Anda di halaman 1dari 14

I.

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pakar filsafat pendidikan Islam seperti Syed Naquib al-Attas


menyatakan bahwa ilmu pengetahuan modern tidak bebas nilai, ia
netral sebab dipengaruhi oleh pandangan-pandangan keagamaan,
kebudayaan, dan filsafat. Oleh karena itu umat Islam perlu
mengislamisasikan ilmu.[1] Pernyataan al-Attas tersebut bahwa ilmu
bebas nilai mengindikasikan adanya aksiologi, yakni pertimbangan nilai
dalam ilmu pengetahuan. Ilmu apapun namanya, jika ia diletakkan
dalam wadah yang islami, maka ilmu tersebut adalah ilmu Islam dan
di luar itu tidak islami.

Sejarah perkembangan ilmu pengetahuan tidak terlepas dari sejarah


perkembangan filsafat ilmu, sehingga muncullah ilmuan yang
digolongkan sebagai filosof dimana mereka menyakini adanya
hubungan antara ilmu pengetahuan dengan filsafat ilmu. Filsafat ilmu
yang dimaksud di sini adalah sistem kebenaran ilmu sebagai hasil dari
berfikir radikal, sistematis dan universal.[2] Oleh karena itu, Filsafat
ilmu hadir sebagai upaya menata kembali peran dan fungsi Iptek
sesuai dengan tujuannya, yakni mempokuskan diri terhadap
kebahagian umat manusia.

Ilmu pengetahuan yang merupakan produk kegiatan berpikir manusia


adalah wahana untuk meningkatkan kualitas hidupnya dengan jalan
menerapkan pengetahuan yang diperolehnya. Proses penerapan itulah
yang menghasilkan peralatan-peralatan dan berbagai sarana hidup
seperti kapak dan batu di zaman dahulu hingga peralatan komputer di
zaman sekarang ini, serta alat-alat yang lebih canggih (mutakhir) lagi
untuk masa-masa mendatang.

Meskipun demikian, pada hakikatnya upaya manusia dalam


memperoleh pengetahuan tetap didasarkan pada tiga masalah pokok,
yakni; apa yang ingin diketahui, bagaimana cara memperoleh ilmu
pengetahuan, dan bagaimana nilai pengetahuan itu.[3] Masalah yang
terakhir ini, yaitu nilai ilmu pengetahuan ber-kenaan dengan aksiologi.
Karena itu menarik untuk dikaji apa yang dikandung dalam ilmu
pengetahuan dan kaitannya dengan aksiologi, pertimbangan nilai,
serta hal lain yang terkait dengannya.

B. Rumusan Masalah

Berdasar dari uraian latar belakang sebelumnya maka masalah pokok


yang dibahas dalam kajian ini adalah bagaimana konsep ilmu dan
pertimbangan nilai perspektif filsafat, dan agar kajiannya terarah dan
sistematis, berikut ini dikemukakan tiga sub masalah, yakni :

1. Bagaimana tinjauan tentang ilmu dari segi nilai (aksiologi) ?

2. Bagaimana aksiologi dalam pandangan aliran-aliran filsafat ?

3. Bagaimana sumbangan aksiologi terhadap ilmu pengetahuan ?

II. PEMBAHASAN

A. Tinjauan tentang Ilmu dari segi Nilai (Aksiologi)

Kata ilmu secara etimologis dalam berasal dari bahasa Arab ()


mengandung arti mengetahui, mengenal memberi tanda dan petunjuk
yang berantonim dari makna naqid al-jahl (tidak tahu).[4] Karena itu,
dipahami bahwa ilmu adalah sebagai suatu pengetahuan secara
praktis yang dipakai untuk menunjuk pada pengetahuan sistematis
tentang masalah-masalah yang berhubungan dengan subyek tertentu.

Untuk lebih jelasnya, perlu pula dikemukakan beberapa pendapat


tentang pengertian ilmu secara terminologi. Dalam hal ini menurut
John Ziman menyatakan bahwa ilmu adalah kajian tentang dunia
material yang memiliki obyek tertentu.[5] Pengertian ini
mengindikasikan bahwa ilmu memiliki batasan tertentu yang harus
dikelolah sehingga bermuara pada suatu pengetahuan tentang
sesuatu. Selanjutnya menurut Al-Qadhi Abd. al-Jabbar bahwa
[6] ( ilmu adalah suatu makna yang dapat
menentramkan hati bagi seorang alim terhadap apa yang telah
dicapainya). Pengertian ini mengindikasikan adanya ketentraman dan
ketenangan jiwa apabila berhasil dalam pencariannya. Walaupun
demikian, pengertian ini (menurut penulis) hanya berlaku kepada

mereka yang bergelut dalam ilmu-ilmu yang bermanfaat. Dalam


pandangan Imam al-Gazali bahwa [7] ( ilmu itu
adalah tejadinya gambaran di dalam hati). Pengertian ini
mengindikasikan bahwa gambaran esensi sesuatu itu ada di dalam
hati, bukan berarti yang dimaksud di sini hanya semata-semata hati
saja. Al-Gazali menganggap bahwa hati adalah bagian dari yang
di dalamnya tercakup akal. Berdasarkan hal ini maka ia
mengembalikan pengertian ilmu ke dalam dua komponen yaitu
yaitu akal dan hati, hakikat atau esensi sesuatu sebagai obyek
pokok dan cara terjadinya gambaran sesuatu itu. Dalam Kamus Bahasa
Indonesia dikatakan bahwa pengertian ilmu adalah pengetahuan
secara mutlak tentang sesuatu yang disusun secara sistematis
menurut metode-metode tertentu dan dapat digunakan untuk
merenungkan gejala-gejala tertentu di bidang pengetahuan.[8]
Pengertian ini megindikasikan bahwa ilmu itu memiliki corak tersendiri
menurut suatu ketentuan yang terwujud dari hasil analisis-analisis
secara konprehensif.

Dari beberapa pengertian ilmu yang telah disebutkan di atas, maka


dapat dipahami bahwa batasan ilmu merujuk pada hasil interaksi
manusia dengan obyek tertentu yang akan menghasilkan sesuatu
pengetahuan dan itulah yang disebut ilmu. Dalam pandangan
Nurcholish Madjid salah seorang pemikir Muslim di Indonesia juga
bahwa ilmu pengetahuan itu netral. Lebih lanjutnya menurutnya
bahwa,

Ilmu pengetahuan baik yang alamiah maupun yang sosial adalah


netral. Artinya tidak mengandung nilai (bebas nilai) kebaikan atau
kejahatan pada dirinya sendiri. Nilainya diberikan oleh manusia yang
memiliki dan menguasainya.[9]

Apa yang dikemukakan Nurcholish Madjid di atas mengindikasikan ilmu


pengetahuan berkaitan dengan aksiologi. Dalam hal ini, Aksiologi
menurut bahasa berasal dari bahasa yunani axios yang berarti
bermanfaat dan logos berarti ilmu pengetahuan atau ajaran. Secara
istilah, aksiologi adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki hakikat
nilai yang ditinjau dari sudut kefilsafatan.[10] Sejalan dengan itu,
Sarwan menyatakan bahwa aksiologi adalah studi tentang hakikat
tertinggi, realitas, dan arti dari nilai-nilai (kebaikan, keindahan, dan
kebenaran).[11] Dengan demikian aksiologi adalah studi tentang
hakikat tertinggi dari nilai-nilai etika dan estetika. Dengan kata lain,
apakah yang baik atau bagus itu.

Definisi lain mengatakan bahwa aksiologi adalah suatu pendidikan


yang menguji dan mengintegrasikan semua nilai tersebut dalam
kehidupan manusia dan menjaganya, membinanya di dalam
kepribadian peserta didik.[12] Dengan demikian aksiologi adalah salah
satu cabang filsafat yang mempelajari tentang nilai-nilai atau normanorma terhadap sesuatu ilmu.

Berbicara mengenai nilai itu sendiri dapat kia jumpai dalam kehidupan
seperti kata-kata adil dan tidak adil, jujur dan curang. Hal itu semua
mengandung penilaian karena manusia yang dengan perbuatannya
berhasrat mencapai atau merealisasikan nilai.[13] Nilai yang dimaksud
adalah sesuatu yang dimiliki manusia untuk melakukan berbagai
pertimbangan tentang apa yang dinilai.

Secara singkat dapat dikatakan, perkataan nilai kiranya mempunyai


macam-macam makna seperti (1) mengandung nilai, artinya berguna;
(2) merupakan nilai, artinya baik atau benar, atau indah; (3)
mempunyai nilai artinya merypakan obyek keinginan, mempunyai
kualitas yang dapat menyebab-kan orang mengambil sikap menyetujui,
atau mempunyai sifat nilai tertentu; (4) memberi nilai artinya,
menanggapi sesuatu sebagai hal yang diinginkan atau sebagai hal
yang menggambarkan nilai tertentu.[14] Nilai ini terkait juga dengan
etika dan nilai estetika. Nilai etika adalah teori perbuatan manusia
yang ditimbang menurut baik atau buruk dan tentang hak dan
kewajiban moral. Sedangkan nilai estika adalah telaah filsafat tentang
keindahan serta keindahan, dan tanggapan manusia terhadapnya.[15]
Di dalam etika, nilai kebaikan dari tingkah laku manusia menjadi
sentral persoalan karena menyangkut tanggung jawab, baik tanggung
jawab pada diri sendiri, masyarakat, alam maupun terhadap Tuhan.

Ilmu pengetahuan pun mendapatkan pedoman untuk bersikap penuh


tanggung jawab, baik tanggungjawab ilmiah maupun tanggungjawab
moral.[16] Tanggungjawab ilmiah adalah sejauhmana ilmu
pengetahuan melalui pendekatan metode dan sistem yang
dipergunakan untuk memperoleh pendekatan metode dan sistem yang
dipergunakan untuk memperoleh kebenaran obyektif, baik secara
korehen-idealistik, koresponden realistis maupun secara pragmatisempirik. Jadi berdasarkan tanggungjawab ini, ilmu pengetahuan tidak
dibenarkan untuk mengejarkan kebohongan, dna hal-hal negatif
lainnya.

Berdasar dari apa yang telah diuraikan dipahami ilmu pengetahuan


mengandung nilai, dan kebenaran nilai ilmu pengetahuan yang
dikandungnya bukan untuk kebesaran ilmu pengetahuan semata yang
berdiri hanya mengejar kebenaran obyektif yang bebas nilai melainkan
selalu terikat dengan kemungkinan terwujudnya kesejahteraan dan
kebahagiaan umat manusia.

B. Aksiologi dalam Pandangan Aliran-aliran Filsafat

Aksiologi dalam pandangan aliran filsafat dipengaruhi oleh cara


pandang dan pemikiran filsafat yang dianut oleh masing-masing aliran
filsafat, yakni :

1. Pandangan Aksiologi Progresivisme

Tokoh yang berpengaruh dalam aliran ini adalah William James (18421910), Hans Vahinger, Ferdinant Sciller, Georger Santayana, dan Jhon
Dewey.[17] Menurut progressivisme, nilai timbul karena manusia
mempunyai bahasa. dengan demikian, adanya pergaulan dalam
masyarakat dapat menimbulkan nilai-nilai. Bahasa adalah sarana
ekspresi yang berasal dari dorongan, kehendak, perasaan, dan
kecerdasan dan individu-individu. Dalam hubungan ini kecerdasan
merupakan faktor utama yang mempunyai kedudukan sentral.
Kecerdasan adalah faktor yang dapat mempertahankan adanya
hubungan antara manusia dan lingkungannya, baik yang terwujud
sebagai lingkungan fisik maupun kebudayaan atau manusia.

2. Pandangan Aksiologi Essensialisme

Tokoh yang berpengaruh dalam aliran ini adalah Desiderius Erasmus,


John Amos Comenius (1592- 1670), John Locke (1632-1704), John
Hendrick Pestalalozzi (1746-1827), John Frederich Frobel (1782-1852),
Johann Fiedirich Herbanrth (1776-1841),dan William T. Horris (18351909).[18] Bagi aliran ini, nilai-nilai berasal dari pandangan-pandangan
idealisme dan realisme karena aliran essensialisme terbina dari dua
pandangan tersebut.

a. Teori nilai menurut idealisme

Idealisme berpandangan bahwa hukum-hukum etika adalah hukum


kosmos karena itu seseorang dikatakan baik, jika banyak berinteraksi
dalam pelaksanaan hukum-hukum itu. Menurut idealisme, sikap,
tingkah laku, dan ekspresi perasaan juga mempunyai hubungan
dengan kualitas baik dan buruk. Orang yang berpakaian serba formal
seperti dalam upacara atau peristiwa lain yang membutuhkan suasana
tenang haruslah bersikap formal dan teratur. Untuk itu, ekspresi
perasaan yang mencerminkan adanya serba kesungguhan dan
kesenangan terhadap pakaian resmi yang dikenakan dapat
menunjukkan keindahan pakaian dan suasana kesungguhan tersebut.

b. Teori nilai menurut realisme

Menurut realisme, sumber semua pengetahuan manusia terletak pada


keteraturan lingkungan hidupnya. Realisme memandang bahwa baik
dan buruknya keadaan manusia tergantung pada keturunan dan
lingkungannya. Perbuatan seseorang adalah hasil perpaduan antara
pembawa-pembawa fisiologis dan pengaruh-pengaruh lingkungannya.
George Santayana memadukan pandangan idealisme dan realisme
dalam suatu sintesa dengan menyatakan bahwa nilai itu tidak dapat
ditandai dengan suatu konsep tunggal, karena minat, perhatian, dan
pengalaman seseorang turut menentukan adanya kualitas tertentu.
Walaupun idealisme menjunjung tinggi asas otoriter atau nilai-nilai,
namun tetap mengakui bahwa pribadi secara aktif menentukan nilainilai itu atas dirinya sendiri.[19]

3. Pandangan Aksiologi Perenialisme

Tokoh utama aliran ini diantaranya Aristoteles (394 SM) St. Thomas
Aquinas. Perenialisme memandang bahwa keadaan sekarang adalah
sebagai zaman yang mempunyai kebudayaan yang terganggu oleh
kekacauan, kebingungan dan kesimpangsiuran. Berhubung dengan itu
dinilai sebagai zaman yang membutuhkan usaha untuk mengamankan
lapangan moral, intelektual dan lingkungan sosial dan kultural yang
lain.[20] Sedangkan menyangkut nilai aliran ini memandangnya
berdasarkan asas-asas supernatular, yakni menerima universal yang
abadi. Dengan asas seperti itu, tidak hanya ontologi, dan epistemolagi
yang didasarkan pada teologi dan supernatural, tetapi juga aksiologi.
Tingkah laku manusia dipengaruhi oleh potensi kebaikan dan
keburukan yang ada pada dirinya. Masalah nilai merupakan hal yang

utama dalam perenialisme, karena ia berdasarkan pada asas


supernatural yaitu menerima universal yang abadi, khususnya tingkah
laku manusia. Jadi hakikat manusia terletak pada jiwanya. Oleh karena
itulah hakikat manusia itu juga menentukan hakikat perbuatanperbuatannya.

4.

Pandangan Aksiologi Rekonslruksionisme

Aliran rekonstruksionalisme adalah aliran yang berusaha merombak


kebudayaan modern. Sejalan dengan pandangan perenialisme yang
memandang bahwa keadaan sekarang merupakan zaman kebudayaan
yang terganggu oleh kehancuran, kebingungan,dan kesimpangsiuran.
Aliran rekonstruksionalisme dalam memecahkan masalah,
mengembalikan kebudayaan yang serasi dalam kehidupan manusia
yang memerlukan kerja sama.

C. Sumbangan Aksiologi Terhadap Ilmu Pengetahuan

Ilmu pengetahuan yang diperoleh merupakan sumber daya manusia.


SDM ini merupakan derap langkah pembangunan selalu diupayakan
seirama dengan tuntutan zaman. Perkembangan zaman selalu
memunculkan tantangan-tantangan baru, yang sebagiannya sering
tidak dapat diramalkan sebelumnya. Sebagai konsekuensi logis,
perolehan ilmu pengetahuan selalu dihadapkan pada masalah-masalah
baru. Masalah yang dihadapi itu demikian luas, pertama karena sifat
sasarannya yaitu manusia sebagai makhluk misteri, kedua karena
usaha manusia harus mengantisipasi hari depan yang tidak segenap
seginya terjangkau oleh kemampuan daya ramal manusia.

Telah dikemukakan pada bagian pendahuluan bahwa ilmu bebas nilai,


dan hal tersebut menyebabkan banyak penilaian terhadap ilmu
pengetahuan. Dalam pemamaham seperti maka keberadaan aksiologi
memberi sumbangan terhadap ilmu pengetahuan itu sendiri. Berkaitan
dengan itulah, sumbangan aksiologi sebagaimana dalam berbagai
aliran filsafat terhadap ilmu pengetahuan dapat dikemukakan sebagai
berikut[21] :

1. Aliran filsafat progressivisme telah memberikan sumbangan yang


besar terhadap ilmu karena telah meletakkan dasar-dasar
kemerdekaan, dan kebebasan kepada anak didik. Oleh karena itu,

filsafat ini tidak menyetujui pendidikan yang otoriter. Setiap pebelajar


mempunyai akal dan kecerdasan sebagai potensi yang dimilikinya
yang berbeda dengan makhluk-makhluk lain. Potensi tersebut bersifat
kreatif dan dinamis untuk memecahkan problema-problema yang
dihadapinya. Oleh karena itu sekolah harus mengupayakan pelestarian
karakteristik lingkungan sekolah atau daerah tempat sekolah itu
berada dengan prinsip learning by doing (sekolah sambil berbuat).
Tegasnya, sekolah bukan hanya berfungsi sebagai transfer of
knowledge (pemindahan pengetahuan), melainkan juga sebagai
transfer of value (pendidikan nilai-nilai) sehingga anak menjadi
terampil dan berintelektual.

2. Aliran essensialisme berpandangan bahwa ilmu pengetahuan harus


berpijak pada nilai-nilai budaya yang telah ada sejak awal peradaban
manusia. Kebudayaan yang diwariskan kepada kita telah teruji oleh
seluruh zaman, kondisi, dan sejarah. Kesalahan kebudayaan modern
sekarang menurut aliran ini ialah cenderung menyimpang dari nilainilai yang diwariskan itu. Esessialisme memandang bahwa seorang
pebelajar memulai proses pencarian ilmu pengetahuan dengan
memahami dirinya sendiri, kemudian bergerak keluar untuk
memahami dunia objektif. Dari mikrokosmos menuju makrokosmos.

3. Aliran perenialisme berpandangan bahwa ilmu pengetahuan sangat


dipengaruhi oleh pandangan tokoh-tokoh seperti Plato, Aristoteles, dan
Thomas Aquinas. Menurut Plato manusia secara kodrati memiliki tiga
potensi yaitu nafsu, kemauan, dan pikiran. Karena itu ilmu
pengetahuan hendaknya berorientasi pada potensi itu dan kepada
masyarakat, agar kebutuhan yang ada pada setiap lapisan masyarakat
dapat terpenuhi. Sedangkan Aristoteles lebih menekankan pada dunia
kenyataan. Tujuan perolehan ilmu adalah kebahagian untuk mencapai
tujuan itu, maka aspek jasmani, emosi dan intelektual harus
dikembangkan secara seimbang.

4. Aliran rekonstruksionisme ingin merombak kebudayaan lama dan


membangun kebudayaan baru melalui lembaga dan proses ilmu
pengetahuan melalui pendidikan. Perubahan ini dapat terwujud bila
melalui usaha kerja sama semua umat manusia atau bangsa-bangsa.
Masa depan umat manusia adalah suatu dunia yang diatur dan
diperintah oleh rakyat secara demokratis, bukan dunia yang dikuasai
oleh suatu golongan. Cita-cita demokrasi yang sebenarnya bukan
hanya dalam teori melainkan harus menjadi kenyataan, dan terlaksana
dalam praktik. Hanya dengan demikian dapat pula diwujudkan satu
dunia yang dengan potensi-potensi teknologi mampu meningkatkan

kesehatan, kesejahteraan, kemakmuran, keamanan, dan jaminan


hukum bagi masyarakat, tanpa membedakan warna kulit, nasionalitas,
kepercayaan, dan agama.

Dengan demikian implikasi dan nilai-nilai (aksiologi) di ilmu


pengetahuan harus diintegrasikan secara utuh dalam kehidupan secara
praktis dan tidak dapat dipisahkan dengan nilai-nilai yang meliputi
kecerdasan, nilai-nilai ilmiah, nilai moral, dan nilai agama. Hal ini
tersimpul di dalam tujuan perolehan ilmu pengetahuan yakni
membawa kepribadian secara sempurna. Pengertian sempurna disini
ditentukan oleh masing-masing pribadi, masyarakat, bangsa sesuai
situasi dan kondisi.

Konsekuensi dari segi aksiologi adalah ilmu itu bebas nilai (value free
of sciences) atau ilmu netral nilai, aksiologi ini juga memberikan
sumbangan terhadap ilmu pengetahuan dalam perspektif Islam.
Bentuk sumbangannya antara lain dapat dilihat dengan adanya konsep
Islamisasi ilmu pengetahuan. Bagi Syed M. Naquib al-Attas yang telah
lama memahami secara akurat akar kebudayaan dan pandangan hidup
Islam di Barat, menegaskan bahwa penyebab kemunduran umat Islam
adalah rusaknya ilmu pengetahuan (corruption of knowledge) sehingga
mereka tidak bisa lagi membedakan antara kebenaran dan kepalsuan.
[22] Dari kajiannya yang sistematis, maka tokoh ini menawarkan agar
ilmu pengetahuan yang telah rusak itu, harus dibenahi secara
fundamental yang kemudian dia istilahkan dengan Islamisasi
Sains[23] Terkait dengan itu, maka berikut ini dikemukakan beberapa
proposisi tentang kemungkinan islamisasi sains, yakni ;

Dalam pandangan Islam, alam semesta sebagai obyek ilmu


pengetahuan tidak netral, melainkan mengandung nilai (value) dan
maksud yang luhur. Bila alam dikelola sesuai dengan maksud yang
inheren dalam dirinya akan membawa manfaat bagi manusia.
Maksud alam tersebut adalah suci (baik) sesuai dengan misi yang
emban dari Tuhan.
Ilmu pengetahuan adalah produk akal pikiran manusia sebagai hasil
pemahaman atas fenomena di sekitarnya. Sebagai produk pikiran
maka corak ilmu yang dihasilkan akan diwarnai pula oleh corak pikiran
yang digunakan dalam mengkaji fenomena yang diteliti.
Dalam pandangan Islam, proses pencarian ilmu tidak hanya berputarputar di sekitar rasio dan empiri, tetapi juga melibatkan al-qalb yakni
intuisi batin yang suci. Rasio dan empiri mendeskripsikan fakta dan al-

qalb memaknai fakta, sehingga analisis dan konklusi yang diberikan


sarat makna-makna atau nilai.
Dapatlah dipahami bahwa secara metodologis, pertimbangan nilai
dapat tereksplikasikan dalam ilmu pengetahuan terutama ilmu
pengetahuan Islam. Dengan demikian, ilmu pengetahuan dapat
diorientasikan pada weltans-chauung (pandangan dunia),
mendudukkan weltanschau-ung pada strata tertinggi, yakni fakta,
pengamatan dan pemaknaan semuanya diwarnai oleh weltanschauung
Islami.

III. PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasar dari uraian-uraian sebelumnya, maka dapat disimpulkan hasil


interaksi manusia dengan obyek tertentu menghasilkan sesuatu
pengetahuan dan itulah yang disebut ilmu. Ilmu pengetahuan bebas
nilai (value free of sciences) ia netral, dan karena ini maka ilmu
tersebut berkaitan dengan pertimbangan aksiologi. Aksiolgi yang
dimaksud di sini adalah cabang filsafat yang mempelajari nilai-nilai.
Atau dengan kata lain aksiologi adalah ilmu pengetahuan yang
menyelidiki hakikat nilai yang ditinjau dari sudut kefilsafatan.

Aksiologi dalam pandangan aliran filsafat dipengaruhi oleh cara


pandang dan pemikiran filsafat yang dianut oleh masing-masing aliran
filsafat. Terdapat beberapa pandangan tentang hal tersebut, misalnya
pandangan aksiologi aliran progresivisme bahwa nilai timbul karena
manusia mempunyai bahasa. Pandangan aksiologi dalam aliran
essensialisme menyatakan bahwa nilai-nilai berasal dari pandanganpandangan idealisme dan realisme. Pandangan aksiologi dalam aliran
perenialisme adalah nilai berdasarkan asas-asas supernatular, yakni
menerima universal yang abadi. Pandangan aksiologi dalam aliran
rekonslruksionisme memandang nilai adalah untuk memecahkan
masalah, mengembalikan kebudayaan yang serasi dalam kehidupan
manusia yang memerlukan kerja sama.

Oleh karena ilmu bebas nilai, maka pentimbangan nilai (aksiologi)


memberi sumbangan terhadap ilmu pengetahuan itu sendiri.
Sumbangan aksiologi tersebut dapat dilihat dalam berbagai aliran
filsafat yang disebutkan di atas. Di samping itu, aksiologi ini juga

memberikan sumbangan terhadap ilmu pengetahuan dalam perspektif


Islam. Hal tersebut dapat dilihat dengan adanya konsep islamisasi
sains dewasa ini. Dengan demikian, secara metodologis, pertimbangan
nilai dapat tereksplikasikan dalam berbagai disiplin ilmu pengetahuan
termasuk ilmu pengetahuan dalam Islam.

DAFTAR PUSTAKA

Barnadib, Imam. Filsafat Pendidikan Pengantar Mengenai Sistem dan


Metode. Yogyakarta: Andi Offset, 1990.

Daud, Wan Mohd. Nor Wan. The Educational Philosophy and Practice of
Syed Muhammad Naquib al-Attas, diterjemahkan oleh Hamid Fahmi, et.
all dengan judul Filsafat dan Praktik Pendidi-kan Islam Syed M. Naquib
al-Attas. Cet. I; Bandung: Mizan, 2003.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa


Indonesia. Cet. IV; Jakarta: Balai Pustaka, 1990.

Drijakarta SJ, N. Percikan Filsafat. Cet. IV; Jakarta: PT. Pembangunan,


1981.

Al-Gazali, Ihya Ulum al-Din, jilid III. Kairo: al-Bab al-Isa al-Halabi, 1975.

Ibn Faris Zakariyah, Abu Husayn Muhammad. Mujam Maqayis alLugah, juz III Cet. III; Mesir: Mushtafa al-Babi al-Halabi wa Awladuh,
1971.

Indar, Djuberansyah. Filsafat Pendidikan. Surabaya: Karya Abdi Tama,


1994.

Al-Jabbar, Al-Qadhi Abd. Al-Mana fi Abwab al-Tawhid, jilid XII. KAiro:


Muassasah al-Miriyah al-Ammah li al-Nasyr, 1972.

Jalaluddin dan Abdullah Idi, Filsafat Pendidikan. Jakarta: Baya Madya


Pratama. 1997.

Kattsoff, Louis O. Element of Philosophy diterjemahkan oleh Soejono


Soemargono dengan judul Pengantar Filsafat. Cet. V; Yogyakarta: Tiara
Wacana, 1992.

Madjid, Nurcholish. Islam Kemoderenan dan Keindonesiaan. Bandung:


Mizan, 1987.

Mudhafir, Ali. Pengenalan Filsafat dalam Tim Penyusun Fakultas


Filsafat UGM, Filsafat Ilmu sebagai Dasar Pengembangan Ilmu
Pengetahuan. Cet. I; Yogyakarta: Intan Pariwara, 1997.

Al-Munawwir, Ahmad Warson. Kamus Arab Indonesia. Edisi II;


Yogyakarta: Pustaka Progressif, 1997.

Sahabuddin. Filsafat Pendidikan suatu Pengantar kedalam Pemikiran,


Pemahaman, dan Pengamalan Pendidikan Bersendikan Filsafat. Ujung
Pandang: Program Pascasarjana IKIP, 1997.

Sarwan HB, Filsafat Agama. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1994.

Suhartono, Suparlan. Dasar-dasar Filsafat. Cet. I; Yogyakarta: al-Russ,


2004.

Suriasumantri, Jujun S. Ilmu dalam Perspektif. Cet. IX; Jakarta: Yayasan


Obor Indonesia, 1991.

Titus, Harold H. et. al., The Living Issues of Philosophy, diterjemahkan


oleh H. M. Rasyidi dengan judul Persoalan-Persoalan Filsafat. Jakarta:
Bulan Bintang, 1984.

Ziman, John. Hakikat Ilmu Pengetahuan Alam dalam C.A. Qadir (ed)
Ilmu Pengathuan dan Metodologinya. Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia., 1998.

[1]Wan Mohd. Nor Wan Daud, The Educational Philosophy and Practice
of Syed Muhammad Naquib al-Attas, diterjemahkan oleh Hamid Fahmi,
et. all dengan judul Filsafat dan Praktik Pendidi-kan Islam Syed M.
Naquib al-Attas (Cet. I; Bandung: Mizan, 2003), h. 317.
[2]Harold H. Titus, et. al., The Living Issues of Philosophy,
diterjemahkan oleh H. M. Rasyidi dengan judul Persoalan-Persoalan
Filsafat (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), h. 254.
[3]Jujun S. Suriasumantri, Ilmu dalam Perspektif (Cet. IX; Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia, 1991), h. 2.
[4]Abu Husayn Muhammad bin Faris Zakariyah, Mujam Maqayis alLugah, juz III (Cet. III; Mesir: Mushtafa al-Babi al-Halabi wa Awladuh,
1971), h. 90. Lihat pula Ahmad Warson Munawwir, Kamus Arab
Indonesia (Edisi II; Yogyakarta: Pustaka Progressif, 1997), h. 965.
[5]Lihat John Ziman, Hakikat Ilmu Pengetahuan Alam dalam C.A. Qadir
(ed) Ilmu Pengathuan dan Metodologinya (Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia., 1998), h. 10.
[6]Al-Qadhi Abd. Jabbar, Al-Mana fi Abwab al-Tawhid, jilid XII (Kiro:
Muassasah al-Miriyah al-Ammah li al-Nasyr, 1972), h. 13.
[7]Al-Gazali, Ihya Ulum al-Din, jilid III (Kairo: al-Bab al-Isa al-Halabi,
1975), h. 12.
[8]Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa
Indonesia (Cet. IV; Jakarta: Balai Pustaka, 1990), h. 324.
[9]Nurcholish Madjid, Islam Kemoderenan dan Keindonesiaan
(Bandung: Mizan, 1987), h. 268-269.

[10]Louis O. Kattsoff, Element of Philosophy diterjemahkan oleh


Soejono Soemargono dengan judul Pengantar Filsafat (Cet. V;
Yogyakarta: Tiara Wacana, 1992), h. 327.
[11]Sarwan HB, Filsafat Agama (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
1994), h. 22.
[12]Jalaluddin dan Abdullah Idi, Filsafat Pendidikan (Jakarta: Baya
Madya Pratama. 1997), h. 69.
[13]N. Drijakarta SJ, Percikan Filsafat (Cet. IV; Jakarta: PT.
Pembangunan, 1981), h. 36.
[14]Louis O. Kattsoff, op. cit., h. 332.
[15]Lihat kembali uraiannya lebih lanjut dalam ibid., h. 327.
Bandingkan dengan Ali Mudhafir Pengenalan Filsafat dalam Tim
Penyusun Fakultas Filsafat UGM, Filsafat Ilmu sebagai Dasar
Pengembangan Ilmu Pengetahuan (Cet. I; Yogyakarta: Intan Pariwara,
1997), h. 19.
[16]Suparlan Suhartono, Dasar-dasar Filsafat (Cet. I; Yogyakarta: alRuss, 2004), h. 164.
[17]Jalaluddin dan Abdullah Idi, op. cit., h. 70-71.
[18]Djuberansyah Indar, Filsafat Pendidikan (Surabaya: Karya Abdi
Tama, 1994), h. 136.
[19]Jalaluddin dan Abdullah Idi, op. cit., h. 87.
[20]Imam Barnadib, Filsafat Pendidikan Pengantar Mengenai Sistem
dan Metode. Yogyakarta: Andi Offset, 1990), h. 15
[21]Uraian-uraian ini dissdur dari Louis O. Kattsof, op. cit., h. 326-343.
Abdullah Idi, op. cit., h. 96-98. SahabuddinFilsafat Pendidikan suatu
Pengantar kedalam Pemikiran, Pemahaman, dan Pengamalan
Pendidikan Bersendikan Filsafat (Ujung Pandang: Program Pascasarjana
IKIP, 1997), h. 191-196.
[22]Demikian yang ditegaskan oleh al-Attas dalam Wan Mohd. Nor Wan
Daud, op. cit., h. 34
[23]Ibid.

Anda mungkin juga menyukai