama histoplasmosis,
koksidoimilosis, sporotrikosis, serokosporamikosis, dan blastomikosis adalah kasus
yang jarang mengenai hidung (Boeis, 1997).
13
2.5.4. Alergi
Rinitis adalah suatu reaksi alergi yang diperantarai oleh imunoglobulin.
Reaksi ini melibatkan suatu antibodi, biasanya IgE, yang mana bagian Fc antibodi
melekat pada suatu sel yang mengandung mediator atau prekursornya (sel mast,
basofil, eosinofil, makrofag). Bagian Fab dari antibodi ini berinteraksi dengan alergen
spesifik dan akibatnya terjadi aktivasi beberapa enzim membran. Hasil pembelahan
enzimatik menyebabkan pelepasan mediator seperti histamin, prostaglandin dan
leukotrien. Mediator ini menyebabkan suatu reaksi tipe segera yang timbul, misalnya
edema. Selain itu, juga akan terjadi reaksi lambat yang selanjutnya cenderung terjadi
akibat pelepasan mediator dari sel mast dan demikian pula eosinofil, makrofag dan
trombosit (Boeis, 1997).
2.5.5. Kelainan Anatomi dan Struktur Hidung
Kelainan anatomi hidung dan sinus dapat mengganggu fungsi mukosiliar
secara lokal. Jika permukaan mukosa yang saling berhadapan mendekat atau bertemu
satu sama lain, maka aktivitas silia akan terhenti. Deviasi septum, polip, konka bulosa
atau kelainan struktur lain di daerah kompleks osteomeatal dan ostium sinus dapat
menghalangi transportasi mukosiliar (Hilger, 1997).
2.5.6. Hormonal
Pada penelitian Sobot et al didapati bahwa 61% wanita yang hamil pada
trimester pertama menderita nasal congestion. Namun patogenesisnya masih belum
jelas (Brook, 2012).
2.5.7. Lingkungan
Udara dingin umumnya menyebabkan vasokonstriksi, sedangkan udara hangat
menyebabkan pembengkakan akibat vasodilatasi. Perubahan suhu lingkungan yang
mendadak dapat merangsang kongesti hidung dan/atau rinore (Hilger, 1997).
14
2.6.
Patofisiologi
Lapisan mukoperiosteum sinus paranasalis mempunyai daya tahan luar biasa
15
2.7.
Gejala Klinis
Setiap gejala rinosinusitis, keparahan dan durasinya harus didokumentasi. The
16
17
menusuk-nusuk, melalui mata atau nyeri dan rasa berat yang biasanya
menetap.
c. Nyeri pada Penekanan
Nyeri bila disentuh dan nyeri pada penekanan jari mungkin terjadi
pada penyakit sinus yang berhubungan dengan permukaaan wajah seperti
sinus frontal, sinus etmoid anterior dan sinus maksila. Nyeri tekan pada os
frontal apabila ada penekanan di sudut medial rongga orbita. Pada
pemeriksaan sel-sel etmoid anterior, tekanan dilakukan pada sudut medial
orbital pada planum orbita os etmoid. Pada pemeriksaan sinus maksila,
harus dilakukan penekanan pada fosa kanina os maksila superior.
d. Gangguan Penciuman
Keluhan yang paling sering adalah kehilangan sensasi penciuman.
2.8.
Diagnosis
Rinosinusitis kronik ditegakkan jika pasien memiliki dua atau lebih gejala
mayor atau satu gejala mayor dan dua atau lebih gejala minor yang menetap lebih
dari 12 minggu, rinosinusitis kronik harus dipertimbangkan dalam diferensial
diagnosis jika pasien memiliki satu faktor mayor atau dua lebih faktor minor selama
lebih dari 12 minggu (Benninger et al 2003).
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan fisik dengan rinoskopi anterior dan posterior,
pemeriksaan nasoendoskopi sangat dianjurkan untuk diagnosis yang lebih tepat dan
dini. Tanda khas adalah adanya pus di meatus medius atau di daerah meatus superior.
(Mangunkusumo dan Rifki, 2010).
2.8.1. Anamnesa
Riwayat gejala yang diderita lebih dari 12 minggu, dan sesuai dengan dua
gejala mayor atau satu gejala mayor ditambah dua gejala minor dari kumpulan gejala
dan tanda menurut Rhinosinusitis Task Force, 2006. Yang termasuk gejala mayor
18
adalah : nyeri atau rasa tertekan pada daerah wajah, hidung tersumbat, ingus purulen,
gangguan penghidu. Gejala-gejala minor antara lain: sakit kepala, demam, halitosis,
nyeri gigi dan batuk (Busquets et al, 2006).
Sakit kepala merupakan salah satu tanda yang paling umum dan paling
penting pada sinusitis. Sakit kepala yang timbul merupakan akibat adanya kongesti
dan edema di ostium sinus dan sekitarnya. Sakit kepala yang bersumber dari sinus
akan meningkat jika membungkukkan badan dan jika badan tiba-tiba digerakkan.
Sakit kepala ini akan menetap saat menutup mata, saat istirahat atau saat berada di
kamar gelap. Hal ini berbeda dengan sakit kepala yang disebabkan oleh mata
(Fokkens et al, 2012; Ballenger, 2004).
Nyeri yang sesuai dengan daerah sinus yang terkena dapat ada atau mungkin
tidak. Pada peradangan aktif sinus maksila atau frontal, nyeri biasanya sesuai dengan
daerah yang terkena. Pada sinus yang letaknya lebih dalam, nyeri terasa jauh di dalam
kepala dan tak jelas lokasinya. Pada kenyataannya peradangan pada satu atau semua
sinus sering kali menyebabkan nyeri di daerah frontal (Ballenger, 2004).
Gangguan penghidu (hiposmia) terjadi akibat sumbatan pada fisura
olfaktorius di daerah konka media. Pada kasus-kasus kronik, hal ini dapat terjadi
akibat degenerasi filamen terminal nervus olfaktorius, meskipun pada kebanyakan
kasus, indera penghidu dapat kembali normal setelah proses infeksi hilang (Fokkens
et al, 2012; Ballenger, 2004).
2.8.2. Pemeriksaan Fisik
Inspeksi yang diperhatikan adanya pembengkakan pada muka. Pembengkakan
di pipi sampai kelopak mata bawah yang berwarna kemerahan mungkin menunjukkan
sinusitis maksila. Pembengkakan di kelopak mata atas mungkin menunjukkan
sinusitis frontal. Sinusitis etmoid jarang menyebabkan pembengkakan di luar, kecuali
bila telah terbentuk abses (Soetjipto, 2011).
Rinoskopi anterior adalah alat dasar untuk pemeriksaan fisik yang paling
spesifik yang berkaitan dengan keadaan patologis pada daerah sinunasal. Ia adalah
19
pemeriksaan yang tepat untuk mengevaluasi pasien sebelum dan sesudah pemakaian
dekongestan topikal. Sebelum dekongesti, pemeriksa mengevaluasi permukaaan
anterior nasal. Biasanya hanya setelah dekongesti, middle turbinate dapat
divisualisasi secara jelas (Benninger, 2003). Rinoskopi posterior bila diperlukan
untuk melihat patologi di belakang rongga hidung sekaligus untuk melihat keadaan
nasofaring (Soepardi, 2011; Shah, 2008).
2.8.3. Pemeriksaan Penunjang
Transluminasi mempunyai manfaat terbatas, hanya dapat dipakai memeriksa
sinus maksila dan sinus frontal, bila terdapat kista yang besar di dalam sinus maksila,
akan tampak terang pada pemeriksaan transluminasi. Transluminasi pada sinus frontal
hasilnya lebih meragukan. Gambaran yang terang berarti sinus berkembang dengan
baik dan normal, sedangkan gambaran yang gelap mungkin berarti sinusitis atau
hanya menunjukkan sinus yang tidak berkembang (Soetjipto dan Mangunkusumo
2010).
Endoskopi nasal dapat menilai kondisi rongga hidung, adanya sekret, patensi
kompleks osteomeatal, ukuran konka nasi, edema disekitar orifisium tuba, hipertrofi
adenoid dan penampakan mukosa sinus. Endoskopi nasal lebih baik dalam
penerangan daripada rinoskopi anterior untuk pemeriksaan meatus medius dan
superior. Indikasi endoskopi nasal yaitu evaluasi bila pengobatan konservatif
mengalami kegagalan (Selvianti, 2008; Fokkens, 2012).
Pemeriksaan penunjang pilihan utama untuk menilai gambaran sinus adalah
CT-scan. Kelebihannya ialah mampu memberi gambaran sinus pada rinosinusitis
kronik yang gejalanya tidak sesuai dengan pemeriksaan klinis. Diagnosis dapat
ditegakkan dengan atau tanpa naso-endoskopi. Namun, CT-scan memiliki
keterbatasan yaitu sulit membedakan rinosinusitis dengan infeksi virus saluran
pernafasan bagian atas, kecuali jika sudah timbul komplikasi. Visualisasi optimal
didapatkan dengan coronal scans (Shah, 2008). Pemeriksaan penunjang yang lain
adalah foto polos, yaitu dengan posisi Waters, PA dan lateral. Biasanya foto tersebut
20
hanya mampu menilai kondisi sinus-sinus besar seperti sinus maksila dan frontal
(Mangunkusumo, 2010). Sinuskopi dilakukan dengan pungsi menembus dinding
medial sinus maksila melalui meatus inferior dan dengan alat endoskopi bisa dilihat
kondisi sinus maksila yang sebenarnya. Tindakan selanjutnya dapat dilakukan irigasi
sinus untuk terapi. MRI hanya dilakukan jika ada kecurigaan komplikasi pada orbita
dan intrakranial (Shah, 2008).
2.9.
Penatalaksaan
Tujuan terapi sinusitis adalah untuk mepercepat penyembuhan, mencegah
21
Komplikasi
22
23
kental. Mukokel dapat menjadi besar dan mendesak organ disekitarnya terutama
orbita. Mukokel menimbulkan gejala sakit kepala dan pembengkakan di atas sinus
yang terkena (Giannoni et al, 2006).
BAB 3
KERANGKA KONSEP DAN DEFENISI OPERASIONAL
24
3.1.
Kerangka Konsep
Berdasarkan uraian di atas peneliti ingin mengetahui karakterisitik penderita
Karakteristik Penderita :
Usia
Jenis Kelamin
Pekerjaan
Keluhan Utama
Lokasi Sinus yang
Terkena
Jumlah Sinus yang
Terlibat
Faktor yang
Mempengaruhi
Jenis Terapi
Rinosinusitis Kronik
3.2.
No Variabel
Defenisi Operasional
Cara
Alat
Hasil
Skala
25
1.
Usia
Pengukuran
Observasi
Ukur
Rekam
Ukur
Ukur
Persentase Ordinal
medis
sampai didiagnosis
menderita rinosinusitis
yang dinyatakan
dalam satuan tahun.
Pembagian kelompok
umur
- 1-10 tahun
- 11-20 tahun
- 21-30 tahun
- 31-40 tahun
- 41-50 tahun
- 51-60 tahun
2.
Jenis Kelamin
- 61-70 tahun
Sifat jasmani yang
Observasi
membedakan dua
Rekam
Persentase Nominal
medis
Pekerjaan
Observasi
Rekam
medis
Persentase Nominal
26
3. Pegawai Swasta
4. Pensiunan
PNS/TNI/POLRI
5. Wiraswasta
6. Ibu Rumah Tangga
7. Petani
8. Pekerja lepas
9. Tidak Bekerja/ di
4.
Keluhan
bawah umur
Keluhan yang paling
Utama
Observasi
Rekam
Persentase Nominal
medis
oleh pasien
rinosinusitis yang
menyebabkan pasien
berobat ke dokter,
terdiri dari gejala
mayor, gejala minor,
5.
Lokasi Sinus
yang Terkena
mengalami kelainan
Observasi
Rekam
Persentase Nominal
medis
pada penderita
rinosinusitis.
1. Sinus maksila
2. Sinus etmoid
3. Sinus frontal
6.
Jumlah Sinus
4. Sinus sfenoid
Jumlah organ sinus
yang Terlibat
yang mengalami
kelainan pada pasien
rinosinusitis.
Observasi
Rekam
medis
Persentase Ordinal
27
1. Single rinosinusitis
2. Multisinusitis
7.
Faktor yang
3. Pansinusitis
semua faktor atau
Observasi
Rekam
Persentase Nominal
medis
mempengaruhi
terjadinya rinosinusitis
kronik seperti alergi,
asma, sensitif terhadap
aspirin, dan faktor
lainnya yang tercatat
8.
Jenis Terapi
Observasi
BAB 4
METODE PENELITIAN
4.1.
Jenis Penelitian
Rekam
medis
Persentase Nominal
28
bertempat di RSUP Haji Adam Malik Medan. Rumah sakit ini adalah milik
pemerintah dan merupakan rumah sakit tipe A. Rumah sakit ini juga berperan sebagai
rumah sakit rujukan dari beberapa rumah sakit yang ada di kawasan Sumatera.
4.3.
4.3.1. Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah semua penderita rinosinusitis kronik yang
tercatat dalam rekam medis di RSUP Haji Adam Malik Medan pada periode 1 Januari
2014 sampai dengan 31 Desember 2014.
4.3.2. Sampel
Sampel dalam penelitian ini adalah penderita rinosinusitis kronik yang berobat
di RSUP Haji Adam Malik Medan pada tahun 2014. Pengambilan sampel dilakukan
secara total sampling, yaitu dengan mengambil seluruh anggota populasi sebagai
subjek penelitian.
29
yang diperoleh dari pencatatan data rekam medis pasien penderita rinosinusitis kronik
di RSUP Haji Adam Malik Medan pada tahun 2014.
4.5.
rinosinusitis kronik berdasarkan data yang diambil dari rekam medis di RSUP Haji
Adam Malik Medan. Kemudian data akan dianalisa dengan menggunakan program
aplikasi analisis statistik.
DAFTAR PUSTAKA
Adams, G.L., Boeis, L.R., and Hilger, P.A., 1994. Boeis- Buku Ajar Telinga Hidung
dan Tenggorokkan. Edisi ke-6. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran, 473-479.
30
Angraini, R., 2005. Anatomi dan Fungsi Sinus Paranasal. Available from:
http://library.usu.ac.id/download/fk/06001191.pdf. [Acessed 22 April 2015].
Benninger MS, Ferguson BJ, Hadley JA, et al. 2003. Adult chronic rhinosinusitis: def
initions, diagnosis, epidemiology, and pathophysiology. Otolaryngol Head
Neck Surg, 129 (3 Suppl): S1-32
Brook,
I.,
2012.
Chronic
Sinusitis.
WebMD
LLC.
Available
from:
31
dan
Kristyono,
Irwan.,
2008.
Patofisiologi,
Diagnosis,
dan
32
Shah, A.R., Salamone, F.N., and Tami, T.A., 2008. Acute & Chronic Sinusitis. In:
Lalwani, A.K. Otolaryngology Head and Neck Surgery. 2nd ed. USA:
McGraw-Hill Companies, Inc., 277-281.
Witterick IJ, Kolenda J., 2004. Surgical management of chronic rhinosinusitis.
Immunol Allergy Clin North Am, :119-34.