Anda di halaman 1dari 37

TEKNOLOGI PENGOLAHAN LIMBAH TEKSTIL

DENGAN SISTEM LUMPUR AKTIF


Oleh
Ir. Arie Herlambang, M.S dan Heru Dwi Wahjono, B.Eng.

Kelompok Teknologi Pengelolaan Air Bersih dan Limbah Cair


Direktorat Teknologi Lingkungan, Deputi Bidang Teknologi
Informasi, Energi, Material dan Lingkungan
Badan Pengkajian Dan Penerapan Teknologi
Jakarta, 1999

Teknologi Pengolahan Limbah Tekstil Dengan Sistem Lumpur Aktif

TEKNOLOGI PENGOLAHAN LIMBAH TEKSTIL


DENGAN SISTEM LUMPUR AKTIF
ABSTRAK

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Tujuan dan Sasaran

Manfaat
Kontak Personil

PROSES LUMPUR AKTIF

Sistem Lumpur Aktif Konvensional


Modifikasi Proses Lumpur Aktif Konvensional
Biologi Lumpur Aktif
Oksidasi Bahan Organik Dalam Tangki Aerasi
Pengendapan Lumpur
Pengolah Limbah
Tekstil PT. Unitek, Bogor
METODOLOGI

TAHAPAN

CARA PEMBUATAN

Proses Pengolahan Limbah


Proses Primer

Proses Sekunder
Proses Tersier

HASIL YANG PERNAH DICAPAI


LOKASI
PERMASALAHAN

242

Ir. Arie Herlambang, M.S. dan Heru Dwi Wahjono, B.Eng.

Teknologi Pengolahan Limbah Tekstil Dengan Sistem Lumpur Aktif

ABSTRAK

Lumpur aktif (activated sludge) adalah proses pertumbuhan mikroba


tersuspensi. Proses ini pada dasarnya merupakan pengolahan aerobik yang
mengoksidasi material organik menjadi CO2 dan H2O, NH4. dan sel biomassa
baru. Proses ini menggunakan udara yang disalurkan melalui pompa blower
(diffused) atau melalui aerasi mekanik. Sel mikroba membentuk flok yang akan
mengendap di tangki penjernihan. Kemampuan bakteri dalam membentuk flok
menentukan keberhasilan pengolahan limbah secara biologi, karena akan
memudahkan pemisahan partikel dan air limbah. Lumpur aktif dicirikan oleh
beberapa parameter, antara lain, Indeks Volume Lumpur (Sludge Volume Index
= SVI) dan Stirred Sludge Volume Index (SSVI).
Perbedaan antara dua indeks tersebut tergantung dari bentuk flok, yang
diwakili oleh faktor bentuk (Shape Factor = S). Sistem pengolah lumpur aktif
baik untuk domestik maupun industri mengandung 1-5% padatan total dan 9599% bulk water (liqour ?). Pembuangan kelebihan lumpur dilakukan dengan
mengurangi

volume

lumpur

melalui

proses

pengepresan

(dewatering).

Konsentrasi besi yang tinggi konsentrasi besi yang tinggi, 70-90% dalam
bentuk Fe (III), ditemukan dalam lumpur aktif. akumulasi besi dapat berasal
dari influent air limbah atau melalui penambahan FeSO4 yang digunakan untuk
menghilangkan fosfor. Sebagai contoh pengolahan limbah sistem lumpur aktif
adalah Unit Pengelolaan Air Limbah PT. UNITEX. Unit ini mampu mengolah
limbah lebih dari 200 m2 per hari. Proses pengelolaan terbagi atas tiga tahap
pemrosesan, yaitu : 1. Proses Primer, meliputi penyaringan kasar, penghilangan
warna, equalisasi, penyaringan halus, pendinginan, 2. Proses Sekunder, biologi
dan sedimentasi, serta 3. Proses Tersier, tahap lanjutan dengan penambahan
bahan kimia.

Ir. Arie Herlambang, M.S. dan Heru Dwi Wahjono, B.Eng.

243

Teknologi Pengolahan Limbah Tekstil Dengan Sistem Lumpur Aktif

Sistem yang digunakan dalam PAL PT. Unitex merupakan perpaduan


antara proses fisika, kimia dan biologi. Yang paling berperan dalam hal
pengurangan bahan-bahan pencemar adalah proses biologi yang menggunakan
sistem lumpur aktif dengan extented aeratio. Selain limbah cair, terdapat juga
limbah padat berupa lumpur yang merupakan hasil samping dari sistem
pengolahan yang digunakan. Lumpur hasil olahan digunakan sebagai bahan
campuran pembuatan coneblock dan batako press serta pupuk organik. Hal ini
merupakan salah satu alternatif dan langkah lebih maju dari PT. Unitex dalam
memanfaatkan kembali limbah padat.

244

Ir. Arie Herlambang, M.S. dan Heru Dwi Wahjono, B.Eng.

Teknologi Pengolahan Limbah Tekstil Dengan Sistem Lumpur Aktif

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Lumpur aktif (activated sludge) adalah proses pertumbuhan mikroba
tersuspensi yang pertama kali dilakukan di Ingris pada awal abad 19. Sejak itu
proses ini diadopsi seluruh dunia sebagai pengolah air limbah domestik
sekunder secara biologi. Proses ini pada dasarnya merupakan pengolahan
aerobik yang mengoksidasi material organik menjadi CO2 dan H2O, NH4. dan
sel biomassa baru. Udara disalurkan melalui pompa blower (diffused) atau
melalui aerasi mekanik. Sel mikroba membentuk flok yang akan mengendap di
tangki penjernihan (Gariel Bitton, 1994). Anna dan Malte (1994) berpendapat
keberhasilan pengolahan limbah secara biologi dalam batas tertentu diatur
oleh kemampuan bakteri untuk membentuk flok, dengan demikian akan
memudahkan pemisahan partikel dan air limbah. Lumpur aktif adalah ekosistem
yang komplek yang terdiri dari bakteri, protozoa, virus, dan organismeorganisme lain. Lumpur aktif dicirikan oleh beberapa parameter, antara lain,
Indeks Volume Lumpur (Sludge Volume Index = SVI) dan Stirrd Sludge
Volume Index (SSVI). Perbedaan antara dua indeks tersebut tergantung dari
bentuk flok, yang diwakili oleh faktor bentuk (Shape Factor = S).
Pada kesempatan lain Anna dan Malte (1997) menyatakan bahwa proses
lumpur aktif dalam pengolahan air limbah tergantung pada pembentukan flok
lumpur aktif yang terbentuk oleh mikroorganisme (terutama bakteri), partikel
inorganik, dan polimer exoselular. Selama pengendapan flok, material yang
terdispersi, seperti sel bakteri dan flok kecil, menempel pada permukaan flok.
Pembentukan flok lumpur aktif dan penjernihan dengan pengendapan flok
akibat agregasi bakteri dan mekanisme adesi. Selanjutnya dinyatakan pula
bahwa flokulasi dan sedimentasi flok tergantung pada hypobisitas internal dan
eksternal dari flok dan material exopolimer dalam flok, dan tegangan
permukaan larutan mempengaruhi hydropobisitas lumpur granular dari reaktor
lumpur anaerobik. Frank et all (1996) mencoba menggambarkan bahwa dalam
sistem pengolah lumpur aktif baik untuk domestik maupun industri mengandung
1-5% padatan total dan 95-99% bulk water (liqour ?). Pembuangan kelebihan
lumpur merupakan proses yang mahal, dilakukan dengan mengurangi volume
lumpur melalui proses pengepresan (dewatering). Pada bagian lain dinyatakan
pula bahwa konsentrasi besi yang tinggi konsentrasi besi yang tinggi, 70-90%
dalam bentuk Fe (III), ditemukan dalam lumpur aktif.

Ir. Arie Herlambang, M.S. dan Heru Dwi Wahjono, B.Eng.

245

Teknologi Pengolahan Limbah Tekstil Dengan Sistem Lumpur Aktif

Akumulasi besi dapat berasal dari influent air limbah atau melalui
penambahan FeSO4 yang digunakan untuk menghilangkan fosfor. Jumlah besi
dalam lumpur aktif akan berkurang setelah memasuki kondisi anaerobik dan
mungkin berasosiasi dengan adanya aktifitas bakteri heterotrofik.
Berkurangnya fosfor dalam lumpur aktif dapat menyebabkan fosfor terlepas
kedalam air. Jika ini terjadi merupakan potensi untuk terjadinya eutrofikasi
pada perairan. Enri dan Anni (1995) juga mengemukan bahwa limbah padat yang
berasal dari suatu instalasi pengolah air limbah industri tekstil dapat
digolongkan ke dalam limbah berbahaya karena mengandung logam berat.
Mereka mengkaji kemungkinan proses solidifikasi mempergunakan tanah
lempung dengan hasil yang cukup baik dari segi kekuatan tekan bebas,
permeabilitas, dan hasil lindinya.
Tujuan Dan Sasaran
Penerapan teknologi ini dengan tujuan dapat menghilangkan limbah
organik sederhana dan mudah urai, organik kompleks seperti warna, bau.
Proses ini juga mengilangkan logam berat. Sasaran dari penerapan teknologi ini
adalah air hasil pengolahan limbah tekstil tidak mencemari lingkungan.
Manfaat
Teknologi ini dapat menurunkan total padatan tersuspensi (TSS) hingga
mencapai 91%,
COD 62%, Fe 96% dan BOD5 97%. Proses ini juga
menghilangkan warna dan bau dari limbah tersebut.
Kontak Personil
Ir. Arie Herlambang, M.Sc.
Kelompok Teknologi Pengelolaan Air Bersih dan Limbah Cair
Direktorat Teknologi Lingkungan
Kedeputian Bidang Teknologi Informatika, Energi dan Material
Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi
Tel. 021-3169769, 3169770 Fax. 021-3169760
Email : air@pentium.as.bppt.go.id
Home Page : http://pentium.as.bppt.go.id/

246

Ir. Arie Herlambang, M.S. dan Heru Dwi Wahjono, B.Eng.

Teknologi Pengolahan Limbah Tekstil Dengan Sistem Lumpur Aktif

PROSES LUMPUR AKTIF


Sistem Lumpur Aktif Konvensional
Proses Lumpur Aktif Konvensional dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Sistem Lumpur Aktif Konvensional


Tangki aerasi
Oksidasi aerobik material organik dilakukan dalam tangki ini. Efluent
pertama masuk dan tercampur dengan Lumpur Aktif Balik (Return Activated
Sludge =RAS) atau disingkat LAB membentuk lumpur campuran (mixed liqour),
yang mengandung padatan tersuspensi sekitar 1.500 - 2.500 mg/l. Aerasi
dilakukan secara mekanik. Karakteristik dari proses lumpur aktif adalah
adanya daur ulang dari biomassa. Keadaan ini membuat waktu tinggal rata-rata
sel (biomassa) menjadi lebih lama dibanding waktu tinggal hidrauliknya
(Sterritt dan Lester, 1988). Keadaan tersebut membuat sejumlah besar
mikroorganisme mengoksidasi senyawa organik dalam waktu yang singkat.
Waktu tinggal dalam tangki aerasi berkisar 4 - 8 jam.
Tangki Sedimentasi
Tangki ini digunakan untuk sedimentasi flok mikroba (lumpur) yang
dihasilkan selama fase oksidasi dalam tangki aerasi. Seperti disebutkan diawal
bahwa sebaghian dari lumpur dalam tangki penjernih didaur ulang kembali
dalam bentuk LAB kedalam tangki aerasi dan sisanya dibuang untuk menjaga
rasio yang tepat antara makanan dan mikroorganisme (F/M Ratio).

Ir. Arie Herlambang, M.S. dan Heru Dwi Wahjono, B.Eng.

247

Teknologi Pengolahan Limbah Tekstil Dengan Sistem Lumpur Aktif

Parameter
Parameter yang umum digunakan dalam lumpur aktif (Davis dan Cornwell,
1985; Verstraete dan van Vaerenbergh, 1986) adalah sebagai berikut:
1. Mixed-liqour suspended solids (MLSS). Isi tangki aerasi dalam sistem
lumpur aktif disebut sebagai mixed liqour yang diterjemahkan sebagai
lumpur campuran. MLSS adalah jumlah total dari padatan tersuspensi yang
berupa material organik dan mineral, termasuk didalamnya adalah
mikroorganisma. MLSS ditentukan dengan cara menyaring lumpur campuran
dengan kertas saring (filter), kemudian filter dikeringkan pada temperatur
1050C, dan berat padatan dalam contoh ditimbang.
2. Mixed-liqour volatile suspended solids (MLVSS). Porsi material organik
pada MLSS diwakili oleh MLVSS, yang berisi material organik bukan
mikroba, mikroba hidup dan mati, dan hancuran sel (Nelson dan Lawrence,
1980). MLVSS diukur dengan memanaskan terus sampel filter yang telah
kering pada 600 - 6500C, dan nilainya mendekati 65-75% dari MLSS.
3. Food - to - microorganism ratio (F/M Ratio). Parameter ini merupakan
indikasi beban organik yang masuk kedalam sistem lumpur aktif dan diwakili
nilainya dalam kilogram BOD per kilogram MLSS per hari (Curds dan
Hawkes, 1983; Nathanson, 1986). Adapun formulasinya sebagai berikut :
F/M =

Q x BOD5
MLSS x V

dimana :
Q
= Laju alir limbah Juta Galon per hari (MGD)
BOD5 = BOD5 (mg/l)
MLSS = Mixed liquor suspended solids (mg/l)
V
= Volume tangki aerasi (Gallon)
Rasio F/M dikontrol oleh laju sirkulasi lumpur aktif. Lebih tinggi laju
sirkulasi lumpur aktif lebih tinggi pula rasio F/M-nya. Untuk tangki aerasi
konvensional rasio F/M adalah 0,2 - 0,5 lb BOD5/hari/lb MLSS, tetapi
dapat lebih tinggi hingga 1,5 jika digunakan oksigen murni (Hammer, 1986).
Rasio F/M yang rendah mencerminkan bahwa mikroorganisme dalam tangki
aerasi dalam kondisi lapar, semakin rendah rasio F/M pengolah limbah
semakin efisien.

248

Ir. Arie Herlambang, M.S. dan Heru Dwi Wahjono, B.Eng.

Teknologi Pengolahan Limbah Tekstil Dengan Sistem Lumpur Aktif

4. Hidraulic retention time (HRT). Waktu tinggal hidraulik (HRT) adalah


waktu rata-rata yang dibutuhkan oleh larutan influent masuk dalam tangki
aerasi untuk proses lumpur aktif; nilainya berbanding terbalik dengan laju
pengenceran (D) (Sterritt dan Lester, 1988).
HRT = 1/D = V/ Q
dimana :
V
= Volume tangki aerasi
Q
= Laju influent air limbah ke dalam tangki aerasi
D
= Laju pengenceran.
5. Umur lumpur (Sludge age). Umur lumpur adalah waktu tinggal rata-rata
mikroorganisme dalam sistem. Jika HRT memerlukan waktu dalam jam,
maka waktu tinggal sel mikroba dalam tangki aerasi dapat dalam hari
lamanya. Parameter ini berbanding terbalik dengan laju pertumbuhan
mikroba. Umur lumpur dihitung dengan formula sebagai berikut (Hammer,
1986; Curds dan Hawkes, 1983) :
MLSS x V
Umur Lumpur (Hari) =
SSe x Qe + SSw X Qw
dimana :
MLSS
= Mixed liquor suspended solids (mg/l).
V
= Volume tangki aerasi (L)
SSe = Padatan tersuspensi dalam effluent (mg/l)
SSw = Padatan tersuspensi dalam lumpur limbah (mg/l)
Qe
= Laju effluent limbah (m3/hari)
Qw
= Laju influent limbah (m3/hari).
Umur lumpur dapat bervariasi antara 5 - 15 hari dalam konvensional lumpur
aktif. Pada musim dingin lebih lama dibandingkan musim panas (U.S. EPA,
1987a). Parameter penting yang mengendalikan operasi lumpur aktif adalah
laju pemuatan organik, suplay oksigen, dan pengendalian dan operasi tangki
pengendapan akhir. Tangki ini mempunyai dua fungsi: penjernih dan
penggemukan mikroba. Untuk operasi rutin, orang harus mengukur laju
pengendapan lumpur dengan menentukan indeks volume lumpur (SVI),
Voster dan Johnston, 1987.

Ir. Arie Herlambang, M.S. dan Heru Dwi Wahjono, B.Eng.

249

Teknologi Pengolahan Limbah Tekstil Dengan Sistem Lumpur Aktif

Modifikasi Proses Lumpur Aktif Konvensional


Ada beberapa modifikasi dari proses lumpur aktif konvensional (Nathanson,
1986; US. EPA, 1977), Lihat Gambar 2.

Gambar 2. Modifikasi proses lumpur aktif.


A. Sistem aerasi lanjutan. B. Parit oksidasi (US EPA, 1977, dalam Bitton, 1994)
Sistem Aerasi Lanjutan
Proses ini dipakai dalam instalasi paket pengolahan dengan cara sebagai
berikut:
1. Waktu aerasi lebih lama (sekitar 30 jam) dibandingkan sistem konvensional.
Usia lumpur juga lebih lama dan dapat diperpanjang sampai 15 hari.
2. Limbah yang masuk dalam tangki aerasi tidak diolah dulu dalam pengendapan
primer.
3. Sistem beroperasi dalam F/M ratio yang lebih rendah (umumnya <0,1 lb
BOD/hari/lb MLSS) dari sistem konvensional (0,2 - 0,5 lb BOD/hari/lb
MLSS).
250

Ir. Arie Herlambang, M.S. dan Heru Dwi Wahjono, B.Eng.

Teknologi Pengolahan Limbah Tekstil Dengan Sistem Lumpur Aktif

4. Sistem ini membutuhkan membutuhkan sedikit aerasi dibandingkan dengan


pengolahan konvensional dan terutama cocok untuk komunitas yang kecil
yang menggunakan paket pengolahan.
Selokan Oksidasi (Oxidation Ditch)
Selokan oksidasi terdiri dari saluran aerasi yang berbentuk oval yang
dilengkapi dengan satu atau lebih rotor rotasi untuk aerasi limbah. Saluran ini
menerima limbah yang telah disaring dan mempunyai waktu tinggal hidraulik
(hidraulic retention time) mendekati 24 jam.
Aerasi Bertingkat
Limbah hasil dari pengolahan primer (pengendapan) masuk dalam tangki
aerasi melalui beberapa lubang atau saluran, sehingga meningkatkan distribusi
dalam tangki aerasi dan membuat lebih efisien dalam penggunaan oksigen.
Proses ini dapat meningkatkan kapasitas sistem pengolahan.
Stabilisasi Kontak
Setelah limbah dan lumpur bercampur dalam tangki reaktor kecil untuk
waktu yang singkat (20-40 menit), aliran campuran tersebut dialirkan ke tangki
penjernih dan lumpur dikembalikan ke tangki stabilisasi dengan waktu tinggal 4
- 8 jam. Sistem ini menghasilkan sedikit lumpur.
Sistem Aerasi Campuran
Pada sistem ini limbah hanya diaerasi dalam tangki aerasi secara merata.
Sistem ini dapat menahan shock load dan racun.
Lumpur Aktif Kecepatan Tinggi
Sistem ini digunakan untuk mengolah limbah konsentrasi tinggi dan
dioperasikan untuk beban BOD yang sangat tinggi dibandingkan proses lumpur
aktif konvensional. Proses ini mempunyai waktu tinggal hidraulik sangat
singkat. Sistem ini beroperasi pada konsentrasi MLSS yang tinggi.

Ir. Arie Herlambang, M.S. dan Heru Dwi Wahjono, B.Eng.

251

Teknologi Pengolahan Limbah Tekstil Dengan Sistem Lumpur Aktif

Aerasi Oksigen Murni


Sistem aerasi dengan oksigen murni didasarkan pada prinsip bahwa laju
tranfer oksigen lebih tinggi pada oksigen murni dari pada oksigen atmosfir.
Proses ini menghasilkan kemampuan oksigen terlarut menjadi lebih tinggi,
sehingga meningkatkan efisiensi pengolahan dan mengurangi produksi lumpur.
Biologi Lumpur Aktif
Dua tujuan dari sistem lumpur aktif pertama adalah oksidasi material
organik yang biodegradable dalam tangki aerasi kemudian dikonversi menjadi
bentuk sel yang baru, kedua flokulasi, memisahkan biomassa yang baru
terbentuk dari air effluent.
Survei Organisme Dalam Lumpur Aktif
Flok dalam aktifitas lumpur mengandung sel bakteri disamping partikel
anorganik dan organik. Ukuran flok bervariasi antara <1 m (ukuran beberapa
sel bakteri) sampai dengan 1 000 m atau lebih (Parker et al., 1971; U.S.EPA,
1987a), Lihat Gambar 3. Sel hidup dalam flok dapat diukur dengan analisis ATP
dan aktifitas dehidrogenase, berjumlah 5-20% dari total sel (Weddle dan
Jenkins, 1971). Beberapa peneliti menjaga agar fraksi aktif bakteri dalam
lumpur aktif mewakili hanya 1-3% bakteri total (Hanel, 1988).

Gambar 3. Distribusi ukuran partikel dalam lumpur aktif


(Parker et al, 1971, dalam Bitton, 1994).

252

Ir. Arie Herlambang, M.S. dan Heru Dwi Wahjono, B.Eng.

Teknologi Pengolahan Limbah Tekstil Dengan Sistem Lumpur Aktif

Berikut ini adalah beberapa mikroorganisme yang dapat diamati dalam flok
lumpur aktif.

Bakteri
Bakteri merupakan unsur utama dalam flok lumpur aktif. Lebih dari 300
jenis bakteri yang dapat ditemukan dalam lumpur aktif. Bakteri tersebut
bertanggung jawab terhadap oksidasi material organik dan tranformasi
nutrien, dan bakteri menghasilkan polisakarida dan material polimer yang
membantu flokulasi biomassa mikrobiologi. Genus yang umum dijumpai adalah :

Zooglea, Pseudomonas, Flavobacterium, Alcaligenes, Bacillus, Achromobacter,


Corynebacterium, Comomonas, Brevibacterium, dan Acinetobacter, disamping
itu ada pula mikroorganisme berfilamen, yaitu Sphaerotilus dan Beggiatoa,
Vitreoscilla yang dapat menyebabkan sludge bulking.

Karena tingkat oksigen dalam difusi terbatas, jumlah bakteri aktif


aerobik menurun karena ukuran flok meningkat (Hanel, 1988). Bagian dalam
flok yang relatif besar membuat kondisi berkembangnya bakteri anaerobik
seperti metanogen. Kehadiran metanogen dapat dijelaskan dengan
pembentukan beberapa kantong anaerobik didalam flok atau dengan metanogen
tertentu terhdap oksigen (Wu et al., 1987). Oleh karena itu lumpur aktif cukup
baik dan cocok untuk material bibit bagi pengoperasian awal reaktor anaerobik.
Tabel 1. Distribusi Bakteri Heteropik Aerobik Dalam Lumpur Aktif Standard
(Hiraishi et al. (1989).
GENUS
KELOMPOK

Comamonas-Pseudomonas
Alkaligenes
Pseudomonas (Kelompok Florescent)
Paracoccus
Unidentified (gram negative rods)
Aeromomas
Flavobacterium - Cytophaga
Bacillus
Micrococcus
Coryneform
Arthrobacter
Aureobacterium-Microbacterium

Ir. Arie Herlambang, M.S. dan Heru Dwi Wahjono, B.Eng.

PERSENTASI
DARI TOTAL ISOLAT
50
5,8
1,9
11,5
1,9
1,9
13,5
1,9
1,9
5,8

1,9
1,9

253

Teknologi Pengolahan Limbah Tekstil Dengan Sistem Lumpur Aktif

Jumlah total bakteri dalam lumpur aktif standard adalah 108 CFU/mg
lumpur. Tabel 1. menunjukkan beberapa genus bakteri yang ditemui dalam
standard lumpur aktif. Sebagian besar bakteri yang diisolasi diidentifikasi
sebagai spesies-spesies Comamonas-Psudomonas.

Caulobacter, bakteri bertangkai umumnya ditemukan dalam air yang

miskin bahan organik, dapat diisolasi dari kebanyakan pengolahan limbah,


khususnya lumpur aktif (MacRae dan Smit, 1991).

Gambar 4. Distribusi

Zoogloea adalah bakteri yang menghasilkan exopolysaccharide yang

membentuk proyeksi khas seperti jari tangan dan ditemukan dalam air limbah
dan lingkungan yang kaya bahan organik (Norberg dan Enfors, 1982; Unz dan
Farrah, 1976; Williams dan Unz, 1983). Zoogloea diisolasi dengan menggunakan
media yang mengandung m-butanol, pati, atau m-toluate sebagai sumber
karbon. Bakteri ini ditemukan dalam berbagai tahap pengolahan limbah tetapi
jumlahnya hanya 0,1-1% dari total bakteri dalam mixed liqour (Williams dan
Unz, 1983). Kepentingan relatif bakteri ini dalam air limbah membutuhkan
penelitian lebih lanjut.
Flok lumpur aktif juga merupakan tempat berkumpulnya bakteri
autotrofik seperti bakteri nitrit (Nitrosomonas, Nitrobacter), yang dapat
merubah amonia menjadi nitrat dan bakteri fototrofik seperti bakteri ungu
non sulfur (Rhodospilrillaceae), yang dapat dideteksi pada konsentrasi sekitar
105 sel/ml. Bakteri ungu dan hijau ditemukan dalam jumlah yang sangat kecil.
Barangkali, bakteri fototrofik hanya sedikit berperan dalam penurunan nilai
BOD dalam lumpur aktif (Madigan, 1988; Siefert et al., 1978).

254

Ir. Arie Herlambang, M.S. dan Heru Dwi Wahjono, B.Eng.

Teknologi Pengolahan Limbah Tekstil Dengan Sistem Lumpur Aktif

Fungi
Lumpur aktif biasanya tidak mendukung kehidupan fungi walaupun
beberapa fungi berfilamen kadang-kadang ditemukan dalam flok lumpur aktif.
Fungi dapat tumbuh pesat dibawah kondisi pH yang rendah, toksik, dan limbah
yang kekurangan nitrogen. Genus yang dominan ditemukan dalam lumpur aktif
adalah Geotrichum, Penicillium, Cephalosporium, Cladosporium, dan Alternaria
(Pipes dan Cooke, 1969; Tomlinson dan Williams, 1975). Lumpur ringan (Sludge
Bulking) dapat dihasilkan oleh pertumbuhan yang pesat Geotrichum candidum,
yang dirangsang oleh pH rendah dari limbah yang asam.

Protozoa
Protozoa adalah significant predator dalam lumpur aktif seperti dalam
lingkungan akuatik alam (Curds, 1982; Drakides, 1980; Fenchel dan Jorgensen,
1977; LaRiviere, 1977). Pemakanan bakteri oleh protozoa dapat ditentukan
dengan eksperimen pemakanan bakteri yang telah diberi 14C atau 35C atau
flouresen (Hoffmann dan Atlas, 1987; Sherr et al, 1987). Pemakanan bakteri
tersebut dapat mereduksi toksikan. Contoh, Aspidisca costata yang memakan
bakteri dalam lumpur aktif dapat menurunkan Kadmium (Hoffmann dan Atlas,
1987). Protozoa paling sering ditemukan dalam lumpur aktif adalah Carchesium,

Paramecium sp, Opercularia sp, Chilodenella sp, Vorticella sp, Apidisca sp


(Dart dan Stretton, 1980, Edeline, 1988; Eikelboom dan van Buijsen, 1981).

Cilliata. Siliata atau bulu getar digunakan untuk pergerakan dan

mendorong partikel makanan kedalam mulut . Siliata dibagi menjadi tiga, yaitu :
Siliata bebas (free), merayap (creeping), dan bertangkai (stalked). Siliata
bebas (tidak terikat) memakan bakteri bebas yang terbang. Genus yang paling
penting sering ditemukan dalam lumpur aktif adalah Chilodonella, Colpidium,
Blepharisma, Euplotes, Paramecium, Lionotus, Trachelophyllum, dan
Spirostomum. Siliata merayap memakan bakteri yang berada dipermukaan flok
lumpur aktif. Dua genus penting, yaitu : Aspidisca dan Euplotes. Cilitas
bertangkai menempel tangkainya pada flok. Tangkai mempunyai myoneme untuk
menangkap mangsa. Contoh siliata bertangkai adalah Vorticella, Carchesium,
Opercularia, dan Epistylis.

Ir. Arie Herlambang, M.S. dan Heru Dwi Wahjono, B.Eng.

255

Teknologi Pengolahan Limbah Tekstil Dengan Sistem Lumpur Aktif

Rotifers
Rotifers adalah metazoa (organisme bersel banyak) dengan ukuran
bervariasi dari 100 m - 500 m. Tubuhnya menancap pada partikel flok dan
sering tercabut dari permukaan flok (Doohan, 1975; Eikelboom dan van
Buijsen, 1981). Rotifers ditemukan dalam instalasi pengolahan air limbah
termasuk dua orde pertama, Bdelloidea (contoh : Philodina spp., Habrotrocha
spp.) dan Monogononta (contoh : Lecane spp., Notommata spp.).
Peranan rotifers dalam lumpur aktif adalah : (1) menghilangkan bakteri
tersuspensi (contoh : bakteri yang tidak membentuk flok; (2) memberi
kontribusi terhadap pembentukan flok melalui pelet kotoran yang dikelilingi
oleh mukus. Kehadiran rotifers dalam tahap akhir pengolahan limbah sistem
lumpur aktif dikarenakan kenyataan bahwa hewan ini mempunyai siliata yang
kuat yang menolong dalam mencari makan dan menurunkan jumlah bakteri
tersuspensi (membuat air lebih jernih) dan aksi siliatanya lebih kuat
dibandingkan protozoa.
Oksidasi Bahan Organik Dalam Tangki Aerasi
Air limbah domestik mempunyai rasio C:N:P sebesar 100 : 5 : 1, yang
mencukupi untuk kebutuhan sebagian besar mikroorganisme. Bahan organik
dalam air limbah terdapat dalam bentuk terlarut, koloid, dan fraksi partikel.
Bahan organik terlarut sebagai sumber makanan bagi mikroorganisme
heterotrophik dalam mixed liquor. Bahan organik ini cepat hilang oleh adsorpsi
dan proses flokulasi, dan juga oleh absorpsi dan oksidasi oleh mikroorganisme.
Aerasi dalam beberapa jam dapat membuat perubahan dari BOD terlarut
menjadi biomassa mikrobial.
Aerasi mempunyai dua tujuan : (1) memasok oksigen bagi mikroorganisme
aerobik, dan (2) menjaga lumpur aktif agar selalu konstan teragitasi untuk
melaksanakan kontsak yang cukup antara flok dengan air limbah yang baru
datang pada sistem pengolahan limbah. Konsentrasi oksigen yang cukup juga
diperlukan untuk aktifitas mikroorganisme heterotrophik dan autotrophik,
khususnya bakteri nitrit. Tingkat oksigen terlarut harus antara 0,5 - 0,7 mg/l.
Proses nitrifikasi berhenti jika oksigen terlarut dibawah 0,2 mg/l (Dart dan
Stretton, 1980).
Curds dan Hawkes (1983) membuat ringkasan reaksi
degradasi dan biosintesis yang terjadi dalam tangki aerasi dalam proses lumpur
aktif (Gambar 5).

256

Ir. Arie Herlambang, M.S. dan Heru Dwi Wahjono, B.Eng.

Teknologi Pengolahan Limbah Tekstil Dengan Sistem Lumpur Aktif

Gambar 5. Penghilangan Bahan Organik Dalam Proses Lumpur Aktif


(Curds dan Hawkes, 1983 dalam Gabriel Bitton, 1994.
Pengendapan Lumpur
Campuran air dan lumpur (mixed liqour) dipindahkan dari tangki aerasi ke
tangki pengendapan, tempat lumpur dipisahkan dari air yang telah diolah.
sebagian lumpur aktif dikembalikan ke tangki aerasi dan sebagian lagi dibuang
dan dipindahkan ke pengolahan aerobik. Sel mikrobial terjadi dalam bentuk
agregat atau flok, densitasnya cukup untuk mengendap dalam tangki penjernih.
Pengendapan lumpur tergantung ratio F/M dan umur lumpur. Pengendapan yang
baik dapat terjadi jika lumpur mikroorganisme berada dalam fase
endogeneous, yang terjadi jika karbon dan sumber energi terbatas dan jika
pertumbuhan bakteri rendah. Pengendapan lumpur yang baik dapat terjadi
pada rasio F/M yang rendah (contoh : tingginya konsentrasi MLSS).
Sebaliknya, Rasio F/M yang tinggi mengakibatkan pengendapan lumpur yang
buruk.
Dalam airlimbah pemukiman, rasio F/M yang optimum antara 0,2 dan 0,5
(Gaudy dan Gaudy, 1988; Hammer, 1986). Rata-rata waktu tinggal sel yang
diperlukan untuk pengendapan yang efektif adalah 3 - 4 hari (Metcalf dan
Eddy, 1991). Pengendapan yang tidak baik dapat terjadi akibat gangguan yang
tiba-tiba pada parameter fisik (suhu dan pH), kekurangan makanan (contoh N,
suhu, mikronutrien), dan kehadiran zat racun (seperti logam berat) yang dapat
menyebabkan hancurnya sebagian flok yang sudah terbentuk (Chudoba, 1989).

Ir. Arie Herlambang, M.S. dan Heru Dwi Wahjono, B.Eng.

257

Teknologi Pengolahan Limbah Tekstil Dengan Sistem Lumpur Aktif

Cara konvensional untuk monitoring pengendapan lumpur adalah dengan


menentukan Indeks Volume Sludge (Sludge Volume Index = SVI). Caranya
adalah sebagai berikut : Lumpur campuran dari tangki aerasi dimasukkan dalam
silinder volume 1 liter dan dibiarkan selama 30 menit. Volume sludge dicatat.
Volume lumpur yang mengendap adalah SV, MLSS adalah mixed liqour
suspended solid (mg/l). Dalam pengolahan lumpur yang konvensional (MLSS < 3
500 mg/l) nilai SVI berkisar 50 - 150 ml/g.
SV x 1 000
SVI (ml/g) =

MLSS

Pengolah Limbah Tekstil P.T. Unitek, Bogor


Indonesia dalam satu dasa warsa ini dikenal sebagai penghasil tekstil
yang besar disamping India dan Pakistan. Dalam proses produksi industri
tekstil banyak menggunakan bahan kimia dan air. Bahan kimia yang digunakan
antara lain untuk proses pencucian, pemutihan, dan pewarnaan. Akibat dari itu
pencemaran lingkungan menjadi masalah bagi masyarakat yang tinggal disekitar
industri tekstil. Mengingat pentingnya industri tekstil sebagai penghasil devisa
negara dan perlunya perlindungan lingkungan, maka diperlukan adanya teknologi
pengolah limbah tekstil yang handal. Salah satu contoh pengolahan limbah
tekstil yang hingga saat ini beroperasi adalah pengolahan limbah tekstil milik
P.T. Unitex di Bogor.
Gagasan unit pengolah limbah tekstil di PT. Unitek lahir dari Presiden
Direktur Mr. S. Okabe karena pada tahun tersebut belum ada perusahaan yang
dapat dijadikan contoh dalam pengolahan air limbah. Kemudian rancang
bangunnya dilaksanakan oleh perusahaan induknya di Jepang, yaitu Unitika Ltd.
Dalam perkembangan selanjutnya terus mengalami perbaikan dan penambahan
sejalan dengan peningkatan produksi. PT. Unitek merupakan pabrik tekstil
terpadu. Proses produksinya meliputi pemintalan (spinning), pertenunan
(weaving), pencelupan (dyeing) dan penyelesaian akhir (finishing). Pada
umumnya polutan yang terkandung dalam limbah industri tekstil dapat berupa
padatan tersuspensi, padatan terlarut serta gas terlarut. Karakteristik limbah
pada umumnya bersifat alkalis (pH = 7), suhunya tinggi serta berwarna pekat.
Untuk menghilangkan polutan tersebut, diperlukan pengolahan yang dapat
memisahkan dan menghancurkan polutan yang terkandung didalamnya.

258

Ir. Arie Herlambang, M.S. dan Heru Dwi Wahjono, B.Eng.

Teknologi Pengolahan Limbah Tekstil Dengan Sistem Lumpur Aktif

TAHAPAN
Instalasi Pengelolaan Air Limbah PT. Unitek dibangun Tahun 1988 di
atas tanah seluas 4000 m2, dan mampu mengolah limbah tekstil lebih dari 2000
m3/hari. Proses pengolahan air limbah PT. Unitek terbagi atas tiga tahap
pemrosesan, yaitu :
1. Proses primer yang meliputi penyaringan kasar, penghilangan warna,
ekualisasi, penyaringan halus, pendinginan.
2. Proses sekunder yang meliputi proses biologi dan sedimentasi.
3. Proses tersier yang merupakan tahap lanjutan dengan penambahan bahan
kimia.
Melalui upaya pengelolaan yang telah dilakukan, maka air limbah yang
dibuang tidak akan mencemari lingkungan. Biaya investasi pembangunan
instalasi ini hanya sekitar 2% dari total investasi atau sekitar 2,5 milyard
rupiah. Sistem pengolah limbah yang digunakan merupakan perpaduan antara
proses fisika, kimia, dan biologi. Proses yang berperan dalam pengurangan
bahan pencemar adalah proses biologi yang menggunakan sistem lumpur aktif
dengan aerasi lanjutan (extended aeration). Selain limbah cair terdapat pula
limbah padat yang berupa lumpur, hasil samping dari sistem pengolahan yang
digunakan. Lumpur hasil olahan digunakan sebagai bahan campuran pembuatan
conblock dan batako press serta pupuk organik. Hal ini merupakan salah satu
alternatif dan langkah lebih maju dari PT. Unitek dalam memanfaatkan kembali
limbah padat.

Gambar 6. Unit Pengolah Limbah Tekstil Kapasitas 200 m3/hari.


Ir. Arie Herlambang, M.S. dan Heru Dwi Wahjono, B.Eng.

259

Teknologi Pengolahan Limbah Tekstil Dengan Sistem Lumpur Aktif

Gambar 7. Bak penampung yang masih panas.

Gambar 8. Bak pengendap pertama

260

Ir. Arie Herlambang, M.S. dan Heru Dwi Wahjono, B.Eng.

Teknologi Pengolahan Limbah Tekstil Dengan Sistem Lumpur Aktif

Gambar 9. Pemberian koagulan (ferro sulfat) untuk menghilangkan warna.

Gambar 10. Bak pengendap (clarifier) setelah diberi koagulan ferro sulfat.

Ir. Arie Herlambang, M.S. dan Heru Dwi Wahjono, B.Eng.

261

Teknologi Pengolahan Limbah Tekstil Dengan Sistem Lumpur Aktif

Gambar 11. Menara pendingin (Colling Tower)


sebelum air masuk ke dalam bak aerasi.

Gambar 12. Bak aerasi tahap petama

262

Ir. Arie Herlambang, M.S. dan Heru Dwi Wahjono, B.Eng.

Teknologi Pengolahan Limbah Tekstil Dengan Sistem Lumpur Aktif

Gambar 13. Lumpur aktif dari bak pengendap akhir


dikembalikan ke bak aerasi tahap pertama.

Gambar 14. Bak pengendap akhir

Ir. Arie Herlambang, M.S. dan Heru Dwi Wahjono, B.Eng.

263

Teknologi Pengolahan Limbah Tekstil Dengan Sistem Lumpur Aktif

Gambar 15. Contoh air di bak pengendap akhir.

Gambar 16. Air hasil olahan sebelum dibuang ke lingkungan.

264

Ir. Arie Herlambang, M.S. dan Heru Dwi Wahjono, B.Eng.

Teknologi Pengolahan Limbah Tekstil Dengan Sistem Lumpur Aktif

Gambar 17. Bioassay

Gambar 18. Contoh air baku sampai dengan air hasil olahan.

Ir. Arie Herlambang, M.S. dan Heru Dwi Wahjono, B.Eng.

265

Teknologi Pengolahan Limbah Tekstil Dengan Sistem Lumpur Aktif

CARA PEMBUATAN
Urutan proses pengolahan limbah di PT. Unitek secara garis besar dibagi
dalam 5 unit proses yang meliputi proses primer, sekunder, dan tersier, yaitu :
Unit 1 :

adalah proses penghilangan warna dengan sistem


koagulasi dan sedimentasi.

Unit 2 :

adalah proses penguraian bahan organik yang


terkandung di dalam air limbah dengan sistem
lumpur aktif.

Unit 3 :

adalah proses pemisahan air yang telah bersih


dengan lumpur aktif dari kolam aerasi.

Unit 4 :

adalah proses penghilangan padatan tersuspensi


setelah pengendapan.

Unit 5 :

adalah proses pemanfaatan lumpur padat setelah


pengepresan di belt press.

Untuk jelasnya lihat Gambar 19. Sistem Pengolah Limbah Lumpur Aktif PT.
UNITEX.
Proses Pengolahan Limbah
Proses pengolahan air limbah PT. Unitek terbagi menjadi tiga tahap
pemrosesan, yaitu :
1. Proses primer, Proses primer merupakan perlakuan pendahuluan yang
meliputi:
a). Penyaringan kasar,
b). Penghilangan warna,
c). Ekualisasi,
d). Penyaringan halus, dan
e). Pendinginan.
2. Proses sekunder, Proses biologi dan sedimentasi.
3. Proses tersier, merupakan tahap lanjutan setelah proses biologi dan
sedimentasi.

266

Ir. Arie Herlambang, M.S. dan Heru Dwi Wahjono, B.Eng.

Teknologi Pengolahan Limbah Tekstil Dengan Sistem Lumpur Aktif

Adapun waktu yang dibutuhkan untuk tiap proses dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Dimensi, Debit Air Masuk, dan Waktu Tinggal
dari masing-masing Unit Pengolah Limbah Cair PT. UNITEX.
Unit

Jumlah

Vol Tangki

Total Vol

Debit

Waktu

(m3)

(m3)

(m3/hari)

Retensi

Penanganan
Kolam equalisasi
Limbah air warna

59 + 56

115

1200

2.3 jam

Limbah air umum

653

653

1800

8.7 jam

Tangki Koagulasi I

3.1

3.6

720

7.2 menit

Tangki Sedimentasi I

14.2

28.4

720

25 menit

Kolam Aerasi

2(1250)+925

3425

3000

27.4 jam

Tangki Sedimentasi II

407

407

3394

2.9 jam

Tangki Koagulasi II

3394

2.5 menit

Tangki Intermeadiat

57

57

3394

24 menit

Tangki Sedimentasi III

178

178

3394

1.26 jam

Kolam Ikan

15

15

3394

6.4 menit

Ir. Arie Herlambang, M.S. dan Heru Dwi Wahjono, B.Eng.

267

Gambar 19 Sistem Pengolah Limbah Lumpur Aktif PT UNITEX

Teknologi Pengolahan Limbah Tekstil Dengan Sistem Lumpur Aktif

268

Ir. Arie Herlambang, M.S. dan Heru Dwi Wahjono, B.Eng.

Teknologi Pengolahan Limbah Tekstil Dengan Sistem Lumpur Aktif

Proses Primer
a) Penyaringan Kasar
Air limbah dari proses pencelupan dan pembilasan dibuang melalui
saluran pembuangan terbuka menuju pengolahan air limbah. Saluran tersebut
terbagi menjadi dua bagian, yakni saluran air berwarna dan saluran air tidak
berwarna. Untuk mencegah agar sisa-sisa benang atau kain dalam air limbah
terbawa pada saat proses, maka air limbah disaring dengan menggunakan
saringan kasar berdiameter 50 mm dan 20 mm.
b) Penghilangan Warna
Limbah cair berwarna yang berasal dari proses pencelupan setelah
melewati tahap penyaringan ditampung dalam dua bak penampungan, masingmasing berkapasitas 64 m3 dan 48 m3, air tersebut kemudian dipompakan ke
dalam tangki koagulasi pertama (volume 3,1 m3) yang terdiri atas tiga buah
tangki, yaitu : Pada tangki pertama ditambahkan koagulasi FeSO4 (Fero Sulfat)
konsentrasinya 600 700 ppm untuk pengikatan warna.
Selanjutnya dimasukkan ke dalam tangki kedua dengan ditambahkan
kapur (lime) konsentrasinya 150 300 ppm, gunanya untuk menaikkan pH yang
turun setelah penambahan FeSO4. Dari tangki kedua limbah dimasukkan ke
dalam tangki ketiga pada kedua tangki tersebut ditambahkan polimer
berkonsentrasi 0,5 0,2 ppm, sehingga akan terbentuk gumpalan-gumpalan
besar (flok) dan mempercepat proses pengendapan.
Setelah gumpalan-gumpalan terbentuk, akan terjadi pemisahan antara
padatan hasil pengikatan warna dengan cairan secara gravitasi dalam tangki
sedimentasi. Meskipun air hasil proses penghilangan warna ini sudah jernih,
tetapi pH-nya masih tinggi yaitu 10, sehingga tidak bisa langsung dibuang ke
perairan.
Untuk menghilangkan unsur-unsur yang masih terkandung didalamnya, air
yang berasal dri koagulasi I diproses dengan sistem lumpur aktif. Cara
tersebut merupakan perkembangan baru yang dinilai lebih efektif
dibandingkan cara lama yaitu air yang berasal dari koagulasi I digabung dalam
bak ekualisasi.

Ir. Arie Herlambang, M.S. dan Heru Dwi Wahjono, B.Eng.

269

Teknologi Pengolahan Limbah Tekstil Dengan Sistem Lumpur Aktif

Tabel 3. Hasil pengamatan konsentrasi, debit, dan laju penambahan koagulan


dan flokulan terhadap limbah air warna (Rapto, 1996)
Agent

Fe SO4
Lime
Polimer ANP10

Konsentrasi
(kg/l)
0.21
0.11
2. 10-4

Debit
(l/jam)
13.28
806.76
561.60

Laju
Penambahan
(kg/jam)
2.84
86.44
0.11

Tabel 4. Efisiesi removal proses koagulasi dan flokulasi air limbah warna
Tahun 1994 (Rapto, 1996)
Parameter
TSS
BOD5
COD
DO

Inlet
(mg/l)
132.33
266.12
432.33
0.4

Outlet
(mg/l)
17.33
54.92
112.00
0.25

Efisiensi
Removal (%)
86.9
79.4
74.1
37.5

c) Ekualisasi
Bak ekualisasi atau disebut juga bak air umum memiliki volume 650 m3
menampung dua sumber pembuangan yaitu limbah cair tidak berwarna dan air
yang berasal dari mesin pengepres lumpur. Kedua sumber pembuangan
pengeluarkan air dengan karakteristik yang berbeda. Oleh karena itu untuk
memperlancar proses selanjutnya air dari kedua sumber ini diaduk dengan
menggunakan blower hingga mempunyai karakteristik yang sama yaitu pH 7 dan
suhunya 32oC. Sebelum kontak dengan sistem lumpur aktif, terlebih dahulu air
melewati saringan halus dan cooling tower, karena untuk proses aerasi
memerlukan suhu 32oC. Untuk mengalirkan air dari bak ekualisasi ke bak aerasi
digunakan dua buah submerble pump atau pompa celup (Q= 60 m3/jam).
d) Saringan Halus (Bar Screen = 0,25 in)
Air hasil ekualisasi dipompakan menuju saringan halus untuk memisahkan
padatan dan larutan, sehingga air limbah yang akan diolah bebas dari padatan
kasar berupa sisa-sisa serat benang yang masih terbawa.

270

Ir. Arie Herlambang, M.S. dan Heru Dwi Wahjono, B.Eng.

Teknologi Pengolahan Limbah Tekstil Dengan Sistem Lumpur Aktif

e) Cooling Tower
Karakteristik limbah produksi tekstil umumnya mempunyai suhu antara
35-40 C, sehingga memerlukan pendinginan untuk menurunkan suhu yang
bertujuan mengoptimalkan kerja bakteri dalam sistem lumpur aktif. Karena
suhu yang diinginkan adalah berkisar 29-30oC.
o

Proses Sekunder
a) Proses Biologi
Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) PT. Unitek memiliki tiga bak
aerasi dengan sistem lumpur aktif, yang pertama berbentuk oval mempunyai
beberapa kelebihan dibandingkan dengan bentuk persegi panjang. Karena pada
bak oval tidak memerlukan blower sehingga dapat menghemat biaya listrik,
selain itu perputaran air lebih sempurna dan waktu kontak bakteri dengan
limbah lebih merata serta tidak terjadi pengendapan lumpur seperti layaknya
terjadi pada bak persegi panjang. Kapatas dari ketiga bak aerasi adalah 2175
m3. Pada masing-masing bak aerasi ini terdapat sparator yang mutlak
diperlukan untuk memasok oksigen ke dalam air bagi kehidupan bakteri.
Parameter yang diukur dalam bak aerasi dengan sistem lumpur aktif adalah
DO, MLSS, dan suhu. Dari pengalaman yang telah dijalani, parameterparameter tersebut dijaga sehingga penguraian polutan yang terdapat dalam
limbah dapat diuraikan semaksimal mungkin oleh bakteri. Oksigen terlarut yang
diperlukan berkisar 0,5 2,5 ppm, MLSS berkisar 4000 6000 mg/l, dan suhu
berkisar 29 30oC.
b) Proses Sedimentasi
Bak sedimentasi II (volume 407 m3) mempunyai bentuk bundar pada
bagian atasnya dan bagian bawahnya berbentuk kronis yang dilengkapi dengan
pengaduk (agitator) dengan putaran 2 rph. Desain ini dimaksudkan untuk
mempermudah pengeluaran endapan dari dasar bak. Pada bak sedimentasi ini
akan terjadi settling lumpur yang berasal dari bak aerasi dan endapan lumpur
ini harus segera dikembalikan lagi ke bak aerasi (return sludge=RS), karena
kondisi pada bak sedimentasi hampir mendekati anaerob. Besarnya RS
ditentukan berdasarkan perbandingan nilai MLSS dan debit RS itu sendiri.
Pada bak sedimentasi ini juga dilakukan pemantauan kaiment (ketinggian lumpur
dari permukaan air) dan MLSS dengan menggunakan alat MLSS meter.

Ir. Arie Herlambang, M.S. dan Heru Dwi Wahjono, B.Eng.

271

Teknologi Pengolahan Limbah Tekstil Dengan Sistem Lumpur Aktif

Proses Tersier
Pada proses pengolahan ini ditambah bahan kimia, yaitu Alumunium
Sulfat (Al2(SO4)3), Polimer dan Antifoam (Silicon Base); untuk mengurangi
padatan tersuspensi yang masih terdapat dalam air. Tahap lanjutan ini
diperlukan untuk memperoleh kualitas air yang lebih baik sebelum air tersebut
dibuang ke perairan.
Air hasil proses biologi dan sedimentasi selanjutnya ditampung dalam
bak interdiet (Volume 2m3) yang dilengkapi dengan alat yang disebut inverter
untuk mengukur level air, kemudian dipompakan ke dalam tangki koagulasi
(volume 3,6 m3) dengan menggunakan pompa sentrifugal. Pada tangki koagulasi
ditambahkan alumunium sulfat (konsentrasi antara 150 300 ppm) dan polimer
(konsentrasi antara 0,5 2 ppm), sehingga terbentuk flok yang mudah
mengendap. Selain kedua bahan koagulan tersebut juga ditambahkan tanah
yang berasal pengolahan air baku (water teratment) yang bertujuan menambah
partikel padatan tersuspensi untuk memudahkan terbentuknya flok.
Pada tangki koagulasi ini terdapat mixer (pengaduk) untuk mempercepat
proses persenyawaan kimia antara air dan bahan koagulan, juga terdapat pH
kontrol yang berfungsi untuk memantau pH effluent sebelum dikeluarkan ke
perairan. Setelah penambahan koagulan dan proses flokulasi berjalan dengan
sempurna, maka gumpalan-gumpalan yang berupa lumpur akan diendapkan pada
tangki sedimentasi III (volume = 178 m3). Hasil endapan kemudian dipompakan
ke tangki penampungan lumpur yang selanjutnya akan diolah dengan belt press
filter machine.

272

Ir. Arie Herlambang, M.S. dan Heru Dwi Wahjono, B.Eng.

Teknologi Pengolahan Limbah Tekstil Dengan Sistem Lumpur Aktif

HASIL YANG PERNAH DICAPAI

Sebagai gambaran hasil proses dari Unit Pengolah Limbah Tekstil tersebut
adalah sebagai berikut :
Tabel 5. Hasil Pengamatan Konsentrasi, Debit,
dan Laju Penambahan Koagulan dan Flokulan Pada Tangki Koagulasi II,
tahun 1994 (Rapto, 1996).
Agent
Al2(SO4)3
Polimer ANP10

Kosentrasi

Debit

Laju Penambahan

(kg/l)

(l/jam)

(kg/jam)

0.30

128.95

38.69

5. 10-4

53.21

0.03

Tabel 6. Efisiensi Removal Proses Koagulan dan Flokulasi Air Limbah


Pada Penanganan Tersier, Tahun 1994 (Rapto, 1996).
Parameter
TSS
BOD5
COD

Inlet
(mg/l)
22.00
46.69
93.33

Outlet
(mg/l)
9.00
25.09
50.09

Efisiensi Removal
(%)
59.10
46.30
46.30

Parameter Pantau
A. Kimia
1. COD (Chemical Oxygen Demand)
Jumlah oksigen (ppm O2) yang dibutuhkan untuk mengoksidasi K2Cr2O7 yang
digunakan sebagai sumber oksigen (oxidizing agent).
2. BOD (Biochemical Oxygen Demand)
Suatu analisis empiris yang mencoba mendekati secara global proses-proses
mikrobiologi yang benar-benar terjadi didalam air. Angka BOD adalah
jumlah oksigen (ppm O2) yang dibutuhkan oleh bakteri untuk mengoksidasi
hampir semua zat organis yang terlarut dan sebagian zat organis yang
tersuspensi dalam limbah cair.

Ir. Arie Herlambang, M.S. dan Heru Dwi Wahjono, B.Eng.

273

Teknologi Pengolahan Limbah Tekstil Dengan Sistem Lumpur Aktif

3. DO (Dissolved Oksigen) :
Jumlah oksigen (ppm O2) yang terlarut dalam air dan merupakan kebutuhan
mutlak bagi mikroorganisma (khususnya bakteri) dalam menguraikan zat
organik.
4. pH (Derajat Keasaman):
Didefinisikan sebagai pH = - log (H+) yang menunjukkan tingkat keasaman
atau kebasaan.
B. Fisika
1.

MLSS (Mixed Liqour Suspended Solid):


Jumlah seluruh padatan tersuspensi dalam suatu cairan (ppm) yang
menggambarkan kepekatan lumpur pada kolam aerasi khususnya.
2. SV30 (Sludge Volume = 30)
Lumpur yang mengendap secara gravitasi selama 30 menit (%) yang
menunjukkan tingkat kelarutan oksigen dalam lumpur aktif.
C. Biologi
Parameter biologi yang diamati berupa mikroorganisme predator bakteri,
diantaranya prozoa dan avertebrata lainnya.
Kualitas Influen dan Efluen IPAL PT UNITEX
Efisiensi sistem IPAL PT. Unitex cuiup tinggi, terutama untuk TSS, BOD dan
FE. Hanya sayang dalam analisis keberhasilan sistem lumpur aktif menjadi sulit
karena parameter MLSS, MVSS, SVI dan mikrobiologinya kurang banyak
diteliti.
Tabel 7.

Efisiensi Total Rata-Rata IPAL PT. UNITEX (RIPTO, 1996)

Parameter

Inlet (air umum)

Outlet

Efisiensi

Air Umum

274

pH

11.35

7.26

36.03

TSS (mg/l)

84.00

7.00

91.66

BOD5 (mg/l)

97.50

2.70

97.00

COD (mg/l)

428.50

162.70

62.03

Fe (mg/l)

2.33

0.07

96.99

Ir. Arie Herlambang, M.S. dan Heru Dwi Wahjono, B.Eng.

Teknologi Pengolahan Limbah Tekstil Dengan Sistem Lumpur Aktif

LOKASI
Pengolahan limbah tektil ini diterapkan di PT Unitek, Jalan Pajajaran
Tajur, Bogor. Jawa Barat.

Ir. Arie Herlambang, M.S. dan Heru Dwi Wahjono, B.Eng.

275

Teknologi Pengolahan Limbah Tekstil Dengan Sistem Lumpur Aktif

PERMASALAHAN
Teknologi ini cukup mahal investasinya. Penerapannya harus seimbang
dengan investasi industri utamanya. Walaupun hasilnya memuaskan, biaya
operasinya cukup tinggi.

276

Ir. Arie Herlambang, M.S. dan Heru Dwi Wahjono, B.Eng.

Teknologi Pengolahan Limbah Tekstil Dengan Sistem Lumpur Aktif

DAFTAR PUSTAKA

Ir. Arie Herlambang, M.S. dan Heru Dwi Wahjono, B.Eng.

277

Anda mungkin juga menyukai