Anda di halaman 1dari 13

BAB II

ISI

A. Stroke
1.

Pengertian
Stroke adalah manifestasi klinik dari gangguan fungsi serebral, baik fokal

maupun menyeluruh (global), yang berlangsung cepat, berlangsung lebih dari 24


jam, atau berakhir dengan maut, tanpa ditemukannya penyebab selain daripada
gangguan vaskular (8). Defisit neurologis susunan saraf pusat terjadi secara
mendadak akibat peristiwa iskemik berupa oklusi aliran darah ke otak akibat
adanya trombus atau peristiwa hemoragik yaitu rupturnya pembuluh darah otak.
2.

Etiologi
Penyebab utama stroke adalah oklusi vaskuler (trombosis), embolisme,

hipertensi yang menimbulkan perdarahan intraserebral dan ruptur aneurisma


vaskular. Pada umumnya telah ada penyakit lain yang mendahului gangguan
peredaran darah otak (stroke) antara lain penyakit kardiovaskular (penyakit
jantung, hipertensi), penyakit/gangguan otak lainnya (penyakit degeneratif),
artritis, penyakit vaskular perifer penyakit paru-paru menahun, kanker, diabetes
mellitus dan trauma kepala (9).
3.

Klasifikasi
Menurut WHO, ada 3 tipe utama stroke. Masing-masing tipe berbeda dalam

kemampuan bertahan hidup dan tingkat kecacatan jangka panjang (8).


1). Stroke Iskemik
4

Stroke iskemik disebabkan oklusi arteri serebri.


a) Trombus dapat disebabkan secara langsung pada tempat tersebut (stroke
iskemik trombotik). Gejala utama timbulnya defisit neurologik secara
mendadak/subakut, didahului gejala prodromal, terjadi pada waktu istirahat
atau bangun pagi dan kesadaran biasanya tak menurun. Biasanya terjadi pada
usia lebih dari 50 tahun. Pada pungsi lumbal, Liquor Cerebro Spinalis (LCS)
jernih, tekanan normal, dan eritrosit kurang dari 500. Pemeriksaan CT Scan
dapat dilihat adanya daerah hipodens yang menunjukkan infark/iskemik dan
edema.
b) Embolus dari sirkulasi yang mengikuti aliran darah sehingga menyebabkan
obstruksi arteri serebri (stroke iskemik embolik). Stroke ini terjadi pada usia
lebih muda, mendadak dan pada waktu aktif. Sumber emboli berasal dari
berbagai tempat yakni kelainan jantung atau ateroma yang terlepas. Kesadaran
dapat menurun bila embolus cukup besar. Pemeriksaan LCS normal.
Diagnosis ditegakkan berdasarkan neuroimaging.
2). Stroke Hemoragik Intraserebral
Merupakan perdarahan arteri yang menuju parenkim otak dan bukan
disebabkan oleh trauma. Diagnosis ditegakkan berdasarkan neuroimaging.
3). Stroke Hemoragik Subarachnoid
Merupakan perdarahan arteri di subarachnoid. Gejala khas yang muncul
adalah sakit kepala hebat, onset mendadak dan biasanya disertai penurunan
kesadaran. Diagnosis ditegakkan berdasarkan neuroimaging atau lumbal
pungsi.

Gambar 2.1 klasifikasi stroke


4.

Patofisiologi Stroke
Setiap kondisi yang menyebabkan perubahan perfusi darah pada otak akan

menyebabkan keadaan hipoksia. Hipoksia yang berlangsung lama dapat


menyebabkan iskemik otak. Iskemik yang terjadi dalam waktu yang singkat
kurang dari 10-15 menit dapat menyebabkan defisit sementara dan bukan defisit
permanen. Sedangkan iskemik yang terjadi dalam waktu lama dapat menyebabkan
sel mati permanen dan mengakibatkan infark pada otak.
Setiap defisit fokal permanen akan bergantung pada daerah otak mana yang
terkena. Pembuluh darah yang paling sering mengalami iskemik adalah arteri
serebral tengah dan arteri karotis interna. Defisit fokal permanen dapat tidak
diketahui jika klien pertama kali mengalami iskemik otak total yang dapat teratasi.
Jika aliran darah ke tiap bagian otak terhambat karena trombus atau emboli,
maka mulai terjadi kekurangan suplai oksigen ke jaringan otak. Kekurangan
oksigen dalam satu menit dapat menunjukkan gejala yang dapat pulih seperti
kehilangan kesadaran. Sedangkan kekurangan oksigen dalam waktu yang lebih

lama menyebabkan nekrosis mikroskopik neuron-neuron. Area yang mengalami


nekrosis disebut infark.
Gangguan peredaran darah otak akan menimbulkan gangguan pada
metabolisme sel-sel neuron, dimana sel-sel neuron tidak mampu menyimpan
glikogen sehingga kebutuhan metabolisme tergantung dari glukosa dan oksigen
yang terdapat pada arteri-arteri yang menuju otak.
Peredaran intrakranial termasuk peredaran ke dalam ruang subarakhnoid atau
ke dalam jaringan otak sendiri. Hipertensi mengakibatkan timbulnya penebalan
dan degeneratif pembuluh darah yang dapat menyebabkan rupturnya arteri
serebral sehingga peredaran menyebar dengan cepat dan menimbulkan perubahan
setempat serta iritasi pada pembuluh darah otak.
Peredaran biasanya berhenti karena pembentukan trombus oleh fibrin
trombosit dan oleh tekanan jaringan. Setelah 3 minggu, darah mulai direabsorbsi.
Ruptur ulangan merupakan risiko serius yang terjadi sekitar 7-10 hari setelah
perdarahan pertama.
Ruptur ulangan mengakibatkan terhentinya aliran darah bagian tertentu,
menimbulkan iskemik fokal, dan infark jaringan otak. Hal tersebut dapat
menimbulkan gegar otak dan kehilangan kesadaran, peningkatan tekanan cairan
serebrospinal (CCS), dan menyebabkan gesekan otak (otak terbelah sepanjang
serabut). Perdarahan mengisi ventrikel atau hematoma yang merusak jaringan
otak.
Perubahan sirkulasi CCS, obstruksi vena, adanya edema dapat meningkatkan
tekanan intrakranial yang membahayakan jiwa dengan cepat. Peningkatan tekanan

intrakranial yang tidak diobati mengakibatkan herniasi unkus atau serebellum. Di


samping itu, terjadi bradikardia, hipertensi sistemik, dan gangguan pernafasan.
Darah merupakan bagian yang merusak dan bila terjadi hemodialisa, darah
dapat mengiritasi pembuluh darah, meningen, dan otak. Darah dan vasoaktif yang
dilepas mendorong spasme arteri yang berakibat menurunnya perfusi serebral.
Spasme serebri atau vasospasme biasa terjadi pada hari ke-4 sampai ke-10 setelah
terjadinya perdarahan dan menyebabkan konstriksi arteri otak. Vasospasme
merupakan komplikasi yang mengakibatkan terjadinya penurunan fokal
neurologis, iskemik otak, dan infark (10).
5.

Gejala dan Manifestasi Klinis


Gejala neurologis stroke yang timbul bergantung pada berat ringannya

gangguan pembuluh darah dan lokasinya. Manifestasi klinis stroke dapat berupa
(11):
1). Kelumpuhan wajah atau anggota badan (biasanya hemiparesis) yang timbul
mendadak
2). Gangguan sensibilitas pada satu atua lebih anggota badan (gangguan
hemisensorik)
3). Perubahan mendadak status mental (konfusi, delirium, letargi, stupor, atau
koma)
4). Afasia (bicara tidak lancar, kurangnya ucapan, atau kesulitan memahami
ucapan)
5). Disartria (bicara pelo atau cadel)
6). Gangguan penglihatan (hemianopsia atau monokuler) atau diplopia

7). Ataksia (trunkal atau anggota badan), vertigo, mual dan muntah, atau nyeri
kepala.
6.

Penurunan Fungsi Kognitif Pada Pasien Stroke


Fungsi kognitif dimaksudkan untuk menunjukkan kemampuan seseorang

dalam belajar, menerima, dan mengelola informasi dari lingkungan sekitarnya.


Kerusakan otak merupakan faktor yang mempengaruhi fungsi kognitif, sehingga
memunculkan manifestasi gangguan fungsi kognitif. Kerusakan hemisfer kiri dan
kanan memberikan wujud gejala yang berbeda karena telah terjadi proses
lateralisasi dari fungsi-fungsi tertentu ke salah satu hemisfer (dominasi serebral).
Kerusakan hemisfer kiri akan menimbulkan gangguan kemampuan berbahasa,
membaca, menulis, menghitung, memori verbal dan gerakan motorik terampil.
Kerusakan hemisfer kanan akan menimbulkan gangguan fungsi visuospasial
(persepsi), visuomotor, pengabaian (neglect), memori visual, dan koordinasi
motorik (9).
Gangguan fungsi kognitif merupakan gangguan fungsi luhur otak berupa
gangguan orientasi, perhatian, konsentrasi, daya ingat dan bahasa serta fungsi
intelektual yang diperlihatkan dengan adanya gangguan dalam berhitung, bahasa,
daya ingat semantik (kata-kata) dan pemecahan masalah. Stroke meningkatkan
risiko untuk mengalami penurunan fungsi kognitif sebanyak 3 kali (12).
Gangguan fungsi kognitif untuk jangka panjang jika tidak dilakukan penanganan
yang optimal akan meningkatkan insidensi demensia (13).
Secara umum apabila terjadi gangguan pada otak, maka seseorang akan
mengalami gejala yang berbeda, sesuai dengan yang terganggu yaitu (14):

a.

Gangguan pada lobus frontalis, akan ditemukan gejala-gejala kemampuan


memecahkan masalah berkurang, hilang rasa sosial dan moral, impilsif,
regresi.

b.

Gangguan pada lobus temporalis akan ditemukan gejala amnesia dan


demensia.

c.

Gangguan pada lobus parietalis dan oksipitalis akan ditemukan gejala yang
hampir sama, tapi secara umum akan terjadi disorientasi.

d.

Gangguan pada sistim limbik akan menimbulkan gejala yang bervariasi


seperti gangguan daya ingat, memori, dan disorientasi.

7.

Penilaian Fungsi kognitif pada pasien stroke

a.

Mini-Mental State Examination (MMSE)


MMSE atau Folstein Test adalah tes dalam bentuk kuesioner dengan 30

pertanyaan yang sering digunakan untuk mengukur gangguan kognitif. Tes ini
biasa digunakan dalam pengobatan dan skrening untuk demensia. Tes ini juga
dapat mengukur berat dan progresi dari gangguan kognitif serta untuk
memperlihatkan perubahan kognitif individu setiap waktu.

10

Gambar 2.2 Kuesioner MMSE


Tes dilakukan antara 5-10 menit dan yang diperiksa adalah fungsi
pengenalan, atensi dan kalkulasi, mengingat, bahasa, perintah sederhana dan
orientasi. Keuntungan dari tes ini adalah tidak diperlukannya peralatan spesial
atau latihan untuk menggunakannya, mudah untuk digunakan dan juga waktu
penggunaannya yang singkat. Kekurangannya adalah MMSE dipengaruhi oleh
faktor demografik seperti umur dan tingkat edukasi.
11

Gambar 2.3 Interpretasi Hasil MMSE


b. Ravens Coloured Progressive Matrices (RCPM)
RCPM merupakan pemeriksaan non-verbal untuk menilai intelegensia pasien
berdasarkan kemampuan tangkapan visual dan pemikiran analog, cocok untuk
pasien berusia tua. RCPM telah dibuktikan sensitif dan spesifik untuk mengukur
defisit inatensi visual dan persepsi spasial (7).

Gambar 2.4 Ravens Coloured Progressive Matrices


12

Pemeriksaan defisit persepsi spasial yang direkomendasikan untuk stroke


adalah rey figure copy, namun RCPM memiliki kelebihan tidak memerlukan skill
motorik untuk menggambar. RCPM direkomendasikan sebagai pemeriksaan
masalah perceptual, dilakukan dengan mudah dan dapat dikerjakan di tempat tidur
pasien (7).
c. COGNISTAT
Cognistat di desain untuk memberikan penilaian yang independen terhadap
10 poin utama fungsi kognitif dan subtestnya seperti orientasi, atensi, memahami
perintah sederhana, pengulangan kalimat, penamaan, visuokontruksi, ingatan
verbal, perhitungan, kesamaan verbal, dan penilaian harian. Respon yang benar
pada subtest juga dimasukkan ke dalam hasil pemeriksaan dan hasil test
merupakan profil kognitif. Tes ini baik untuk digunakan kepada subjek berumur
65 tahun keatas. Setiap tes diawali dengan tugas yang cukup sulit. Jika pasien
dapat melewati tugas yang sulit tersebut, maka dia dinyatakan lulus dalam tes
tersebut dan dapat melanjutkan ke tes yang lainnya. Jika pasien gagal maka
dilakukan metric portion untuk mencari penyebab defisit lanjutan (7).
Untuk menilai hasil tes Cognistat, dapat digunakan Cognistat total score dan
Cognistat composite score, dengan menambahkan domain dimana pasien
memiliki skor normal, skor total, antara 0 sampai 10, menggambarkan berapa
banyak fungsi kognitif yang intak. Skor 0 menunjukkan gangguan kognitif berat
(7).

13

d. The Screening Instrument for Neuropsychological Impairment in Stroke (SINS)


Tujuan dari SINS adalah untuk mendeteksi gangguan neuropsikologi yang
penting untuk aktivitas dasar pasien. Namun, bagian kognitif seperti konsentrasi,
belajar dan ingatan tidak dinilai. Tes ini memiliki 18 item yang dibagi kedalam 3
skala, yang pertama afasia (empat item: mengambil benda yang diperintahkan,
menunjuk pada benda yang disebutkan, menyebutkan nama benda, membaca),
disfungsi visuokognitif (enam item: mengambil benda, melipat kertas dan
memasukkannya ke dalam amplop, memakai jaket, menggambar seseorang, letter
cancelation, menggambar bunga daisy), dan apraksia (delapan item membalas
perintah dan meniru seperti melambaikan tangan, menyalakan lilin, tersenyum,
menjulurkan lidah, berpindah tempat, 3 lainnya adalah untuk apraksia oral). Tes
ini memberikan skor ke setiap skala namun bukan skor global (7).

14

BAB III
KESIMPULAN
Stroke merupakan suatu sindrom klinis yang ditandai dengan gejala berupa
gangguan fungsi otak secara fokal atau global yang dapat menimbulkan kematian
atau kelainan yang menetap lebih dari 24 jam, tanpa penyebab lain kecuali
gangguan vaskular.
Stroke menyebabkan gangguan neurologis berdasar berat ringannya
gangguan pembuluh darah. Kerusakan sel-sel otak pasca stroke menyebabkan
kecacatan fungsi kognitif, sensorik, maupun motorik sehingga menghambat
kemampuan fungsional mulai dari aktivitas bergerak, mengurus diri, kegiatan
sehari-hari, berkomunikasi dengan orang sekitar secara normal. Prognosis
penderita stroke dapat pulih komplit atau menimbulkan cacat motorik, sensorik
maupun fungsi luhur antara lain berupa gangguan fungsi kognitif yang dapat
berlanjut menjadi demensia.
Penilaian terhadap fungsi kognitif pasien stroke penting untuk dilakukan karena
bukan hanya berhubungan dengan proses memahami dan adaptasi terhadap keadaan
mereka tetapi juga penting untuk proses penanganan dan prognosisnya. Praktik
klinikal standar kadang gagal dalam menemukan gangguan kognitif, penilaian
neuropsikologikal merupakan cara terbaik untuk menilai fungsi kognitif, namun
terkadang memakan waktu lama dan perlu bantuan ahli untuk melakukan penilaian
dan menginterpretasikan, maka dari itu diperlukan tes yang cepat dan mudah untuk
dilakukan, ada beberapa tes fungsi kognitif yang dapat digunakan dengan cepat dan
mudah antara lain Mini-Mental State Examination (MMSE), Ravens Coloured
Progressive Matrices (RCPM), COGNISTAT, The Screening Instrument for

15

Neuropsychological Impairment in Stroke (SINS), dan berbagai macam tes


lainnya.

16

Anda mungkin juga menyukai