Anda di halaman 1dari 4

VII.

STRUKTUR SOSIAL MASYARAKAT PESISIR

7.1. Ciri Umum Struktur Sosial Masyarakat Pesisir


Struktur sosial dalam masyarakat nelayan umumnya dicirikan dengan kuatnya ikatan
patron-klien. Kuatnya ikatan patron-klien tersebut merupakan konsekuensi dari sifat kegiatan
penangkapan ikan yang penuh dengan resiko dan ketidakpastian. Bagi nelayan menjalin ikatan
dengan patron-klien merupakan langkah yang penting untuk menjaga kelangsungan kegiatannya
karena patron- klien merupakan institusi jaminan sosial ekonomi. Hal ini terjadi karena hingga
saat ini nelayan belum menemukan alternatif intuisi yang mampu menjamin kepentingan sosial
ekonomi mereka.
Hubungan patron-klien merupakan pertalian antara dua orang atau lebih, yakni seorang
individu dari status golongan ekonomi tinggi (patron) dengan dan sumberdayanya memberikan
perlindungan, keuntungan atau keduanya kepada individu dari status ekonomi yang lebih rendah
(klien). Sebagai timbal baliknya, individual dari status yang lebih rendah memberikan pelayanan
menyeluruh termasuk pelayanan individu serta dukungan untuk kepentingan ekonomi maupun
politis (Scott, 1985) dalam Adiwibowo, S (2001). Mengenai hubungan patron-klien ini, Legg
(1983), dalam Najib (1990), mengungkapkan bahwa tata hubungan patron-klien umumnya
berkaitan dengan :
Hubungan antar pelaku yang menguasai sumberdaya yang tidak sama,
Hubungan yang bersifat khusus yang merupakan hubungan pribadi dan mengandung
keakraban,
Hubungan yang didasarkan pada asas saling menguntungkan
Sementara itu, Scott (1993) dalam Satria (2002), melihat hubungan patron-klien sebagai
fenomena yang terbentuk atas dasar ketidaksamaan dan sifat fleksibilitas yang tersebar sebagai
sebuah sistem pertukaran pribadi. Dalam pertukaran itu, berarti ada arus dari patron-klien dan
sebaliknya. Arus dari patron-klien meliputi :
a. penghidupan subsisten dasar, berupa pemberian pekerjaan tetap, penyediaan saprodi,
jasa pemasaran, dan bantuan teknis,
b. jaminan krisis subsisten berupa pinjaman yang diberikan pada saat klien menghadapi
kesulitan ekonomi,
c. perlindungan terhadap klien dari ancaman pribadi (musuh pribadi) maupun ancaman
umum,
d. memberikan jasa kolektif berupa bantuan untuk mendukung sarana umum setempat
(sekolah, tempat ibadah, atau jalan) serta mendukung festifal serta perayaan desa.
Lebih lanjut menurut Scott (1993) dalam Satria (2002), arus dari klien ke patron sulit
dikategorisasi karena klien adalah milik patron yang menyediakan tenaga dan keahliannya
untuk kepentingan patron apapun bentuknya, seperti jasa pekerjaan dasar, jasa tambahan bagi
rumah tangga patron, jasa domestik pribadi. Selain itu, klien merupakan anggota setia dari faksi
lokal tersebut.
Berdasarkan tata hubungan tadi, jelaslah bahwa hubungan antar nelayan dengan patron
yang menguasai sumberdaya tidak sama. Artinya, patron menguasai sumberdaya modal jauh
lebih besar daripada nelayan. Dengan ketidaksamaan penguasaan sumberdaya itu, terjalinlah
ikatan patron-klien. Masyhuri (1999) menggambarkan bahwa pada saat hasil tangkapan kurang
baik, nelayan kekurangan uang. Pada akhirnya, ia melepas barang-barang yang mudah dijual
dengan harga lebih murah kepada patron. Seringkali peran penjualan dilakukan isteri-isteri

nelayan melalui mekanisme pegadaian sehingga mereka menjadi sering berhubungan dengan
institusi pegadaian (Juwono, 1998).
Selanjutnya, nelayan akan mencari hutang kepada patron dengan jaminan ikatan pekerjaan
atau hasil tangkapan yang hanya akan dijual kepada patron dengan harga yang lebih rendah dari
harga pasar. Dengan pola patron-klien seperti ini, klien sering dihadapkan pada sejumlah masalah
seperti pelunasan kredit yang tidak pernah berakhir.
Hubungan patron-klien pada masyarakat pesisir dan lautan merupakan sistem sosial yang
telah berakar pada masyarakat dan sulit untuk diubah dan hubungan tersebut cenderung
menguntungkan pihak patron. Namun demikian pola patron-klien terus terjadi dalam komunitas
masyarakat nelayan karena memang belum ada institusi formal yang mampu berperan sebagai
patron. Institusi tersebut belum berjalan secara efektif karena ada kesenjangan kultur intuisi yang
dibangun secara formal dengan kultur nelayan yang masih menekankan aspek personalitas. Di
sisi lain, nelayan sendiri belum mampu membangun institusi baru secara mandiri. Meski diakui
bahwa para nelayan itu memiliki etos kerja dan mobilitas tinggi serta solidaritas sesama yang
kuat, tetap saja mereka masih memiliki sejumlah kelemahan, khususnya kemampuan dalam
mengorganisasi diri untuk kepentingan ekonomi maupun profesi.
Contoh kasus yang terjadi misalnya sistem langgan di Kecamatan Mauk, Tangerang,
Pappalele di Kelurahan Talia, Sulawesi Selatan dan masih banyak lagi contoh kasus yang bisa
kita dapatkan.
7.2. Stratifikasi Sosial
Secara harfiah dalam bahasa Indonesia stratifikasi adalah pelapisan sosial. Stratifikasi
sosial adalah penggolongan atau pembedaan orang-orang dalam suatu sistem sosial tertentu ke
dalam lapisan-lapisan hirarkis menurut dimensi kekuasaan, previlese, dan prestise (Ibrahim,
2003).
Selanjutnya, penggolongan atau pembedaan artinya setiap individu menggolongkan dirinya
sebagai orang yang termasuk dalam suatu lapisan tertentu (menganggap dirinya lebih rendah atau
lebih tinggi dari pada orang lain). Dengan demikian pelapisan sosial merupakan proses
menempatkan diri dalam suatu lapisan (subyektif) atau penempatan orang ke dalam lapisan
tertentu (obyektif).
Menurut Sorokin (1962) dalam Satria (2002), stratifikasi sosial berarti pembedaan populasi
berdasarkan kelas secara hirarkis. Basis pembedaan kelas adalah hak dan previlege, kewajiban
dan tanggung jawab, nilai sosial dan privasi, serta kekuasaan dan pengaruhnya terhadap
masyarakat. Lebih lanjut Sorokin membagi bentuk stratifikasi menjadi tiga, yaitu :
1.

stratifikasi berdasar ekonomi, yaitu jika dalam suatu masyarakat terdapat perbedaan atau
ketidaksetaraan ekonomi,
2.
stratifikasi berdasarkan politik, yaitu jika terdapat rangking sosial berdasarkan otoritas,
prestise, kehormatan dan gelar, atau jika ada pihak yang mengatur dan yang diatur.
3.
Stratifikasi berdasarkan pekerjaan, yaitu jika masyarakat terdiferensiasi ke dalam
berbagai pekerjaan dan beberapa di antara pekerjaan itu lebih tinggi statusnya dibandingkan
pekerjaan lain.
Untuk mempelajari stratifikasi sosial suatu masyarakat setidaknya ada tiga pendekatan
yang dapat dilakukan (Zanden, 1990) dalam Satria (2002) :
1. Pendekatan obyektif, yaitu menggunakan ukuran obyektif berupa variabel yang mudah
diukur secara statistik seperti pendidikan, pekerjaan, atau penghasilan.
2. Pendekatan subyektif, yaitu kelas dilihat sebagai kategori sosial dan disusun dengan meminta
para responden survei untuk menilai status sendiri dengan jalan menempatkan diri pada skala
kelas tertentu. Data yang terkumpul memberikan gambaran subyektif mengenai stratifikasi.

3. Pendekatan reputasional. Dalam pendekatan ini subyek penelitian diminta untuk menilai
status orang lain dengan jalan menempatkan orang lain itu pada skala tertentu.
Stratifikasi sosial terwujud dua unsur yaitu : (a). status (kedudukan); dan (b). role
(peranan). Kedudukan dan peranan sebenarnya melekat dalam satu obyek individu. Keduanya
sebenarnya melekat dalam satu obyek individu. Keduanya merupakan sisi-sisi yang saling berkait
erat. Pengertian kedua konsep tersebut sebagai berikut :
a). Status sosial atau kedudukan sosial adalah tempat dimana seseorang dalam suatu sistem
sosial dihubungkan dengan orang-orang lainnya dalam sistem sosial (dalam pengertian
obyektif). Seseorang dikatakan berada pada ststus sosial yang tinggi karena orang lain
menempatkan dia pada tempat yang lebih tinggi dari dirinya.
b). Sosial role atau peranan sosial adalah perilaku normatif seseorang karena kedudukannya.
Dapat juga diartikan sebagai pola perilaku yang diharapkan dari seseorang sesuai status yang
disandangnya dalam sistem sosial tertentu.
Peranan merupakan sisi lain dari kedudukan. Apabila seseorang melaksanakan hak dan
kewajiban sesuai kedudukannya, maka berarti dia menjalankan suatu peranan. Tinggi rendahnya
status seseorang dalam suatu sistem sosial tertentu dilihat dari beberapa kriteria ukuran yang
tidak lain merupakan dimensi-dimensi pelapisan sosial yakni kekuasaan, previlese, dan prestise
(kehormatan).
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi kekuasaan, previlese, dan prestise antara lain :
Faktor Ekonomi
Faktor ekonomi dalam pelapisan sosial merupakan faktor utama atau dominan dalam proses
pelapisan sosial di masyarakat. Pelapisan sosial berdasarkan faktor ekonomi berarti kita
membedakan orang menurut kesempatan yang dimilikinya dalam bidang ekonomi.
Kesempatan-kesempatan itu antara lain dapat dilihat dalam pendapatan yang diperoleh
setahun, kekayaan yang dimilikinya sekarang yang dapat dipergunakan sewaktu-waktu
untuk meningkatkan kehidupan ekonominya.
Faktor Seks (jenis kelamin)
Jenis kelamin merupakan kategori sosial yang diperoleh manusia sejak lahir, artinya tidak
diperoleh atas dasar usaha yang disengaja.
Ada kecenderungan bahwa pria memiliki kesempatan yang lebih banyak dibanding wanita.
Dengan kata lain wanita dipandang lebih rendah oleh beberapa masyarakat dari pada pria.
Pemikiran-pemikiran yang membedakan kedudukan dan peran berdasarkan jenis kelamin
disebut gender. Masyarakat pedesaan membatasi kiprah anak putrinya dalam hubungan
sosial. Budaya pingit masyarakat Jawa sangat menunjukkan pola stratifikasi sosial
berdasarkan jenis kelamin yang begitu jelas. Karena itu timbul usaha-usaha emansipasi
seperti yang dimotori oleh R.A. Kartini dan Dewi Sartika.
Menurut Ulfah dan Ihromi (1986), dalam Ibrahim (2003), pembedaan antara pria dan wanita
dapat dipahami dalam dua kerangka pikiran. Yang pertama berpangkal pada teori biologis
dan yang kedua berpangkal pada teori lingkungan. Teori biologis menerangkan bahwa
peranan-peranan yang berbeda antara pria dan wanita dalam hidup bermasyarakat
disebabkan oleh perbedaan hakiki dalam sifat badani dan jiwa kedua jenis kelamin ini.
Faktor Usia
Proses menghargai orang tua adalah hal yang telah membudaya dalam masyarakat Indonesia.
Proses menghargai orang tua dalam budaya Indonesia melahirkan budaya paternalistik dan
gerontokrasi. Sifat paternalistik ditunjukkan dengan dihormatinya orang tua tidak hanya
dalam kehidupan keluarga tetapi juga dalam bidang pemerintahan, hukum dan politik. Dalam

hal kehidupan politik muncullah kekuasaan gerontokrasi yaitu kekuasaan yang kebanyakan
dipegang oleh orang-orang tua.
Budaya menghormati orang tua pada dasarnya mempunyai nilai yang baik dalam kehidupan
masyarakat. Tetapi kadangkala ada sifat menghormati yang berlebihan dan secara tidak
langsung menghambat kemajuan generasi dibawahnya.
Faktor Pendidikan
Orang-orang terdidik umumnya mempunyai hubungan sosial yang lebih luas, informasi yang
lebih banyak, sehingga mudah menerima inovasi baru. Karena itu, para terdidik ini mudah
menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan sosial yang dialaminya. Aspek-aspek ini
diberi nilai yang lebih oleh orang lain dan mendudukkan para terdidik itu kedudukan yang
lebih tinggi.

Anda mungkin juga menyukai