Anda di halaman 1dari 3

Seni dan perubahan social

Umar kayam, Dkk memusatkan perhatian pada perubahan dan sejarah yang terjadi
pada Kesenian Jawa tradisional. Mereka mencoba mengilustrasikannya dengan memaparkan
apa yang dialami oleh tiga perkumpulan kesenian yang masing-masing mewakili sebuah jenis
kesenian. Yaitu perkumpulan Ketoprak P.S. Bayu, perkumpulan Ludruk Bintang Jaya dan
perkumpulan Wayang Orang Sriwedari.
Uraian mengenai beberapa kesenian tersebut merupakan informasi berharga bagi
kajian-kajian tentang sejarah kesenian, baik di Jawa maupun di Indonesia pada umumnya.
Misalnya tentang munculnya kesenian Ludruk yang dikisahkan berawal dari mbarangnya
seorang bernama Gangsar dari Jombang, Jawa Timur, atau munculnya kesenian ketoprak dari
kothekannya para petani di desa dengan menggunakan lesung mereka. Dari ketoprak lesung
inilah berkembang kemudian kesenian ketoprak sebagaimana dikenal sekarang, yang disebut
ketoprak gamelan.
Paparan lain yang penting yaitu uraian mengenai kehidupan perkumpulan-perkumpulan
kesenian yang diangkat sebagai kasus untuk dilukiskan secara agak mendalam. Dari kisah
tentang perkumpulan ini dapat diketahui berbagai strategi yang ditempuh oleh masing-msing
perkumpulan dalam upaya mereka bertahan hidup. Perkumpulan Bintang Jaya misalnya
berusaha untuk dapat tetap hadir di tengah masyarakat dengan membuka usaha sampingan,
yaitu usaha busana pengantin dan jahit-menjahit. Lain halnya dengan perkumpulan ketoprak
P.S. Bayu yang mencoba bertahan hidup denan melakukan pementasan di daerah-daerah
pedesaan dimana kesenian ketoprak masih menemukan penggemar setianya.
Dalam berbagai tulisan Umar Kayam dkk, menunjukkan ada satu kecenderungan
perubahan yang bersifat umum, yang tampak pada jenis-jenis kesenian yang diteliti, yaitu
kecenderungan untuk melakukan perubahan pada bagian unsur tertentu dari pertunjukan
kesenian tersebut. Kecenderungan perubahan ini merupakan perubahan yang dibimbing oleh
nilai-nilai yang ada dalam masyarakat modern, yang isinya antara lain kesukaan dan
penghargaan pada realism, efektivitas, efisiensi, dan kebaruan.
Selain nilai kebaruan, kesimpulan Umar Kayam dkk, yang menarik berkenaan dengan
perubahan yang terjadi pada kesenian yang mereka teliti adalah lahirnya perubahan yang
dibimbing oleh nilai baru berupa realism. Menurutnya, semakin realistis pertunjukan Ketoprak
serta Ludruk, sebagaimana tercermin dari cerita dan kostum yang dikenakan para pemain,
merupakan suatu perubahan yang terjadi dalam pertunjukan kesenian ini, karena adanya
tuntutan masyarakat masa kini, masyarakat modern, yang lebih menyukai realisme daripada
hal-hal yang lebih simbolik sifatnya.
Strategi lain yang mempengaruhi perubahan kesenian yaitu akibat perubahan teknologi,
terutama bidang teknologi, dengnan munculnya tape recorder. Dengan peralatan ini orang
dapat menikmati jenis kesenian yang disukainya berulang kali dengan bebas, tidak tergantung
pada radio ataupun televise. Alat perekam juga telah membuka lahan usaha baru bagi
perkumpulan kesenian seperti Ludruk dan Wayang Orang, yakni perekaman. Perkumpulan-

perkumpulan terkenal mengadakan kontrak rekaman dengan perusahaan-perusahaan yang


akan menjual kaset mereka.
Kemajuan teknologi di satu pihak membuka kesempatan baru bagi perkumpulan
kesenian yang kuat, namun di pihak lain kemajuan tersebut juga dirasa merugikan, sebab
dengan adanya radio dan televisi, jumlah pengunjung tempat-tempat pertunjukan Ketoprak,
Ludruk, ataupun Wayang Orang jadi berkurang. Selain karena alasan keamanan dan
kenyamanan juga disebabkan factor lebih mahal (harus beli tiket), dan kurang praktis (perlu
waktu dan tenaga untuk sampai ke tempat pertunjukan).
Seperti halnya tulisan Soepomo dan Soeprapto, kontekstualitas yang ditampilkan oleh
Umar Kayam dkk. Memang terasa kuat, sehingga mengalahkan nuansa kesejarahnnya. Hal ini
bermula dari kurangnya deskripsi yang lebih rinci mengenai cirri-ciri yang ada dalam
pertunjukan jenis-jenis kesenian inii di masa lalu, dan ini mungkin terkait dengan sulitnya
memperoleh data semacam ini jika peneliti tidak menonton sendiri pertunjukannya di masa
lampau. Sementara itu data mengenai keadaan dan pertunjukan jenis kesenian-kesenian
tersebut di masa kini jauh lebih mudah didapat, sehingga deskripsinya juga dapat lebih lengkap.
Paradigma Pokok Antropologi Seni
Pada bab penutup buku, Ahimsa putra mengelompokkan telaah kesenian dalam
antropologi ke dalam dua kategori, yakni telaah yang berciri (1) tekstual dan yang berciri (2)
kontekstual. Telaah tekstual atas kesenian memandang fenomena kesenian sebagai sebuah
teks untuk dibaca, untuk diberi makna, atau untuk dideskripsikan strukturnya, bukan untuk
dijelaskan atau dicari sebab-musababnya. Paradigma yang digunakan disini jika bukan
hermeneutic adalah structural.
Hal ini berbeda dengan telaah kontekstual, telaah yang menempatkan fenomena
kesenian di tengah konstelasi sejumlah elemen, bagian, atau fenomena yang berhubungan
dengan fenomena tersebut. Paradigma yang umumnya diikuti disini adalah structural
fungsional, karena memang pendekatan inilah yang sangat menonjol kontekstualitasnya.
Selain dua kategori tersebut, Ahimsa juga menampilkan kategori ketiga yang
dikatakannya bercorak post-modernistis. Ciri penting dari telaah semacam ini adalah hilangnya
atau kaburnya batas antara proses analisis dan proses menghasilkan karya seni itu sendiri,
terutama yang berupa karya tulis, karena di klangan penulis yang mengikuti kecenderungan
baru ini batas antara penulisan mengenai fenomena kesenian itu sendiri dengan analisisnya
juga makin mengabur dari hari ke hari.

BAB II
TEATER TRADISIONAL DI SLEMAN YOGYAKARTA: JENIS DAN PERSEBARANNYA
Oleh: Suharyoso
I.

Pendahuluan

Untuk melestarikan kehidupan teater tradisional di Yogyakarta diperlukan adanya


catatan dan pemetaan potensi tradisional yang ada guna dijadikan dasar bagi
pembinaan serta pengembangannya. Peta kesenian yang ada sekarang hanya
merupakan hasil tugas sampingan dari Inspeksi Kebudayaan Dinas Pendidikan dan
Kebudayaan Kabupaten Sleman dalam upayanya menyajikan informasi yang lebih baik.
Peta tersebut belum bisa dipertanggungjawabkan secara geografis, karena proses
pembuatannya tidak menggunakan metode pemetaan yang sistematis.
Kabupaten Sleman cukup subur. Sebagian wilayahnya berada di lereng Gunung
Merapi dengan empat buah sungai besar yang mampu mengairi daerah pertanian di
aliran sungainya sepanjang tahun. Di wilayah ini terdapat dua daerah wisata yaitu Candi
Prambanan dan Kaliurang dengan potensi berbagai jenis teater tradisional di sekitarnya.
Secara umum, teater tradisional di wilayah Sleman digolongkan menjadi (1) jenis
Wayang, (2) jenis Drama tari, (3) jenis Tayuban, (4) jenis Jatilan dan Reog, dan (5) jenis
Slawatan. Tugas dan pembinaan dan pengelolaan yang resmi dari pemerintah atas
berbagai jenis teater tradisional ini dibebankan kepada Inspeksi Kebudayaan Dinas P
dan K Kabupaten Sleman. Tugas ini dirasa berat karena terbatasnya fasilitas dan
personalia yang ada.

II.

Anda mungkin juga menyukai