Anda di halaman 1dari 15

Gejala Malaria dan Penyembuhannya

William Limadhy (102012241/A4)


Universitas Kristen Krida Wacana, Jl. Arjuna Utara No.6, Jakarta, 11510
williamlimadhy@live.com

Pendahuluan
Malaria merupakan masalah kesehatan masyarakat di lebih dari 100 negara, yang dihuni oleh
sekitar 2,4 milyar penduduk, atau 40% dari total penduduk dunia. Malaria adalah penyakit
infeksi parasite yang disebabkan oleh plasmodium yang menyerang eritrosit dan di tandai dengan
ditemukannya bentuk aseksual di dalam darah. Infeksi malaria memberikan gejala berupa
demam, mengigil, anemia, dan splenomegaly. Dapat berlangsung akut maupun kronik. Infeksi
malaria dapat berlangusng tanpa komplikasi ataupun mengalami komplikasi sistemik yang
dikenal sebagai malaria berat. Sejenis infeksi parasite yang menyerupai malaria ialah infeksi
babesiosa yang menyebabkan babesiosis.
Anamesis
Anamnesis merupakan deskripsi pasien tentang penyakit atau keluhannya, termausk alasan
berobat. Anamnesis yang baik disertai dengan empati dari dokter terhadap pasien. Perpaduan
keahlian mewawancarai dan pengetahuan yang mendalam tentang gejala (sintom) dan tanda
(sign) dari suatu penyakit akan memberikan hasil yang memuaskan dalam menentukan diagnosis
kemungkinan sehingga dapat membantu menentukan langkah pemeriksaan selanjutnya, termasuk
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.1
Dalam melakukan anamnesis terdapat sejumlah pertanyaan rutin yang harus diajukan kepada
semua pasien, misalnya pertanyaan tentang identitas, keluhan utama, keluhan penyerta,riwayat
penyakit terdahulu, riwayat penyakit menahun, dan riwayat penyakit sekarang yang spesifik
terhadap diagnosa sementara. Terdapat pertanyaan yang spesifik di riwayat penyakit sekarang
pada pendeerita malaria, yaitu riwayat bepergian ke daerah endemis malaria lebih kurang 2

minggu sebelum gejala klinis timbul. Selain itu kita harus membuat pertanyaan apakah pasien
mengalami kesulitan berkemih dan muntah-muntah hebat. Untuk skenario B kita dapat
anamnesis sebagai berikut:
1. Identitas
Nama

: Tuan A

Umur

: 30 tahun

2. Keluhan Utama

: Demam hilang timbul disertai dengan mengigil,

berkeringat, sakit kepala, dan mual-mual.


3. Keluhan tambahan
: tidak ada
4. Riwayat penyakit sekarang : selama ini tinggal di Jakarta dan baru 1 bulan pindah ke
papua (daerah endemis)
Setelah melakukan anamnesis yang tepat, kita dapat segera melakukan pemeriksaan fisik dan
penunjang untuk mendapat diagnosa yang baik.
Pemerikasaan Fisik
Pemeriksaan fisik sangat penting dalam memperkuat temuan-temuan dalam anamnesis. Terdapat
beberapa cara dalam pemeriksaan fisik, diantaranya pemeriksaan visual/inspeksi, pemeriksaan
raba/ palpasi, pemeriksaan ketok/perkusi, dan pemeriksaan dengan mendengar menggunakan
stetoskop/auskultasi. Pada scenario kita yang dapat kita lakukan diantaranya adalah:
Inspeksi: Melihat keadaan umum pasien, melihat tingkat kesadaran pasien, melihat apakah telah
terjadi perubahan warna kulit
Palpasi dan perkusi: pemeriksaan pada abdomen apakah telah terjadi splenomegaly
Pemeriksaan tanda-tanda vital: melakukan pemeriksaan suhu, tekanan darah dan denyut nadi
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang adalah pemeriksaan yang dilakukan oleh dokter sebagai langkah
memperkuat diagnose. Dalam kasus malaria, terdapat beberapa pemeriksaan penunjang yang

dapat dilakukan, diantarnya adalah pemeriksaan dengam mikroskop cahaya, PCR (Polimerase
Chain Reaction), dan deteksi pigmen malaria.
Pemeriksaan dengan Mikroskop Cahaya
Inti dari pemeriksaan ini adalah untuk menegakkan diagnosis. Pemeriksaan mikroskopik ini
dapat digunakan untuk mengevaluasi hasil pengobatan dan hal ini tidak dapat diterapkan dengan
uji cepat malaria maupun tekhnik PCR. Pada infeksi Plasmodium falciparum yang stadium
lanjutnya berada di kapiler alat dalam (sekuestrasi), parasit tersebut sulit di temukan dalam darah
tepi sehingga memerlukan pemeriksaan serial darah(3 kali dalam 48 jam)untuk memastikan ada
tidaknya parasit. Pengambilan darah dilakukan pada ujung jari atau tumit kaki(bayi). Pewarnaan
optimal untuk mendapatkan morfologi parasit dengan Giemsa. Jumlah darah yang diambil harus
sesuai dengan volume antikoagulannya. Jika pembuatan sediaan darah yang mengandung
antikoagulan dilakukan 24 jam setelah pengambilan darah maka jumlah parasit dapat berkurang
sampai 50% dan morfologi parasit sudah berubah. Oleh karena itu, sangat penting untuk
segera(<1jam) membuat sediaan darah tipis dan tebal dari darah dengan antikoagulan tersebut.
Dengan menggunakan sediaan darah tebal sensitivitas pemeriksaan mikroskopik akan meningkat
sampai 10 kali dibandingkan sediaan darah tipis. 2 Lamanya pewarnaan yang optimal adalah 30
menit dengan 3%Giemsa. Perhitungan jumlah parasit dapat dilakukan secara kuantitatif dan
semikuantitatif. Perhitungan semikuantitatif biasanya kurang akurat dan dilakukan dalam
keadaan darurat dengan sediaan darah tebal. Cara penghitungannya adalah sebagai berikut :2
+

: 1-10 parasit stadium aseksual per 1100 lapang pandang mikroskop

++

: 11-100 parasit stadium aseksual per 100 lapang pandang mikroskop

+++

: 1-10 parasit stadium aseksual per satu lapang pandang mikroskop

++++ : 11-100 parasit stadium aseksual per satu lapang pandang mikroskop
Perhitungan secara kuantitatif dapat dilakukan baik pada sediaan darah tipis dan sediaan darah
tebal. Jumlah parasit aseksual(cincin, trofozoit dan skizon) dan seksual(gametosit) dihitung
secara terpisah. Pada sediaan darah tebal parasit dihitung berdasarkan jumlah leukosit per l
darahjika tidak diketahui biasanya diasumsikan leukosit penderita berjumlah 8000/l, dengan
rumus berikut :2

Jumlah parasit stadium aseksual x jumlah leukosit


200

Perhitungan parasit dalam sediaan darah tipis perlu diketahui jumlah eritrosit per l darah. Jika
nilai ini tidak diketahui, diasumsikan penderita mengandung erittrosit 5.000.000/l (laki-laki dan
4.500.000/l (wanita). Jumlah parasit kemudian dihitung dengan rumus sebagai berikut :2
Jumlah parasit stadium aseksual x

Jumlah eritrosit
Total eritrosit dalam 25 lapangan pandang

Atau dengan cara sebagai berikut :


Jumlah parasit stadium aseksual dalam 25 lapangan pandang mikrooskopik x 100%
Total eritrosit dalam 25 lapangan pandang mikroskopik.
Polymerase Chain Reaction(PCR)
Pemeriksaan ini dianggap sangat peka dengan tekhnologi amplifikasi DNA, waktu yang dipakai
cukup cepat dan sensitivitas(5 parasit/l darah) maupun spesifitasnya tinggi. Keunggulan test ini
walaupun jumlah parasit sangat sedikit dapat memberikan hasil positif. Test ini baru dipakai
sebagai sarana penelitian dan belum untuk pemeriksaan rutin.3
Deteksi Pigmen Malaria
Deteksi pigmen malaria, yaitu hemozoin merupakan salah satu cara otomatis yang
dikembangkan dengan menggunakan alat FBC(Full blood count) analyzer, dengan CellDyn3500
atau CellDyn 4000. Prinsip kerja sama dengan flow ctomettry, yaitu dengan mengukur jumlah
sinar laser yang dipantulkan suatu sel dari berbagai sudut.2

Gambar 2. Deteksi Pigmen Parasit


Working Diagnose (diagnosis kerja)
Diagnosis kerja atau working diagnosis merupakan diagnosis yang paling dekat gejala nya
dengan gejala yang dialami pada pasien, pada kasus ini, dari hasil anamnesis, pasien barusan
pulang dari papua setelah tinggal di sana 1 bulan. Hasil anamnesis ini yang paling kuat ke arah
malaria karena di papua, merupakan tempat endemic terhadap penyakit malaria.
Gejala klinis penyakit malaria adalah Demam dan anemia. Demam mempunyai 3 stadium, yaitu
frigoris(menggigil) yang berlangsung -2 jam, kemudian stadium acme(puncak demam) selama
2-4 jam, kemudian memasuki stadium sudoris dimana penderita banyak keringat. Pada malaria
tertiana demam timbul setiap hari ketiga, sedangkan pada malaria tropika demam akan berjalan
terus menerus. Berdasarkan gejala-gejala yang timbul maka diagnosa pada orang tersebut adalah
Malaria falsifarum atau tropika atau tersiana maligna.
Diagnosis Pembanding (Difference Diagnose)
Diagnosis pembanding merupakan diagnosis yang diperkirakan dekat dengan hasil diagnosis
kerja (Working Diagnose). Diagnosis pembanding dari penyakit malaria di tinjau dari demam
dan keadaan ikterus adalah demam tifoid.3 Sedangkan pada malaria serebral akan menyerupai
meningitis bakterialis, encephalitis, tripanosomamiasis dan dengue encephalopati. Gejala dari
demam tifoid sendiri ialah panas lebih dari 4 hari kontinu terutama pada malam hari. Keadaan
umum penderita kurang, nafsu makan berkurang, mulai apatis, somnolen sampai saporo
komateus bila keadaan menjadi toktis. Fisik lidah coatea, bercak roseola pada kulit,
bradikardirelatif, Hb turun dan lain-lain.4

Epidemologi
Malaria masih merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat yang utama, mempengaruhi
amgka kesehatan bayi, balita, dan ibu melahirkan, serta menimbulkan Kejadian Luar
Biasa(KLB). Jumlah kabupaten/kota endemik tahun 2004 sebanyak 424 dari 579 kabupaten/kota,
dengan perkiraan presentase penduduk yang berisiko penularan sebesar 42,42%. Masalah
malaria terpusat di wilayah Indonesia bagian Timur. Proporsi kematian karena malaria
berdasarkan survei kesehatan rumah tangga pada tahun 2001 sebesar 2%(SKRT, 2001). Kejadian
Luar Biasa(KLB) malaria terjadi di 23 provinsi, 51 Kabupaten/Kota, meliputi 108 desa dengan
jumlah penderita 11.597 dan kematian 298 jiwa. Beberapa KLB disebabkan oleh adanya
perubahan lingkungan tempat perindukan, kegiatan pertanian yang kurang bijaksana, migrasi
penduduk, dan beberapa bencana alam.2 Tingginya side positive rate(SPR) menentukan
endemisitas suatu daerah dan pola klinis penyakit malaria akan berbeda. Secara tradisi
endemisitas daerah dibagi menjadi :3
-

Hipoendemik : bila parasit rate atau spleen rate 0-10%


Mesoendemik : bila parasit rate atau spleen rate 10-50%
Hiperendemik : bila parasit rate atau spleen rate 50-75%
Holoendemik : bila parasit rate atau spleen rate >75%

Parasit rate dan spleen rate ditentukan pada pemeriksaan anak-anak usia 2-9 tahun. Pada daerah
holoendemik banyak penderita anak-anak dengan anemia berat, hiperendemik dan mesoendemik
mulai banyak malaria serebral sedangkan hipoendemik tidak stabil, banyak dijumpai malaria
serebral, fungsi hati dan ginjal pada usia dewasa.3
Etiologi
Parasit malaria termasuk genus Plasmodium dan pada manusia ditemukan 4 spesies, yaitu
Plasmodium vivax, Plasmodium falciparum, Plasmodium malariae dan Plasmodium ovale.
Terdapat

parasit

kera

yang

dilaporkan

menginfeksi

manusia,

yaitu

Plasmodium

knowlesi(Malaysia,1965). Di Indonesia penyakit malaria ditemukan tersebar di seluruh


kepulauan, terutama di kawasan timur Indonesia. Plasmodium falciparum menyebabkan malaria
falsiparum atau tropika atau malaria tersiana maligna dan terdapat di seluruh kepulauan di
Indonesia. Plasmodium falciparum merupakan spesies yang paling berbahaya karena penyakit
yang ditimbulkannya dapat menjadi berat.Plasmodium mengalami pembiakan aseksual di

jaringan hati dan di eritrosit. Pembiakan seksual terjadi pada tubuh nyamuk yaitu anopheles
betina. Perkembangan aseksual dalam hati hanya menyangkut fase pareritrosit saja, tidak ada
fase eksoeritrosit yang dapat menimbulkan relaps seperti pada infeksi Plasmodium vivax dan
Plasmodium ovale. Stadium dini yang dapat dilihat dalam hati adalah skizon yang berukuran
30 mikron pada hari keempat setelah infeksi. Jumlah merozoit pada skizon matang kira-kira
40.000 buah. Stadium perkembangan daur aseksual umumnya tidak berlangsung dalam darah
tepi, kecuali pada kasus berat(pernisiosa). Bila skizon sudah matang, akan mengisi kira-kira dua
pertiga dari eritrosit dan membentuk 8-24 buah merozoit dengan jummlah rata-rata 16 buah
merozoit. Pembentukan gametosit terdapat di kapiler alat-alat dalam, tetapi stadium muda dapat
ditemukan di darah tepi. Siklus seksual Plasmodium falciparum dalam nyamuk umumnya sama
seperti Plasmodium lainnya. Siklus berlangsung 22 hari pada suhu 200C, 15-17 hari pada suhu
250C, 10-11 hari pada suhu 25-280C.5
Nyamuk anophelini yang berperan sebagai vektor malaria hanyalah genus Anopheles. Di seluruh
dunia, genus Anopheles jumlahnya 2000 spesies, 60 spesies sebagai vektor malaria. Di
Indonesia sendiri terdapat 80 spesies dan 16 spesies yang telah dibuktikan sebagai vektor
malaria. Morfologi nyamuk Anopheles adalah pada fase telur diletakkan satu persatu di atas
permukaan air. Bentuk telur seperti perahu yang bagian bawahnya konveks dan bagian atasnya
konkaf. Telur Anopheles juga memiliki pelampung yang terletak di sebelah lateral. Larva
Anophelini mempunyai spirakel pada posterior abdomen, tergal plate pada bagian tengah dorsal
abdomen. Pupa mempunyai tabung pernapasan(respiratory trumpet) yang bentuknya lebar dan
pendek. Pada nyamuk dewasa palpus nyamuk Anopheles mempunyai panjang yang hampir sama
dengan probosisnya. Perbedaan nyamuk jantan dan betina adalah ruas palpus bagian apikal pada
nyamuk jantan berbentuk ganda(club form), sedangkan pada nyamuk betina ruas tersebut
mengecil. Nyamuk Anophenlini mengalami metamorfosis sempurna. Telur menetas menjadi
larva yang kemudian melakukan pengelupasan kulit/eksoskelet sebanyak 4 kali. Lalu larva
tumbuh menjadi pupa dan akhirnya menjadi nyamuk dewasa. Waktu yang diperlukan untuk
metamorfosis bervariasi antara 2-5 hari tergantung pada spesies, makanan yang tersedia dan suhu
udara. Tempat perindukan Anophenilini terbagi dalam 3 kawasan, yaitu pantai, pedalaman, kaki
gunung dan kawasan gunung. Di bagian Nusa Tenggara Timur sendiri terdapat 3 spesies
Anopheles yang menjadi vektor penyakit malaria, yaitu Anopheles sundaicus yang tempat
perindukkan nya di pantai, Anopheles barbirostris dan Anopheles subticus yang perindukannya

di pedalaman. Spesies Anopheles sundaicus antropofilik > zoofilik, menggigit sepanjang malam
dan terdapat di dalam dan luar rumah. Anopheles subticus Antropofilik > zoofilik, menggigit
pada malam hari dan terdapat di dalam dan luar rumah(kandang). Anopheles barbirostris
Antropofilik, Eksofagik > endofagik, menggigit di malam hari dan terletak di luar rumah(pada
tanaman). Aktivitas nyamuk Anophelini sangat dipengaruhi oleh kelembaban udara dan suhu.
Umumnya nyamuk Anophelini aktif menghisap darah hospes pada malam hari atau sejak senja
hingga dini hari. Jarak terbang anophelini biasanya 0,5-3km, tetapi dapat mencapai puluhan
kilometer jika dipengaruhi oleh transportasi dan kencangnya angin. Umur nyamuk di alam bebas
sekitar 1-2 minggu.5
Patogenesis
Setelah melalui jaringan hati Plasmodium falciparum melepaskan 18-24 merozoit ke dalam
sirkulasi. Merozoit yang dilepaskan akan masuk dalam sel RES di limpa dan mengalami
fagositosis serta filtrasi. Merozoit yang lolos dari filtrasi dan fagositosis di limpa akan
menginvasi eritrosit. Selanjutnya parasit berkembang biak secara asexual dalam eritrosit. Bentuk
asexual parasit dalam eritrosit inilah yang bertanggung jawab dalam patogenesa terjadinya
malaria pada manusia. Patogenesa malaria yang banyak diteliti adalah patogenesa malaria yang
disebabkan oleh Plasmodium falciparum.3,5
Patogenesis malaria falciparum dipengaruhi oleh faktor parasit dan faktor pejamu (host). Yang
termasuk dalam faktor parasit adalah intensitas transmisi, densitas parasit dan virulensi parasit.
Sedangkan yang masuk dalam faktor penjamu adalah tingkat endemisitas daerah tempat tinggal,
genetik, usia, status nutrisi dan status imunologi. Parasit dalam eritrosit secara garis besar
mengalami 2 matur pada 24 jam ke-2. Permukaan RESA yang menghilang setelah parasit masuk
stadium matur. Permukaan membrane EP stadium matur akan mengalami penonjolan dan
membentuk knob dengan histidin rich protein 1 sebagai komponen utamanya. Selanjutnya bila
EP tersebut mengalami merogoni, akan dilepaskan toksin malaria berupa GPI yaitu
glikosilfosfatidilinositol yang merangsang pelepasan TNF- dan interleukin 1 (IL-1) dan
makrofag.3,6
Gejala klinis

Manifestasi klinik malaria tergantung pada imunitas penderita, tingginya tranmisi infeksi
malaria. Berat/ringannya infeksi dipengaruhi oleh jenis plasmodium, daerah asal infeksi,
umur,faktor genetik, keadaaan kesehatan dan nutrisi, pengobatan sebelumnya.3
Keadaan klinik dalam perjalanan infeksi malaria:3,7
-

Serangan primer: yaitu keadaan mulai dari akhir masa inkubasi dan mulai terjadi
serangan paroksimal yang terdiri dari menggigil, panas dan berkeringat. Serangan
paroksimal ini dapat pendek atau panjang tergantung dari perbanyakan parasit dan

keadaan imunitas penderita.


Periode latent: yaitu periode tanpa gejala dan tanpa parasitemia selama terjadinya infeksi

malaria. Biasanya terjadi diantara dua keadaan paroksismal.


Recrudescense: yaitu berulangnya gejala klinik dan parasitemia dalam masa 8 minggu
sesudah berakhirnya serangan primer. Berulangnya gejala klinik sesudah periode laten

dan serangan primer.


Recurrence: yaitu berulangnya gejala klinik atau parasitemia setelah 24 minggu

berakhirnya serangan primer.


Relaps: berulangnya gejala klinik atau parasitemia yang lebih lama dari waktu diantara
serangan periodik dari infeksi prime yaitu setelah periode yang lama dari masa latent
(sampai 5 tahun), biasanya terjadi karena infeksi tidak sembuh atau oleh bentuk diluar
eritrosit (hati) pada malaria vivax atau ovale.

Penatalaksanaan
A. Pengobatan simptomatik :8,9
1.

Pemberian antipiretik untuk mencegah hipertermia : parasetamol 15 mg/KgBB/x, beri


setiap 4 jam dan lakukan juga kompres hangat.

2.

Bila kejang, beri antikonvulsan : Dewasa : Diazepam 5-10 mg IV (secara perlahan jangan
lebih dari 5 mg/menit) ulang 15 menit kemudian bila masih kejang. Jangan diberikan
lebih dari 100 mg/24 jam.

3.

Bila tidak tersedia Diazepam, sebagai alternatif dapat dipakai Phenobarbital 100 mg IM/x
Dewasa diberikan 2 x sehari.

B. Pemberian obat anti malaria spesifik :8,9


1.

Kina intra vena (injeksi) masih merupakan obat pilihan (drug of choice) untuk malaria
berat. Kemasan garam Kina HCL 25 % injeksi, 1 ampul berisi 500 mg / 2 ml.

2.

Pemberian anti malaria pra rujukan (di puskesmas) : apabila tidak memungkinkan
pemberian kina perdrip maka dapat diberikan dosis I Kinin antipirin 10 mg/KgBB IM
(dosistunggal).
Cara pemberian :8,9

1.

Kina HCL 25 % (perdrip), dosis 10mg/Kg BB atau 1 ampul (isi 2 ml = 500 mg)
dilarutkan dalam 500 ml dextrose 5 % atau dextrose in saline diberikan selama 8 jam
dengan kecepatan konstan 2 ml/menit, diulang dengan cairan yang sama setiap 8 jam
sampai penderita dapat minum obat.

2.

Bila penderita sudah dapat minum, Kina IV diganti dengan Kina tablet / per oral dengan
dosis 10 mg/Kg BB/ x dosis, pemberian 3 x sehari (dengan total dosis 7 hari dihitung
sejak pemberian infus perdrip yang pertama).
Catatan :

1.

Kina tidak boleh diberikan secara bolus intra vena, karena dapat menyebabkan kadar
dalam plasma sangat tinggi dengan akibat toksisitas pada jantung dan kematian.

2.

Bila karena berbagai alasan Kina tidak dapat diberikan melalui infus, maka dapat
diberikan IM dengan dosis yang sama pada paha bagian depan masing-masing 1/2 dosis
pada setiap paha (jangan diberikan pada bokong). Bila memungkinkan untuk pemakaian
IM, kina diencerkan dengan normal saline untuk mendapatkan konsentrasi 60-100 mg/ml

3.

Apabila tidak ada perbaikan klinis setelah pemberian 48 jam kina parenteral, maka dosis
maintenans kina diturunkan 1/3 - 1/2 nya dan lakukan pemeriksaan parasitologi serta
evaluasi klinik harus dilakukan.

4.

Total dosis kina yang diperlukan :


Hari 0 : 30 mg/Kg BB
Hari I : 30 mg/Kg BB

Hari II dan berikutnya : 15-20 mg/Kg BB.


Dosis maksimum dewasa : 2.000 mg/hari.
5.

Hindari sikap badan tegak pada pasien akut selama terapi kina untuk menghindari
hipotensi postural berat.

6.

Bila tidak memungkinkan dirujuk, maka penanganannya : lanjutkan penatalaksanaan


sesuai protap umum Rumah Sakit (seperti telah diuraikan diatas), yaitu :

7.

Pengobatan spesifik dengan obat anti malaria.

8.

Pengobatan

supportif/penunjang

(termasuk

perawatan

umum

dan

pengobatan

simptomatik)
Menurut Departemen kesehatan Pilihan kombinasi Obat yang dianjurkan adalah, sebagai
berikut :
Lini I : Artesunate+Amodiaguin dosis tunggal selama 3 hari +
primakuin pada hari I
Artesunate : 4 mg/kgbb/hari
Amodiaquin : 10 mg/kgbb/hari
Primakuin : 0,75 mg/kgbb/hari
* Primakuin tidak boleh diberikan pada ibu hamil dan bayi < 1 tahun
dan penderita G6PD.
Lini II : Kina Terasiklin/Doksisiklinselama 7 hari + Primakuin pada
hari I
Kina : 10 mg/kgbb/kali (3 x sehari) selama 7 hari
Doksisiklin dewasa : 4 mg/kgbb/kali (2 x sehari) selama 7 hari
Doksisiklin (8-14 tahun) : 2 mg/kgbb/kali (2 x sehari) selama 7 hari
Tetrasiklin : 4-5 mg/kgbb/kali (4 x sehari) selama 7 hari
Primakuin : 0,75 mg/kgbb/hari
* Doksisiklin/Terasiklin tidak boleh diberikan pada anak dengan

umur dibawah 8 tahun dan ibu hamil.


* Primakuin tidak boleh diberikan pada ibu hamil dan bayi < 1 tahun
dan penderita G6PD.
Non-Medika Mentosa
Penata Laksanaan untuk non medika mentosa adalah istirahat yang cukup, mandi atau
membersihkan badan secara teratur.
Pencegahan
Pencegahan malaria secara umum meliputi 3 hal, yaitu edukasi, kemoprofilaksis, dan upaya
menghindari gigitan nyamuk. Edukasi adalah faktor terpenting pencegahan malaria yang harus
diberikan kepada setiap pelancong atau petugas yang akan bekerja di daerah endemis. Materi
utama edukasi adalah mengajarkan tentang cara penularan malaria, risiko terkena malaria, dan
yang terpenting pengenalan tentang gejaladan tanda malaria, pengobatan malaria terutama SBET,
dan pencegahan malaria dengan kemoprofilaksis serta pencegahan gigitan nyamuk, dan
pengetahuan tentang upaya menghilangkan tempat perindukan nyamuk seperti membuat drainase
yang efektif dan singkirkan tempat pembiakan nyamuk terutama rawa atau tempat air tergenang.
Upaya paling efektif mencegah malaria adalah menghindari gigitan nyamuk naopheles. Upaya
tersebut berupa proteksi pribadi, modifikasi perilaku dan modifikasi lingkungan. Contoh dari
proteksi diri adalah menggunakan insektisida, repellent dan mengurangi aktivittas di luar rumah
mulai senja.2
Kemoprofilaksis
Kemoprofilaksis digunakan untuk mengurangi risiko jatuh sakit jika telah tergigit nyamuk
infeksius. Beberapa obat antimalaria yang sekarang digunakan sebagai kemoprofilaksis adalah
klorokuin, meflokuin(belum tersedia di Indonesia), kombinasi atovaquone-proquanil(belum
tersedia di Indonesia), doksisiklin, dan primakuin. Tingkat efektivitas kemoprofilaksis sangat
ditentukan oleh tingkat resistensi Plasmodium setempat terhadap obat anti malaria dan tingkat
kepatuhan penggunaannya. Klorokuin sudah tidak direkomendasikan lagi di dunia karena
terbukti resisten. Klorokuin digunakan pada daerah Plasmodium falciparum sensitif klorokuin.
500mg basa, per oral, sekali seminggu dimulai 2 minggu sebelum berangkat dan dilanjutkan

sampai 4 minggu setelah meninggalkan daerah endemis. Doksisiklin digunakan 100 mg per oral
sekali sehari, dimulai 2 hari sebelum berangkat dan dilanjutkan sampai 4 minggu setelah pulang.2
Stand by Emergency Self Treatment (SBET)
Stand by Emergency Treatment didefinisikan sebagai pelancong minum obat anti malaria yang
dibawanya sendiri ketika curiga sakit malaria, dan tidak tersediapelayanan medis yang cepat
dalam 24 jam timbulnya gejala penyakit. Kelemahan cara ini adalah penggunaan obat anti
malaria yang berlebihan disertai meningkatnya laporan efek samping obat. Obat SBET yang
diberikan haru sberbeda dengan obat yang digunakan untuk kemoprofilaksis dan dipastikan
malaria di daerah yang dikunjungi masih sensitif terhadap obat SBET. Obat SBET yang
direkomendasikan adalah klorokuin, meflokuin, kina kombinasi dengan doksisiklin, artesunatlumefrantin, artesunat piperakuin. SBET di Indonesia sebaiknya menggunakan ACT dan untuk
kunjungan ke daerah endemis seperti pedalaman Papua, Nusa Tenggara dan Maluku.2
Pengobatan Pencegahan Secara Intermiten(Intermitten Preventive Treatment)
Intermitten Preventive Treatment(IPT) adalah pemberian dosis terapeutik obat anti malaria
dengan waktu atau jadwal tertentu kepada orang-orang yang beresiko untuk pengobatan maupun
pencegahan, jadi tidak memandang status infeksi pasien saat ini apakah sedang sehat atau sakit.
IPT menggunakan dosis terapeutik penuh, diberikan pada penduduk daerah endemis malaria
stabil dengan interval pemberian yang lebih panjang, biasanya sebulan atau beberapa bulan
sekali. Dikenal beberapa IPT, yaitu IPT pada ibu hamil(IPTp), IPT pada bayi (IPTi), IPT pada
anak-anak (IPTc), dan IPT dewasa (IPTa).2
Vaksin Terhadap Malaria
Terdapat 3 jenis vaksin yang dikembangkan yaitu, vaksin sporozoit(bentuk intera hepatik),
vaksin terhadap bentuk aseksual dan vaksin transmission blocking untuk melawan bentuk
gametosit. HOFFMAN berpendapat bahwa vaksin yang ideal adalah vaksin yang multi-stage
(sporozoit, aseksual), multivalen(terdiri dari beberapa antigen) sehingga memberikan respon
multi-imun.3
Pencegahan Pada Kunjungan Singkat

Pencegahan dapat dilakukan dengan cara edukasi, Kemoprofilaksi dengan doksisiklin dan untuk
daerah terpencil melakukan SBET.2
Komplikasi
Komplikasi malaria umumnya disebabkan karena Plasmodium falciparum dan sering disebut
pernicious manifestations. Sering terjadi mendadak tanpa gejala-gejala sebelumnya, dan sering
terjadi pada penderita yang tidak imun seperti pada orang pendatang dan kehamilan. Komplikasi
terjadi 5-10% pada seluruh penderita malaria yang dirawat di RS dan 20% dari padanya
merupakan kasus yang fatal. Penderita malaria dengan komplikasi umumnya digolongkan
sebagai malaria berat yang menurut WHO didefinisikan sebagai infeksi Plasmodium falciparum
dengan satu atau lebih komplikasi sebagai berikut:
Malaria serebral (coma): tidak disebabkan penyakit lain atau lkebih dari 30 menit setelah

serangan kejang
Acidemia/acidosis: pH darah <7,25
Anemia berat
Gagal ginjal akut
Hipoglikemi: gagal sirkulasi atau syok (tekanan sistolik <70mmHg) disertai keringat

dingin. Kejang berulang lebih dari 2 kali/24 jam.


Gangguan kesadaran ringan (GCS <15)
Kelemahan otot (tidak bisa duduk ataupun berjalan)
Hiperparasitemia >5%
Ikterik (bilirubin > 3mg/dl)
Hiperpireksia (temperature rektal > 400C) pada orang dewasa dan anak.

Prognosis
Jika dilakukan penanganan yang baik terhadap penderita Malaria falciparum maka prognosinya
adalah dubia ad bonam (baik). Sedangkan jika tidak ditangani dengan baik, maka prognosisnya
adalah dubia ad malam (buruk).
Kesimpulan

Dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang Tn.E menderita penyakit malaria
falciparum/ serebral. Jika tidak ditangani dengan baik maka prognosis yang terjadi adalah dubia
ad malam.
Daftar Pustaka
1. Supartondo, Setiyohadi B. Buku ajar ilmu penyakit dalam: Anamnesis. Ed.5. Vol.1. Jakarta.
Interna Publishing, 2009. H. 25-7.
2. Harijanto PN, Nugroho A, Gunawan CA. Malaria dari molekuler ke kilinis. Ed.2. Jakarta.
EGC, 2010. H.1-9, 103-14, 325-36.
3. Harijanto PN. Buku ajar ilmu penyakit dalam:Malaria. Ed.5. Vol.3. Jakarta. Interna
Publishing, 2009. H. 2813-25.
4. Santoso M. Standart pelayanan medis penyakit dalam: Rumah Sakit Umum Daerah Koja.
Jakarta. Yayasan Diabetes Indonesia, 2004. H. 13-17.
5. Sutanto I, Ismid IS, Sjarifuddin PK, Sungkar S. Buku ajar parasitologi kedokteran. Ed.4.
Jakarta. Balai Penerbit FKUI, 2008. H. 212-35, 254-6.
6. Widoyono. Penyakit tropis epidemologi, penularan, pencegahan dan pemberantasan. Ed.2.
Jakarta. Erlangga, 2011. H. 157-73.
7. Mcphee SJ, Papadaksis MA, Tierney LM. Current medical diiagnosis and treatment. Ed.6.
USA. Lange, 2007. H. 1517-9.
8. Tracy JW, Webster LT Jr. Goodman & gilman dasar farmakologi terapi. Ed.6. Vol.2. Jakarta.
EGC, 2008. H.1041- 66.
9. Syarif A, Zunilda DS. Farmakologi dan terapi: Obat malaria. Ed.5. Jakarta. Gaya Baru,
2007. H. 556-69.

Anda mungkin juga menyukai