Anda di halaman 1dari 7

KEAMANAN DAN EFIKASI TETES HIDUNG FENILEFRIN

PADA BRONKHIOLITIS

ABSTRAK
Objektif:

Bronkhiolitis adalah infeksi saluran pernafasan bawah yang paling sering terjadi
pada tahun pertama kehidupan. Pada bronkhiolitis, infeksi saluran pernafasan
atas dalam patogenesisnya berhubungan dengan kongesti nasal, distres pernafasan
dan hipoksia. Studi ini dilakukan untuk mengidentifikasi efek tetes hidung
fenilefrin sebagai dekongestan pada penatalaksanaan kasus bronkhiolitis ringan
sampai sedang.

Metode:

Penelitian ini bersifat double blind randomized trial dengan 100 partisipan anak
berumur 4 minggu sampai 12 bulan yang dibagi menjadi 2 grup. Grup
pertama diberi 0,1 ml fenilefrin 0,5% dan grup kedua diberi 0,1 ml NaCl 0,9%
sebagai plasebo pada kedua lubang hidung. 30 menit sebelum intervensi,
dilakukan penilaian laju respirasi, denyut jantung, saturasi oksigen,
dispnea, retraksi dan wheezing.

Hasil:

Setelah medikasi, saturasi oksigen dam retraksi otot pernafasan di grup pertama
membaik secara signifikan dibanding grup kedua.

Kesimpulan: Fenilefrin sebagai dekongestan topikal adalah terapi yang aman, terjangkau,
mudah didapat dan sesuai untuk terapi bronkhiolitis ringan sampai sedang.

PENDAHULUAN
Bronkhiolitis akut adalah infeksi saluran pernafasan bawah yang sering terjadi pada tahun
pertama kehidupan dan menjadi penyebab rawat inap bayi terbanyak selama musim dingin.
Respiratory Syncytial Virus (RSV) adalah penyebab tersering. Di sisi lain belum ada kemajuan
terapi penyakit ini.
Keterlibatan saluran pernafasan atas pada bronkhiolitis meliputi kongesti nasal, asupan
makanan yang tidak adekuat, dehidrasi, distres pernafasan dan hipoksemia. Untuk itu, nasal
dekongestan dapat meringankan gejala yang berhubungan dengan obstruksi saluran nafas atas.
Fenilefrin sebagai alfa-agonis diduga dapat mengurangi edema nasal.

Efek epinefrin, inhalasi furosemide, inhalasi salin hipertonik, xylometazolin, fenilefrin,


deksametason dan zinc sulfat telah dinvestigasi untuk tatalaksana bronkhiolitis. Akan tetapi,
satu-satunya terapi yang non-kontroversial adalah terapi suportif.
Hasil studi efek a-blocker sebagai dekongestan masih kontroversial. Untuk itu, peneliti
mencoba untuk membandingkan efek fenilefrin intranasal (sebagai dekongestan) dengan NaCl
0,9% (sebagai plasebo).

SUBJEK DAN METODE


Studi klinis Double blind randomized dilakukan di Rumah Sakit Ali-Ebne-Abitaled,
Zahedan, Iran Selatan. Semua pasien yang berumur 4 minggu sampai 12 bulan dengan diagnosa
klinis bronkhiolitis virus berdasarkan episode awal wheezing dengan infeksi virus saluran
pernafasan atas. Suara wheezing diperiksa oleh dokter dengan stetoskop dan terdengar pada akhir
ekspirasi atau saat ekspirasi. Oksigenasi dilakukan dengan menggunakan head box untuk
meningkatkan saturasi oksigen hingga lebih dari 90%.
Kriteria eksklusi pada studi ini:
1) Usia kehamilan kurang dari 34 minggu
2) Denyut jantung lebih dari 200 x/menit
3) Laju respirasi lebih dari 70 kali/menit
4) Penggunaan - atau -agonis selama 24 jam sebelum intervensi
5) Hipotensi
6) Penyakit kronik
7) Riwayat atopi pada garis keturunan atas pertama
8) Kasus yang mengarah pada kistik fibrosis dan gejala-gejala bronkiolitis berat.

Staf medis yang terlibat dalam penelitian ini dibutakan. Kedua cairan dibuat tidak
berbau dan berwarna, lalu diberi label A dan B. Berdasarkan permuted-block randomization,
pasien dialokasikan untuk mendapat tetes fenilefrin 0,5% [A] atau tets NaCl 0,9% [B] di kedua
lubang hidung dengan posisi supinasi (terlentang) dan posisi dipertahankan selama 1 menit.
Grup kasus [A] dan grup kontrol [B] masing-masing menerima terapi rutin bronchiolitis:
-

Oksigenasi
Salbutamol spray
Nasal suction
Nebulisasi
Grup kasus mendapat penambahan fenilefrin 0,5% sebanyak 1 tetes di tiap lubang

hidung, dimana pada grup kontrol juga ditambahkan NaCl 0,9%. Saturasi oksigen, laju respirasi,
denyut jantung, retraksi, dispnea dan wheezing dievaluasi oleh investigator yang sama 30 menit
setelah intervensi.
Dispnea dijabarkan sebagai 1 atau lebih hal berikut: kesulitan untuk makan,
berkurangnya vokalisasi dan atau agitasi. Retraksi dinilai dengan: tidak ada retraksi, retraksi
interkostal, atau retraksi subkostal + interkostal.
Untuk menentukan ukuran sampel, rata-rata laju respirasi diambil dari 43 pasien grup
kasus dan 42 pasien dari grup kontrol dengan 1,6 sebagai standar deviasi. 5% dan 20% tipe 1 dan
II masing-masing mengalami kesalahan. Untuk itu, ukuran sampel dikalkulasi menjadi 50 pasien
di tiap grup.
Analisis data dilakukan dengan SPSS (versi 16) menggunakan Kai kuadrat (Chi-square),
Wilcoxon, Kruskal-Wallis dan sampel independen t-test. Level signifikansi diperkirakan 95%
dari confidence interval.
HASIL
107 pasien (38% laki-laki) yang berusia antara 4 minggu hingga 1 tahun (rata-rata usia
6.02 3.2 bulan) dipilih sebagai partisipan pada studi ini. Tujuh pasien dikeluarkan karena
prematuritas (2 kasus), bronchiolitis berat (2 kasus) atau penyakit jantung kongenital (1 kasus).
Pada pemeriksaan awal, tidak ditemukan perbedaan signifikan pada kedua grup
berdasarkan data demografik seperti: denyut jantung, laju respirasi, saturasi, retraksi, wheezing

dan dyspnea (Tabel 1) 30 menit setelah intervensi, grup kasus [A] (P=0,004) menunjukkan
penurunan signifikan derajat retraksi (Tabel 2)
Perbandingan data menunjukkan saturasi oksigen yang meningkat secara signifikan pada
grup kasus dan derajat retraksi dan wheezing menurun. (P<0,0001 dan P=0,006) (Tabel 3). Tidak
tampak perbedaan statistik untuk tiap parameter pada grup B sebelum dan sesudah medikasi
(Tabel 4). Tidak terdapat efek samping pasca pemberian dekongestan.

DISKUSI

Studi ini menunjukkan efek fenilefrin (nasal dekongestan) lebih efektif dibandingkan
cairan fisiologis NaCl 0,9% (plasebo) untuk terapi bronkiolitis akut dan menurukan derajat
keparahan penyakit. Alfa-adrenergik memiliki efek vasokontriksi dan mengurangi aliran darah
dalam kapiler, sehingga mengurangi resistensi aliran udara dengan mengurangi hiperemi, edema
mukosa, eksudasi plasma dan sekresi nasal. Pada rhinitis alergi, dekongestan oral dan topikal
berdampak pada vasokonstriksi mukosa nasal dimana inflamasi dan resistensi aliran udara
berkurang sehingga pernafasan menjadi lebih baik.
Terdapat cakupan yang luas dalam manajemen bronkhiolitis, tetapi studi mengenai efek
nasal dekongestan terhadap penanganan bronkhiolitis pada anak masih terbatas. Menurut
American Academy of Pediatrics, manfaat agen -adrenergik atau -adrenergik sebagai terapi
bronkhiolitis masih kontroversial. Sehingga, terapi pilihan -adrenergik atau -adrenergik perlu
diteliti lebih jauh.
Pada sebuah studi, nasal dekongestan xylometazolin sama efektifnya dengan epinefrin
dalam terapi bronkiolitis akut, sehingga dapat disimpulkan penyakit infeksi saluran nafas atas
memiliki peran penting pada manifestasi klinis dan patogenesis brokhiolitis. Studi lain menilai
efek dekongestan fenilefrin pada bayi yang dirawat inap terhadap status respirasi tidak berubah
setelah pemakaian jangka pendek. Hal ini menunjukkan perlunya perhatian pada kriteria inklusi
dan eksklusi, orangtua pasien yang tidak koordinatif dan kurangnya personil pada akhir minggu
dan malam hari.
Pemeriksaan seperti radiografi dan tes antigen virus dapat diaplikasikan untuk
mengkonfirmasi diagnosis, meskipun diagnosa klinis sudah ditentukan. Berdasarkan studi yang
dilakukan, fenilefrin dinyatakan aman dan tidak berefek samping pada penggunaan jangka
pendek. Kekambuhan kongesti nasal tidak tampak pada dosis tunggal tetapi memungkinkan
untuk kambuh pada dosis berulang.
Penilaian jangka pendek terhadap efek fenilefrin sebagai dekongestan menjadi limitasi
studi ini. Studi lebih lanjut mengenai penggunaan dekongestan berulang dibutuhkan untuk
menentukan dosis yang sesuai, durasi terapi, dan pemantauan jangka panjang untuk validasi efek
sistemik dan lokal serta efek rebound jika ada.
KESIMPULAN

Fenilefrin intranasal (dekongestan -adrenergik) sebagai kombinasi terapi suportif


bronkhiolitis didapatkan aman, terjangkau, dan efektif untuk bronkhiolitis viral ringan sampai
sedang pada pasien rawat inap maupun rawat jalan. Studi lebih lanjut diperlukan untuk
menentukan dosis optimal dan masa interval untuk mendapatkan efek yang maksimal.

Anda mungkin juga menyukai