Anda di halaman 1dari 9

DETEKSI DINI AUTIS

PADA ANAK
Abstrak
Masalah kesehatan jiwa menjadi fokus utama dalam upaya peningkatan sumber daya
manusia khususnya pada anak dan remaja yang merupakan generasi yang harus
dipersiapkan sebagai sumber kekuatan bangsa. Gangguan jiwa pada anak dan remaja
akhir-akhir ini terus meningkat, hampir 20% anak-anak terdeteksi mengalami gangguan
jiwa.
Salah satu masalah kesehatan jiwa pada anak yang meningkat akhir-akhir ini adalah
autis. Autism adalah gangguan perkembangan pervasif pada anak yang ditandai dengan
adanya gangguan dan keterlambatan dalam bidang kognitif, bahasa, perilaku, komunikasi
dan interaksi sosial. Dalam artikel ini dibahas tentang cara deteksi dini terhadap autism,
sehingga masalah autism dapat segera diatasi sedini mungkin.
1. Pendahuluan
1.1.

Latar Belakang
Masalah kesehatan jiwa perlu menjadi fokus utama dalam upaya peningkatan
sumber daya manusia, khususnya pada anak dan remaja yang merupakan generasi
yang harus dipersiapkan sebagai sumber kekuatan bangsa (Hamid, A.Y, 2008).
Menurut Hamid A.Y (2008), 7-14% dari populasi anak dan remaja mengalami
gangguan kesehatan jiwa. Pravelensi gangguan kesehatan jiwa pada anak dan
remaja akan cenderung meningkat seiring dengan permasalahan hidup di
masyarakat yang semakin kompleks.
Di United States diperkirakan sekitar 20% anak-anak terdeteksi mengalami
gangguan jiwa (Levine, 2006). Masalah kejiwaan yang terjadi pada anak dan
remaja antara lain karena penyalahgunaan narkoba, kekerasan yang dilakukan
oleh orang tua, pengabaian, dan lain-lain. Anak-anak tersebut membutuhkan
perhatian khusus untuk segera mendapatkan penanganan dalam bentuk terapi
kejiwaan dan program rehabilitasi yang tepat.

Data Kebijakan Nasional Kesehatan Jiwa (National Health Policy) 2001-2005


menunjukkan bahwa ratio gangguan kesehatan jiwa/emosional pada kelompok
anak berusia 4-15 tahun adalah 104/1000 anak. Dalam studi prevalensi problem
emosional dan perilaku pada anak usia sekolah dasar di wilayah Jakarta Pusat
tahun 2003 dengan menggunakan instrumen Child behavior Checklist (Rahadian

dan Wiguna, 2003) di dapatkan angka 27%. Prevalensi pada anak laki-laki lebih
besar dibandingkan dengan anak perempuan (30,5% vs 22,6%). Problem
internalisasi (cemas, depresi, dan isolasi diri) lebih besar jika dibandingkan dengan
problem ekternalisasi (30% vs 10.2%). Ang dan Wiguna (2007), melakukan studi
prevalensi gangguan mental pada anak sekolah menengah pertama di wilayah
Jakarta Pusat dengan menggunakan instrumen MINI for Kids mendapatkan angka
prevalensi sebesar 26,5 %. Gangguan mental lebih banyak ditemukan pada pelajar
perempuan jika dibandingkan dengan pelajar laki-laki. Jenis gangguan mental yang
paling banyak ditemukan adalah gangguan mood, gangguan cemas, gangguan
pemusatan perhatian dan/ hiperaktivitas (GPPH), serta gangguan perilaku
(Departemen Psikiatri FK-UI, 2010).
Salah satu masalah gangguan kesehatan jiwa yang akan dibahas pada artikel ini
adalah autis. Kelainan autistik atau autisma pada anak adalah salah satu bentuk
penyakit yang tergolong dalam gangguan pervasif. Angka kejadian autisma
tampaknya meningkat pesat dalambeberapa tahun terahkir ini. Peningkatan ini
terutama karena meningkatnya penyampaian informasi yang disampaikan berbagai
media cetak maupun elektronik terutama internet. Sehingga baik kalangan medis
maupun awam mengetahui perkembangan tehnolgi kesehatan yang berkaitan
dengan hal tersebut. Sehingga masalah penyimpangan perilaku pada anak
khususnya autisma ini menjadi persoalan yang aktual dan menarik yang ingin
diketahui oleh masyarakat baik dari kalangan akademisi maupun masyarakat
umumnya (Mardiyono, 2010).

1.2. Tujuan Penulisan


Dalam penulisan artikel ini bertujuan untuk mengetahui cara deteksi dini autis
pada anak.

2. Tinjauan Literatur
2.1 Pengertian Autism

Autism adalah gangguan perkembangan pervasif pada anak yang ditandai dengan
adanya gangguan dan keterlambatan dalam bidang kognitif, bahasa, perilaku,
komunikasi dan interaksi sosial. Kata autisma berasal dari bahasa Yunani auto
berarti sendiri yang ditujukanpada seseorang yang menunjukkan gejala hidup
dalam dunianya sendiri. Pada umumnya penderita autisma mengacuhkan suara,
penglihatan ataupun kejadian yang melibatkan mereka. Jika ada reaksi biasanya
reaksi ini tidak sesuai dengan situasi atau malahan tidak ada reaksi sama sekali.
Mereka menghindari atau tidak berespon terhadap kontak sosial (pandangan mata,
sentuhan kasih sayang, bermain dengan anak lain dan sebagainya. (Mardiyono,
2010)
2.2 Penyebab Autism
Menurut Mardiyono (2010), Penyebab autisme belum diketahui secara pasti.
Beberapa ahli menyebutkan autisme disebabkan karena terdapat gangguan
biokimia, ahli lain berpendapat bahwa autisme disebabkan oleh gangguan
psikiatri/jiwa.
Ahli lainnya berpendapat bahwa autisme disebabkan oleh karena kombinasi
makanan yang salah atau lingkungan yang terkontaminasi zat-zat beracun yang
mengakibatkan kerusakan pada usus besar yang mengakibatkan masalah dalam
tingkah laku dan fisik termasuk autisme.
Walaupun paparan logam berat (air raksa) terjadi pada setiap anak, namun hanya
sebagian kecil saja yang mengalami gejala autism. Hal ini mungkin berkaitan
dengan teori genetik, salah satunya berkaitan dengan teori Metalotionin. Beberapa
penelitian anak autism tampaknya didapatkan ditemukan adanya gangguan
netabolisme metalotionin.
Metalotionon adalah merupakan sistem yang utama yang dimiliki oleh tubuh dalam
mendetoksifikasi air raksa, timbal dan logam berat lainnya. Setiap logam berat
memiliki afinitas yang berbeda terhada metalotionin. Berdasarkan afinitas tersebut
air raksa memiliki afinitas yang paling kuat dengan terhadap metalotianin
dibandingkan logam berat lainnya sepertoi tembaga, perak atau zinc.

2.4 Diagnosis Autism


Untuk menetapkan diagnosis gangguan autism para klinisi sering menggunakan
pedoman DSM IV.Gangguan Autism didiagnosis berdasarkan DSM-IV:
Harus ada sedikitnya 6 gejala dari(1), (2), and (3), dengan minimla harus ada 2
gejala dari (1), dan satu gejala masing-masing dari (2) dan (3):
(1) Gangguan Kualitatif dalam Interaksi Sosial, minimal harus ada dua manifestasi:

Hendaya dalam perilaku non verbal seperti : kontak mata sangat kurang,
ekspresi muka kurang hidup, sikap tubuh atau gerak tubuh dalam interaksi
sosial

Kegagalan

dalam

berhubungan

dengan

anak

sebaya

sesuai

dengan

perkembangannya

Tidak dapat merasakan apa yang dirasakan orang lain

Kurangnya hubungan sosial dan emosional

(2) Gangguan Kualitatif dalam Bidang Komunikasi, minimal 1 gejala di bawah ini:

Bicara terlambat atau bahkan sama sekali tak berlkembang (tak ada usaha
untuk mengimbangi komunikasi dengan cara lain tanpa bicara).

Bila bisa bicara tidak dipakai untuk komunikasi

Sering menggunakan bahasa yang aneh dan diulang-ulang.

Cara bermain kurang variasi, kurang imajinatif dan kurang bisa meniru.

(3) Suatu Pola yang Dipertahankan dan diulang-ulang dalam perilaku, minat dan
kegiatan. Sedikitnya harus ada 1 gejala di bawah ini :

Mempertahankan satu minat atau lebih dengan cara yang sangat khas dan
berlebihan.

Terpaku pada satu kegiatan ritual atau rutin yang tidak ada gunanya

Terdapat gerakan-gerakan aneh yang khas berulang-ulang.

Seringkali terpukau pada bagian-bagian benda

2.5 Deteksi Dini Autism


Menurut Mardiyono (2010), deteksi dini pada anak dengan autim melalui beberapa
tahapan, antara lain :
1. Deteksi Dini Sejak dalam Kandungan
Sampai sejauh ini dengan kemajuan tehnologi kesehatan di dunia masih juga belum
mampu mendeteksi resiko autism sejak dalam kandungan. Terdapat beberapa
pemeriksaan biomolekular pada janin bayi untuk mendeteksi autism sejak dini,
namun pemeriksaan ini masih dalam batas kebutuhan untuk penelitian.
2. Deteksi Dini Sejak Lahir hingga Usia 5 tahun
Autisma agak sulit di diagnosis pada usia bayi, tetapi penting untuk mengetahui
gejala dan tanda penyakit ini sejak dini karena penanganan yang lebih cepat akan
memberikan hasil yang lebih baik.
Ada beberapa gejala yang harus diwaspadai terlihat sejak bayi atau anak menurut
usia :
a. Usia 0-6 bulan

Bayi tampak terlalu tenang ( jarang menangis)

Terlalu sensitif, cepat terganggu/terusik

Gerakan tangan dan kaki berlebihan terutama bila mandi

Tidak babbling

Tidak ditemukan senyum sosial diatas 10 minggu

Tidak ada kontak mata diatas umur 3 bulan

Perkembangan motor kasar/halus sering tampak normal

b. Usia 6 12 Bulan
Kaku bila digendong
Tidak mau bermain permainan sederhana (ciluk ba, da-da)
Tidak mengeluarkan kata
Tidak tertarik pada boneka
Memperhatikan tangannya sendiri
Terdapat keterlambatan dalam perkembangan motor kasar/halus
Mungkin tidak dapat menerima makanan cair
c. Usia 2 3 tahun
Tidak tertarik untuk bersosialisasi dengan anak lain
Melihat orang sebagai benda
Kontak mata terbatas
Tertarik pada benda tertentu
Kaku bila digendong

d. Usia 4 5 Tahun
Sering didapatkan ekolalia (membeo)
Mengeluarkan suara yang aneh (nada tinggi atau datar)
Marah bila rutinitas yang seharusnya berubah
Menyakiti diri sendiri (membenturkan kepala)
Temperamen tantrum atau agresif

3. Deteksi Dini dengan Skrening


Beberapa ahli perkembangan anak menggunakan klarifikasi yang disebut sebagai
Zero to three's Diagnostic Classification of Mental Health and Development
Disorders of Infacy and early Childhood. DC-0-3 menggunakan konsep bahwa proses
diagnosis adalah proses berkelanjutan dan terus menerus, sehingga dokter yang
merawat dalam pertambahan usia dapat mendalami tanda, gejala dan diagnosis pada
anak. Menurut Judarwanto W (2010), beberapa deteksi dini dengan menggunakan
skrening antara lain :
a. MSDD (Multisystem Developmental Disorders)
MSDD (Multisystem Developmental Disorders) adalah diagnosis gangguan
perkembangan dalam hal kesanggupannya berhubungan, berkomunikasi, bermain
dan belajar. Gangguan MSDD tidak menetap seperti gangguan pada Autistis
Spectrum Disorders, tetapi sangat mungkin untuk terjadi perubahan dan
perbaikkan. Pengertian MSDD meliputi gangguan sensoris multipel dan interaksi
sensori motor. Gejala MSDD meliputi : gangguan dalam berhubungan sosial dan
emosional dengan orang tua atau pengasuh, gangguan dalam mempertahankan dan
mengembangkan komunikai, gangguan dalam proses auditory dan gangguan
dalam

proses

berbagai

sensori

lain

atau

koordinasi

motorik.

b. Pervasive Developmental Disorders Screening Test PDDST II


PDDST-II adalah salah satu alat skrening yang telah dikembangkan oleh Siegel B.
dari Pervasive Developmental Disorders Clinic and Laboratory, Amerika Serikat
sejak tahun 1997. Perangkat ini banyak digunakan di berbagai pusat terapi
gangguan perliaku di dunia. Beberapa penelitian menunjukkan hasil yang cukup
baik

sebagai

alat

bantu

diagnosis

atau

skrening

Autis.

c. Deteksi Dini Dengan Chat (Cheklist in Toddler)


Terdapat beberapa perangkat diagnosis untuk skreening (uji tapis) pada
penyandang autism sejak usia 18 bulan sering dipakai di adalah CHAT (Checklist
Autism in Toddlers). CHAT dikembangkan di Inggris dan telah digunakan untuk
penjaringan lebih dari 16.000 balita. Pertanyaan berjumlah 14 buah meliputi
aspek-aspek : imitation, pretend play, and joint attention. Menurut American of
Pediatrics, Committee on Children With Disabilities. Technical Report : The
Pediatrician's Role in Diagnosis and Management of Autistic Spectrum Disorder
inChildren.

4. Rapid Attention Back and Fourt Comunicattion Test


Tes untuk mengetahui gejala autisme pada anak yang ada saat ini rata-rata memakan
waktu hingga dua jam. Untuk itu, tim peneliti dari Universitas Emory dan Georgia
Tech mencoba menawarkan cara baru yang lebih cepat. Dengan metode Rapid
Attention Back and Forth Communication Test atau Rapid ABC, uji gejala autisme
anak hanya berlangsung selama lima menit. Caranya, anak dilibatkan dalam kegiatan
yang sederhana yang memerlukan konsentrasi, komunikasi, dan pengenalan. Tes
sangat efektif untuk mengetahui gejala awal autisme pada anak usia 18 bulan hingga
dua tahun. Meski begitu, tes ini tidak dapat menggantikan screening autisme secara
komprehensif. Setelah mengidentifikasi cepat anak yang berisiko autisme di awal
perkembangan, mereka harus segera mendapat terapi.
Menurut Levine (2008), mengatakan gejala gangguan spektrum autisme mencakup
gangguan dalam interaksi sosial dan komunikasi, tetapi juga dicirikan oleh perilaku
yang tidak biasa seperti gerakan berulang, mengepakkan tangan dan kurangnya
kontak mata. Sebelumnya diagnosis dan intervensi terkait dengan hasil jangka
panjang lebih baik, katanya seperti dikutip dari Momlogic. Levine juga mencatat
bahwa jika orangtua curiga anak mereka mungkin terkena autisme, tes Rapid ABC
hanyalah tes cepat. Kemudian harus dilanjutkan dengan uji diagnostik untuk evaluasi
emosional dan fisik secara menyeluruh.
3. Kesimpulan
Perkembangan teknologi dan metode deteksi dini terhadap anak dengan masalah autis
sangat bermanfaat dalam penanganan masalah autis pada anak, sehingga dampak autis
yang kompleks dapat di cegah dan mendapatkan penanganan sedini mungkin. Masalah
autis pada anak adalah hal yang serius dan menjadi salah satu masalah pada kejiawaan
anak yang masih ditakuti oleh semua orang tua jika terjadi pada anaknya. Semoga

artikel ini memberikan informasi yang bermanfaat untuk kemajuan teknologi


kesehatan.

Daftar Pustaka
Anonim (2010). http://koranindonesiasehat.wordpress.com/2010/04/23/deteksi-dini-autismpada-anak-hanya-lima-menit/. Diakses pada tanggal 01 November 2010.
Anonim (2010). http://downloads.ziddu.com/downloadfile/9050216/gangguan jiwa pada anak dan
remaja. doc.h.html . Diakses pada tanggal 31 Oktober 2010.
Dewi R (2010). Peran Orang Tua pada Terapi Biomedis pada Anak Autis. Tesis. Fakutas Psikologi
Gunadarma.
Departemen Psikiatrik FK-UI. Deteksi Dini Gangguan Jiwa pada Anak. Jakarta.

Hamid A.Y (2008). Asuhan Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta : EGC


Judarwanto W (2010). http://puterakembara.org/archives10/00000055.shtml. Di akses pada
tanggal 01 November 2010.
Mardiyono A (2010). http://www.pdkjateng.go.id/index.php/upt/bpdiksus/196-deteksi-dini
autism. Di akses pada tanggal 01 November 2010.

Anda mungkin juga menyukai