yang melakukan swamedikasi. Di banyak negara, terdapat proporsi signifikan dari produk herbal
yang berubah menjadi kategori non-resep.
Jaminan kualitas dan kontrol kualitas yang memastikan kualitas produk memenuhi standar
harus ada di setiap negara dimana ada regulasi obat herbal. Sistem regulasi yang lemah dan
kontrol kualitas yang lemah membuat insiden terjadinya reaksi obat yang merugikan semakin
meningkat dan juga adanya pencampuran dari obat herbal menyebabkan tidak jelasnya kadungan
dan kontaminasi yang berbahaya.
Masalah lainnya adalah adanya farmakope yang berbeda antar negara. Di farmakope akan
disebutkan spesifikasi dan hal-hal terkait tanaman yang sesuai dengan habitatnya. Namun jika
antar negara memiliki farmakope yang berbeda akan menjadi masalah, apalagi jika memiliki
nama yang serupa namun bukan tanaman yang dimaksud, sehingga tidak akan sesuai dengan
ekologi dan habitatnya.
Kurangnya aksi dari pemerintah yang kurang menjamin adanya kesesuaian produk dengan
standar untuk menjamin keamanan, kualitas, dan efikasi. Padahal obat herbal sudah banyak
digunakan pada manusia. Maka dari itu perlu ada aksi yang nyata untuk menjamin keamanan
obat herbal di masyarakat.
3.2 Penggunaan yang tepat
Penggunaan obat herbal di negara yang mengkategorikan merupakan obat resep, selain dokter,
dokter gigi dan farmasis tidak dapat meresepkan obat herbal, untuk menjamin pelaporan dan
monitoring. Namun di beberapa negara, obat herbal tidak memerlukan resep untuk dibeli.
Pemasok obat herbal pun juga tidak selalu seorang dokter. Bisa saja pemasok adalah seorang
farmasis dan perawat yang mengerti tentang pengobatan alternatif. Seharusnya pemasok obat
herbal mematuhi aturan dalam monitoring terkait dengan keamanan obat non-resep.
Cara mengatasi permasalahan ini adalah dengan memberi pelatihan kepada dokter, perawat,
dan farmasis agar lebih mengerti tentang pengobatan herbal yang dapat berefek pada kesehatan
pasien. Tak hanya dokter, perawat, dan farmasis namun semua tenaga kesehatan yang bekerja
dibidang pengobatan herbal.