Anda di halaman 1dari 7

BAB I

PENDAHULUAN

Latar Belakang
ABK (Anak berkebutuhan khusus) tentu sering kita mendengarnya namun kerap
masyaraskat menilainya sama halnya sebagai anak cacat (defective) dan anak luar biasa atau
memiliki kelainan (exceptional childeren), namun pada dasarnya konsep ini salah. Kekeliruan
tersebut juga kerapkali terjadi dalam dunia pendidikan khusus (ortopedagogi), misalnya
kesalahan dalam mendefinisikan kategori ABK. Ketika banyak orang salah mengartikan ruang
lingkup ABK, kemungkinan besar pelayanan yang dilakukan kepada ABK akan salah juga.
Istilah ini bertahan cukup lama, namun banyak kalangan yang memahami bahwa anak yang
berksekolah di SLB pasti anak cacat atau anak luar biasa yang konotasinya negatif. Sebagai
contoh adalah anak-anak yang mengalami kesulitan belajar. Kesulitan belajar sebenarnya
bukanlah anak yang memiliki kecacatan/ kelainan pada fisik maupun intelejensi mereka.
Dahulu, istilah cacat digunkan untuk menyebut setiap anak yang berbeda dengan anak
pada umunya. Setiap anak yang belajar di SLB (Sekolah Luar Biasa) pasti dikategorikan dalam
anak cacat. Lambat laun istilah ini berubah menjadi anak berkelainan/ anak luar biasa. Untuk
lebih menspesifikkannya lagi, muncullah istilah baru dalam dunia ortopedagogi untuk anak-anak
yang menerima pelayanan khusus, yaitu Anak Berkebutuhan Khusus yang selanjutnya disebut
ABK. Berbeda dengan dua istilah sebelumnya, penggunaan istilah ABK lebih spesifik pada
kondisi anak dan proses interaksi yang dibutuhkan pada ABK.

Seorang anak dikatakan Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) apabila anak tersebut
memiliki dua ketentuan berikut; (1) Anak memiliki penyimpangan berarti dari anak pada
umumnya (kurang atau melebihi anak pada umumnya), (2) Penyimpangan tersebut membuat
anak mengalami hambatan dalam kesehariannya, dan (3) Karena hambatan tersebut seorang anak
membutuhkan pelayanan khusus.
Secara singkat akan peneliti jelaskan 9 kategori ABK di bawah ini:

Anak Disabilitas Intelektual (Retardasi Mental), dulu disebut tunagrahita. Anak dalam
kategori ini adalah anak yang memiliki intelejensi kurang dari rata-rata atau dengan IQ di
bawah 70.

Anak Disabilitas Pengelihatan, dulu disebut tunanetra. Anak dalam kategori ini adalah
anak yang memiliki hambatan dalam pengelihatannya, baik itu secara keseluruhan (totaly
blind) maupun sebagian (low vision).

Anak Disabilitas Pendengaran, dulu disebut tunarungu. Anak dalam kategori ini adalah
anak yang memiliki hambatan pendengaran baik ringan maupun berat.

Anak Disabilitas Tubuh, dulu disebut tunadaksa. Anak dalam kategori ini adalah anak
yang memiliki kondisi fisik yang menyimpang dari anak pada umumnya. Kondisi fisik
ini dapat terjadi dalam berbagai macam dan menghambat aktivitas anak.

Anak Gangguan Emosi dan Tingkah Laku, dulu disebut tunalaras. Anak dalam kategori
ini adalah anak yang memiliki gangguan emosi dan penyimpangan tingkah laku
berdasarkan sosial, adat, dan hukum.

Anak Autis. Anak dalam kategori ini adalah anak yang memiliki gangguan pada sistem
syaraf dan menyebabkan timbulnya beberapa tingkah laku yang berbeda, seperti memiliki

dunianya sendiri. Anak autis memiliki ciri yang berbeda dari setiap individu, sehingga
tidak ada ciri-ciri spesifik dalam anak autis.

Anak Gangguan Pemusatan Perhatian dan Hiperaktif. Anak dalam kategori ini adalah
anak yang memiliki gangguan pemusatan perhatian dan memiliki tingkat keaktifan jauh
melebihi anak pada umumnya.

Anak Kesulitan Belajar. Anak dalam kategori ini adalah anak yang memiliki hambatan
dalam belajar karena gangguan dalam anak, seperti faktor medis pada bagian otak anak.

Anak Berbakat. Anak dalam kategori ini adalah anak yang memiliki kemampuan
akademis atau nonakademis melebihi anak pada umumnya.
Dalam kehidupan keseharian, ABK (Anak berkebutuhan khusus) masih dipandang

dengan sebelah mata. Mereka dilihat sebagai pribadi yang mengganggu, merepotkan, dan
membebani masyarakat. Dalam keluarga, ABK masih sering dikucilkan, bahkan beberapa kasus
di sebagian tempat mereka sengaja dipasung, dimasukkan ke dalam rumah kayu dan tidak
diijinkan untuk berinteraksi dengan masyarakat sekitar. Ini malah berbahaya bagi kondisi mental
mereka. ABK (hyperactive) dianggap mengganggu karena mereka sulit untuk diatur dan susah
diajak berkomunikasi
Namun dalam beberapa periode terakhir, teknologi ditemukan untuk membatu mereka
untuk bertumbuh dan dapat memperbaiki interaksi sosial mereka. Banyak temuan khususnya
karya seni yang diteliti khusus untuk membantu merangsang kemampuan mereka. Sejumlah hasil
penelitian menjelaskan keterkaitan antara aktivitas bermusik yang melibatkan gerak, dan atau
gambar dapat menstimulasi anak berkebutuhan khusus untuk memperbaiki fungsi mental,
motorik, dan intelegensinya.

Anak berkebutuhan khusus (ABK) terbagi menjadi 2 jenis, yaitu mereka yang memiliki
keterbatasan (mental, fisik, emosi); kemudian mereka yang memiliki keistimewaan (bertalenta
dan mujizat). Seringkali masyarakat menyebutnya dengan istilah cacat dan berbakat. Namun
kali ini yang ingin penulis membahas yaitu mereka yang memiliki keterbatasan.
. Tunanetra dianggap tidak produktif dalam kehidupan mereka. Sangat disayangkan
sekali, padahal mereka memiliki potensi yang luar biasa yang tidak mampu mereka salurkan.
Disini yang sangat berpengaruh sekali dalam perkembangan mereka adalah keluarga dan
lingkungan. Bagaimana mereka dapat berkembang dan sedidaknya mampu menjadi masyarakat
yang produktif itu tidak lepas dari dukungan keluarga.
Disini penulis tertarik untuk menguak realita ini untuk setidaknya membangkitkan daya
juang peran keluarga dalam membantu mereka keluar dalam pandangan- pandangan negatif
terhadap mereka yang membutuhkan kita. Penulis sendiri memiliki beberapa rekan, khususnya
tunanetra yang saat ini mampu berkarya dalam bidang kesenian (bermusik). Mereka mampu
membuat band combo lengkap dengan vokalis, bahkan yang melatih juga orang yang
berketerbatasan. Banyak juga musisi bahkan komposer dunia yang memiliki keterbatasan
penglihatan, namun itu tidak membatasi mereka untuk berkarya/mengkomposisi lagu (mis. Heni
Chandra ~ Gitaris (Indonesian got talent). Kemudian kita ambil contoh dari bidang lain, yaitu
pelukis dunia, Esref Armagan dalam siaran televisi ripleys mampu membuat karya yang
mempesona dengan karya lukis wajah Bill Clinton. Dalam acara Discovery Channel beliau
menjelaskan bagaimana dia bisa melihat dan melukis wajah seseorang. Beliau menjawab saya
melihat dengan cara mendengar, dari teman-teman saya, dan orang yang mau berbagi informasi
kepada saya. Saya tidak buta, saya bisa melihat segalanya dengan jari saya. Ini menjelaskan

bahwa setiap individu yang memiliki keterbatasan, jika dieksplorasi dan jika kita bisa membantu
memfasilitasi, mereka mampu menjadi pribadi yang luar biasa.
Beberapa bulan lalu, tepatnya jatuh di bulan Maret dalam memperingati hari Musik
Nasional setiap 9 Maret, serta hari Down Syndrome sedunia setiap 21 Maret, Pinisi Edutaiment
Park menyelenggarakan talkshow dengan tema Musik dan Manfaatnya bagi Anak
Berkebutuhan Khusus menghadirkan pakar pendidikan anak, Dr. Seto Mulyadi beserta
pengelola Yayasan Budi Waluyo yang juga pemerhati anak berkebutuhan khusus, Sri Muji
rakhmati, MPSi, kemudian Aryanti Yakub selaku pendiri dan pengurus Ikatan Syndrome Down
Indonesia (ISDI). Dalam kesempatan ini Dr. Seto Mulyadi menjelaskan bahwa Anak-anak
dengan down syndrome yang merupakan anak-anak berkebutuhan khusus dapat dilatih dengan
terapi musik, dengan tujuan untuk memingkatkan kemampuan mereka dalam berkomunikasi,
melatih kemampuan gerak motorik mereka dengan bermain alat musik, meningkatkan adaptasi
sosial mereka dengan bernyanyi secara berkelompok, sehingga membuat mereka saling bertegr
sapa dan kontak mata. Musik bagi anak berkebutuhan khusus terbukti dapat membuat anak
menjadi bersemangat.
Uttara Sharma, psikolog anak di Bangalore, India juga mengatakan bahwa terapi musik
bertujuan membantu perilaku sosial anak-anak berkebutuhan khusus. Musik menurunkan
perilaku sulit konsentrasi dan mendorong anak bekerja sama, hidup mandiri hingga memiliki
keterampilan motorik halus dan kasar. Menurut Uttara beberapa manfaat yang didapat dalam
terapi bermain musik yaitu : Melatih motorik, membangun komunikasi, meredam emosi,
mengembangkan kognitif, meningkatkan rasa percaya diri.

Namun apakah segala manfaat yang diutarakan Uttara masih menimbulkan beberapa
pandangan. Salah satu diantaranya yaitu apakah dengan metode terapi musik yang dilakukan
dapat berjalan efektif jika dilakukan kepada ABK yang tidak menggemari musik/ bahkan tidak
memiliki pengalaman musik (terbentuk dari lingkungan, keluarga)
Atas dasar latar belakang yang telah peneliti paparkan itulah, peneliti tertarik untuk
mengetahui minat musik pada kaum Anak Berkebutuhan Khusus. Sehingga peneliti mengambil
judul penelitian MINAT MUSIK ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS DAN FUNGSINYA
DALAM TERAPI MUSIK
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan, maka rumusan masalah dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut
a. Apakah metode terapi musik dapat efektif bila dilakukan kepada ABK yang tidak
memiliki pengalaman musik?
b. Metode apa yang tepat jika menghadapi ABK yang tidak mengalami pengalaman
musik dalam terapi yang akan dilakukan?

Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan rumusan di atas, maka tujuan dari penelitian yang akan
dicapai adalah untuk mengetahui minat musik yang dimiliki ABK yang tentu berpengaruh dalam
pelaksanaan terapi musik, sehingga terapi musik akan berjalan dengan maksimal.

2.1 Daftar Pustaka


Mangunsong, Frieda. 2009. Psikologi & Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus. Jakarta:LSP3
UI
Firdausyah, Nuri. 2010,Terapi Musik Klasik Terhadap Perilaku Hiperaktif pada Anak Autis.
http://www.scribd.com/doc/161924305/Untitled#force_seo, 13 Desember 2014

Anda mungkin juga menyukai