Anda di halaman 1dari 35

REFRAT

Keganasan Rongga Mulut pada Pasien HIV/AIDS

Pembimbing:
drg.Mora Octavia, Sp.Perio
Disusun oleh:
Elisa Lyusana

(2013.061.143)

B.M. Vito Budianto

(2013.061.144)

Yohana Dianwidi

(2013.061.148)

Natalia

(2013.061.149)

Kevin Yulianto

(2014.061.137)

Kepaniteraan Ilmu Penyakit Gigi dan Mulut


Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya Jakarta
Periode: 23 Maret 2015 10 April 2015

DAFTAR ISI
Halaman Judul..........................................................................................................................1
Daftar Isi...................................................................................................................................2
Bab 1 Pendahuluan...................................................................................................................3
1.1 Latar Belakang......................................................................................................3
1.2 Tujuan...................................................................................................................4
1.3 Manfaat ................................................................................................................4
Bab 2 Tinjauan Pustaka.............................................................................................................5
2.1 Definisi.................................................................................................................5
2.2 Epidemiologi.........................................................................................................5
2.3 Etiologi dan Faktor Risiko.................................................................................... 6
2.4 Patofisiologi.10
2.5 Diagnosis..13
2.6 Terapi...18
2.7 Komplikasi...23
2.8 Diagnosis Banding...24
2.9 Prognosis..26
Bab 3 Penutup..31
3.1 Kesimpulan..31
3.2 Saran.31
Daftar Pustaka..32

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kasus pertama Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) di Indonesia
ditemukan pada tahun 1987 di Bali, tetapi penyebaran HIV di Indonesia meningkat
setelah tahun 1995. Data terbaru di Indonesia dari tahun 2005 hingga September 2012
jumlah penderita HIV/AIDS mencapai 13.938 orang, terdiri dari 9.883 kasus infeksi HIV
dan 3.541 kasus AIDS dan kematian terjadi pada 514 orang. Fakta baru tahun 2012
menunjukkan bahwa penularan infeksi HIV di Indonesia telah meluas ke rumah tangga,
sejumlah 451 orang diantara penderita HIV/AIDS di atas adalah anak-anak dan remaja,
dan transmisi perinatal (dari ibu kepada anak) terjadi pada 121 kasus.1
Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS), penyakit sistem kekebalan tubuh
manusia yang disebabkan oleh Human Immunodeficiency Virus (HIV), telah muncul
sebagai krisis global sejak penemuannya pada musim panas tahun 1981 di Amerika
Serikat.2 Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) adalah

sindroma penyakit

defisiensi seluler yang disebabkan oleh human immunodeficiency virus (HIV) yang
merusak sel yang berfungsi untuk sistem kekebalan tubuh yaitu CD4 (Lymphocyte Thelper).3
Kerusakan imunitas seluler yang terkait dengan AIDS dapat menempatkan orang yang
terinfeksi berisiko untuk berbagai infeksi oportunistik dan proses keganasan. Sarkoma
Kaposi dan karsinoma sel skuamosa adalah contoh keganasan yang paling sering terjadi
baik di rongga mulut maupun di kulit. Presentasi status kesehatan mulut dari pasien yang
terinfeksi HIV adalah parameter yang sangat penting, karena dapat memberikan informasi
penting mengenai status kekebalan tubuh individu. Gangguan mulut terjadi sekitar 6480% kasus HIV / AIDS di India dan dapat hadir sebagai berbagai macam lesi, terutama
jamur, virus, dan bakteri dan neoplasma ganas seperti sarkoma Kaposi dan presentasi
nonspesifik seperti ulserasi aphthous dan penyakit kelenjar ludah seperti

cacat

T-

lymphocytemediated. Faktor-faktor yang mempengaruhi ekspresi lesi oral termasuk


jumlah CD4 kurang dari 200 sel/mm3, serostomia dan merokok. Orang dengan
HIV/AIDS mempunyai risiko dua kali lebih tinggi untuk terjadinya keganasan termasuk
keganasan pada rongga mulut. Dari keseluruhan data epidemiologi yang didapat dari
WHO, angka mortalitas karena keganasan pada pasien dengan HIV/AIDS mencapai 3040% dari seluruh kasus dan terjadi peningkatan dalam 5 tahun terakhir.2

Berdasarkan pernyataan diatas, referat ini dibuat untuk mengetahui lebih lanjut
mengenai keganasan rongga mulut yang dapat terjadi pada pasien HIV/AIDS, cara
mendiagnosis dan cara tatalaksana yang tepat. Hal ini penting dan perlu untuk diketahui
karena meningkatnya angka mortalitas karena proses keganasan yang terjadi pada pasien
HIV/AIDS.
1.2 Tujuan Penulisan
1. Mengetahui patofisiologi terjadinya keganasan rongga mulut pada pasien HIV/AIDS
2. Mengetahui cara mendiagnosis kasus keganasan rongga mulut pada pasien HIV/AIDS
3. Mengetahui tatalaksana keganasan rongga mulut pada pasien HIV/AIDS
4. Mengetahui komplikasi dan prognosis dari proses keganasan rongga mulut pasien
HIV/AIDS
1.3 Manfaat Penulisan
1. Memberikan sumbangan terhadap perkembangan ilmu pengetahuan khususnya
dibidang kedokteran gigi mengenai keganasan rongga mulut pada pasien HIV/AIDS.
2. Sebagai data awal bagi penulis lain.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome) merupakan kumpulan gejala/sindrom
yang timbul akibat kerusakan sistem kekebalan tubuh manusia akibat infeksi virus HIV
(Human Immunodeficiency Virus). HIV adalah agen viral retrovirus yang ditularkan melalui
produk darah dan memiliki afinitas yang kuat terhadap sel limfosit T.
Pada umumnya, manifestasi klinis AIDS pada rongga mulut dapat berupa infeksi
opportunistik maupun berbagai bentuk keganasan.4 Keganasan yang dapat terjadi pada
penderita HIV terbagi menjadi ADC (AIDS-Defining Cancers) dan NADC (Non-AIDSDefining Cancers). Neoplasma yang termasuk ke dalam kelompok ADC adalah Sarkoma
Kaposi, limfoma non-hodgkins, dan kanker serviks. Sementara kanker paru, kanker hati,
kanker anus, serta kanker kepala dan leher, masuk ke dalam kelompok NADC.5
Sarkoma Kaposi merupakan jenis kanker yang berasal dari pembuluh limfe maupun
darah dan pada umumnya terjadi di kulit dan permukaan mukosa.
2.2 Epidemiologi
Sejak pertama kali ditemukan pada tahun 1981, saat ini sekitar 33 juta orang di
seluruh dunia terinfeksi virus HIV. Sekitar 1,8 juta kematian terjadi setiap tahunnya akibat
penyakit ini. Terapi farmakologik HIV dengan HAART (Highly Active Antiretroviral
Therapy) menimbulkan pergeseran perubahan morbiditas, dari penyakit infeksi menjadi
penyakit keganasan.6
Turunnya sistem kekebalan tubuh secara progresif menyebabkan pasien dengan
infeksi HIV berisiko tinggi menderita penyakit neoplasma, dimana keganasan pada populasi
ini akan meningkatkan angka morbiditas dan mortalitas. Beberapa penelitian menunjukkan,
insiden Sarkoma Kaposi, NHL, dan kanker serviks meningkat pada populasi terinfeksi HIV
dibandingkan populasi umum. Penelitian epidemiologis menunjukkan Sarkoma Kaposi lebih
banyak diderita oleh pria dibandingkan wanita. 8 Lesi Sarkoma Kaposi dapat ditemukan di
kulit, saluran pencernaan seperti rongga mulut, orofaring, esophagus, dan daerah perianal.
Khammisa menunjukkan gingiva adalah lokasi tersering munculnya Sarkoma Kaposi (30%)
dan bagian dorsal lidah (5%).9 Insiden NADC pada populasi terinfeksi HIV berkaitan dengan
kebiasaan merokok, konsumsi alkohol, dan infeki kronis oleh virus onkogenik seperti virus
hepatitis dan HPV.5

Prevalensi Sarkoma Kaposi di dunia cukup bervariasi tergantung dari infeksi HHV8
yang menjadi etiologinya, di area dengan insidensi rendah seperti Amerika Serikat dan Eropa
Utara, infeksi HHV8 sangat jarang ( dibawah 0,1% ). Namun, di daerah insidensi tinggi
seperti Italia Selatan, prevalensi dari HHV8 mencapai 20%. Dan prevalensi tertinggi di
daerah Afrika Tengah yaitu 22 71% pada orang dewasanya yang menjadikan daerah
tersebut merupakan endemik dari sarkoma kaposi. Pada pasien dengan transplantasi organ
( khususnya pada resipien ), manifestasi penyakit mulai terlihat 1 2 tahun setelah transplant
dan pada pasien dengan HIV-1 menderita sarkoma kaposi pada 5 10 tahun setelah
terinfeksi.36,37
2.3 Etiologi dan Faktor Risiko Kanker Mulut.
Kanker mulut merupakan penyakit multifaktorial. Paparan terhadap stimulus
karsinogenik, secara kimiawi maupun fisik, dan virus dapat menyebabkan kanker dan
mempengaruhi kondisi rongga mulut. Menurut penelitian didapatkan paling sering kanker
mulut disebabkan karsinogen yang kimiawi.14,15 Patogenesis terjadinya kanker mulut sangat
kompleks, dan paparan terhadap bahan-bahan karsinogen saja tidak langsung menyebabkan
kanker pada rongga mulut. Beberapa faktor lain seperti genetik, diet, hormon, dan faktor jenis
kelamin mempengaruhi proses terjadinya keganasan. Rokok dan alkohol merupakan etiologi
yang sangat penting pada kanker mulut.
2.3.1 Rokok
Penelitian tentang hubungan konsumsi rokok dan kanker mulut dilakukan
sejak abad 19, dilakukan observasi kanker bibir pada pasien dengan kebiasaan
merokok. Studi epidemiologi menunjukkan bahwa pada perokok angka kejadian
terbentuknya kanker mulut meningkat 5-6 kali lipat dibandingkan yang tidak
merokok, dan risikonya meningkat 17 kali pada perokok berat (lebih dari 80 batang
per hari).16 Pasien dengan kanker mulut yang sedang dalam terapi tetapi masih
melanjutkan kebiasaan merokok meningkatkan risiko terjadinya keganasan sekunder
(upper aerodigestive tract) sebanyak 2-3 kali dibandingkan pasien yang berhenti
merokok.17 Penggunaan tembakau oral juga meningkatkan angka kejadian kanker
mulut. Risiko terjadinya kanker mulut berhubungan erat dengan durasi penggunaan
dan seberapa tinggi kandungan bahan karsinogenik dalam tembakau oral tersebut.18
Penggunaan marijuana juga merupakan faktor risiko terjadinya kanker mulut.
Marijuana mengandung benzopyrine dan benzanthracene serta beberapa bahan
karsinogenik lainnya yang lebih tinggi dibandingkan rokok. 18 Studi lebih lanjut
6

diperlukan untuk meneliti hubungan penggunaan marijuana dengan kejadian kanker


mulut.
2.3.2 Alkohol
Alkohol terutama likuor yang keras merupakan penyebab utama karsinoma sel
skuamosa.17 Kebiasaan mengkonsumsi alkohol yang cukup berat sering diikuti
kebiasaan merokok yang berat, angka kejadian kanker mulut meningkat 3-9 kali lipat.
Penelitian di Prancis menunjukkan peminum berat yang mengkonsumsi alkohol lebih
dari 100g per hari (bir, anggur, likuor mengandung

10-15g alkohol per gelas)

meningkatkan angka kejadian kanker mulut 30


kali lipat.19 Mekanisme bagaimana alkohol dapat menyebabkan kanker mulut
masih belum jelas. Diduga alkohol sendiri merupakan suatu karsinogen atau pemicu
terjadinya karsinogenesis. Selain itu karsinogenesis juga dihubungkan dengan
kurangnya nutrisi pada pecandu alkohol. Alkohol juga mengubah metabolisme sel
epitel atau menekan sistem imun.20,21
2.3.3 Human papiloma virus (HPV)
Pertama kali HPV ditemukan sebagai faktor terjadinya keganasan yaitu pada
kanker serviks. Diduga HPV-16 merupakan penyebab utama karsinoma sel squamosa
pada mulut dan lesi premalignan.15 DNA HPV-16 ditemukan pada keganasankeganasan rongga mulut, nasofaring, lidah, dan tonsil. Metastasis ke nodus limfatik
juga menunjukkan adanya DNA HPV-16. HPV-18 lebih jarang menyebabkan kanker
mulut. 2 genom dari HPV yaitu E6 dan E7 mengganggu siklus sel. E6 berikatan
dengan protein 53 (p53) dan menyebabklan degradasi p53, sedangkan E7 berikatan
dengan pRb dan menghambat kerja pRb. Kedua bagian yang diganggu tersebut
merupakan onkosupresor sehingga terjadi replikasi DNA yang tidak terkontrol dan
mekanisme apoptosis yang terganggu.15
2.3.4 Faktor nutrisi
Besi merupakan nutrisi penting yang berhubungan dengan terjadinya kanker
mulut. Hal ini berhubungan dengan anemia defisiensi besi. Terjadi perubahan sel
epitel rongga mulut menjadi atrofi pada pasien dengan anemia defisiensi besi. Selain
terjadi atrofi, terjadi juga peningkatan proliferasi sel sehingga menyebabkan sel lebih
mudah terpapar karsinogenik kimiawi karena epitel lebih permeabel. 22 Konsumsi
buah-buahan dan sayuran juga berperan penting sebagai anti oksidan terutama pada
perokok dan peminum berat.

2.3.5 Gangguan imunitas


Pasien dengan imunosupresi lebih rentan terkena kanker mulut. Beberapa
penelitian menunjukkan terjadinya kanker bibir pada pasien post transplantasi ginjal
yang diberikan imunosupresan dan pasien dengan AIDS.23-26 Keadaan imunitas yang
menurun ini bukan penyebab langsung terjadinya kanker mulut. Pasien dengan
imunodefisiensi lebih rentan terkena infeksi seperti infeksi HPV.
2.3.6 Oral premalignan lesion (OPL)
Merupakan lesi yang sering terjadi di mukosa mulut, dan jika tidak diterapi
dapat menyebabkan terjadinya karsinoma sel skuamosa. Secara histologis terjadi
perubahan pada lesi yang mengalami hiperplasia jinak menjadi displasia epitel,
karsinoma in situ, dan berkembang menjadi karsinoma sel skuamosa. Contoh OPL
seperti oral leukoplakia, oral erythroplakia, dan speckled leukoplakia. Suatu
penelitian menunjukkan dari 65 pasien dengan erythroplakia, 51% menunjukkan
karsinoma sel skuamosa invasif, 40% menyebabkan karsinoma in situ, dan 9%
menunjukkan

displasia

ringansedang.

Erytroplakia

menyebabkan

displasia

dibandingkan yang lainnya. Namun penelitian lebih lanjut dibutuhkan untuk


menguatkan pernyataan ini.27
2.3.7

Etiologi Sarkoma Kaposi36,37


Sarkoma Kaposi disebabkan oleh infeksi virus HHV8 yang merupakan bagian

dari family - herpesviridae, genus rhadinovirus. Terdiri dari 165-kb DNA genom
yang menunjukkan 90 bentuk terbuka. HHV8 ini dikontrol oleh LANA-1, V cyclin
dan vFLIP atau replikasi virus lytic yang dikenal vGPCR, vIL6 dan v-bcl-2. HHV8 ini
masuk ke penjamu secara dan in vitro. Pada pemeriksaan darah dan sel endothelial
limfatik menyerupai sel hemopoetik dengan tipe yang berbeda.
2.3.8

Etiologi Limfoma Non-Hodgkin40,41


Terdapat beberapa faktor risiko yang diketahui berpengaruh pada limfoma non

Hodgkin (LNH), walaupun demikian, faktor-faktor risiko ini tidak diperhitungkan


melebihi bagian kecil dari jumlah seluruh kasus limfoma non Hodgkin. Pada
kebanyakan pasien dengan limfoma non Hodgkin, tidak ada penyebab penyakit yang
dapat ditemukan. Lebih jauh lagi, banyak orang yang terpapar pada salah satu faktor
risiko yang diketahui tidak menderita limfoma non Hodgkin. Beberapa faktor risiko
tersebut seperti infeksi, imunosupresi,dan faktor lingkungan.
Translokasi kromosom dan perubahan molekular sangat berperan penting
dalam

patogenesis

limfoma,

dan

berhubungan

dengan

histologi

dan
8

immunophenotyping. Translokasi t(14;18)(q32;q21) adalah translokasi kromosomal


abnormal yang paling sering dihubungkan dengan LNH. Beberapa infeksi virus telah
memperlihatkan adanya hubungan dengan peningkatan limfoma non Hodgkin. Hal ini
mungkin berhubungan dengan kemampuan virus dalam menginduksi stimulasi
antigen kronik dan gangguan regulasi sitokin yang menyebabkan stimulasi,
proliferasi, dan limfomagenesis yang tidak terkontrol dari sel B dan sel T. Beberapa
virus tersebut antara lain:
Human immunodeficiency virus (HIV/AIDS)
Human T cell leukemia-lymphoma virus-1 (HTLV-1)
Epstein-Barr virus (EBV)
Orang dengan HIV positif lebih mungkin mengidap limfoma non Hodgkin
dari pada orang lainnya. Munculnya limfoma non Hodgkin pada orang dengan HIV
positif mengindikasikan bahwa telah terjadi AIDS.
Meningkatnya risiko kemungkinan terjadi karena penekanan sistim kekebalan
yang disebabkan oleh infeksi HIV. AIDS-yang berhubungan dengan limfoma non
Hodgkin memberikan gambaran tidak seperti umumnya atau timbul di sisi yang tidak
umum dibandingkan dengan jenis limfoma non Hodgkin.
Virus Epstein-Barr adalah virus yang sering menyerang kebanyakan orang
pada suatu waktu tertentu dalam masa hidupnya, dan mengakibatkan infeksi singkat
atau demam glandular. Akan tetapi, dalam sejumlah kecil kasus ekstrim, ia dikaitkan
dengan limfoma Burkitt dan bentuk limfoma non Hodgkin yang berhubungan dengan
imunosupresi.
Human T-cell leukaemia-lymphoma virus-1 (HTLV-1), aslinya berasal dari
Jepang dan Karibia, juga suatu penyebab yang sangat jarang dari limfoma non
Hodgkin, terdapat suatu jarak antara infeksi virus dan timbulnya penyakit.
Infeksi bakterial lebih jarang dikaitkan dengan limfoma non Hodgkin
dibandingkan dengan infeksi virus. Akan tetapi, infeksi dengan Helicobacter pylori,
yang dapat menyebabkan tukak lambung dan menyerang lambung, dihubungkan
dengan bentuk limfoma yang jarang yang dikenal sebagai limfoma mucosaassociated lymphoid tissue (MALT), yang biasanya timbul di lambung. Antibiotik
untuk mengeradikasi infeksi bakteri sering menyembuhkan kondisi ini, jika diberikan
cukup dini.
Orang dengan imunosupresi, dimana sistim pertahanannya menurun,
menghadapi peningkatan risiko terserang limfoma non Hodgkin. Hal ini mungkin
9

karena kontrol multiplikasi sel B bergantung pada fungsi normal sel T. Jika fungsi sel
T menjadi abnormal, seperti pada kasus orang dengan imunosupresi, sel B dapat
berlipat ganda melalui suatu cara yang tidak terkontrol, meningkatkan peluang untuk
terserang penyakit ini.
Salah satu sebab utama imunosupresi adalah obat yang diberikan untuk
mencegah penolakan dari organ yang ditransplantasikan atau transplantasi sumsum
tulang. Pasien yang mendapatkan transplantasi organ mempunyai peningkatan risiko
menderita limfoma non Hodgkin.
2.4 Patofisiologi
2.4.1 Patogenesis AIDS
Dasar utama patogenesis HIV adalah menurunnya limfosit T yang
mengandung penanda CD4 (sel T4) dimana limfosit merupakan pusat dan sel utama
yang terlibat dalam menginduksi fungsi-fungsi imunologik. Partikel virus HIV dapat
ditemukan dalam produk darah dan sperma serta dapat menyebar melalui berbagai
cara. Cara transmisi virus HIV yang paling umum ialah melalui transmisi seksual.
Setelah masuk ke dalam darah, Human Immunodeficiency Virus memiliki
kecenderungan melekat dengan sel T4, karena sel ini memiliki reseptor dengan
afinitas yang tinggi terhadap virus ini. Setelah HIV mengikat diri pada molekul CD4,
virus masuk ke dalam sel target dan melepaskan materi genetiknya. Dengan bantuan
enzim reverse transcriptase, bentuk RNA diubah menjadi DNA yang kemudian akan
bergabung dengan DNA sel target. Selanjutnya sel yang berkembang biak akan turut
mengandung materi virus. Dengan demikian, infeksi oleh HIV bersifat irreversible
dan berlangsung seumur hidup.
Seseorang yang terinfeksi HIV dapat tetap tidak menunjukkan gejala
(asimtomatik) selama bertahun-tahun yang disebut sebagai periode laten.Waktu yang
diperlukan untuk masuknya virus ke dalam tubuh hingga munculnya AIDS sangat
lama, yakni 5 tahun atau lebih. Selama waktu ini, jumlah sel T CD4 mengalami
pengurangan sekitar 200-300 per ml darah setelah 2-3 tahun terinfeksi. Pada awal
perjalanan penyakit, tubuh dapat cepat menghasilkan sel T CD4 baru untuk
menggantikan CD4 sel T yang rusak. Pada tahap ini, lebih dari 10% CD4 sel T di
organ limfoid telah terinfeksi. Seiring dengan lamanya perjalanan penyakit, siklus
infeksi virus terus berlanjut yang menyebabkan kematian sel T dan penurunan jumlah
CD4 sel T di jaringan limfoid dan sirkulasi. Selama fase lanjutan (kronik) infeksi HIV
10

penderita akan rentan terhadap infeksi lain. Perjalanan penyakit ini akan berakhir pada
tahap yang mematikan yang dikenal sebagai AIDS. Pada keadaan ini, kerusakan
sudah mengenai seluruh jaringan limfoid dan jumlah CD4 sel T dalam darah turun
dibawah 200 sel/mm3 (normal 1500 sel/mm3). Dengan demikian penderita AIDS
rentan terhadap bermacam-macam penyakit seperti penyakit infeksi oportunistik dan
penyakit kanker seperti sarkoma Kaposi.7
2.4.2 Patogenesis Sarkoma Kaposi
Sarkoma Kaposi merupakan jenis kanker yang berasal dari pembuluh limfe
maupun darah dan pada umumnya terjadi di kulit dan permukaan mukosa. Pada
umumnya, Sarkoma Kaposi ditemukan pada orang berusia diatas 40 tahun. Pada
penderita AIDS, penyakit ini disebabkan karena adanya gangguan sistem kekebalan
tubuh/imunosupresi pada seseorang yang juga terinfeksi oleh virus tertentu Sarkoma
Kaposi terkait herpes virus (KSHV) atau Human Herpes Virus (HHV-8). Selain pada
penderita AIDS, Sarkoma Kaposi dapat pula ditemukan pada pasien transplantasi
organ yang menerima terapi imunosupresan.
Terdapat 4 varian Sarkoma Kaposi, yaitu sarcoma kaposi klasik (sporadik),
sarkoma kaposi terkait AIDS, Sarkoma Kaposi pada pasien imunosupresan, dan
sarkoma kaposi pada daerah endemik di Afrika. Sarkoma kaposi sporadik pada
umumnya terjadi pada pasien berusia lanjut dengan suku Mediteranian dan Eropa.
Penyakit ini terjadi karena imunosupresi oleh faktor umur, genetik, dan riwayat
pernah terkena keganasan. Sarkoma Kaposi terkait AIDS sering ditemukan pada lakilaki homoseksual. Biasanya terlihat sebagai nodul atau plak yang datar atau menonjol,
berbentuk lingkaran dan berwarna merah keunguan.8
Lesi Sarkoma Kaposi dapat ditemukan di kulit, saluran pencernaan seperti
rongga mulut, orofaring, esophagus, dan daerah perianal.11 Sarkoma Kaposi pada
rongga mulut banyak ditemukan pada palatum durum, palatum mole, gingival, dan
dorsal lidah. Sarkoma Kaposi pada rongga mulut terkadang dapat menjadi manifestasi
awal dari AIDS dan biasanya muncul pada pasien dengan kadar CD4 sel T yang
rendah, yaitu dibawah 200 sel/mm3.8 Lesi yang muncul pada umumnya jarang
memberikan keluhan, namun lesi di beberapa lokasi seperti area panggul dan kaki
dapat menimbulkan rasa nyeri. Lesi pada umumnya akan membaik setelah inisiasi
highly active antiretroviral therapy (HAART). Penggunaan HAART dalam kasus ini,
berkontribusi secara signifikan karena selain dapat memperbaiki sistem imun dan

11

meningkatkan CD4 sel T, namun juga dapat menurunkan jumlah viral load dimana hal
ini berpengaruh secara signifikan terhadap ukuran tumor.10
Lesi sarkoma kaposi berisi sel tumor dengan karakteristik bentuk memanjang
yang disebut sel spindel. Sarkoma kaposi disebabkan oleh proliferasi sel spindel
berlebihan yang berasal dari endothel akibat infeksi HHV-8. Sebagian besar sel
spindel akan mengalami infeksi HHV-8 secara laten. Kaposis sarcoma associated
herpes virus (KSHV) mengkode viral IL-6 (vIL-6) dan viral macrophage
inflammatory proteins (vMIP1, vMIP2, dan vMIP3) yang menstimulasi terjadinya
proliferasi sel spindel. Proliferasi sel spindel juga dipengaruhi oleh IL-6 dan basic
fibroblast growth factor. Selain itu, KSHV juga akan mengkode G-Protein-Coupled
Receptor yang akan menstimulasi pembentukan faktor angiogenik termasuk vascular
endothelial growth factor (VEGF). Selain itu, KSHV juga mengkode berbagai protein
homolog/ seluler yang berperan dalam regulasi siklus sel, inhibisi apoptosis, dan
modulasi sistem imun.12,13 Varian ketiga, adalah sarkoma kaposi pada pasien
imunosupresan. Kondisi ini terjadi pada pasien yang menjalani transplantasi organ
atau mendapatkan terapi imunosupresan seperti penderita penyakit autoimun. Hal ini
menjadi bukti bahwa keterlibatan imunosupresi memegang peran penting dalam
perkembangan sarcoma kaposi. Di Afrika, kanker ini dapat terjadi pada pria dan
wanita dengan HIV seronegatif.
2.4.3 Karsinoma sel skuamosa (KS)
Karsinoma sel skuamosa merupakan suatu tumor ganas yang berasal dari sel
epitel skuamosa. KSS umumnya ditemukan pada bibir, lidah, palatum mole, gusi, dan
bagian lainnya dalam rongga mulut. Terjadinya KSS merupakan proses yang bersifat
multifaktorial yang meliputi faktor ekstrinsik dan faktor intrinsik (genetika). Faktor
ekstrinsik yang berperan dalam terjadinya kanker mulut adalah tembakau, konsumsi
alkohol, gastroesophageal reflux disease (GERD), infeksi HPV, serta paparan
terhadap produk plastik, asbestos, dan gasolin. 52
Human Papilloma virus (HPV) merupakan suatu virus DNA sirkuler dan
merupakan anggota dari family papovaviridae, genus papillomavirus. HPV-16 dan
HPV-18 diketahui berkaitan dengan karsinoma sel skuamosa (KSS) pada rongga
mulut karena dapat menginduksi onkogensis dan gangguan fungsi TP 53 akibat
terjadinya abnormalitas genetik, dimana disfungsi dari TP 53 suppressor gene
berkaitan dengan progresivitas penyakit

47,50

Organisasi genom HPV terdiri dari 3

region yaitu early gene (E1-E7), late gene (L1 dan L2), dan upper regulating system
12

(URR). Daerah E1 dan E2 berperan untuk mengkode protein yang sangat penting
untuk replikasi ekstrakromosomal DNA. Protein E4 diekspresikan pada saat stadium
akhir infeksi ketika virion secara lengkap telah terbentuk. Sementara itu protein E6
dan E7 berperan untuk mengkode onkoprotein yang berperan dalam membantu
replikasi virus, imortalisasi, dan transformasi sel yang merupakan hospes dari DNA
HPV. Peningkatan ekspresi E6 dan E7 diketahui memicu terjadinya transformasi
keganasan sel hospes dan terbentuknya tumor. Di dalam karsinogenesis, E6 berikatan
dan mengaktivasi tumor suppressor p53, sedangkan E7 akan berikatan dan kemudian
mendegradasi tumor suppressor Rb (inaktivasi protein Rb). Dengan kata lain, infeksi
HPV akan menyebabkan hilangnya gen penekan tumor (tumor suppressor gene),
menghambat apoptosis serta melawan penuaan sel.51
2.4.4 Limfoma non-Hogdkin (NHL)
Pasien dengan infeksi HIV memiliki risiko lebih tinggi untuk terkena penyakit
keganasan limfoma non-hodkin (NHL). NHL sendiri merupakan suatu jenis
keganasan pada jaringan limfoid. Jaringan limfoid mencakup limfonodus, pembuluh
limfatik, serta terdapat pada berbagai organ seperti timus, tonsil , dan spleen.
Infeksi oleh virus EBV berkaitan erat dengan timbulnya berbagai jenis kanker,
terutama NHL. EBV merupakan virus dsDNA yang memiliki kapsid icosahedral dan
termasuk family Herpesviridae. Selain NHL, infeksi EBV juga berkaitan erat dengan
beberpa penyakit lain seperti limfoma sel T dan mononucleosis.48 EBV pada umumnya
ditularkan melalui air liur yang terinfeksi sehingga menyebabkan infeksi pada
orofaring. Terdapat 2 fase infeksi EBV yaitu litik dan laten. EBV menginfeksi sel
epitel di nasofaring dan sel limfosit B. Infeksi yang terjadi di sel epitel dalam fase litik
akan menghasilkan replikasi virus dan pelepasan virion dari sel. Sementara itu, infeksi
primer sel B akan menghasilkan infeksi laten dengan ekspresi 8 protein tanpa
produksi virion. Latensi dari sel B terinfeksi disebut sebagai sel limfoblastoid yang
bertransformasi (immortal) dan dapat bereplikasi tanpa batas.49 Pada infeksi laten,
terdapat beberapa gen EBV yang diekspresikan seperti 6 EBNA, 2 LMP, 2 Eber, dan
lain-lain yang berperan penting untuk transformasi sel B. Dengan demikian, EBV
mempunyai potensi onkogenik dan dapat mengubah sel terinfeksi menjadi ganas
melalui 2 mekanisme. Pertama, genom EBV dipertahankan dalam sel pejamu dengan
berintegrasi pada sel pejamu. Kedua, EBV mengekspresikan protein yang memiliki
homologi dengan protein anti-apoptosis sehingga proliferasi sel B terinfeksi menjadi
tidak terkendali.
13

2.5 Diagnosis
2.5.1 Karsinoma Sel Skuamosa
Karsinoma sel skuamosa oral (OSCC) biasanya tampak sebagai OPL berupa
erythroplakia (lesi berwarna merah), leukoplakia (lesi berwarna putih) dan speckled
leukoplakia (lesi berwarna merah dan putih) tanpa disertai gejala klinis lain. Dapat
juga ditemukan mukosa yang normal pada OSCC. Lesi erithroplakia pada 85% kasus
sering menunjukkan displasia berat atau keganasan. Sebaliknya lesi leukoplakia
jarang menunjukkan suatu displasia atau keganasan. Lesi speckled leukoplakia
cenderung merupakan lesi premalignant. Pemeriksaan biopsi dan histologi diperlukan
untuk melihat kemungkinan adanya suatu keganasan. Apabila terdapat suatu lesi ulkus
tunggal dan menetap lebih dari 3 minggu dapat dicurigai adanya suatu keganasan.
Angka harapan hidup selama 5 tahun sekitar 76-80% jika pasien didagnosa pada
derajat 1 dan 2. Diagnosis yang terlambat jika sudah stadium 3 atau 4 dapat
menurunkan angka harapan hidup 5 tahun menjadi 41%. Biasanya diagnosa OSCC
sering terlambat karena tanpa gejala klinis.28
2.5.1.1 Anamnesa29
Pada anamnesa dapat ditanyakan onset lesi itu timbul. Jika lesi sudah menetap
lebih dari 3 minggu dapat dicurigai suatu keganasan. Dapat ditanyakan pula faktor
risiko seperti merokok dan alkohol, diet sehari-hari. Apakah terlihat ada benjolan di
daerah leher. Ditanyakan juga riwayat pengobatan yang sudah diberikan.
2.5.1.2 Pemeriksaan fisik29,30
Pemeriksaan meliputi wajah, nodus limfatikus servikal, dan mulut. Pada mulut
dapat dilihat mulai dari bibir, lidah terutama bagian lateral, dan dasar dari mulut.
Pemeriksaan dasar mulut harus teliti. Mukosa mulut yang tampak normal dapat
dipalpasi untuk meraba apakah terdapat massa atau tidak. Jika terdapat OPL harus
diperhatikan bentuk ulkusnya, warnanya, kemerahannya, indurasi, dan kekasarannya.
Daerah tempat terjadinya oral karsinoma adalah di bibir bagian bawah, 1/3 lateral
lidah bagian tengah, dasar mulut (dapat menyebabkan pasien sulit berbicara),
premolar dan molar rahang bawah untuk karsinoma alveolar atau gingiva, dan daerah
retromolar untuk mukosa bukal.

14

Gambar 1. Lesi erythroplakia dan leukoplakia

Gambar 2. Pembesaran nodus limfatikus servikal


2.5.1.3 Pemeriksaan penunjang30
Oral exfoliative cytology
Menggunakan sampel yang diambil dari permukaan mukosa, bisa dengan
smear atau scraping, juga fine needle aspiration. Pewarnaan menggunakan
Papanicolau. Hasil dikatakan positif jika didapatkan adanya displasia epitel atau
karsinoma. Sensitivitas 76,8-100% dan spesifisitas 88,9%-100%.

15

Gambar 3. Exfoliative cytology


Brush biopsy
Menggunakan sikat khusus yang dapat menembus ketebalan mukosa dan
mengambil sel basal dan parabasal. Sensitivitas dan spesifisitas 71-100% dan 27-94%.

Gambar 4. Brush biopsy


Liquid based cytology (LBC)
Merupakan modifikasi dari teknik exfoliative cytology. LBC mengambil sampel,
tidak membuat smear, dan dimasukkan ke dalam tabung berisi cairan untuk
memfiksasi sampel. Kemudian carian disentrifugal dan diletakkan dalam slide kaca.
Suatu penelitian membandingkan penggunaan LBC dan exfoliative cytology dan
hasilnya LBC memberikan keuntungan dalam ketipisan, distribusi sel, dan tidak
adanya overlapping pada hasilnya. Sensitivitasnya 95,1% dan spesifisitasnya 99%.

Gambar 5.Liquid Based cytology

16

2.5.2 Sarkoma Kaposi38,39


Gambaran klinis dari Sarkoma Kaposi adalah, pada intraoral berupa makula
berwarna merah, biru,ungu, atau kadang-kadang berwarna coklat atau hitam,yang
kemudian membesar menjadi sebuah nodul atau ulkus. Hingga 95% lesi ini terjadi di
palatum, 23% di gingiva, dan lainnya terdapat di lidah atau mukosa bukal. Pada
ekstraoral, sarkoma kaposi biasanya menyebar luas pada kulit, gastrointestinal, dan
traktus respiratorius. Pada mulut, sarkoma kaposi berperan sebesar 30%, dan
merupakan 15% awal dari sarkoma kaposi yang berhubungan dengan AIDS. Lesi
pada mulut mudah rusak dengan digigit dan berdarah atau menderita infeksi sekunder,
dan bahkan mengganggu penderita untuk makan dan berbicara.

Gambar 6. Lesi Sarkoma Kaposi pada mulut

Gambar 7. Manifestasi klinis kanker mulut


2.5.3 Limfoma Non-Hodgkin42,43
Manifestasi rongga mulut jarang ditemukan pada limfoma Hodgkin, tetapi
lebih sering terkait dengan kasus Limfoma non Hodgkin dan ditemukan beberapa
predileksi pada mukosa pada palatum. Namun, secara umum

limfoma jarang

17

mengenai gusi. Limfoma non Hodgkin bermanifestasi pada rongga mulut dan rahang
dengan prevalensi 2-3%. Lesi pada rongga mulut berwarna merah (eritematous),
pembesaran tanpa rasa sakit, dan terdapat ulser sebagai akibat dari trauma sekunder.
Lokasi ulkus yang paling sering adalah pada lidah, palatum, gingiva, mukosa bukal,
bibir, dan orofaring.
Limfoma non Hodgkin primer dapat berkembang di setiap daerah yang ada
jaringan limfoidnya, termasuk kelenjar-kelenjar limfe leher, mandibula dan palatum.
Jika lesi primer mengenai palatum, maka keadaan tersebut kadang-kadang disebut
sebagai penyakit limfo proliferatif dari palatum. Palatum merupakan bagian yang
biasa ditempati lesi limfoma non-Hodgkin, yang merupakan manifestasi dari sebaran
penyakit dari tempat lain atau mungkin merupakan ekspreksi awal dari bentuk
menyeluruh. Lesi bercirikan pembengkakan fluktuan lunak, yang seringkali tumbuh
dengan cepat dan mengalami ulserasi. Limfoma primer dari palatum terjadi paling
umum pada usia diatas 60 tahun, tetapi dapat juga dijumpai pada pasien-pasien yang
lebih muda, terutama yang terkena AIDS. Limfoma primer dapat soliter atau berkaitan
dengan penyakit yang menyebar luas, meskipun biasanya muncul mendahului
penyakit yang menyebar. Secara klinis, lesi tersebut timbul di perbatasan palatum
keras dan lunak. Pembengkakan palatum yang tumbuh lambat itu umumnya tanpa
gejala, lunak, seperti busa, tanpa ulserasi dan jarang mengenai tulang palatum
dibawahnya. Permukaannya sering menggumpal dan berwarna merah muda sampai
biru-ungu. Pengenalan dini dan biopsi sangat penting, karena penyakit mungkin masih
terbatas di palatum pada ditahap dini
2.6 Terapi
Penatalaksanaan keganasan membutuhkan kerjasama multidisipliner mencakup
bedah, kemoterapi, radioterapi, imunoterapi, transplantasi stem sel. Terapi keganasan yang
sudah diterapkan sejak lama adalah pembedahan dan hingga saat ini terapi ini masih
merupakan salah satu terapi umum dalam kasus keganasan primer dengan massa solid.
Pembedahan diindikasikan pada keadaan dimana (1) adanya tumor yang menyerang jaringan
dan tulang, (2) saat perkiraan efek samping dari pembedahan lebih kecil dari pada efek
samping radioterapi, (3) untuk tumor-tumor yng tidak sensitif terhadap radioterapi dan (4)
untuk area tumor rekuren yang sebelumnya sudah mendapatkan radioterapi. Pembedahan
juga dilakukan untuk terapi paliatif seperti mengurangi massa tumor atau untuk membuat
drainase.
18

Dalam dekade terakhir terjadi kemajuan dalam bidang bedah mulut dan terlihat
dampaknya yang besar dalam tindakan bedah di area mandibula dan kelenjar limfe servikal.
Sebagai tambahan, anestesi yang lebih aman, ablasi tumor dengan frekuensi radio dan
radiosurgery membuka peluang dalam memberikan tatalaksana yang lebih efektif. Terapiterapi tersebut dikombinasikan dengan berbagai teknik rekonstruksi yang maju, memberikan
dampak perbaikan fungsional dan estetika yang jauh lebih baik dan meningkatkan kualitas
hidup penderita kanker.
Agen kemoterapi di rancang untuk memiliki toksisitas yang selektif terhadap sel-sel
tumor. Agen kemoterapi umumnya bersifat sitostatik dan sitotoksik untuk menghambat atau
menghancurkan sel-sel keganasan yang cepat membelah. Tidak seperti terapi bedah dan
terapi radiasi yang hanya dapat menangani lesi-lesi di daerah tertentu saja, keuntungan pada
kemoterapi adalah dapat mencapai target yang tersebar pada kanker yang bermetastasis.
Namun agen kemoterapi tidak dapat bekerja dengan sangat spesifik, agen-agen tersebut
juga menyerang sel-sel yang cepat membelah seperti sel-sel di sumsum tulang, sel folikel
rambut dan sel epitel pada saluran cerna. Beberapa obat yang umum digunakan pada kasus
keganasan rongga mulut adalah 5-florouracil, bleomisin, cisplatin, siklofosfofamid,
metotreksat dan vinblastin.
Salah satu terapi keganasan yang paling efektif adalah radioterapi. Terapi ini
memegang peranan penting dalam menangani keganasan pada area kepala dan leher. Jumlah
radiasi ditentukan berdasarkan letak lesi, jenis keganasan dan sensitivitas sel-sel normal di
sekitarnya. Umumnya sebagian besar keganasan kepala dan leher diberikan radiasi sebesar
2Gy per fraksi sebanyak satu kali sehari, lima kali seminggu selama lima hingga tujuh
minggu dengan dosis total sebesar 64-70 Gy.
Transplantasi stem sel, dikenal juga dengan transplantasi sumsum tulang memiliki
peranan penting dalam terapi keganasan seperti leukimia akut dan kronik, sindroma
myelodisplastik, gangguan myeloproliferatif, myeloma multipel dan limfoma non hodgkin.
Bagi pasien yang mengikuti terapi stem sel ini membutuhkan persiapan preoperatif yang
mencangkup pemberian siklofosfofamid dan iradiasi total untuk mencapai kondisi
imunosupresif sehingga dapat menerima transplantasi dengan baik. Walaupun terapi ini dapat
mencapai angka kesembuhan yang tinggi dan remisi dibandingkan dengan terapi alternatif
lainya, terapi ini dapat menyebabkan angka morbiditas dan mortalitas yang tinggi.31
Terapi kombinasi antara terapi operatif dan radioterapi digunakan dalam kasus tumor
tahap lanjut dan tumor yang menunjukan ciri agresif. Dengan terapi kombinasi angka harapan
hidup dapat meningkat. Dengan radioterapi sel-sel tumor pada daerah perifer yang
19

teroksigenasi dengan baik dapat dieradikasi, dan dapat mengatasi gangguan regional yang
tidak bergejala. Pembedahan digunakan untuk mengatasi sel-sel tumor yang tidak
teroksigenasi dengan baik seperti pada tulang. Radiasi dapat digunakan pada saat preoperatif,
intraoperatif atau post operatif. Keuntungan dari terapi radiasi preoperatif adalah
penghancuran sel-sel tumor perifer, untuk mengontrol gangguan subklinis, dan membuat lesi
inoperable menjadi operable. Kekuranganya adalah tertundanya waktu operasi dan
terhambatnya penyembuhan setelah operasi.44
2.6.1 Karsinoma Sel Skuamosa
Secara umum, tujuan dari pencegahan kanker adalah untuk mengurangi angka
insidensi dan kontrol dilakukan dengan deteksi dini dan memberikan terapi yang
efektif dan efisien. Dengan dilakukanya perubahan kebiasaan seperti berhenti
merokok, mengurangi konsumsi minuman beralkohol dan meningkatkan konsumsi
buah dan sayuran dapat mengurangi angka kejadian dari karsinoma sel skuamosa oral
sebesar 80%. Kontrol dapat ditingkatkan dengan memberikan edukasi pada
masyarakat mengenai faktor risiko, tanda dan gejala awal dari penyakit, dan
pemberitahuan mengenai bahaya menunda pemeriksaan medis jika sudah menemukan
tanda dan gejala tersebut.
Bagi tenaga medis, pemeriksaan mulut sebaiknya dimasukan sebagai bagian
dari pemeriksaan umum pasien sehingga dapat meningkatkan keberhasilan dari
deteksi dini pada karsinoma sel skuamosa.
Terapi karsinoma sel skuamosa secara umum membutuhkan kerjasama
multidisiplin. Tujuan utama terapi adalah untuk menghilangkan kanker, untuk
mencegah terjadinya rekurensi, dan mengembalikan fungsi dari organ.
Pembedahan merupakan terapi first line untuk lesi karsinoma sel skuamosa
oral yang kecil. Namun untuk lesi advanced umumnya dilakukan terapi kombinasi
mulai dari pembedahan, kemoterapi, dan radioterapi. Pada kasus-kasus rekurensi,
pemberian epitelial growth factor receptor (EGF-R) inhibitor dibantu dengan
kemoterapi merupakan pilihan utama terapinya.
Pada terapi bedah, reseksi karsinoma oral dengan batasan bebas tumor <5 mm
memiliki angka rekurensi yang besar sehingga harus diikuti dengan kemoterapi.
Adanya sel-sel epitel pada area postreseksi biasanya bukan merupakan indikasi dari
dilakukanya terapi lanjutan.
Sebesar 20-30% kasus dengan reseksi oral karsinoma yang adekuat (>5 mm)
akan mengalami rekurensi. Hal ini mungkin disebabkan karena dua hal yaitu pertama,
20

adanya sel-sel karsinoma yang tertinggal, namun jumlahnya terlalu kecil untuk dapat
dideteksi dengan pemeriksaan histopatologis; yang kedua, area yang terlihat bersih
secara mikroskopik mungkin mengandung sel-sel prekanker tahap awal. Sel-sel ini
dapat terlihat normal dibawah mikroskop namun memiliki sitogenetik yang sudah
berubah seperti hilangnya heterosigositas dan mutasi dari p53. Atau adanya perubahan
metilasi dari promotor tumor suppresor gen dan DNA repair gen. Marker yang
menandai adanya sel-sel prekanker masih belum ditemukan, disamping itu karena
hanya 30% kasus yang mengalami rekurensi, terapi terhadap lesi prekanker tidak
dianjurkan karena dapat merugikan bagi 70% penderita yang mungkin tidak
mengalami rekurensi.
2.6.2 Limfoma Hodgkin
Terapi sistemik untuk limfoma yang paling sering digunakan diserluruh dunia
adalah kombinasi dari doxorubicyn, bleomicyn, vinblastine, dacarbazine (ABVD).
Saat ABVD diberikan pada pasien dengan HIV-HL sebelum era antiretroviral
kombinasi, hasilnya tidak terlalu mamuaskan. Sebesar 62% dari total pasien memiliki
overall survival (OS) hanya 1.5 tahun. Walaupun sebagian besar dari pasien memiliki
kondisi berisiko tinggi pada saat terdiagnosis seperti karsinoma stage IV, metastasis
ke sum-sum tulang, dan gejala sistemik seperti demam (>38 oC selama 3 hari berturutturut atau lebih), penurunan berat badan dan keringat malam, hasil tersebut masih
merupakan yang hasil yang paling minimal yang bisa diharapkan. Pada penelitian
yang dilakukan Errante dkk (1994), terlihat bahwa walaupun semua pasien telah
menerima terapi granulocyte-colony-stimulating factor (G-CSF), lebih dari setengah
pasien ini mengalami neutropenia yang signifikan sehingga harus menunda
pengobatan, dan insidensi dari infeksi oportunistiknya meningkat walaupun sudah
diberikan antibiotik profilaksis, sebesar 29% pasien mengalami infeksi berat selama
penelitian. Pada pasien HIV-Limfoma Hodgkin (HL) yang diberikan epirubicin,
bleomycin, vinblastine sebelum pemberian terapi antiretroviral kombinasi didapatkan
respon yang lebih baik namun OS memendek. Respon yang sedikit meningkat namun
disertai dengan OS yang lebih pendek didapatkan saat pemberian epirubisin,
bleomisin, dan vinblastin diberikan pada pasien HIV-HL sebelum introduksi dari
cART, namun sebagian besar responder merupakan pasien yang memiliki kondisi
umum yang lebih baik dan tanpa riwayat infeksi oportunistik. Penurunan respon
karena pengurangan dosis dan penundaan, peningkatan risiko penyakit dan

21

peningkatan morbiditas dan mortalitas yang terkait dengan terapi semua memiliki
peran dalam menyebabkan hasil yang kurang baik pada era ini.
Pengenalan dan berkembangnya terapi cART meningkatan kontrol infeksi
HIV, perbaikan status imun, dan kondisi umum pasien sehingga dapat diberikan
kemoterapi kombinasi dengan dosis penuh yang intensif sehingga hasil terapi HIV-HL
juga mengalami peningkatan. Seperti yang telah dipaparkan sebelumnya pengenalan
cART memberikan peningkatan hasil pada pasien dengan HIV dengan limfoma. 45
Terapi optimum untuk HL tahap awal masih kontrovesial dan masih banyak aspek
sedang diteliti lebih lanjut. Terapi kombinasi dengan kemoterapi dan radiasi selama
ini menjadi perawatan standar, namun komplikasi dari radioterapi seperti keganasan
sekunder dan penyakit paru dan jantung maka dipertimbangkan untuk mengganti
terapi dengan terapi tunggal kemoterapi, dan diharapkan memberikan hasil yang lebih
baik pada pasien-pasien dengan pertimbangan tertentu.
Peningkatan hasil pada pasien HIV-HL menunjukan pentingnya perbaikan
status imunologis dan kondisi umum dan kemampuan untuk memberikan terapi dosis
penuh yang sesuai jadwal.
2.6.3 Karsinoma Kaposi
Terapi antiretroviral (ART atau yang juga dikenal dengan HAART) merupakan
dosis kombinasi yang terdiri dari stavudine (40mg), lamivudine (150 mg) dan
Nevirapine (200 mg) terbukti meningkatkan kualitas hidup dari penderita HIV dan
mengurangi keganasan yang disebabkan karena infeksi virus seperti sarkoma kaposi
dan limfoma non hodgkin.
Pasien HIV dengan karsinoma kaposi oral memiliki angka mortalitas yang
lebih tinggi dibandingkan dengan pasien dengan lesi karsinoma kaposi kutaneus.
Diperkirakan terdapat sekitar 22% pasien dengan lesi awal karsinoma kaposi di
daerah oral, dan sekitar 71% pasien HIV dengan karsinoma kaposi akan membentuk
lesi di oral.34
Terapi first line untuk karsinoma kaposi stadium lanjut adalah liposomal
anthracyclines yang memiliki efek yang lebih jika dikombinasikan dengan Highly
Active Antiretroviral Therapy (HAART). Terapi ini menunjukan respon dan toleransi
yang lebih baik jika dibandingkan dengan kemoterapi saja. Pegylated liposomes
dikembangkan

untuk

meningkatkan

efikasi

dan

standar

keselamatan

dari

anthracyclines dengan meningkatkan stabilitas obat di dalam plasma, memperpanjang


waktu sirkulasi dan meningkatkan difusi kedalam sel-sel tumor. Sampai saat ini
22

pegylated liposomal doxorubicin (PLD) ditambah dengan HAART memberikan


respon >70% dengan tingkat toksisitas yang rendah.34
2.6.4 Anti retroviral terapi terhadap infeksi Human Papiloma Virus
Pada penelitian-penelitian sebelumnya didapatkan bahwa terapi ART
berhubungan dengan meningkatnya lesi oral dan kulit. Hal tersebut mungkin
disebabkan karena pada dasarnya terapi ART diindikasikan pada individu dengan
perjalanan penyakit HIV yang lebih buruk.
Peran ART pada infeksi HPV serviks dan lesi skuamosa sudah banyak diteliti.
Beberapa penelitian menyebutkan bahwa tidak ada perbedaan persistensi HPV serviks
dan progresi dari lesi epitel skuamosa pada pasien dengan terapi ART dan yang tidak
mendapat terapi ART, dan beberapa penelitian terbaru menunjukan bahwa ART
menurunkan angka kejadian HPV serviks, menurunkan angka kejadian lesi epitel
skuamosa dan meningkatkan regresi dari lesi tersebut. Namun jika terapi ART tidak
dapat mengembalikan imun spesifik HPV-oral, maka terapi tersebut tidak dapat
menghambat peningkatan insidensi infeksi HPV oral pada pasien HIV-positif,
sehingga keganasan yang disebabkan oleh infeksi HPV masih merupakan ancaman
bagi penderita HIV.35
2.7 Komplikasi
Komplikasi oral berhubungan dengan terapi kanker adalah somatitis, infeksi,
perdarahan, mukositis, nyeri, kehilangan fungsi, dan serostomia. Mukosa, jaringan
periodontum, dan gigi adalah lokasi yang paling sering terjadi komplikasi.
Menurut Huang dkk, pada umumnya keganasan pada area mulut terjadi di paru-paru,
hepar, dan tulang. Paru-paru juga menjadi tempat metastasis yang paling umum pada
keganasan yang disebabkan oleh infeksi HPV oral, metastasis keganasan karena HPV lainya
adalah kulit, dan otak dan kelenjar limfe intra abdomen.32
2.7.1 Komplikasi karena terapi
Bedah
Terdapat banyak komplikasi jangka panjang yang berhubungan dengan terapi operatif pada
area mulut seperti keterbatasan berbicara, mastikasi dan gangguan menelan, kerusakan nervus
kranialis, terbentuknya fistula dan gangguan estetika.

23

Kemoterapi
Kemoterapi sudah dikenal memiliki berbagai efek samping karena tidak hanya berefek pada
sel-sel kanker namun juga berbagai sel-sel normal. Komplikasi yang ditimbulkan dapat
berupa mukositis, nyeri, infeksi, perdarahan, xerostomia dan gangguan neurologis dan nutrisi.
Radioterapi
Jaringan orofasial yang mungkin dapat terkena dampak dari radioterapi adalah jaringan
mukosa, kelenjar liur, tulang, gigi dan sendi temporomandibular. Komplikasi dapat terjadi
akut maupun kronik. Xerostomia merupakan gejala yang paling sering muncul. Hal ini terjadi
karena adanya dampak radioterapi pada kelenjar liur sehingga produksi menurun.31
2.8 Diagnosa Banding53,54

24

Gambar 8. Hemangioma Oral


Gambar 12. Mononukleosis
infeksiosa

Gambar 9. Angiomatosis Basiler


Gambar 14. Erythroplakia

Gambar 10. Limfoma Hodgkin


Gambar11. Leukoplakia

25

Gambar 13. Lichen Planus

2.9 Prognosis
2.9.1 Karsinoma Sel Skuamosa
Perjalanan penyakit karsinoma sel skuamosa tidak dapat di prediksi. Namun
jika dikaitkan dengan staging TNM, tumor stage awal biasanya memiliki angka
harapan hidup yang tinggi. Prognosisnya paling baik saat tumor primer yang
ditemukan masih kecil dan tidak ditemukan tanda-tanda dari keterlibatan kelenjar
limfe regional dan metastasis. Angka harapan hidup pada pasien dengan karsinoma sel
skuamosa tahap awal berdasarkan staging TNM rata-rata dapat mencapai 80-90%,
sedangkan pada tahap lanjut (advance staging) hanya sekitar 40%.32 Penelitian Singh
dkk pada tahun 1996 menyatakan bahwa pasien dengan HIV positif memiliki
karsinoma sel skuamosa stadium lanjut pada saat terdiagnosis dan memiliki angka
harapan hidup yang lebih buruk (57% angka harapan hidup 1 tahun dan 32 % angka
harapan hidup 2 tahun) dibandingkan dengan pasien HIV negatif ( 74% dan 59% ).33

26

Tabel 1. Sistem staging TNM untuk kanker pada bibir dan mulut

Pada saat terdiagnosis, sekitar dua per tiga kasus memiliki karsinoma sel
skuamosa oral sudah berukuran besar dan sudah bermetastasis ke kelenjar limfe
servikal yang dapat dideteksi secara klinis. Kelenjar limfe yang terdeteksi kenyal dan
tidak nyeri, dan jika terdapat penyebaran ekstrakapsular, benjolan tersebut bersifat
27

immobile. Penting untuk diketahui bahwa sekitar 20-40% kasus tidak menunjukan
tanda-tanda metastasis kelenjar limfe regional pada pemeriksaan radiologis, namun
pada pemeriksaan histologis kelenjar limfe ditemukan adanya pertumbuhan dari
metastasis. Adanya penyebaran ekstrakapsuler dari kelenjar limfe berkaitan dengan
rekurensi lokal dan regional yang tinggi, metastasis jauh dan mortalitas. Sekitar 8%
dari pasien dengan karsinoma sel skuamosa oral saat terdiagnosis sudah memiliki
metastasis jauh dan yang tersering ke paru-paru.
Faktor yang harus diperhatikan pada waktu diagnosis karsinoma sel skuamosa
oral adalah adanya metastasis ke kelenjar limfe regional, ukuran (dimensi permukaan)
dan kedalaman (radius infiltrasi lokal) dari karsinoma, anatomi oral, dan grading
histopatologis dari karsinoma tersebut. Setelah terapi, faktor yang mempengaruhi
angka harapan hidup adalah bersih atau tidaknya area reseksi dari sel-sel kanker,
karena hal tersebut mempengaruhi kemungkinan terjadinya rekurensi pada area
tersebut. Jika ditemukan sel kanker pada batas daerah operasi memiliki risiko
rekurensi yang terbesar. Risiko terjadinya rekurensi juga meningkat pada kasus
dimana reseksi bebas sel kanker hanya kurang dari 5 mm atau terdapat sel-sel
displastik pada batas operasi.
Karsinoma sel skuamosa pada bibir, palatum durum dan gingiva maksila
jarang bermetastasis ke kelenjar limfe regional, umumnya lesi pada daerah ini bersifat
indolen dan memiliki prognosis yang baik, sedangkan lesi pada lidah, dasar mulut,
dan gingiva mandibular sering bermetastasis ke kelenjar limfe regional, bersifat lebih
agresif dan memiliki prognosis yang kurang baik. Secara umum, lesi karsinoma sel
skuamosa pada regio posterior mulut lebih sering bermetastasis ke kelenjar limfe dan
memiliki prognosis yang lebih buruk dibandingkan lesi pada regio anterior.
Selama ini diduga karsinoma sel skuamosa yang berkembang dari lesi
leukoplakia memiliki prognosis yang lebih baik dibandingkan lesi de novo, namun
penelitian Weijers dkk pada tahun 2008 menunjukan bahwa prognosisnya tidak jauh
berbeda.32
2.9.2 Limfoma Non-Hodgkin
HIV-HL pada era moderen muncul pada usia pertengahan dekade ketiga atau
kurang lebih setelah 7.5 tahun terdiagnosis HIV. Pada kurang lebih seperempat kasus
pasien telah terlebih dahulu didiagnosis menderita AIDS.
Sebelum ditemukanya cART, prognosis HIV-HL buruk dengan hanya sedikit
pasien yang dapat sembuh dari penyakitnya. Beberapa faktor prognostik yang
28

terdidentifikasi adalah subtipe MC, keikutsertaan jaringan ekstranoduler, adanya


gejala sistemik seperti demam, keringat malam dan penurunan berat badan, dan
tingginya angka International Prognostic Score (IPS). Pengembangan terapi cART
secara signifikan mengubah perjalanan dan risiko pada penderita HIV-HL. Penelitian
oleh grup GESIDA di spanyol yang membandingkan 83 pasien dengan HIV-HL yang
diterapi dengan cART dengan 21 pasien dengan HIV-HL yang tidak diterapi dengan
cART, kedua kelompok tersebut memiliki risiko yang sama di awal namun seiring
dengan berjalanya pengobatan, kelompok yang menerima cART memiliki hasil yang
lebih baik dengan angka remisi total yang lebih tinggi (91% dibandingkan dengan
70%) dan dengan rerata OS yang lebih lama. Jumlah CD4 >100/L dan penggunaan
cART diasosiasikan dengan hasil yang lebih baik.45
2.9.3 Sarkoma Kaposi46
Terdapat beberapa faktor yang menentukan prognosis pada sarkoma kaposi
(KS), seperti tempat predileksi, usia, dan kondisi umum, fungsi imun dan responnya
terhadap terapi antiretroviral. Komite onkologi AIDS Clinical Trial Group (ACTG)
telah mengeluarkan kriteria untuk mengevaluasi epidemi sarkoma kaposi. Stagingnya
dilakukan berdasarkan pengukuran dari perkembangan penyakit, tingkat keparahan
imunidefisiensi pasien, dan ada atau tidaknya gejala sistemik. Seiring dengan
berkembangnya terapi HIV meningkat juga harapan hidup penderita. Awal dari
epidemi AIDS, prognosis pasien dengan KS sangat buruk, dengan angka harapan
hidup dalam 5 tahun setelah terdiagnosis <10%. Angka tersebut meningkat seiring
berjalanya waktu dan data terakhir menunjukan angka harapan hidup 5 tahun sebesar
72%. Penyebab kematian pasien dengan KS biasanya tidak disebabkan oleh KS
namun sering disebabkan karena penyakit lainya.

29

Tabel2. ACTG staging untuk sarkoma Kaposi

30

BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
3.1 Kesimpulan
Berbagai faktor berkontribusi terhadap terjadinya kanker di rongga mulut seperti
riwayat merokok, alkohol, genetik, HPV dan faktor lainnya. HIV yang menyebabkan
penurunan ketahanan imun juga dapat meningkatkan insiden terjadinya kanker di rongga
mulut, di antaranya Sarkoma Kaposi, limfoma non-Hodgkin dan karsinoma sel skuamosa.
Walaupun Sarkoma Kaposi dan karsinoma sel skuamosa dapat terjadi di seluruh saluran
pencernaan, namun rongga mulut khususnya gingiva menjadi lokasi dengan insiden
terbanyak. Diagnosa dan terapi sedini mungkin diperlukan untuk meningkatkan prognosis
pasien, oleh karena itu berbagai lesi di rongga mulut perlu dikuasai oleh dokter umum
sebagai dokter layanan primer.
3.2 Saran
Perlu dilakukan penelitian lanjutan mengenai faktor kontributor terjadinya keganasan
di rongga mulut serta regimen terapi yang efektif dalam meningkatkan kualitas hidup
penderita.

31

Daftar Pustaka
1. Departemen Kesehatan Republik Indonesia.2012. Estimasi dan Proyeksi HIV/AIDS
di Indonesia Tahun 2011-2016. Jakarta: Direktorat Pengendalian Penyakit dan
Penyehatan Lingkungan, Kementrian Kesehatan Republik Indonesia.
2. Purgina B, Pantanowitz L, Seethala RR. Carcinomas Arising in The Hand dan Neck
Region in HIV-Positive Patients. Head and Neck Oncology. 2012; 4(28): 1-12.
3. Jaffe HW, Stavola BLD, Carpenter LM, Porter K, Cox DR. Immune reconstitution
and risk of Kaposi Sarcoma and Non-Hodgkin Lymphoma in HIV infected adults. J.
Prosthet. Dent. 2011; 25: 1395-1403.
4. Kashou AH, Agarwal A. Oxidant and Antioxidants in the Pathogenesis of HIV/AIDS.
The Open Reproductive Science Journal 2011;3: 154-161
5. Long JL, Engels EA, Moore RD, Gebo KA. Incidence and outcomes of malignancy in
the HAART era in an urban cohort of HIV-infected individuals.PMC 2008
6. Pantanowitz L, Carbone A, Stebbing J. AIDS-Related Pathology. Pathology Research
International 2011
7. Suhaimi D, Savira M, Krisnadi SR. Pencegahan dan Penatalaksanaan Infeksi
HIV/AIDS Pada Kehamilan. Bandung Medical Journal 2010; vol 41, no 2
8. Vieira F, Somerville J, Kennedy KL. Oral Kaposis Sarcoma in HIV Positive Patients.
A Case Report and A Review of Literature. J AIDS Clin Res 5: 349.
9. Khammisa RA, pantanowitz L, Feller L. (2012) Oral HIV-Associated Kaposis
Sarcoma: A Clinical Study from the GA-Rankuwa Area, South Africa. AIDS Res
Treat 2012 : 873171
10. Lanternier F, Lebbe C, Schartz N, Farhi D, marcelin AG, et al. (2008) Kaposis
Sarcoma in HIV-negative men having sex with men. AIDS 22: 1163-1168
11. American cancer society. October 2011
12. Sugiharto S. Manfaat HAART pada penderita HIV dengan keganasan. Ebers papyrus
v0l 14. Desember 2009
13. Ganem D. KSHV and the pathogenesis of kaposi sarcoma : listening to human
biology and medicine. J clin invest. 2010; 120(4):939-949
14. Syrjanen S. Human papilloma virus (HPV) in head and neck cancer. J Clin Virol
2005; 32: (suppl) 59-66.

32

15. Reddout N, Christensen T, Bunnell A et al. High risk HPV types 18 and 16 are potent
modulators of oral squamous cell carcinoma phenotypes in vitro. Infectious Agents
and Cancer 2007; doi: 101186/1750-9378-2-21.
16. Neville BW, Day TA. Oral cancers and precancerous lesions. CA cancer J Clin 2002;
52: 195- 215.
17. Silverman S Jr, Shillitoe EF. Etiology and Predisposing Factors. In: Silverman S Jr ed.
Oral Cancer, 4th ed. Hamilton, Ontario, Canada: BC Decker Inc; 1998, 7-24
18. Sawyer DR, Wood NK. Oral cancer: Etiology, recognition and management. In The
Dental Clinics of North America. Topics in Oral Dignosis I, eds. DAmbrosia JA,
Fotos PG. 1992; 36: 919-944.
19. Andre K, Schraub S, Mercier M, et al. Role of alcohol and tobacco in the aetiology of
head and neck cancer: A case-control study in the Doubs region of France. Oral
Oncol, Eur J Cancer 1995; 31B: 301-309.
20. Harris C, Warnakulasuriya KAAS, Gelbier S, Johnson NW, Peters TJ. Oral and dental
health in alcohol misusing patients. Alcohol Clin Exp Res 1997; 21: 1707-9.
21. Johnson NW. Tobacco use and oral Cancer: a global perspective. J Dent Educ 2001;
65: 328- 339
22. Rennie JS, MacDonald DG, Dagg JH. Quantitative analysis of human buccal
epithelium in iron deficiency anaemia. J Oral Pathol 1982; 11: 39-46.
23. van Zuuren EJ, de Visscher JGAM, Bouwes Bavinck JN. Carcinoma of the lip in
kidney transplant recipients. J Amer Acad Dermatol 1988; 38: 497-499.
24. de Visscher JG, Bouwes Bavinck JN, van der Waal I. Squamous cell carcinoma of the
lip in renal-transplant recipients. Report of six cases. Int J Oral Maxillofac Surg 1997;
26: 120-123.
25. Flaitz CM and Silverman S Jr. Human immunodeficiency virus (HIV)-Associated
Malignancies. In Silverman S Jr (ed) Oral Cancer, 4th ed. Hamilton, Ontario, Canada:
BC Decker, Inc., 1998:
165-170.
26. Flaitz CM, Nichols CM, Adler-Storthz K, et al. Intraoral squamous cell carcinoma in
human immunodeficiency syndrome virus infection. A clinicopathologic study. Oral
Surg Oral Med Oral Pathol Oral radiol Endod 1995; 80: 55-62
27. Eisenberg E. Oral lichen planus: A benign lesion. J Oral Maxillofac Surg 2000; 58:
1278-1285.

33

28. Pektas , Z.., A. Keskin, . Gnhan, and Y. Karsliog lu. 2006. Evaluation of nuclear
morphometry and DNA ploidy status for detection of malignant and premalignant oral
lesions:

quantitative

cytologic

assessment

and

review

of

methods

for

cytomorphometric measurements. J Oral Maxillofac surg 64 (4):628-635.


29. Sankaranarayanan, R., K. Ramadas, G. Thomas, R. Muwonge, S. Thara, B. Mathew,
and B. Rajan. 2005. Effect of screening on oral cancer mortality in Kerala, India: a
clusterrandomised controlled trial. The Lancet 365 (9475):1927-1933.
30. Downer, M.C., D.R. Moles, S. Palmer, and P.M. Speight. 2004. A systematic review
of test performance in screening for oral cancer and precancer. Oral oncol 40 (3):264273.
31. Wong HM. Oral Complication and Management Strategies for Patients Undergoing
Cancer Therapy. The Scientific World Journal. 2014. Id 581795; p14
32. Feller L, Lemmer J. Oral Squamous Cell Carcinoma: Epidemiology, Clinical
Presentation and Treatment. Journal of Cancer Therapy. 2012; 3, p 263-8
33. Epstein JB. Oral Malignancies Associated with HIV. Journal of The Canadian Dental
Association. 2008. vol 3; 10
34. Razia AG, Liron P, Feller L. Oral HIV-Associated Kaposi Sarcoma: A Clinical Study
from the Ga-Rankuwa Area, South Africa. AIDS Resreach and Treatment.2012. id
873171; p 9
35. Daniel C, Beachler, DSouza G. Oral HPV infection and head and neck cancers in
HIV-infected individuals. Curr Opin Oncol. 2013. 25(5): 503510. doi:10.1097
36. Antman K, Chang Y. Kaposis Sarcoma. The New England Journal of Medicine.
2000. 14. 1027 1038.
37. Tschachler E. Kaposi Sarcoma. In : Fitzpatricks Dermatology In General Medicine.
Vol 1. Seventh Edition. New York : The McGraw-Hill Companies ; 2008. Pg. 1183
1188.
38. Rugo SH. Cancer. In : Current Medical Diagnosis & Treatment. 45 th Edition. New
York : McGraw-Hill ; 2006.
39. Restrepo CS, et al. Imaging Manifestations of Kaposi Sarkoma. RadioGraphics. 2006.
26. 1169 1185.
40. Sudarmanto M, Sumantri AG. Limfoma Maligna. Dalam: Buku Ajar Hematologi
Onkologi. IDAI. Ed-3. Jakarta: 2012. h. 248-54.
41. Ballentine JR. Non Hodgkin Lymphoma. Jan 20, 2012 (Cited March 31th, 2015).
Available at http://emedicine.medscape.com/article/203399-overview

34

42. Scully, C. Almeida, OPA, Bagan, J. Et al. Oral Medicine and Pathology at a Glance.
Oxford: Wiley Blackwell. 2010: 19; 39
43. John, PR.Text Book of Oral Medicine Ed. 2nd. India:Jaypee Brother Medical
Publisher. 2005: 92-93
44. Greenberg M, Glick M, Ship JA. Burkets Oral Medicine. 11th ed. BC Decker inc.
2008. p163-171
45. Jacobson CA, Abramson JS. HIV-Associated Hodgkins Lymphoma: Prognosis and
Therapy in the Era of cART. Advances in Hematology. 2012. Id 507257
46. American Cancer Society. Kaposi Sarcoma; Survival of patients with Kaposi sarcoma.
2014. www.cancer.org/cancer/kaposisarcoma/detailedguide/kaposi-sarcoma-survival
47. Oliveira DE, Bacchi MM, Macarenco RS, Tagliarini JV, dkk. Human Papillomavirus
and Epstain-Barr Virus Infection, p53 Expression, and Cellulr Proliferation in
Laryngeal Carcinoma. Am J Clin Pathol 2006:126:284-293
48. Brennan B. Carcinoma nasopharyngeal. Orphanet Journal of Rare Diseases, 2006;1
(23) ; 1-5. Available from :
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/pmid/16800883/?tool=pubmed
49. Alex Tselis and Hal B. Jenson. Epstein-Barr Virus. New York: Taylor & Francis
Group ; 2006
50. Lopes V, Murray P, Williams H, Woodman C, Watkinson J, Robinson M. squamous
cell carcinoma of the oral cavity rarely harbours oncogenic human papillomavirus.
Oral Oncol. 2011 Aug; 47(8):698-701
51. Li G, Huang Z, Chen X, Wei Q. Role of human papillomavirus and cell-cycle-related
variants in squamous cell carcinoma of the oropharynx. J Biomed Res 2010 Sep; 24
(5):339-346
52. Head and neck cancer. College of American Pathologist. 2011.
53. Intelegent Dental. Infectious Mononucleosis: The Kissing Disease.
http://www.intelligentdental.com/2010/04/20/infectious-mononucleosis-the-kissingdisease/
54. Kumar, Abbas, &Fausto. 2005. Phatologic Basic of Diseases 7th Edition.
Philadelphia : Elsevier&Saunders

35

Anda mungkin juga menyukai