Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN
Dengan kemajuan pengetahuan dibidang pengobatan survival five years rate penderita LES
bisa mencapai 90% sehingga kehamilan pada penderita LES tidak dapat dihindarkan.
Penderita LES diperbolehkan hamil tetapi dengan syarat penyakitnya harus dalam fase tenang
dan harus mendapat pengawasan. Kehamilan pada LES merupakan kehamilan risiko tinggi.
Diketahui bahwa kehamilan normal memberikan beberapa perubahan pada tubuh, yang mana
perubahan-perubahan ini dapat mencetus aktivitas penyakit LES, meningkatkan resiko
kehamilan pada penderita LES terutama dengan gangguan fungsi ginjal atau jantung, serta
adanya autoantibodi pada ibu yang mungkin dapat menembus plasenta atau bahkan
mempengaruhi pertumbuhan plasenta. Jadi jelaslah bahwa kehamilan pada SLE bisa
berdampak buruk pada ibu maupun janinnya sendiri. Resiko pada ibu antara lain
memberatnya penyakit lupus, sedangkan pada janin dan menimbulkan abortus, partus
prematur, kematian janin intrauterin, gangguan pertumbuhan serta kongenital lupus.
Pengelolaan kehamilan dengan SLE diperlukan kerjasama antara spesialis penyakit dalam
konsultan reumatologi, spesialis kebidanan dan spesialis anak perinatologi dengan harapan
mendapatkan hasil kehamilan yang baik.(1)

BAB II
LUPUS ERITEMATOUS SISTEMIK
2.1. Epidemiologi (2)
Prevalensi LES adalah 5 berbanding 100 per 100,000 individu, tergantung dari
populasi studi. LES terutama terjadi pada usia reproduksi antara 15 40 tahun, dengan rasio
wanita dan laki-laki 5 : 1, dengan demikian terdapat peningkatan kejadian kehamilan dengan
LES ini. Dari berbagai laporan kejadian LES ini tertinggi di Negara Cina dan Asia Tenggara.
Sedangkan Indonesia, RS Dr Soetomo Surabaya melaporkan 166 penderita dalam 1 tahun
( Mei 2003 April 2004). Dari 2000 kehamilan dilaporkan sebanyak 1-2 kasus LES. (2)
2.2. Patogenesis (2)
Sampai saat ini belum jelas mekanisme terjadinya LES ini. Interaksi antara faktor
lingkungan, genetik dan hormonal yang saling terkaitkan menimbulkan abnormalitass respon
imun pada tubuh penderita LES. Beberapa faktor pencetus yang dilaporkan menyebabkan
kambuhnya LES adalah stress fisik maupun mental, infeksi, paparan ultraviolet dan obatobatan. Obat-obatan yang diduga mencetuskan SLE adalah procainamine, hidralazin, quidine
dan sulfazalasine. Pada LES ini sel tubuh sendiri dikenali sebagai antigen. Target antibodi
pada LES ini adalah sel beserta komponennya yaitu inti sel, dinding sel, sitoplasma dan
partikel nukleoprotein. Karena didalam tubuh terdapat berbagai macam sel yang dikenali
sebagai antigen maka akan muncul berbagai macam autoantibodi pada penderita LES. Peran
antibodi ini dalam menimbulkan gejala klinis belum jelas diketahui, beberapa ahli
melaporkan kerusakan organ atau sistem bisa disebabkan oleh efek langsung antibodi atau
melalui pembentukan kompleks imun. Kompleks imun akan mengaktivasi sistem komplemen
untuk melepaskan C3a dan C5a yang meransang sel basofil untuk membebaskan vasoaktif
amin seperti histamine yang menyebabkan peningkatan permeabilitas vaskuler yang akan
memudahkan mengendapnya kompleks imun. Pembentukan kompleks imun ini akan

terdeposit pada organ atau sistem sehingga menimbulkan reaksi peradangan pada organ atau
sistem tersebut. Sistem komplemen juga akan menyebabkan lisis selaput sel sehingga akan
memperberat kerusakan jaringan yang terjadi. Kondisi inilah yang menimbulkan manifestasi
klinis LES tergantung dari organ atau sistem mana yang terkena. Pada plasenta proses
tersebut akan menyebabkan vaskulitis desidua.(2)
2.3. Manifestasi Klinis (2, 3,4)
Penderita LES umumnya menegeluh lemah, demam, malaise, anoreksia dan berat
badan menurun. Pada penyakit yang sudah lanjut dan berbulan-bulan sampai tahunan barulah
akan menunjukkan manifestasi gejala klinis yang lebih spesifik dan lengkap serta cenderung
melibatkan multi organ. Manifestasinya bisa ringan sampai berat yang dapat mengancam
jiwa. Persentase spektrum klinis LES tampak pada tabel dibawah ini.(2)
Sistim Organ

Manifestasi klinis

Persen (%)

Sistemik
Muskuloskeletal
Hematologik

Lemah, demam, anoreksia, penurunan berat badan


Arthralgia, mialgia, poliarthritis, miopati
Anemia, hemolisis, leukopenia, trombositopenia,

95
95
85

Kulit

antikoasalan lupus
Ras kupu-kupu, ruam kulit, fotosensitiviti, ulkus

80

Neurologik

mulut, hopesia, ras kulit


Disfungsi kongitif, ganguan berpikir, sakit kepala,

60

Cardiopulmonar

kejang
Pleuritis, pericarditis, miocarditis, endocarditis Libman

60

Ginjal
Gastrointestinal
Thrombosit
Mata
Kehamilan

Sacks
Proteinuria, sindroma neprotik, gagal ginjal
Anoreksia, mual, nyeri , diare
Venus (10%), arteri (5%)
Infeksi konjungtif
Abortus berulang, preeklampsia, kematian janin dalam

60
45
15
15
30

rahim
Tabel 1- Manifestasi Klinis LES

Gambar 1- Manifestasi Klinis

2.4. DIAGNOSIS (2,3,4)


Untuk menegakkan diagnosis LES hendaknya dilakukan anamnesis dan pemeriksaan
fisik serta penunujang diagnosis yang cermat sebab manifestasi LES sangat luas dan
seringkali mirip dengan penyakit lainnya. Diagnosis LES dapat ditegakkan berdasarkan
gambaran klinis dan laboratorium. American College of Rheumatology (ACR) , mengajukan
11 kriteria untuk klasifikasi LES, dimana bila didapatkan 4 kriteria sahaja maka diagnosis
LES sudah dapat ditegakkan . Kriteria tersebut adalah : (2,4)

The 1997 Revised Criteria of American Rheumatism Association for Systemic Lupus
Erythematosus (4)
Criteriaa

Comments

Malar rash

Malar erythema

Discoid rash

Erythematous patches, scaling, follicular plugging

Photosensitivity

Skin rash as a result of unusual reaction to sunlight , by patient history or


physician observation

Oral ulcers

Usually painless

Arthritis

Nonerosive involving two or more peripheral joints

Serositis

Pleuritis (pleuritic pain, evidence of pleural effusion) or pericarditis

Renal disorder

Proteinuria greater than 0.5 g/day or > 3+ dipstick, or cellular casts red
cell, haemoglobin, granular, tubular or mixed

Neurological

Seizures or psychosis without other cause (e.g., uremia, ketoacidosis, or


4

Criteriaa

Comments

disorders

electrolyte imbalance)

Hematological
disorders

Hemolytic anemia, leukopenia (< 4,000/ uL on 2 or more occasion),


lymphopenia( < 1500/uL on 2 or more occasion), or
thrombocytopenia(<100,000/uL in absence of drugs)

Immunological
disorders

Anti-dsDNA or anti-Sm antibodies, or false-positive VDRL, IgM or IgG


anticardiolipin antibodies, or lupus anticoagulant

Antinuclear
antibodies

Abnormal titer of ANAs


Tabel 2 Kriteria LES

VDRL = Venereal Disease Research Laboratory.


a

If four criteria are present at any time during course of disease, systemic lupus can be diagnosed with 98percent specificity and 97-percent sensitivity.

2.5 PEMERIKSAAN ANTIBODI PADA LES (2,3)


Diagnosis LES didasarkan pada gejala klinis yang mendukung, dipastikan dengan
adanya autoantibodi yang ada dalam sirkulasi, banyak sekali autoantibodi yang telah dikenal
dan berhubungan dengan LES . Autoantibodi yang baik dalam mendiagnosis LES adalah
yang berhubungan langsung terhadap nuklear antigen, yaitu antinuklear antibodi (ANA).
Fenomena sel LES tidak lagi penting dalam diagnosis LES, telah digantikan dengan
imunofluorescent assays untuk ANA. Nilai ANA yang positif dapat diinterpretasikan pada
berbagai tingkatan tergantung pola ikatannya. Empat pola dasar ikatan tersebut adalah
homogenous,peripheral,speckled dan nucleolar. Ikatan homogenous ditemukan pada 65%
penderita LES, sedangkan ikatan periferal adalah ikatan yang paling spesifik untuk LES
walaupun tidak terlalu sensitif. Pola ikatan speckled dan nucleolar lebih spesifik terhadap
penyakit autoimun yang lain.
Antibodi terhadap

double stranded (native) DNA (dsDNA) adalah yang paling

spesifik terhadap LES dan ditemukan pada 80-90-% penderita yang tidak diobati. Kehadiran
ataupun titer anti -dsDNA dikaitkan dengan aktifitas LES beberapa penelitian telah
membuktikan bahwa peningkatan titer anti-DNA mendahuluin lupus flares pada lebih dari
5

80% penderita peningkatan kadar antibodi ini telah dikaitkan dengan eksaserbasi penyakit
dan prematuritas dalam kehamilan. Berikut merupakan beberapa autoantibody yang
dihasilkan pada pasien LES ( dikutip dari Cunningham) (3).
Antibodi
Antinuclear

Incidency (%)
95

Clinical Assocations
Multiple antibodies, repeated
negative test make lupus
Unlikely
Associated with nephritis and
clinical actively

Anti-DNA

70

Specific for lupus

Ant-Sm

30

Polimyositis, scleroderma,

Anti-RNP

40

lupus, mixed connective


tissue disease

Anti Ro (SSA)

30

Sjorgen Syndrome,
cutaneous lupus, neonatal

Anti-La(SSB)

10

lupus.
Always with anti- Ro;

Antihistone

70

Sjogrens syndrome
Common in drug-induced

Anticardiolipin

50

lupus (95%)
Antiphospolipid antibody;
increased thrombosis,
Spontaneous abortion; early
preeclampsia plasental
infarction; fetal death;
prolonged partial

thromboplastin
Antierythocytic
Antiplatelet

60

time; false positive VDRL

Overt hemolysis uncommon


Thrombocytopenia

Tabel 3 Antibodi pada LES

Antibodi terhadap single-stranded DNA (ssDNA) juga ditemui pada persentase yang
cukup tinggi pada penderita LES yang tidak

diobati, tetapi kurang spesifik

jika

dibandingkan dengan anti-ds DNA. Penderita LES j(nRNP), Ro/SSA juga mempunyai
antibodi terhadap RNA yang meliputi Sm antigen, nuclear ribonucleoprotein (nRNP),Ro/SSA
antigen dan La/SSB antigen.
2.6. PENGARUH KEHAMILAN TERHADAP LES (2,3)
Masih belum dapat dipastikan apakah kehamilan dapat mencetuskan LES, eksaserbasi
LES pada kehamilan tergantung dari lamanya masa remisi LES, keterlibatan organ-organ
vital seperti ginjal dan jantung. Penderita LES yang telah mengalami remisi lebih dari 6 bulan
sebelum hamil mempunyai resiko 25% eksaserbasi pada saat hamil dan 90% hasil
kehamilannya baik. Tetapi sebaliknya bila masa remisi LES sebelum hamil kurang dari 6
bulan maka resiko eksaserbasi pada saat hamil menjadi 50% dengan hasil kehamilan yang
buruk. Apabila kehamilan terjadi saat LES aktif maka resiko kematian janin 50-75% dengan
angka kejadian kematian ibu menjadi 10 %. Dengan meningkatnya umur kehamilan maka
resiko eksaserbasi juga meningkat , yaitu 13% pada trimester I, 14 % pada trimester II, 53%
pada trimesterIII serta 23% pada masa nifas. Dari berbagai laporan dapat diketahui bahwa
10% dari penderita LES aktif masih dapat mengalami kehamilan. Walaupun demikian
terjadinya eksarsebasi LES selama kehamilan dan menyebabkan bertambah tingginya tingkat
7

mortalitas dan morbiditas ibu terutama pada masa peripartum. Pada suatu penelitian
retrospektif, telah dibuktikan bahwa eksarsebasi LES dalam kehamilan 3 kali lebih besar
pada 20 minggu kehamilan dan 6 kali lebih besar pada 8 minggu post partum. Beberapa ahli
mengganggap bahwa kehamilan mempresipitasi timbulnya LES, dimana kematian yang
terkait dengan penyakit tersebut secara bermakna lebih tinggi. Hal ini merupakan alasan
sebagian ahli bahwa penderita dengan LES tidak diperbolehkan untuk hamil. Dewasa ini para
klinisi menganggap bahwa sesungguhnya hal ini tidak tepat, dimana diagnosis dan
penatalaksanaan LES saat ini telah lebih baik. Penelitian baru-baru ini telah menunjukkan
bahwa 150,605 wanita dengan LES akan mengalami eksarsebasi selama kehamilan dan masa
post partum.
Pada suatu penelitian telah membuktikan bahwa tidak ada perbedaan bermakna flare
score antara kelompok kasus dan kelompok kontrol. Peneliti yang sama mengikuti kehamilan
80 wanita dengan LES, disimpulkan bahwa kejadian eksarsebasi LES dengan kehamilan
kurang dari 25% dan sebagian besar dengan klinis yang ringan. Jika hanya menggunakan
gejala dan tanda yang spesifik untuk LES, maka kejadiannya hanya 13%.
2.7. PENGARUH LES TERHADAP KEHAMILAN (3,4,5,6)
Nasib kehamilan penderita LES sangat ditentukan dari aktifitas penyakitnya, konsepsi
yang terjadi pada saat remisi mempunyai hasil kehamilan yang baik. Beberapa komplikasi
kehamilan yang bisa terjadi pada kehamilan yaitu, kematian janin meningkat 2-3 kali
dibandingkan wanita hamil normal, bila didapatkan hipertensi dan kelainan ginjal maka
mortalitas janin menjadi 50%. Kelahiran prematur juga bisa terjadi sekitar 3050 %
kehamilan dengan LES sebagian besar akibat preeklamsia atau gawat janin. Infark plasenta
yang terjadi pada penderita LES dapat meningkatkan resiko terjadinya pertumbuhan janin
terhambat sekitar 25% demikian juga resiko terjadinya preeklamsia, eklamsia meningkat
sekitar 25-30% pada penderita LES yang disertai lupus nefritis.

1. Hipertensi gestasional dan preeclampsia (4,6)


Hipertensi dan preeklampsi pada wanita hamil LES muncul 20% -30%. Preeklampsi berlaku
dalam 7 dari 19 (39%) wanita dengan lupus nefritis, dibandingkan dengan 15 dari 106 (14%)
tanpa lupus nefritis. Faktor prediposisi lain ialah hipertensi kronik, sindrom antifosfolipid dan
penggunanan steroid yang lama. Berikut merupakan tabel untuk membedakan preeklamsia
dan LES.
Test

Preeclampsi

SLE

a
Serologic
-Decreased

++

+++

complement

++

+++

++

++

++

-Thrombocytopenia

++

-Leukopenia

+++

-Elevated Ba or Bb
fragments with low
CH50
-Elevated

anti-

dsDNA
-Antithrombin

III

deficiency
Hematologic
-Microangiopathic
hemolytic anemia
-Coombs

positive

hemolytic anemia

Renal
-Hematuria

--

+++

-Cellular casts

++

++

++

++

++

-Elevated

serum

creatinine
-Elevated
serum

ratio

blood

of

urea

nitrogen/ creatinine
-Hypocalciuria
Liver transaminase

Tabel 4 Perbedaan Preeklampsi dan LES

2. Kematian janin (3,4,6)


Mekanisme dari kematian janin ini belum jelas, namun diduga berhubungan dengan disfungsi
plasenta dan peningkatan yang tidak dapat dijelaskan dari alfa fetoprotein serum pada wanita
hamil. Pada tiga penelitian retrospektif, kematian janin dikatakan berkisar 8 40 %.
Didapatkan bahwa angka kematian janin pada wanita hamil dengan LES lebih tinggi secara
bermakna (21%) dibandingkan dengan wanita hamil tanpa LES (14%). Pada penderita LES,
kematian janin dihubungkan dengan adanya antibodi antifosfolipid. Pada sebuah penelitian
yang melibatkan 21 orang wanita dengan LES, didapatkan bahwa antibodi antifosfolipid
merupakan indikator yang paling sensitif untuk kematian janin. Pada penelitian kedua yang
dilakukan oleh peneliti yang sama dijumpai bahwa antifosfolipid ada pada 10 atau 11 wanita
dengan kematian janin, dan nilai prediksi positif antibodi antifosfolipid adalah diatas 50%.
Penelitian lain menyebutkan bahwa adanya antibody antifosfolipid dan riwayat kematian
janin memberikan angka prediksi kematian janin diatas 85% pada wanita LES. Beberapa
penulis percaya bahwa suatu penyakit ginjal yang menyertai LES mempunyai efek terhadap
kelangsungan kehidupan janin. Aborsi spontan terjadi sebanyak 26% .
10

3. Persalinan preterm (3,4)


Persalinan preterm nampaknya terjadi lebih sering pada penderita LES dibandingkan wanita
dengan kehamilan normal. Pada suatu penelitian yang mencatat usia kehamilan pada saat
kelahiran, didapatkan nilai median dari 30% kelahiran adalah sebelum 37 minggu (kisaran 373%). Sebenarnya ada banyak faktor perancu lain seperti adanya tendensi ahli kebidanan
untuk melahirkan janin yang telah dianggap matur secepatnya. Persalinan preterm pada LES
nampaknya dikaitkan dengan kejadian

SLE flare . Pada suatu penelitian kasus kontrol

berskala besar, didapatkan hasil bahwa persalinan preterm lebih sering pada kelompok LES
dibandingkan dengan kontrol (12% vs 4%) . Sebagai tambahan, pecah ketuban sebelum
waktunya lebih sering dijumpai pada kehamilan dengan penyulit LES.
4. Kelainan Pertumbuhan Janin(4)
Berdasarkan kenyataan bahwa wanita hamil penderita LES dapat mengidap preeklampsi,
sindroma antifosfolipid atau keduanya, tidaklah mengejutkan bila terjadi kejadian kelainan
pertumbuhan janin. Pada suatu penelitian yang dilakukan oleh Mintz dkk., menemukan
bahwa 20 dari 86 (23%) kehamilan diatas 20 minggu menghasilkan janin dengan kelainan
pertumbuhan, termasuk 4 kasus kematian janin. Hanya 4% dari kelompok kontrol yang
melahirkan janin dengan gangguan pertumbuhan.
5. Lupus Neonatal
Neonatal lupus erythematosus (NLE) adalah gangguan yang jarang,disebabkan oleh aliran
transplasenta dari autoantibodi ibu yang LES. Manifestasi klinis yang paling umum adalah
jantung, kulit, dan hati. Gejalanya adalah ruam kulit,kelainan hati, defek hati, kelainan kulit
seperti LES. Mereka mungkin seperti mengalami urtikaria, deskuamasi, atau ulserasi.
Terdapat juga kelainan irama jantung dan kelainan konduksi. Gangguan hematologi misalnya,
anemia hemolitik, trombositopenia mendalam, neutropenia dapat terjadi dalam 2 minggu
pertama kehidupan.

11

Gambar 2-Neonatal Lupus Eritematous (8)

Maternal and Perinatal Effects of Systemic Lupus Erythematosus

Outcome

Description

Maternal
Lupus flare

Overall a third flare during pregnancy


Flare can be life threatening (1 in 20 chance)
Flares associated with worse perinatal outcomes
Prognosis worse if antiphospholipid antibodies present
Increased incidence common with nephritis

Preeclampsia

Controversial if incidence is increased

Preterm labor

Increased

Perinatal
Preterm delivery

Increased with preeclampsia

Growth restriction

Increased

Stillbirth

Increased, especially with antiphospholipid antibodies

Neonatal lupus

About 10% incidence (transient except for heart block)


Table 5 Efek LES pada maternal dan fetal

2.8. MANEJEMEN LES PADA KEHAMILAN (2,3)


A. Masa pra kehamilan
Idealnya wanita dengan LES yang ingin hamil harus terlebih dahulu menjalani konseling
pra kehamilan. Pada saat itu harus dijelaskan masalah obstetrik yang akan timbul jika wanita
tersebut hamil, termasuk resiko kematian janin, persalinan preterm, preeklampsi dan
12

gangguan pertumbuhan janin. Perhatian khusus juga diberikan terhadap kemungkinan


timbulnya sindroma antifosfolipid dan lupus neonatal. Evaluasi laboratorium prekonsepsi
termasuk penilaian penyakit ginjal ( anlisis urin, kreatinin dan urin 24 jam untuk klearens
kreatinin dan protein total) dan aPLs. Penderita yang hendak hamil harus berada dalam fase
remisi dan tidak sedang menggunakan obat-obatan sitotoksik dan OAINS sebelum terjadi
konsepsi,juga harus dinilai apakah penderita menderita anemia, trombositopenia, penyakit
ginjal dan antibodi antifosfolipid.(3)

B. Prenatal
Penderita LES yang hamil harus melakukan pemeriksaan ke ahli kebidanan setiap 1-2
minggu pada trimester satu dan dua, dan setiap minggu setelahnya. Pada setiap kunjungan,
penderita harus dianamnesis mengenai gejala atau tanda aktivitas LES. Dianjurkan
pemeriksaaan fisik dan penunjang seperti pemeriksaan tekanan darah, urinalisis,
perbandingan kreatinin- protein, GFR, dan antibodi aPL. Sesetengah ahli, memeriksa rutin
antibodi anti Ro/SS-A dan anti La/SSB, anti-dsDNA dan komplemen C3 dan C4.
C. Persalinan
Manejemen kehamilan dengan LES pada persalinan, adalah kelanjutan dari ANC .
Eksaserbasi bisa timbul pada proses persalinan dan diperlukan penatalaksanaan kotikosteroid
akut. Pemberian glukokortikoid perlu diberikan saat persalinan atau saat section secarean
terhadap pasien dengan pengobatan steroid kronik. Hidrokortison intravena diberi dalam tiga
dosis 100 mg setiap 8 jam.
D. Postnatal
Terapi pemeliharaan perlu dimulai setelah persalinan, dosisnya adalah dosis yang
sama waktu hamil. Perubahan dosis bisa dilakukan sesuai kondisi pasien.

13

Management Options of Systemic Lupus Erythematous (3)


Preprenancy

Establish good control of SLE; adjust maintenance medications.


Discontinue azathioprine and cyclophosphamide if possible and only under careful

supervision; avoid methotrexate.


It is not necessary to discontinue hydroxychloroquine.
Laboratory assesement for anemia, thrombocytopenia, renal disease, antiphospholipid

antibodies ( antiphospholipid).
Counsel patient regarding risk ( exacerbations, preeclampsia , fetal/ neonatal.)
Prenatal

Provide multidisciplinary care.


Encourage early prenatal care.
Obtain a dating scan.
Obtain frequent antenatal checks : every 2 weeks in the first and second trimesters,

weekly in third trimester.


Maintain vigilance for SLE flare, preeclampsia, IUGR.
For SLE patients with renal involvement, perform baseline 24-hr urine collections for

creatinine clearance and total protein ; repeat as clinically indicated.


Labor and delivery

Deliver at term; avoid post dates.


Continuous fetal heart rate monitoring.
Intravenous glucocorticosteroids for delivery in patients who have received

maintenance or steroid bursts during pregnancy.


Post natal

Monitor for SLE exacerbation.


Restart maintenance therapy.
Check neonate for SLE manifestations.
Tabel 6 - Manajemen LES pada kehamilan

2.9. PENGOBATAN LES PADA KEHAMILAN.(3,4,6)


Penatalaksanaan optimal tidak harus

memerlukan evaluasi serologis untuk

hipokomplementania, kompleks imun yang bersirkulasi atau sekadar autoantibodi, selama


penderita asimtomatik.

14

Modalitas utama dalam pengobatan LES adalah penggunaan kortikosteroid, obat


antiinflamasi non steroid (OAINS), aspirin, antimalaria dan imunosupresan. Akan tetapi
untuk penggobatan LES dalam kehamilan terdapat kecenderungan untuk tidak memberikan
penggobatan secara polifarmakoterapi

dan pemberian obat harus dimulai pada dosis

serendah mungkin yang masih bermanfaat untuk penekanan aktivitas LES.


1. Kortikosteroid
Kortikosteroid memiliki peran yang sangat penting dalam pengobatan LES pada
kehamilan. Tanpa kortikosteroid sebagian besar penderita LES yang hamil akan mengalami
eksarbasi selama kehamilannya sampai pada masa postpartum. Jika penderita LES
mengalami eksarsebasi akut selama masa kehamilan, penggunaan kortikosteroid dalam dosis
adekuat harus segera diberikan sampai 6 bulan postpartum untuk menekan aktivitas penyakit.
Penggunaan kortikosteroid tertentu seperti prednison, prednisolon, hisrokortison dan
kortisol dalam jangka panjang oleh ibu selama hamil umumnya relatif aman dalam
kehamilan. Diperkirakan hanya 10% dari dosis yang diterima oleh ibu akan melintasi
plasenta dan sampai kepada janin. Sedangkan penggunaan deksametason dan beta metason
hendaknya dihindari penggunaannya selama kehamilan dikarenakan kemampuannya yang
lebih besar dalam melintasi plasenta. Pemberian steroid juga akan menstimulasi pematangan
paru janin pada janin yang preterm.
Pada wanita hamil yang hanya menunjukkan gejala konstitusional yang ringan atau
yang tidak menunjukkan keterlibatan organ vital, misalnya arthritis, ruam kulit ataupun
alopesia umumnya hanya memerlukan terapi prednison oral 5-15 mg/hari. Untuk penderita
yang mengalami demam, serositis, flebitis dan miositis, dapat diberikan prednison 15-45
mg/hari. Untuk pengobatan kelainan organ vital yang aktif seperti nefritis dan serebritis,
diperlukan prednison oral dosis tinggi sebesar 1mg/kg/bb/hari atau 60-80 mg/hari.

15

Untuk penderita yang tidak memberikan respon dapat diberikan metilprednisolon 100
mg intravena setiap

4-8 jam. Jika 24-48 jam keadaan tidak membaik, maka dosis

metilprednisolon dapat ditingkatkan sampai 25-100% dari dosis awal. Pada keadaan dimana
terdapat kegawatan dimana efek sistemik yang berat dapat diberikan steroid dengan dosis
yang sangat tinggi dalam waktu singkat. Cara ini dikenal sebagai pulse steroid therapy,
walaupun umumnya efektif tetapi cara ini akan memberikan efek samping yang berbahaya.
Steroid dosis tinggi juga diberikan pada penderita LES yang akan menjalani seksio sesaria,
dapat diberikan metilprednisolon intravena sampai 48 jam pasca operasi untuk kemudian
dilakukan tapering off.
2. Salisilat dan OAINS
Penggunaan salisilat seperti yang dilaporkan oleh Lewis dan Schulman (1973) akan
menyebabkan postmaturitas, persalinan yang lama dan perdarahan yang relatif lebih banyak
selama persalinan jika diberikan dalam dosis lebih dari 50 mg selama 6 bulan. Tuner dan
Collins dalam penelitiannya menunjukan peningkatan bayi berat lahir rendah pada
penggunaan aspirin. Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh jick dkk,justru memberikan
hasil yang sebaliknya, dikatakan bahwa pemberian aspirin selama kehamilan relatif aman .
Aspirin dosis rendah profilaktik antikoagulasi sangat berguna pada penderita ini. OAINS juga
memiliki efek yang relatif sama terhadap kehamilan dalam derajat yang bervariasi.
Penggunaan OAINS sedapat mungkin dihindari selama kehamilan dikarenakan dapat
menyebabkan penutupan duktus arteriosus in utero.
3. Antimalaria
Penggunaan antimalaria tidak dianjurkan, walaupun efek samping yang terjadi
dilaporkan sangat jarang. Klorokuin fosfat 250 mg/hari atau hidroksiklorokuin 400 mg/hari
dapat digunakan dengan aman selama kehamilan. Jika antimalaria tidak menunjukkan hasil
yang baik setelah digunakan selama 6 bulan, maka antimalaria dihentikan penggunaannya.

16

Jika penggunaannya memberikan respon yang baik,penghentian secara mendadak akan


menyebabkan terjadinya peningkatan aktivitas LES, yang merupakan suatu keadaan yang
harus dihindari pada penderita LES yang mengalami kehamilan.

4.Golongan Sitotoksik dan Agen Immunosupresif


Penderita LES yang tidak memberikan respon yang baik terhadap kortikosteroid dan
antimalaria dapat dicoba

dengan penggunaan golongan imunosupresan. Yang banyak

digunakan adalah azathioprine (Imuran) dan siklofosfamid (Cytoxan/Endoxan). Penggunaan


Azathioprin selama kehamilan masih merupakan kontroversi. Obat ini akan melewati
plasenta dan memberikan efek janin. Walaupun dilaporkan bahwa tidak bersifat teratogen,
tetapi akan sangat mempengaruhi sistim imunitas janin. Dosis insial harian berkisar antara
100-200 mg.hari yang diberikan bersama dengan kortikosteroid. Dosis dikurangi jika
dijumpai perbaikan secara klinis.
Penggunaan siklofosfamid selama kehamilan tidak dianjurkan karena dapat
menyebabkan efek tetratogenik pada janin. Diberikan hanya jika keadaan penyakit sangat
mengancam ibu. Pemberian biasanya digunakan bersamaan dengan kortikosteroid dan
dengan cara pulse therapy. Dosis yang diberikan adalah 750-1000 mg/m2 permukaan tubuh
bersama dengan kortikosteroid dosis tinggi setiap 3 minggu sampai 3 bulan.
2.8 PROGNOSA (2,4,5)
A. Terhadap kehamilan
Terjadi peningkatan morbiditas dan mortalitas pada janin, terjadi abortus rekuren dan
kematian janin. Kini telah ditemukan bukti bahwa prognosa bisa diperbaiki dengan
pemberian aspirin dosis rendah ( sekitar 75 mg ) diberikan bersama dengan prednison 20-80
mg perhari. Gant(1986) melaporkan peningkatan bayi lahir hidup dari 6 menjadi 80 persen

17

dengan pengobatan tersebut Lubbe(1985) menganjurkan pengobatan hanya diberikan pada


wanita dengan riwayat kematian janin.
B. Terhadap ibu
Sebelum tahun 1950, SLE merupakan penyakit yang fatal. Pemakaian preparat
kortikosteroid merupakan pengobatan pertama yang memberikan hasil baik pada penyakit
ini. Pemakaian kortikosteroid yang lebih teratur dan terencana, pemakaian obat
imunosupresif, dan penggunaan antibiotik, antihipertensi, dialisis serta transplantasi ginjal
lebih memperpanjang survival rate lagi. Survival rate 5 tahun sebesar 50 % pada tahun 1954
menjadi 95% pada tahun 1976. Angka ini tidak banyak berubah sampai sekarang . Kematian
paling sering terjadi karena komplikasi pada ginjal dan susunan saraf pusat.

18

BAB III
KESIMPULAN
Penderita LES diperbolehkan hamil tetapi dengan syarat penyakitnya harus dalam
fase tenang dan harus mendapat pengawasan. Kehamilan pada LES merupakan kehamilan
risiko tinggi. Diketahui bahwa kehamilan normal memberikan beberapa perubahan pada
tubuh, yang mana perubahan-perubahan ini dapat mencetus aktivitas penyakit LES,
meningkatkan resiko kehamilan pada penderita LES terutama dengan gangguan fungsi ginjal
atau jantung, serta adanya autoantibodi pada ibu yang mungkin dapat menembus plasenta
atau bahkan mempengaruhi pertumbuhan plasenta.
Diagnosis pada LES ditegakkan berdasarkan manifestasi kilnis. ACR ( American
College Rheumatology), telah mebuat kriteriakriteria diagnosis untuk LES. Jika memenuhi 4
dari 11 kriteria diagnosis LES bisa ditegakkan, dan dilanjutkan dengan pemeriksaan
autoantibodi. Resiko pada ibu selama kehamilan antara lain memberatnya penyakit lupus,
sedangkan pada janin dan menimbulkan abortus, partus prematur, kematian janin intrauterin,
gangguan pertumbuhan serta kongenital lupus.
Manejemen pada kehamilan perlu dilakukan secara teratur mulai dari prakehamilan,
prenatal, persalinan dan juga postnatal. Penggunaan obat pada wanita LES harus diperhatikan
kerana penggunaan obat sitotoksik dan imunosupresif dielakkan supaya tidak menganggu
perkembangan janin. Jika terdapat eksasebasi akut bias diterapi dengan kortikosteroid.

19

Pengelolaan kehamilan dengan SLE diperlukan kerjasama antara spesialis penyakit


dalam konsultan reumatologi, spesialis kebidanan dan spesialis anak perinatologi dengan
harapan mendapatkan hasil kehamilan yang baik.

DAFTAR PUSTAKA
1. Yuliasi, Kehamilan Pada Lupus Eritematosus Sistemik, Available at :
http://penelitian.unair.ac.id/_9b8fb37dd4dba2c1a9281b66b8254222_Unair.pdf
2. Anak Agung Ngurah Jaya Kusum , Lupus Eritematosus Sistemik Pada Kehamilan.
http://ejournal.unud.ac.id/abstrak/8_lupus%20eritematosus.pdf
3. Jeff M, Troy F, D. ware. Autoimmune Diseases. High Risk Pregnancy Management
Options. Pg 763 -76.
4. Cunningham, FG. Williams Obstetrics 21st Edition. McGraw Hill. USA. 1073-78,
1390-94, 1475-77.
5. Gestational complications. Johns Hopkins Manual of Gynecology and Obstetrics,
The, 3rd Edition.Lippincott Williams & Wilkins. Pg 120-21.
6. Lupus Eritematous. Available at : http://digilib.unsri.ac.id/download/Lupus
%20eritematosus.pdf
7. Neonatal Lupus. Available at :
http://www.rightdiagnosis.com/n/neonatal_lupus/symptoms.htm
8. Neonatal Lupus Eritematous. Available at :
http://emedicine.medscape.com/article/1006582-clinical

20

21

Anda mungkin juga menyukai