PENDAHULUAN
1,2,3,4
kebutaan disebabkan atrofi nervus optikus di AmerikaSerikat adalah 0,8% . Menurut Munoz
dkk, prevalensi gangguan penglihatan dan kebutaan yang timbul akibat atrofi nervus optikus
masing-masing adalah 0,04% dan 0,12%.
Atrofi nervus optikus bukanlah suatu penyakit melainkan tanda dari berbagai proses
penyakit. Dengan demikian, morbiditas dan mortalitas pada atrofi optik tergantung pada
etiologi. Berdasarkan ras, atrofi nervus optikus lebih menonjol pada orang kulit hitam (0,3%)
dibandingkan dengan kulit putih (0,05%). Tidak ada kecenderungan jenis kelamin tertentu
terhadap angka kejadian atrofi nervus optikus. Sedangkan dari segi umur, atrofi papil saraf
terlihat dalam setiap kelompok usia. Pada kasus atrofi papil saraf jika sudah terjadi kerusakan
pada nervus optikus berupa kehilangan penglihatan, maka hal tersebut tidak dapat diperbaiki,
namun penyakit yang mendasari dapat dilakukan tindakan untuk mencegah kerusakan (jika
belum terjadi kerusakan) dan sangat penting untuk melindungi mata satunya, sehingga
sangatlah penting bagi penderita dengan atrofi papil saraf untuk rutin kontrol ke dokter
spesialis mata untuk memeriksakan mata mereka kalau-kalau terjadi perubahan dalam
penglihatan.
1.3 Tujuan
Penulisan makalah ini bertujuan untuk mengetahui tentang definisi, epidemiologi,
patofisiologi, klasifikasi, manifestasi klinik, giagnosis, penatalaksanaan, komplikasi dan
prognosis dari atrofi papil nervus optikus.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Nervus Optikus
2.I.1. Anatomi
Retina merupakan reseptor permukaan untuk informasi visual. Sebagaimana halnya
nervus optikus, retina merupakan bagian dari otak meskipun secara fisik terletak di perifer
dari sistem saraf pusat (SSP). Komponen yang paling utama dari retina adalah sel-sel reseptor
sensoris atau fotoreseptor dan beberapa jenis neuron dari jaras penglihatan. Lapisan terdalam
(neuron pertama) retina mengandung fotoreseptor (sel batang dan sel kerucut) dan dua
lapisan yang lebih superfisial mengandung neuron bipolar (lapisan neuron kedua) serta sel-sel
ganglion (lapisan neuron ketiga). Sekitar satu juta akson dari sel-sel ganglion ini berjalan
pada lapisan serat retina ke papila atau kaput nervus optikus. Pada bagian tengah kaput
nervus optikus tersebut keluar cabang-cabang dari arteri centralis retina yang merupakan
cabang dari a. oftalmika.5
Setelah sampai di korpus genikulatum lateral, serabut saraf yang membawa impuls
penglihatan akan berlanjut melalui radiatio optika (optic radiation) atau traktus
genikulokalkarina ke korteks penglihatan primer di girus kalkarina. Korteks penglihatan
primer tersebut mendapat vaskularisasi dari a. kalkarina yang merupakan cabang dari a.
serebri posterior. Serabut yang berasal dari bagian medial korpus genikulatum lateral
membawa impuls lapang pandang bawah sedangkan serabut yang berasal dari lateral
membawa impuls dari lapang pandang atas (gambar 3). 5,7
Pada refleks pupil, setelah serabut saraf berlanjut ke arah kolikulus superior, saraf
akan berakhir pada nukleus area pretektal. Neuron interkalasi yang berhubungan dengan
nucleus Eidinger-Westphal (parasimpatik) dari kedua sisi menyebabkan refleks cahaya
menjadi bersifat konsensual. Saraf eferen motorik berasal dari nukleus Eidinger-Westphal dan
menyertai nervus okulomotorius (N.III) ke dalam rongga orbita untuk mengkonstriksikan otot
sfingter pupil (gambar 4). 5,8
Saraf Optikus
Saraf optikus terutama tersusun atas akson sel-sel ganglion retina. Akson-akson
tersebut bertemu di papil saraf optikus yang berdiameter sekitar 1,5 mm, menembus sclera
pada lamina kribrosa, dan kemudian membentuk berkas-berkas serabut saraf bermyelin yang
dipisahkan oleh sekat jaringan ikat. Setiap saraf optikus dilapisi oleh selaput yang identik
dengan meningen. 3
Saraf optikus dapat dibagi menjadi empat bagian, yaitu: 7
1. Bagian intraokular yang terbagi menjadi kepala saraf optikus ( papil saraf optikus /
optic disc), bagian pre-laminar yang berada di depan lamina kribrosa, bagian laminar
yang berada di dalam lamina kribrosa, dan bagian post-laminar yang berada di
belakang lamina kribrosa.
2. Bagian intraorbital yang memiliki panjang sekitar 3 cm, berbentuk huruf S, dan
menjulur dari bola mata sampai ke apeks orbita.
3. Bagian kanalis optikus dengan panjang sekitar 5-7 mm.
4. Bagian intrakranial yang menjulur dari kanalis optikus ke bagian anterior kiasma
optikum dan traktus optikus (10 mm)
Sifat optik dari akson normal dari disk optik mirip dengan kabel serat optik. Cahaya
datang yang berasal dari optalmoskop mengalami refleksi internal total melalui serat aksonal
dan dipantulkan kembali oleh kapiler pada permukaan disk, sehingga menimbulkan warna
kuning-merah muda karakteristik disk optik sehat (terlihat pada gambar di bawah). Akson
yang tidak memiliki properti optik baik, menyebabkan penampilan pucat disk atrofi itu.
Menurut teori lain, hilangnya kapiler dalam menyebabkan atrofi optik disk pucat muncul.
normal akan berwarna merah musa kekuningan, dengan batas yang jelas, non-elevated, dan
memilki cup-disc ratio kurang dari 0,3.7
2.2.1
Definisi
Atrofi papil saraf optikus didefinisikan sebagai kerusakan saraf optikus yang
menyebabkan degenerasi atau destruksi saraf optikus. Secara klinis keadaan ini dikenal
sebagai pucatnya papil akibat menghilangnya pembuluh darah kapiler serta akson dan
selubung myelin saraf seperti yang terlihat pada pemeriksaan funduskopi. 9,10
Atrofi optik bisa sangat ringan dengan gangguan visus dan lapang pandang yang
sangat ringan (hidden visual loss) sampai hilangnya visus dan lapang pandangan secara total.
2.2.2
Epidemiologi
Menurut Tielsch dkk, prevalensi kebutaan disebabkan atrofi nervus optikus di
Amerika Serikat adalah 0,8%. Menurut Munoz dkk, prevalensi gangguan penglihatan dan
kebutaan yang timbul akibat atrofi nervus optikus masing-masing adalah 0,04% dan 0,12%.
Atrofi nervus optikus
penyakit. Dengan demikian, morbiditas dan mortalitas pada atrofi optik tergantung pada
etiologi. Berdasarkan ras, atrofi nervus optikus lebih menonjol pada orang kulit hitam (0,3%)
dibandingkan dengan kulit putih (0,05%). Tidak ada kecenderungan jenis kelamin tertentu
terhadap angka kejadian atrofi nervus optikus. Sedangkan dari segi umur, atrofi optik terlihat
dalam setiap kelompok usia.11
2.2.3 Klasifikasi
1. Klasifikasi Oftalmoskopik
Atrofi primer, warna papil menjadi pucat, batasnya tegas dan pembuluh darah
berkurang.
Lamina cribrosa terlihat pada atrofi primer. Atrofi primer dijumpai pada kasus lesi
nervus optikus atau khiasma optikum (misalnya pada tumor hipofisis). Secara
mikroskopik ditemukan degenerasi akson-akson saraf dan selubung myelin. Selalu
ditemukan sedikit proliferasi sel-sel glia astrosit dan bertambahnya jaringan kolagen.
Penyebab
1.
2.
3.
4.
5.
Atrofi
Neuritis optik
Penekanan oleh tumor dan aneurisma
Neuropati optik herediter
Toksik dan neuropati optik nutrisi
Trauma
sekunder, warna papil juga pucat tetapi batasnya tidak tegas. Terjadi akibat
peradangan akut atau lesi vaskuler saraf optic yang terletak dekat dengan bola mata
serta menimbulkan reaksi aktif sel glia dan mesenkim dekat papil. Degenerasi yang
terjadi terisi oleh proliferasi astrosit, jaringan ikat atrofi dan ditemukan pembuluh
darah yang menghilang. Atrofi sekunder merupakan akibat lanjut dari papilitis dan
papiledema. Atrofi sekunder juga terjadi akibat lanjut dari papiledema misalnya pada
pasien yang menderita tekanan tinggi intracranial yang lama.
Iskemik,
Degeneratif, contohnya Neurodegeneratif
Sekunder karena penyakit degeneratif pada retina, contohnya Papiledema, Neuritis
optikus
Herediter, contohnya Leber Hereditary Optic Neuropathy, Dominant Optic Atrophy
Kompresi
Toksik atau drug-induced, contohnya tembakau, alcohol, toksisitas obat
Metabolik
Traumatik
Glaukomatosa
2.2.4
disfungsi penglihatan pada atrofi papil. Kepucatan papil saraf optikus dan hilangnya reaksi
pupil biasanya setara dengan penurunan penglihatan kecuali pada lesi kompresi. Lesi
kompresi dapat menyebabkan perubahan ketajaman penglihatan sentral dan perubahan
lapang pandang perifer yang luas jauh sebelum terjadi perubahan fundus yang cukup parah
(akson dapat mengalami disfungsi jauh sebelum mengalami atrofi). 9,13,16
Perubahan fungsi penglihatan berlangsung sangat lambat dalam beberapa minggu
atau bulan. Sulit untuk menilai prognosis hanya berdasarkan temuan-temuan funduskopik.
Bahkan dengan pematangan kiasma eksperimental, perluasan degenerasi akson memerlukan
waktu dua bulan untuk meluas dari kiasma ke sel ganglion retina.Pengobatan dan hasil akhir
bervariasi bergantung pada penyebab.13
Neuropati optikus herediter menimbulkan kepucatan papil saraf optikus segmental
temporal bilateral dengan penurunan akson papilomakular. Penyumbatan arteri sentralis
menimbulkan penyempitan arteriol retina segmental dan penurunan lapisan serat saraf dalam
distribusi yang sama. Melemahnya pembuluh darah retina ditambah kepucatan papil saraf
optikus yang segmental atau difus, dengan atau tanpa cupping glaukomatosa saraf optikus,
dapat merupakan tanda akan timbulnya neuropati optikus iskemia. Eksudat peripapilar
adalah tanda utama papilitis dan kadang-kadang papiledema. Gliosis dan atrofi peripapilar,
lipatan korioretina , dan keriputnya limiting membrane interna juga mungkin merupakan
tanda-tanda awal munculnya edema papil saraf optikus. 13
2.2.5
Patofisiologi
Degenerasi saraf optik berhubungan dengan kegagalan regenerasi, dimana terjadi
proliferasi astrosit dan jaringan glial. Akson saraf optik ditutupi oleh oligodendrosit, jika
sekali akson ini rusak maka tidak akan dapat beregenerasi (Skuta,2010 ; Gandhi Rashmin,
2012). Terdapat 3 teori patogenesis:( Skuta,2010; Kanski,2007)
1. Degenerasi serabut saraf yang berhubungan dengan gliosis berlebihan.Perubahan ini
merupakan tanda patologis dari consecutive optic atrophy dan postneuritic optic
atrophy.
2. Degenerasi serabut saraf dan gliosis dalam keadaan normal,di mana astrosit
berproliferasi dengan sendirinya dan tersusun pada kolum longitudinal mengganti
serabut saraf (columnar gliosis).Keadaan ini terjadi pada atropi papil primer.
3. Degenerasi serabut saraf yang berhubungan dengan gliosis yang tidak berfungsi.Hal
ini terjadi akibat berkurangnya aliran darah.Perubahan patologi ini disebut sebagai
cavernous optic atrophy dan merupakan ciri dari glaukoma dan ischaemic optic
atrophy.
Diagnosis
Diagnosis atrofi papil saraf optikus ditegakkan dengan:
1. Anamnesis
Anamnesis dilakukan untuk menentukan ada tidaknya riwayat kondisi yang sama
dalam keluarga. Selain itu pada anamnesis juga ditanyakan riwayat penggunaan obatobatan tertentu dan riwayat keracunan.
2. Pemeriksaan mata
Melihat perubahan karakteristik papil saraf menggunakan oftalmoskop
Mengukur ketajaman penglihatan menggunakan Snellen chart
Mengukur lapang pandang untuk menilai penglihatan perifer
Menilai penglihatan warna dan sensitivitas terhadap kontras warna
3. Pemeriksaan penunjang
a. Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium digunakan untuk mengkonfirmasi adanya keracunan
melalui analisis darah dan urin. Pemeriksaan darah juga digunakan untuk uji DNA
guna mengidentifikasi mutasi genetik yang bertanggung jawab pada terjadinya
Lebers Hereditary optic Neuropathy
b. Pemeriksaan radiologi
Magnetic Resonance Imaging
digunakan untuk mencari tumor,struktur yang mungkin menekan saraf optikus, atau
plak yang khas untuk multipel sklerosis yang seringkali berkaitan dengan
neuritisoptikus, Lebers Hereditary optic Neuropathy
2.2.9. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan neuritis optikus dengan kortikosteroid hingga saat ini masih
kontroversial. Sedangkan penatalaksanaan atrofi papil saraf optikus karena penyebab yang
lain tergantung pada penyakit yang mendasari. 9
2.2.10. Pencegahan
Atrofi papil saraf optikus dapat dicegah dengan melakukan pemeriksaan mata teratur,
terutama bagi mereka yang mengalami penurunan penglihatan. Deteksi awal adanya
inflamasi atau masalah lain akan memperkecil kemungkinan terjadinya atrofi karena
intervensi yang dapat segera diambil. Sedangkan pada mereka yang secara genetik beresiko
menderita Lebers hereditary optic neuropathy, diarankan untuk mrengkonsumsi vitamin C,
vitamin E, coenzyme Q10, atau anti oksidan lainnya, serta menghindari konsumsi tembakau
dan alkohol. Menghindari paparan terhadap zat beracun dan mencegah malnutrisi juga dapat
menjauhkan kemungkinan terjadinya neuritis optikus toksik atau nutrisonal.9
2.2.11. Prognosis
Banyak pasien dengan neuritis optikus pada akhirnya akan mengalami multipel
sklerosis. Sebagian besar pasien akan pulih penglihatannya secara bertahap
setelah satu episode neuritis optikus, bahkan tanpa pengobatan. Sedangkan kemungkinan
perbaikan penglihatan pada Lebers hereditary aptic neuropathy sangat kecil. Pada neuropati
optikus toksik atau nutrisional, jika penyebabnya dapat diketahui dan ditangani secara dini,
penglihatan dapat kembali normal setelah beberapa tahun.
BAB III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Atrofi papil merupakan akibat degenerasi serat dari saraf optikus dan jalur
penglihatan sensoris. Keadaan ini dapat merupakan kelainan bawaan atau di dapat.
Jika di dapat, maka penyebabnya adalah gangguan vaskuler, sekunder karena penyakit
degeneratif pada retina, karena penekanan pada saraf optikus atau karena penyakit
metabolik. Gejala yang muncul berupa penurunan fungsi penglihatan , dan ditandai
dengan pucatnya papil saraf optikus dan hilangnya reaksi pupil. Penatalaksanaan yang
dapat diberikan tergantung pada penyakit yang mendasari. Degenerasi dan atrofi papil
saraf optik merupakan keadaan yang irreversibel, dan kemungkinan perbaikan fungsi
penglihatan tergantung penyebab.
3.2
Saran
Atrofi papil saraf optikus dapat dicegah dengan melakukan pemeriksaan mata
teratur, terutama bagi mereka yang mengalami penurunan penglihatan.
DAFTAR PUSTAKA
1.
Ulfa, Maria. 2010. Text Book Reading Neuroopthalmology. (Online) 2012. Avaiable
from: http://www.scribd.com/doc/81574379/36139360-Neurooftalmology-FullVersion
2.
Novera,
Fenty.
2011.
Papil
Atrofi.
(Online).
2012.
Avaiable
http://www.scribd.com/doc/75954006/Definisi-Anatomi-Dan-FisiologiEpidemiologi
from:
3.
Medscape.
2011.
Optic
Atrophy.
(Online)
2012.
Available
from:
http://emedicine.medscape.com/article/atrofi%20papil/1217760overview.htm#showall
4.
Rubens, Ivanlibrian. 2011. Atrofi Papil Optic. (Online) 2012. Avaiable from:
http://www.scribd.com/doc/50281382/Referat-mata-edited
5.
6.
Mardjono Mahar & Sidharta Priguna. Neurologi klinis dasar. Edisi V. jakarta : dian
rakyat. 2004. p 116 126
7.
8.
Guyton AC, Hall JE. Neurofisiologi Penglihatan Sentral. Dalam : Buku Ajar Fisiologi
Kedokteran. Edisi 9. 1997. Jakarta : EGC. p 825.
9.OpticAtrophyhttp://www.healthatoz.com/healthatoz/Atoz/common/standard/transform.jsp?
requestURI=/healthatoz/Atoz/ency/optic_atrophy.jsp
10.
Montgomery
TM.
Anatomy,
Physiology,
and
Pathology
of
Eye.Dalam:http://www.tedmontgomery.com/the_eye/optcnrve.html
11.
the
Human
12.
Vaughan DG, Taylor Asbury, dan Paul Riordan-Eva. Oftalmologi Umum EdisiKe-14.
Jakarta: Penerbit Widya Medika , 1996
13.
OpticAtrophy.Dalam:http:/www.spedex.com/resource/documents/veb/optic_atrophy.h
tml
14.Vascular
Disorders.
Dalam:http://www.merck.com/mrkshared/mmg/sec15/ch127/ch127f.jsp
15
16.
Berro
D.
Leber's
Hereditary
Optic
Neuropathy.
Dalam:http://www-
personal.umd.umich.edu/~jcthomas/JCTHOMAS/1997%20Case%20Studies/D
%20Berro.html
17.
Nakamura M, Ito S, Chang-Hua Piao, dan Terasaki H, dan Miyake Y.Retinal and
Optic Disc Atrophy Associated With a CACNA1F Mutation in aJapanese Family. Arch
Ophthalmol. 2003;121:1028-1033 Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Mata RSMarinir
Cilandak
18.
Cooper
T.
Compressive
Dalam:www.emedicine.com/oph/topic167.html
Optic
Neuropathy.
21.
Zafar
A.
Toxic/Nutritional
Optic
Neuropathy.
Dalam:www.emedicine.com/oph/topic750.htm
C. Klasifikasi1
Pada atropi optik ada istilah atropi primer yang ditandai pupil pucat dan batas tegas, atropi
sekunder yang ditandai papil pucat dengan batas kabur karena adanya bekas pembengkakan
papil dan atropi konsekutif yaitu atropi papil yang terjadi karena kelainan retina, misalnya
pada retinitis pigmentosa.
Skotoma Busur (arkuata) : dapat terlihat pada glaucoma, iskemia papil saraf optic, dan oklusi
arteri retina sentral
Skotoma Sentral : pada retinitis sentral
Hemianopsia bitemporal : hilangnya setengah lapang pandang temporal kedua mata, khas
pada kelainan kiasma optic, meningitis basal, kelainan sphenoid dan trauma kiasma.
Hemianopsia binasal : defek lapang pandang setengah nasal akibat tekanan bagian temporal
kiasma optic kedua mata atau atrofi papil saraf optic sekunder akibat TIK meninggi.
Hemianopsia heteronym : bersilang, dapat binasal atau bitemporal
Hemianopsia homonym : hilang lapang pandang pada sisi yang sama pada kedua mata, pada
lesi temporal
Hemianopsia altitudinal : hilang lapang pandang sebagian atas atau bawah, dapat terjadi pada
iskemik optic neuropati, kerusakan saraf optic, kiasma dan kelainan korteks .
Penemuan oftalmoskopis juga tergantung dari penyebabnya (papil pucat bisa dengan batas
tegas atau batas kabur, demikian juga bisa bersifat datar, cekung, atau menonjol)
Atropi optik bisa bersifat difus dan sektoral, bisa total atau parsial, bisa ringan atau berat.
Atropi optik difus yang khas adalah disebabkan oleh retinitis pigmentosa yang berupa atropi
optik primer berbatas tegas dan berwarna putih mengkilat seperti lilin.
Atropi sektoral polus superior atau inferior terjadi setelah neuropati optik iskemik anterior.
Atropi bentuk bow tie (dasi kupu) bilateral khas pada lesi khiasma optikum.
Atropi bentuk bow tie diskus kanan dan atropi diskus kiri khas lesi traktus optikus dan korpus
genikulatum lateral kiri, dan sebaliknya.
Atropi temporal bentuk baji adalah khas pada post neuritis retrobulbar, neuropati optik toksis
dan neuropati optik kompresif.
Perubahan vasa yang terjadi pada atropi optik adalah ditemukan vasa yang menjadi lebih
jelas, mengalami pengecilan dan mengalami sheating. Pada atropi optik yang masih
Penyakit ini disebabkan kelainan genetik, mutasi yang mengenai suatu titik (point mutation)
pada DNA mitokondria (mtDNA) dengan lebih 90% keluarga yang terkena mengalami
mutasi titik pada posisi 1178, 14484, atau 3460 . mtDNA secara ekslusif diturunkan dari ibu
dan akibatnya sesuai dari pola umum pewarisan mitokondria (maternal) mutasinya diteruskan
melalui garis wanita, hal ini disebabkan karena spermatozoa tidak mengandung mitokondria
dan kalaupun ada mitokondria maka mitokondria ini akan mati saat pembuahan, penyakit ini
jarang bermanifestasi pada wanita karier, diprediksikan akan bermanifestasi pada keponakan
laki-laki sesuai garis ibu.
Gejala :
Penglihatan kabur
Skotoma sentral tampak pada satu mata, kemudian pada mata sebelahnya
Timbul sakit kepala dan tanda meningeal karena terjadi peradangan arakhnoid
Patofisiologi :
Pada fase akut akan terjadi edema diskus optikus dan retina peripapilar disertai pelebaran
pembuluh-pembuluh darah kecil yang teleangiektasis di permukaannya; tetapi khasnya tidak
ada kebocoran diskus optikus pada pemeriksaan angiografi fluoresein.
Kedua nervus optikus akhirnya menjadi atrofi dan penglihatan biasanya antara 20/200 dan
hitung jari.
Hilangnya penglihatan biasanya tidak total dan tidaka da kekambuhan.
Penyakit ini mungkin disertai dengan penyakit mirip skeloris multipel, defek konduksi
jantung, dan distonia
Diagnosis :
Ditegakkan dengan pemeriksaan titik mutasi mtDNA, berdasarkan penemuan satu dari tiga
titik mutasi DNA
Diagnosis Banding :
BAB III
PENUTUP
Atropi papil nervus optikus adalah degenerasi saraf optic yang tampak sebagai papil
berwarna pucat akibat hilangnya akson nervus optikus dan digantikan oleh jaringan glia.
Atrofi papil bukan merupakan penyakit akan tetapi merupakan tanda akan kondisi yang
berpotensi serius, keadaan ini merupakan proses akhir dari suatu proses yang terjadi di retina,
kerusakan yang sangat luas dari nervus optikus akan menimbulkan atrofi papil dan dapat
menimbulkan mata menjadi buta, untuk itu diperlukan penegakan diagnosis yang cermat dan
tepat sehingga dapat segera tertangani. Gejala awal berupa keluhan mata kabur disertai
pandangan gelap yang disertai dengan sakit kepala, lemas dan mual. Penegakan diagnosis
atrofi papil memerlukan pemeriksaan mata yang lengkap seperti ; pemeriksaan visus, tes
lapang pandang, penglihatan warna, reflex pupil, pemeriksaan retina dan diskus optikus
dengan menggunakan oftalmoskop. Pemeriksaan penunjang lainnya berdasarkan penyakit
yang menyebabkannya.
DAFTAR PUSTAKA
Hartono, Dr. Sari Neurooftamologi. Cetakan I. Pustaka Cendikia Press. Yogyakarta, 2006
Vaughan, Daniel G. Oftalmologi Umum. Edisi ketiga. Widya Medika: Jakarta. 2000
Ilyas, Prof. Dr. H. Sidarta. Ilmu Penyakit Mata. Edisi Ketiga. Balai Penerbit FKUI. Jakarta.
2006.
G. Lang. Ophthalmology A pocket textbook atlas. 2 nd edition. Thieme Stuttgart. New York.
2006