08TEKSTI
08TEKSTI
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tujuan dan Sasaran
Manfaat
Kontak Personil
TAHAPAN
CARA PEMBUATAN
Proses Sekunder
Proses Tersier
242
ABSTRAK
volume
lumpur
melalui
proses
pengepresan
(dewatering).
Konsentrasi besi yang tinggi konsentrasi besi yang tinggi, 70-90% dalam
bentuk Fe (III), ditemukan dalam lumpur aktif. akumulasi besi dapat berasal
dari influent air limbah atau melalui penambahan FeSO4 yang digunakan untuk
menghilangkan fosfor. Sebagai contoh pengolahan limbah sistem lumpur aktif
adalah Unit Pengelolaan Air Limbah PT. UNITEX. Unit ini mampu mengolah
limbah lebih dari 200 m2 per hari. Proses pengelolaan terbagi atas tiga tahap
pemrosesan, yaitu : 1. Proses Primer, meliputi penyaringan kasar, penghilangan
warna, equalisasi, penyaringan halus, pendinginan, 2. Proses Sekunder, biologi
dan sedimentasi, serta 3. Proses Tersier, tahap lanjutan dengan penambahan
bahan kimia.
243
244
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Lumpur aktif (activated sludge) adalah proses pertumbuhan mikroba
tersuspensi yang pertama kali dilakukan di Ingris pada awal abad 19. Sejak itu
proses ini diadopsi seluruh dunia sebagai pengolah air limbah domestik
sekunder secara biologi. Proses ini pada dasarnya merupakan pengolahan
aerobik yang mengoksidasi material organik menjadi CO2 dan H2O, NH4. dan
sel biomassa baru. Udara disalurkan melalui pompa blower (diffused) atau
melalui aerasi mekanik. Sel mikroba membentuk flok yang akan mengendap di
tangki penjernihan (Gariel Bitton, 1994). Anna dan Malte (1994) berpendapat
keberhasilan pengolahan limbah secara biologi dalam batas tertentu diatur
oleh kemampuan bakteri untuk membentuk flok, dengan demikian akan
memudahkan pemisahan partikel dan air limbah. Lumpur aktif adalah ekosistem
yang komplek yang terdiri dari bakteri, protozoa, virus, dan organismeorganisme lain. Lumpur aktif dicirikan oleh beberapa parameter, antara lain,
Indeks Volume Lumpur (Sludge Volume Index = SVI) dan Stirrd Sludge
Volume Index (SSVI). Perbedaan antara dua indeks tersebut tergantung dari
bentuk flok, yang diwakili oleh faktor bentuk (Shape Factor = S).
Pada kesempatan lain Anna dan Malte (1997) menyatakan bahwa proses
lumpur aktif dalam pengolahan air limbah tergantung pada pembentukan flok
lumpur aktif yang terbentuk oleh mikroorganisme (terutama bakteri), partikel
inorganik, dan polimer exoselular. Selama pengendapan flok, material yang
terdispersi, seperti sel bakteri dan flok kecil, menempel pada permukaan flok.
Pembentukan flok lumpur aktif dan penjernihan dengan pengendapan flok
akibat agregasi bakteri dan mekanisme adesi. Selanjutnya dinyatakan pula
bahwa flokulasi dan sedimentasi flok tergantung pada hypobisitas internal dan
eksternal dari flok dan material exopolimer dalam flok, dan tegangan
permukaan larutan mempengaruhi hydropobisitas lumpur granular dari reaktor
lumpur anaerobik. Frank et all (1996) mencoba menggambarkan bahwa dalam
sistem pengolah lumpur aktif baik untuk domestik maupun industri mengandung
1-5% padatan total dan 95-99% bulk water (liqour ?). Pembuangan kelebihan
lumpur merupakan proses yang mahal, dilakukan dengan mengurangi volume
lumpur melalui proses pengepresan (dewatering). Pada bagian lain dinyatakan
pula bahwa konsentrasi besi yang tinggi konsentrasi besi yang tinggi, 70-90%
dalam bentuk Fe (III), ditemukan dalam lumpur aktif.
245
Akumulasi besi dapat berasal dari influent air limbah atau melalui
penambahan FeSO4 yang digunakan untuk menghilangkan fosfor. Jumlah besi
dalam lumpur aktif akan berkurang setelah memasuki kondisi anaerobik dan
mungkin berasosiasi dengan adanya aktifitas bakteri heterotrofik.
Berkurangnya fosfor dalam lumpur aktif dapat menyebabkan fosfor terlepas
kedalam air. Jika ini terjadi merupakan potensi untuk terjadinya eutrofikasi
pada perairan. Enri dan Anni (1995) juga mengemukan bahwa limbah padat yang
berasal dari suatu instalasi pengolah air limbah industri tekstil dapat
digolongkan ke dalam limbah berbahaya karena mengandung logam berat.
Mereka mengkaji kemungkinan proses solidifikasi mempergunakan tanah
lempung dengan hasil yang cukup baik dari segi kekuatan tekan bebas,
permeabilitas, dan hasil lindinya.
Tujuan Dan Sasaran
Penerapan teknologi ini dengan tujuan dapat menghilangkan limbah
organik sederhana dan mudah urai, organik kompleks seperti warna, bau.
Proses ini juga mengilangkan logam berat. Sasaran dari penerapan teknologi ini
adalah air hasil pengolahan limbah tekstil tidak mencemari lingkungan.
Manfaat
Teknologi ini dapat menurunkan total padatan tersuspensi (TSS) hingga
mencapai 91%,
COD 62%, Fe 96% dan BOD5 97%. Proses ini juga
menghilangkan warna dan bau dari limbah tersebut.
Kontak Personil
Ir. Arie Herlambang, M.Sc.
Kelompok Teknologi Pengelolaan Air Bersih dan Limbah Cair
Direktorat Teknologi Lingkungan
Kedeputian Bidang Teknologi Informatika, Energi dan Material
Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi
Tel. 021-3169769, 3169770 Fax. 021-3169760
Email : air@pentium.as.bppt.go.id
Home Page : http://pentium.as.bppt.go.id/
246
247
Parameter
Parameter yang umum digunakan dalam lumpur aktif (Davis dan Cornwell,
1985; Verstraete dan van Vaerenbergh, 1986) adalah sebagai berikut:
1. Mixed-liqour suspended solids (MLSS). Isi tangki aerasi dalam sistem
lumpur aktif disebut sebagai mixed liqour yang diterjemahkan sebagai
lumpur campuran. MLSS adalah jumlah total dari padatan tersuspensi yang
berupa material organik dan mineral, termasuk didalamnya adalah
mikroorganisma. MLSS ditentukan dengan cara menyaring lumpur campuran
dengan kertas saring (filter), kemudian filter dikeringkan pada temperatur
1050C, dan berat padatan dalam contoh ditimbang.
2. Mixed-liqour volatile suspended solids (MLVSS). Porsi material organik
pada MLSS diwakili oleh MLVSS, yang berisi material organik bukan
mikroba, mikroba hidup dan mati, dan hancuran sel (Nelson dan Lawrence,
1980). MLVSS diukur dengan memanaskan terus sampel filter yang telah
kering pada 600 - 6500C, dan nilainya mendekati 65-75% dari MLSS.
3. Food - to - microorganism ratio (F/M Ratio). Parameter ini merupakan
indikasi beban organik yang masuk kedalam sistem lumpur aktif dan diwakili
nilainya dalam kilogram BOD per kilogram MLSS per hari (Curds dan
Hawkes, 1983; Nathanson, 1986). Adapun formulasinya sebagai berikut :
F/M =
Q x BOD5
MLSS x V
dimana :
Q
= Laju alir limbah Juta Galon per hari (MGD)
BOD5 = BOD5 (mg/l)
MLSS = Mixed liquor suspended solids (mg/l)
V
= Volume tangki aerasi (Gallon)
Rasio F/M dikontrol oleh laju sirkulasi lumpur aktif. Lebih tinggi laju
sirkulasi lumpur aktif lebih tinggi pula rasio F/M-nya. Untuk tangki aerasi
konvensional rasio F/M adalah 0,2 - 0,5 lb BOD5/hari/lb MLSS, tetapi
dapat lebih tinggi hingga 1,5 jika digunakan oksigen murni (Hammer, 1986).
Rasio F/M yang rendah mencerminkan bahwa mikroorganisme dalam tangki
aerasi dalam kondisi lapar, semakin rendah rasio F/M pengolah limbah
semakin efisien.
248
249
251
252
Berikut ini adalah beberapa mikroorganisme yang dapat diamati dalam flok
lumpur aktif.
Bakteri
Bakteri merupakan unsur utama dalam flok lumpur aktif. Lebih dari 300
jenis bakteri yang dapat ditemukan dalam lumpur aktif. Bakteri tersebut
bertanggung jawab terhadap oksidasi material organik dan tranformasi
nutrien, dan bakteri menghasilkan polisakarida dan material polimer yang
membantu flokulasi biomassa mikrobiologi. Genus yang umum dijumpai adalah :
Comamonas-Pseudomonas
Alkaligenes
Pseudomonas (Kelompok Florescent)
Paracoccus
Unidentified (gram negative rods)
Aeromomas
Flavobacterium - Cytophaga
Bacillus
Micrococcus
Coryneform
Arthrobacter
Aureobacterium-Microbacterium
PERSENTASI
DARI TOTAL ISOLAT
50
5,8
1,9
11,5
1,9
1,9
13,5
1,9
1,9
5,8
1,9
1,9
253
Jumlah total bakteri dalam lumpur aktif standard adalah 108 CFU/mg
lumpur. Tabel 1. menunjukkan beberapa genus bakteri yang ditemui dalam
standard lumpur aktif. Sebagian besar bakteri yang diisolasi diidentifikasi
sebagai spesies-spesies Comamonas-Psudomonas.
Gambar 4. Distribusi
membentuk proyeksi khas seperti jari tangan dan ditemukan dalam air limbah
dan lingkungan yang kaya bahan organik (Norberg dan Enfors, 1982; Unz dan
Farrah, 1976; Williams dan Unz, 1983). Zoogloea diisolasi dengan menggunakan
media yang mengandung m-butanol, pati, atau m-toluate sebagai sumber
karbon. Bakteri ini ditemukan dalam berbagai tahap pengolahan limbah tetapi
jumlahnya hanya 0,1-1% dari total bakteri dalam mixed liqour (Williams dan
Unz, 1983). Kepentingan relatif bakteri ini dalam air limbah membutuhkan
penelitian lebih lanjut.
Flok lumpur aktif juga merupakan tempat berkumpulnya bakteri
autotrofik seperti bakteri nitrit (Nitrosomonas, Nitrobacter), yang dapat
merubah amonia menjadi nitrat dan bakteri fototrofik seperti bakteri ungu
non sulfur (Rhodospilrillaceae), yang dapat dideteksi pada konsentrasi sekitar
105 sel/ml. Bakteri ungu dan hijau ditemukan dalam jumlah yang sangat kecil.
Barangkali, bakteri fototrofik hanya sedikit berperan dalam penurunan nilai
BOD dalam lumpur aktif (Madigan, 1988; Siefert et al., 1978).
254
Fungi
Lumpur aktif biasanya tidak mendukung kehidupan fungi walaupun
beberapa fungi berfilamen kadang-kadang ditemukan dalam flok lumpur aktif.
Fungi dapat tumbuh pesat dibawah kondisi pH yang rendah, toksik, dan limbah
yang kekurangan nitrogen. Genus yang dominan ditemukan dalam lumpur aktif
adalah Geotrichum, Penicillium, Cephalosporium, Cladosporium, dan Alternaria
(Pipes dan Cooke, 1969; Tomlinson dan Williams, 1975). Lumpur ringan (Sludge
Bulking) dapat dihasilkan oleh pertumbuhan yang pesat Geotrichum candidum,
yang dirangsang oleh pH rendah dari limbah yang asam.
Protozoa
Protozoa adalah significant predator dalam lumpur aktif seperti dalam
lingkungan akuatik alam (Curds, 1982; Drakides, 1980; Fenchel dan Jorgensen,
1977; LaRiviere, 1977). Pemakanan bakteri oleh protozoa dapat ditentukan
dengan eksperimen pemakanan bakteri yang telah diberi 14C atau 35C atau
flouresen (Hoffmann dan Atlas, 1987; Sherr et al, 1987). Pemakanan bakteri
tersebut dapat mereduksi toksikan. Contoh, Aspidisca costata yang memakan
bakteri dalam lumpur aktif dapat menurunkan Kadmium (Hoffmann dan Atlas,
1987). Protozoa paling sering ditemukan dalam lumpur aktif adalah Carchesium,
mendorong partikel makanan kedalam mulut . Siliata dibagi menjadi tiga, yaitu :
Siliata bebas (free), merayap (creeping), dan bertangkai (stalked). Siliata
bebas (tidak terikat) memakan bakteri bebas yang terbang. Genus yang paling
penting sering ditemukan dalam lumpur aktif adalah Chilodonella, Colpidium,
Blepharisma, Euplotes, Paramecium, Lionotus, Trachelophyllum, dan
Spirostomum. Siliata merayap memakan bakteri yang berada dipermukaan flok
lumpur aktif. Dua genus penting, yaitu : Aspidisca dan Euplotes. Cilitas
bertangkai menempel tangkainya pada flok. Tangkai mempunyai myoneme untuk
menangkap mangsa. Contoh siliata bertangkai adalah Vorticella, Carchesium,
Opercularia, dan Epistylis.
255
Rotifers
Rotifers adalah metazoa (organisme bersel banyak) dengan ukuran
bervariasi dari 100 m - 500 m. Tubuhnya menancap pada partikel flok dan
sering tercabut dari permukaan flok (Doohan, 1975; Eikelboom dan van
Buijsen, 1981). Rotifers ditemukan dalam instalasi pengolahan air limbah
termasuk dua orde pertama, Bdelloidea (contoh : Philodina spp., Habrotrocha
spp.) dan Monogononta (contoh : Lecane spp., Notommata spp.).
Peranan rotifers dalam lumpur aktif adalah : (1) menghilangkan bakteri
tersuspensi (contoh : bakteri yang tidak membentuk flok; (2) memberi
kontribusi terhadap pembentukan flok melalui pelet kotoran yang dikelilingi
oleh mukus. Kehadiran rotifers dalam tahap akhir pengolahan limbah sistem
lumpur aktif dikarenakan kenyataan bahwa hewan ini mempunyai siliata yang
kuat yang menolong dalam mencari makan dan menurunkan jumlah bakteri
tersuspensi (membuat air lebih jernih) dan aksi siliatanya lebih kuat
dibandingkan protozoa.
Oksidasi Bahan Organik Dalam Tangki Aerasi
Air limbah domestik mempunyai rasio C:N:P sebesar 100 : 5 : 1, yang
mencukupi untuk kebutuhan sebagian besar mikroorganisme. Bahan organik
dalam air limbah terdapat dalam bentuk terlarut, koloid, dan fraksi partikel.
Bahan organik terlarut sebagai sumber makanan bagi mikroorganisme
heterotrophik dalam mixed liquor. Bahan organik ini cepat hilang oleh adsorpsi
dan proses flokulasi, dan juga oleh absorpsi dan oksidasi oleh mikroorganisme.
Aerasi dalam beberapa jam dapat membuat perubahan dari BOD terlarut
menjadi biomassa mikrobial.
Aerasi mempunyai dua tujuan : (1) memasok oksigen bagi mikroorganisme
aerobik, dan (2) menjaga lumpur aktif agar selalu konstan teragitasi untuk
melaksanakan kontsak yang cukup antara flok dengan air limbah yang baru
datang pada sistem pengolahan limbah. Konsentrasi oksigen yang cukup juga
diperlukan untuk aktifitas mikroorganisme heterotrophik dan autotrophik,
khususnya bakteri nitrit. Tingkat oksigen terlarut harus antara 0,5 - 0,7 mg/l.
Proses nitrifikasi berhenti jika oksigen terlarut dibawah 0,2 mg/l (Dart dan
Stretton, 1980).
Curds dan Hawkes (1983) membuat ringkasan reaksi
degradasi dan biosintesis yang terjadi dalam tangki aerasi dalam proses lumpur
aktif (Gambar 5).
256
257
MLSS
258
TAHAPAN
Instalasi Pengelolaan Air Limbah PT. Unitek dibangun Tahun 1988 di
atas tanah seluas 4000 m2, dan mampu mengolah limbah tekstil lebih dari 2000
m3/hari. Proses pengolahan air limbah PT. Unitek terbagi atas tiga tahap
pemrosesan, yaitu :
1. Proses primer yang meliputi penyaringan kasar, penghilangan warna,
ekualisasi, penyaringan halus, pendinginan.
2. Proses sekunder yang meliputi proses biologi dan sedimentasi.
3. Proses tersier yang merupakan tahap lanjutan dengan penambahan bahan
kimia.
Melalui upaya pengelolaan yang telah dilakukan, maka air limbah yang
dibuang tidak akan mencemari lingkungan. Biaya investasi pembangunan
instalasi ini hanya sekitar 2% dari total investasi atau sekitar 2,5 milyard
rupiah. Sistem pengolah limbah yang digunakan merupakan perpaduan antara
proses fisika, kimia, dan biologi. Proses yang berperan dalam pengurangan
bahan pencemar adalah proses biologi yang menggunakan sistem lumpur aktif
dengan aerasi lanjutan (extended aeration). Selain limbah cair terdapat pula
limbah padat yang berupa lumpur, hasil samping dari sistem pengolahan yang
digunakan. Lumpur hasil olahan digunakan sebagai bahan campuran pembuatan
conblock dan batako press serta pupuk organik. Hal ini merupakan salah satu
alternatif dan langkah lebih maju dari PT. Unitek dalam memanfaatkan kembali
limbah padat.
259
260
Gambar 10. Bak pengendap (clarifier) setelah diberi koagulan ferro sulfat.
261
262
263
264
Gambar 18. Contoh air baku sampai dengan air hasil olahan.
265
CARA PEMBUATAN
Urutan proses pengolahan limbah di PT. Unitek secara garis besar dibagi
dalam 5 unit proses yang meliputi proses primer, sekunder, dan tersier, yaitu :
Unit 1 :
Unit 2 :
Unit 3 :
Unit 4 :
Unit 5 :
Untuk jelasnya lihat Gambar 19. Sistem Pengolah Limbah Lumpur Aktif PT.
UNITEX.
Proses Pengolahan Limbah
Proses pengolahan air limbah PT. Unitek terbagi menjadi tiga tahap
pemrosesan, yaitu :
1. Proses primer, Proses primer merupakan perlakuan pendahuluan yang
meliputi:
a). Penyaringan kasar,
b). Penghilangan warna,
c). Ekualisasi,
d). Penyaringan halus, dan
e). Pendinginan.
2. Proses sekunder, Proses biologi dan sedimentasi.
3. Proses tersier, merupakan tahap lanjutan setelah proses biologi dan
sedimentasi.
266
Adapun waktu yang dibutuhkan untuk tiap proses dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Dimensi, Debit Air Masuk, dan Waktu Tinggal
dari masing-masing Unit Pengolah Limbah Cair PT. UNITEX.
Unit
Jumlah
Vol Tangki
Total Vol
Debit
Waktu
(m3)
(m3)
(m3/hari)
Retensi
Penanganan
Kolam equalisasi
Limbah air warna
59 + 56
115
1200
2.3 jam
653
653
1800
8.7 jam
Tangki Koagulasi I
3.1
3.6
720
7.2 menit
Tangki Sedimentasi I
14.2
28.4
720
25 menit
Kolam Aerasi
2(1250)+925
3425
3000
27.4 jam
Tangki Sedimentasi II
407
407
3394
2.9 jam
Tangki Koagulasi II
3394
2.5 menit
Tangki Intermeadiat
57
57
3394
24 menit
178
178
3394
1.26 jam
Kolam Ikan
15
15
3394
6.4 menit
267
268
Proses Primer
a) Penyaringan Kasar
Air limbah dari proses pencelupan dan pembilasan dibuang melalui
saluran pembuangan terbuka menuju pengolahan air limbah. Saluran tersebut
terbagi menjadi dua bagian, yakni saluran air berwarna dan saluran air tidak
berwarna. Untuk mencegah agar sisa-sisa benang atau kain dalam air limbah
terbawa pada saat proses, maka air limbah disaring dengan menggunakan
saringan kasar berdiameter 50 mm dan 20 mm.
b) Penghilangan Warna
Limbah cair berwarna yang berasal dari proses pencelupan setelah
melewati tahap penyaringan ditampung dalam dua bak penampungan, masingmasing berkapasitas 64 m3 dan 48 m3, air tersebut kemudian dipompakan ke
dalam tangki koagulasi pertama (volume 3,1 m3) yang terdiri atas tiga buah
tangki, yaitu : Pada tangki pertama ditambahkan koagulasi FeSO4 (Fero Sulfat)
konsentrasinya 600 700 ppm untuk pengikatan warna.
Selanjutnya dimasukkan ke dalam tangki kedua dengan ditambahkan
kapur (lime) konsentrasinya 150 300 ppm, gunanya untuk menaikkan pH yang
turun setelah penambahan FeSO4. Dari tangki kedua limbah dimasukkan ke
dalam tangki ketiga pada kedua tangki tersebut ditambahkan polimer
berkonsentrasi 0,5 0,2 ppm, sehingga akan terbentuk gumpalan-gumpalan
besar (flok) dan mempercepat proses pengendapan.
Setelah gumpalan-gumpalan terbentuk, akan terjadi pemisahan antara
padatan hasil pengikatan warna dengan cairan secara gravitasi dalam tangki
sedimentasi. Meskipun air hasil proses penghilangan warna ini sudah jernih,
tetapi pH-nya masih tinggi yaitu 10, sehingga tidak bisa langsung dibuang ke
perairan.
Untuk menghilangkan unsur-unsur yang masih terkandung didalamnya, air
yang berasal dri koagulasi I diproses dengan sistem lumpur aktif. Cara
tersebut merupakan perkembangan baru yang dinilai lebih efektif
dibandingkan cara lama yaitu air yang berasal dari koagulasi I digabung dalam
bak ekualisasi.
269
Fe SO4
Lime
Polimer ANP10
Konsentrasi
(kg/l)
0.21
0.11
2. 10-4
Debit
(l/jam)
13.28
806.76
561.60
Laju
Penambahan
(kg/jam)
2.84
86.44
0.11
Tabel 4. Efisiesi removal proses koagulasi dan flokulasi air limbah warna
Tahun 1994 (Rapto, 1996)
Parameter
TSS
BOD5
COD
DO
Inlet
(mg/l)
132.33
266.12
432.33
0.4
Outlet
(mg/l)
17.33
54.92
112.00
0.25
Efisiensi
Removal (%)
86.9
79.4
74.1
37.5
c) Ekualisasi
Bak ekualisasi atau disebut juga bak air umum memiliki volume 650 m3
menampung dua sumber pembuangan yaitu limbah cair tidak berwarna dan air
yang berasal dari mesin pengepres lumpur. Kedua sumber pembuangan
pengeluarkan air dengan karakteristik yang berbeda. Oleh karena itu untuk
memperlancar proses selanjutnya air dari kedua sumber ini diaduk dengan
menggunakan blower hingga mempunyai karakteristik yang sama yaitu pH 7 dan
suhunya 32oC. Sebelum kontak dengan sistem lumpur aktif, terlebih dahulu air
melewati saringan halus dan cooling tower, karena untuk proses aerasi
memerlukan suhu 32oC. Untuk mengalirkan air dari bak ekualisasi ke bak aerasi
digunakan dua buah submerble pump atau pompa celup (Q= 60 m3/jam).
d) Saringan Halus (Bar Screen = 0,25 in)
Air hasil ekualisasi dipompakan menuju saringan halus untuk memisahkan
padatan dan larutan, sehingga air limbah yang akan diolah bebas dari padatan
kasar berupa sisa-sisa serat benang yang masih terbawa.
270
e) Cooling Tower
Karakteristik limbah produksi tekstil umumnya mempunyai suhu antara
35-40 C, sehingga memerlukan pendinginan untuk menurunkan suhu yang
bertujuan mengoptimalkan kerja bakteri dalam sistem lumpur aktif. Karena
suhu yang diinginkan adalah berkisar 29-30oC.
o
Proses Sekunder
a) Proses Biologi
Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) PT. Unitek memiliki tiga bak
aerasi dengan sistem lumpur aktif, yang pertama berbentuk oval mempunyai
beberapa kelebihan dibandingkan dengan bentuk persegi panjang. Karena pada
bak oval tidak memerlukan blower sehingga dapat menghemat biaya listrik,
selain itu perputaran air lebih sempurna dan waktu kontak bakteri dengan
limbah lebih merata serta tidak terjadi pengendapan lumpur seperti layaknya
terjadi pada bak persegi panjang. Kapatas dari ketiga bak aerasi adalah 2175
m3. Pada masing-masing bak aerasi ini terdapat sparator yang mutlak
diperlukan untuk memasok oksigen ke dalam air bagi kehidupan bakteri.
Parameter yang diukur dalam bak aerasi dengan sistem lumpur aktif adalah
DO, MLSS, dan suhu. Dari pengalaman yang telah dijalani, parameterparameter tersebut dijaga sehingga penguraian polutan yang terdapat dalam
limbah dapat diuraikan semaksimal mungkin oleh bakteri. Oksigen terlarut yang
diperlukan berkisar 0,5 2,5 ppm, MLSS berkisar 4000 6000 mg/l, dan suhu
berkisar 29 30oC.
b) Proses Sedimentasi
Bak sedimentasi II (volume 407 m3) mempunyai bentuk bundar pada
bagian atasnya dan bagian bawahnya berbentuk kronis yang dilengkapi dengan
pengaduk (agitator) dengan putaran 2 rph. Desain ini dimaksudkan untuk
mempermudah pengeluaran endapan dari dasar bak. Pada bak sedimentasi ini
akan terjadi settling lumpur yang berasal dari bak aerasi dan endapan lumpur
ini harus segera dikembalikan lagi ke bak aerasi (return sludge=RS), karena
kondisi pada bak sedimentasi hampir mendekati anaerob. Besarnya RS
ditentukan berdasarkan perbandingan nilai MLSS dan debit RS itu sendiri.
Pada bak sedimentasi ini juga dilakukan pemantauan kaiment (ketinggian lumpur
dari permukaan air) dan MLSS dengan menggunakan alat MLSS meter.
271
Proses Tersier
Pada proses pengolahan ini ditambah bahan kimia, yaitu Alumunium
Sulfat (Al2(SO4)3), Polimer dan Antifoam (Silicon Base); untuk mengurangi
padatan tersuspensi yang masih terdapat dalam air. Tahap lanjutan ini
diperlukan untuk memperoleh kualitas air yang lebih baik sebelum air tersebut
dibuang ke perairan.
Air hasil proses biologi dan sedimentasi selanjutnya ditampung dalam
bak interdiet (Volume 2m3) yang dilengkapi dengan alat yang disebut inverter
untuk mengukur level air, kemudian dipompakan ke dalam tangki koagulasi
(volume 3,6 m3) dengan menggunakan pompa sentrifugal. Pada tangki koagulasi
ditambahkan alumunium sulfat (konsentrasi antara 150 300 ppm) dan polimer
(konsentrasi antara 0,5 2 ppm), sehingga terbentuk flok yang mudah
mengendap. Selain kedua bahan koagulan tersebut juga ditambahkan tanah
yang berasal pengolahan air baku (water teratment) yang bertujuan menambah
partikel padatan tersuspensi untuk memudahkan terbentuknya flok.
Pada tangki koagulasi ini terdapat mixer (pengaduk) untuk mempercepat
proses persenyawaan kimia antara air dan bahan koagulan, juga terdapat pH
kontrol yang berfungsi untuk memantau pH effluent sebelum dikeluarkan ke
perairan. Setelah penambahan koagulan dan proses flokulasi berjalan dengan
sempurna, maka gumpalan-gumpalan yang berupa lumpur akan diendapkan pada
tangki sedimentasi III (volume = 178 m3). Hasil endapan kemudian dipompakan
ke tangki penampungan lumpur yang selanjutnya akan diolah dengan belt press
filter machine.
272
Sebagai gambaran hasil proses dari Unit Pengolah Limbah Tekstil tersebut
adalah sebagai berikut :
Tabel 5. Hasil Pengamatan Konsentrasi, Debit,
dan Laju Penambahan Koagulan dan Flokulan Pada Tangki Koagulasi II,
tahun 1994 (Rapto, 1996).
Agent
Al2(SO4)3
Polimer ANP10
Kosentrasi
Debit
Laju Penambahan
(kg/l)
(l/jam)
(kg/jam)
0.30
128.95
38.69
5. 10-4
53.21
0.03
Inlet
(mg/l)
22.00
46.69
93.33
Outlet
(mg/l)
9.00
25.09
50.09
Efisiensi Removal
(%)
59.10
46.30
46.30
Parameter Pantau
A. Kimia
1. COD (Chemical Oxygen Demand)
Jumlah oksigen (ppm O2) yang dibutuhkan untuk mengoksidasi K2Cr2O7 yang
digunakan sebagai sumber oksigen (oxidizing agent).
2. BOD (Biochemical Oxygen Demand)
Suatu analisis empiris yang mencoba mendekati secara global proses-proses
mikrobiologi yang benar-benar terjadi didalam air. Angka BOD adalah
jumlah oksigen (ppm O2) yang dibutuhkan oleh bakteri untuk mengoksidasi
hampir semua zat organis yang terlarut dan sebagian zat organis yang
tersuspensi dalam limbah cair.
273
3. DO (Dissolved Oksigen) :
Jumlah oksigen (ppm O2) yang terlarut dalam air dan merupakan kebutuhan
mutlak bagi mikroorganisma (khususnya bakteri) dalam menguraikan zat
organik.
4. pH (Derajat Keasaman):
Didefinisikan sebagai pH = - log (H+) yang menunjukkan tingkat keasaman
atau kebasaan.
B. Fisika
1.
Parameter
Outlet
Efisiensi
Air Umum
274
pH
11.35
7.26
36.03
TSS (mg/l)
84.00
7.00
91.66
BOD5 (mg/l)
97.50
2.70
97.00
COD (mg/l)
428.50
162.70
62.03
Fe (mg/l)
2.33
0.07
96.99
LOKASI
Pengolahan limbah tektil ini diterapkan di PT Unitek, Jalan Pajajaran
Tajur, Bogor. Jawa Barat.
275
PERMASALAHAN
Teknologi ini cukup mahal investasinya. Penerapannya harus seimbang
dengan investasi industri utamanya. Walaupun hasilnya memuaskan, biaya
operasinya cukup tinggi.
276
DAFTAR PUSTAKA
277