224 Pasal Kontroversial Perpres 70 2012
224 Pasal Kontroversial Perpres 70 2012
Ketentuan pasal 55 ayat (4) tersebut jelas sekali mengatur bahwa bukti perjanjian
yang digunakan untuk pengadaan jasa konsultansi dengan nilai di atas
Rp10.000.000,- sampai Rp50.000.000,- adalah SPK. Padahal menurut pasal 55
ayat (3) bukti perjanjian yang digunakan untuk pengadaan barang/jasa yang
nilainya di atas Rp10.000.000,- sampai Rp50.000.000,- adalah kuitansi.
Kedua pasal tersebut ternyata saling berbenturan satu sama lain menyangkut
pengadaan jasa konsultansi dengan nilai di atas Rp10.000.000,- sampai dengan
Rp50.000.000,- yang menurut pasal 55 ayat (3) bukti perjanjian yang digunakan
cukup dalam bentuk kuitansi, tetapi menurut pasal 55 ayat (4) bukti perjanjian yang
digunakan tidak boleh menggunakan kuitansi tetapi harus berbentu SPK.
Dalam asas hukum dikenal asas lex specialis derogat lex generali (undang-undang
yang khusus di dahulukan berlakunya dari pada undang-undang yang umum). Asas
ini diberlakukan manakala ada suatu ketentuan yang khusus dibuat untuk suatu
objek tertentu yang isinya menyimpang dari ketentuan umumnya.
Contohnya
pemberlakuan Kitab Undang-Undang Hukum Dagang terhadap Kitab UndangUndang Hukum Perdata dalam hal perdagangan. Dalam hubungan antara pasal 55
ayat (3) dan ayat (4) tersebut, ketentuan pasal 55 ayat (4) bukan merupakan suatu
aturan yang khusus mengatur bukti perjanjian untuk jasa konsultansi dan tidak
secara tegas merupakan pengecualian dari pasal 55 ayat (3). Ketentuan tersebut
hanya menambah aturan tentang penggunaan bukti pembayaran berupa SPK dalam
pasal 55 ayat (4) yang dengan penambahan tersebut justru menimbulkan
permasalahan hukum.
Lain halnya kalau dirumuskan secara tegas misalnya dengan kalimat khusus untuk
jasa konsultansi dengan nilai di atas Rp10.000.000,- sampai Rp50.000.000,- (lima
puluh juta rupiah) menggunakan bukti perjanjian berupa SPK. Bandingkan dengan
ketentuan dalam pasal 56 ayat (4a) yang merupakan pengecualian dari pasal 56 ayat
(4). Pasal 56 ayat (4) berbunyi Prakualifikasi dilaksanakan untuk pengadaan
sebagai berikut: a. ....; b. ....; c. ....; d. Pemilihan penyedia melalui pemilihan
langsung. Pasal 56 ayat (4a) berbunyi Prakualifikasi sebagaimana dimaksud pada
ayat (4) huruf d, dikecualikan untuk pengadaan langsung barang/jasa lainnya.
Dengan rumusan pasal 56 ayat (4) dan (4a) demikian maka tidak ada keraguan
dalam penerapan ketentuan tersebut yaitu pemilihan penyedia melalui pengadaan
langsung untuk pekerjaan jasa konstruksi dan jasa konsultansi harus dilakukan
dengan cara prakualifikasi, sedangkan pengadaan langsung untuk pengadaan
barang dan jasa lainnya dengan cara pascakualifikasi.
2. Pasal 57 ayat (1) huruf a berbunyi Pelelangan umum untuk pemilihan Penyedia
Barang/Pekerjaan Konstruksi/Jasa Lainnya atau Pelelangan Terbatas untuk
pemilihan Penyedia Barang/Pekerjaan Konstruksi dengan prakualifikasi, metode
dua sampul meliputi kegiatan: ......
Ketentuan pasal 57 ayat (1) huruf a tersebut berisi aturan tentang tahapan kegiatan
yang harus dilalui dalam pelelangan dimana cara penyampaian dokumennya
menggunakan metode dua sampul. Berdasarkan ketentuan tersebut dapat dipahami
bahwa pemilihan penyedia Barang/Pekerjaan Konstruksi/Jasa Lainnya dapat
menggunakan metode penyampaian dokumen dengan cara dua sampul. Ketentuan
ini ternyata bertentangan dengan ketentuan dalam Lampiran III Huruf A angka 6
Perpres nomor 54 tahun 2010 yang tidak membolehkan penyampaian dokumen
dengan metode dua sampul. Ketentuan tersebut berbunyi ULP memilih satu dari
dua metode penyampaian dokumen pengadaan, yaitu 1) Metode satu sampul 2)
Metode dua tahap.
Sesuai dengan asas hukum lex posterior derogat legi priori (undang-undang yang
lebih baru mengenyampingkan undang-undang yang lama) kita dapat saja
menyimpulkan bahwa karena Perpres nomor 70 tahun 2012 lebih baru maka
ketentuan dalam Lampiran III Huruf A angka 6 Perpres nomor 54 tahun 2010
dikesampingkan atau menjadi tidak berlaku. Tetapi jika tahapan kegiatan dalam
pasal 57 huruf a Perpres nomor 70 tahun 2012 kita terapkan, maka penerapan
metode dua sampul dalam pemilihan penyedia jasa konstruksi akan menemukan
masalah pada tahap pembukaan sampul II (tahap ke 15). Masalahnya adalah jika
hasil evaluasi administrasi dan teknis (sampul I) ada yang tidak lulus atau tidak
melewati ambang batas kelulusan (passing grade). Pertanyaan sederhana adalah:
1. Apakah peserta yang tidak lulus tersebut boleh hadir?
2. Apakah sampul II dari peserta yang tidak lulus administrasi dan teknis dibuka?
Proses pemilihan dengan metode dua sampul tersebut mengikuti tahapan
sebagaimana diatur dalam pasal 57 huruf a Perpres 70 tahun 2012. Tahap ke-11
sampai tahap ke -15 dalam ktentuan tersebut adalah sebagai berikut:
11) Pemasukan penawaran. Peserta menyampaikan dokumen administasi dan
teknis dalam sampul I, dan penawaran biaya dalam sampul II. Sampul I dan
sampul II dimasukkan dalam satu sampul luar lalu disampaikan kepada ULP.
12) Pembukaan Dokumen Penawaran sampul I. Pada acara pembukaan penawaran
sampul I ULP membuka sampul I dihadapan peserta. Sampul II belum dibuka.
13) Evaluasi Dokumen Penawaran sampul I. Sesuai isi sampul I yang dievaluasi
adalah dokumen administrasi dan teknis. Hasil evaluasi kemungkinan ada
peserta yang tidak lulus. Salah satu penyebab peserta tidak lulus adalah nilai
penawaran teknis tidak melewati ambang batas (passing grade)
14) Pemberitahuan dan pengumuman peserta yang lulus evaluasi sampul I. ULP
mengumumkan hasil evaluasi melalui website LPSE;
15) Pembukaan Dokumen Penawaran sampul II. Masalah muncul disini karena
sesuai tahapan prosedur tidak ada ketentuan bahwa ULP mengundang peserta
untuk menghadiri pembukaan sampul II. Masalah tersebut antara lain adalah:
o apakah peserta yang tidak lulus boleh hadir?
o apakah sampul sampul II (penawaran biaya) dari peserta yang tidak lulus
evaluasi sampul I perlu dibuka?
o jika jumlah peserta yang lulus evaluasi sampul I kurang dari 3 (tiga) apakah
lelang dinyatakan gagal?
3. Pasal 71 ayat (4) berbunyi Penyedia pekerjaan konstruksi memilih untuk
memberikan jaminan pemeliharaan atau memberikan retensi
Ketentuan tersebut ternyata berbenturan dengan pasal 89 ayat (5) yang berbunyi
PPK menahan sebagian pembayaran prestasi pekerjaan sebagai uang retensi untuk
jaminan pemeliharaan pekerjaan konstruksi dan jasa lainnya yang membutuhkan
masa pemeliharaan
Retensi adalah bagian pembayaran yang ditahan oleh PPK (belum dibayarkan
kepada penyedia) sebagai jaminan bahwa pihak penyedia akan melaksanakan
kewajibannya melakukan pemeliharaan terhadap hasil pekerjaannya apabila
terdapat kerusakan yang perlu diperbaiki selama masih dalam masa pemeliharaan.
Contohnya pembangunan gedung telah selesai 100% dan diserahterimakan dengan
Berita Acara Serah Terima Pertama tanggal 10 Juni 2012. Dalam kontrak diatur
masa pemeliharaan ditetapkan selama 6 (enam) bulan sejak serah terima pertama.
Karena itu pembayaran atas prestasi pekerjaan yang telah selesai 100% tersebut
berdasarkan Berita Acara Serah Terima Pertama dibayarkan sebesar 95% dari nilai
kontrak. Sisa kontrak sebesar 5% ditahan sebagai retensi dan baru akan dibayarkan
setelah masa pemeliharaan berakhir dan telah dilakukan serah terima kedua yang
dibuktikan dengan Berita Acara Serah Terima Kedua.
Menurut pasal 71 ayat (4) setelah dilakukan serah terima pertama penyedia boleh
memilih untuk memberikan jaminan pemeliharaan atau memberikan retensi. Dalam
hal penyedia memilih untuk memberikan jaminan pemeliharaan maka atas prestasi
pekerjaan yang telah selesai 100% dapat dibayarkan lunas 100% dengan syarat
penyedia menyerahkan surat jaminan pemeliharaan sebesar 5% dari nilai kontrak
sebagai jaminan bahwa jika terjadi kerusakan selama masa pemeliharaan pihak
penyedia akan melakukan perbaikan sebagaimana mestinya. Apabila selama masa
pemeliharaan terdapat kerusakan dan penyedia tidak melaksanakan perbaikan
maka PPK mencairkan jaminan pemeliharaan tersebut untuk sisetorkan ke rekening
Kas Negara.
Rumusan pasa 71 ayat (4) memberikan alternatif kepada penyedia untuk memilih
apakah mau menerima pembayaran sebesar 95% dan menyisakan pembayaran
sebesar 5% sebagai retensi atau mau menerima pembayaran sebesar 100% dengan
syarat menyerahkan jaminan pemeliharaan sebesar 5% dari nilai kontrak.
Sementara rumusan pasal 89 ayat (5) tidak memberikan alternatif kepada PPK
untuk memilih sehingga secara gramatikal pasal ini harus ditafsirkan bahwa PPK
wajib menahan sebagian pembayaran sebesar 5% dari nilai kontrak sebagai retensi.
Kontrak harga satuan biasa digunakan untuk pekerjaan yang spesifikasi teknisnya
sudah jelas tetapi volumenya masih bersifat perkiraan. Karena itu nilai kontrak
ditentukan oleh item barang/jasa dikali dengan harga satuan masing-masing item
barang/jasa. Kontrak lump sum adalah kontrak untuk menyelesaikan pengadaan
barang/jasa tertentu dalam waktu tertentu. Nilai kontrak lump sum tidak tergantung
pada volume pekerjaan yang nyatanya dilaksanakan. Kontrak gabungan lump sum
dan harga satuan adalah kontrak yang nilai harga sebagian barang/jasa di dalamnya
berdasarkana harga satuan, dan sebagian yang lainnya lump sum.
Rumusan pasal 83 ayat (1) huruf f secara gramatikal sangat jelas, yaitu untuk
kontrak lump sum dan kontrak gabungan lump sum dan harga satuan, jika
penawaran terendah lebih tinggi dari HPS atau seluruh penawaran lebih tinggi dari
nilai HPS, pelelangan harus dinyatakan gagal.
Dengan melihat bahwa ada tiga
macam jenis kontrak yaitu: 1) kontrak lump sum; 2) kontrak harga satuan; 3)
kontrak gabungan lump sum dan harga satuan, maka dengan penafsiran secara
acontrario pasal ini berarti untuk kontrak lump sum jika seluruh penawaran lebih
tinggi dari HPS pelelangan tetap dilanjutkan tidak dinyatakan gagal. Masalahnya
dalam hal ini ternyata penafsiran demikian bertentangan dengan rumusan pasal 83
ayat (1) huruf g dan pasal 83 ayat (1 ) huruf j.
Menurut pasal 83 ayat (1) huruf g dalam pelelangan mengunakan kontrak lump sum
jika seluruh penawaran terkoreksi di atas HPS pelelangan dinyatakan gagal.
Dengan demikian ketentuan pasal 83 ayat (1) huruf g sebenarnya tidak perlu. Kalau
memang yang diinginkan oleh aturan ini adalah semua penawaran yang terkoreksi
lebih tinggi dari HPS menggagalkan pelelangan, maka cukup dengan membuang
anak kalimat yang berbunyi untuk kontrak lump sum dan kontrak gabungan lump
sum dan harga satuan pada rumusan pasal 81 ayat (1) huruf f, sehingga pasal 83
ayat (1) huruf f menjadi harga penawaran terendah terkoreksi lebih tinggi dari
HPS.
Selanjutnya pasal 83 ayat (1) huruf f dan huruf g ternyata juga tidak sejalan dengan
ketentuan pada pasal 83 ayat (1) huruf j yang berbunyi pada metode dua tahap
seluruh penawaran harga yang masuk melebihi nilai total HPS atau setelah
dilakukan negosiasi harga seluruh peserta tidak sepakat untuk menurunkan harga
sehingga tidak melebihi nilai total HPS
Berdasarkan ketentuan pasal 83 ayat (1) huruf j penawaran terkoreksi lebih tinggi
dari HPS tidak boleh langsung menggagalkan pelelangan, Kecuali jika setelah
dilakukan negosiasi harga tidak ada penyedia yang bersedia menurunkan harga
sampai tidak lebih tinggi dari HPS.
Palembang, September 2012