Anda di halaman 1dari 3

2.

Pharmacovigilance dan WHO International Drug Monitoring Programme


Pharmacovigilance adalah ilmu pengetahuan dan aktivitas yang terkait dengan deteksi,
assessment, pemahaman, dan pencegahan efek merugikan dari obat dan kemungkinan Drug
Related Problems (DRP) yang lainnya. Hal-hal yang diperhatikan, pada pharmacovigilance
adalah obat herbal, obat tradisional, alat-alat kesehatan, vaksin, dsb. Tujuan dari adanya
pharmacovigilance ini adalah meningkatkan keamanan pasien dalam menggunaan obat,
meningkatkan kesehatan public, berkontribusi dalam mencari obat yang efektif, menguntungkan,
dan nyaman untuk pasien, serta meningkatkan edukasi pada masyarakat.
Cara mengoperasikan pharmacovigilance sendiri dengan cara program yang didirikan WHO
untuk memonitor obat. Program ini bekerja sama dengan 70 pusat pharmacovigilance nasional,
namun semua terfasilitasi oleh WHO dan UMC. Program ini mengumpulkan data laporan kasus
terkait dengan keamanan obat. UMC bekerja sama dengan WHO untuk mengidentifikasi adanya
reaksi merugikan obat yang baru. Pusat pharmacovigilance nasional dan UMC memiliki peran
yang berbeda.
Fungsi dari pusat pharmacovigilance nasional adalah:
1. Mengumpulkan laporan dan mencurigai adanya reaksi obat yang merugikan dari obat-obat
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.

yang beredar di pasaran.


Melakukan assessment laporan kasus dan membuat dokumentasi kejadian.
Mengklasifikasi reaksi obat yang merugikan dari daftar WHO.
Membuat hipotesis umum dari tanda-tanda kejadian.
Investigasi tanda, faktor resiko, dan mekanisme farmakologi.
Memberi feedback untuk pelapor.
Mengingatkan tenaga kesehatan profesional dan masyarakat tentang isu keselamatan obat.
Melakukan edukasi dan training.
Melakukan sharing informasi di level regional dan global.

Fungsi dari UMC adalah:


1. Menerima dan menyimpan laporan dari pusat pharmacovigilance nasional.
2. Memfasilitasi pusat pharmacovigilance nasional untuk mendapatkan informasi data dari
WHO secara global
3. Melakukan analisis tanda yang diberikan pusat pharmacovigilance nasional dan
melakukan review klinik yang dilakukan tenaga profesional.
4. Membantu pusat pharmacovigilance nasional.
5. Memfasilitasi komunikasi antar negara

6. Melakukan pemeliharaan dan pembangunan dari WHO-ART dan menggunaan MedDRA


dari WHO International Drug Monitoring Programme.
7. Memberi pelatihan pada personil pusat pharmacovigilance nasional.
8. Standarisasi prosedur terkait aktivitas pharmacovigilance.
9. Publikasi dokumen yang relevan.
Banyak profesi yang terkait dengan sistem pharmacovigilance pada level yang berbeda
seperti dokter, dokter gigi, farmasis, perawat, peneliti, akademisi, penulis media, industri
farmasi, pasien, pengacara, pusat informasi obat, dan organisasi kesehatan regional. Dalam
berkolaborasi dengan UMC, pusat pharmacovigilance nasional telah mengikuti perjanjian untuk
melakukan:
1.
2.
3.
4.

Mengumpulkan dan menganalisa laporan kasus reaksi obat yang merugikan.


Membedakan tanda dari latar belakang yang tersembunyi.
Membuat keputusan regulasi berdasarkan tanda yang paling kuat.
Memberi peringatan kepada pembuat resep, dan masyarakat terkait dengan reaksi yang
merugikan dari obat.

3. Tantangan dalam monitoring keamanan obat herbal


3.1 Regulasi, jaminan kualitas, dan kontrol kualitas
Obat herbal yang teregulasi akan terkategori sebagai obat resep dan non-resep. Sistem
regulasi antar negara berbeda-beda. Status regulasi ini menentukan bagaimana akses rute
distribusi pada produk-produk ini. Karena adanya sistem regulasi yang berbeda-beda antar
negara maka perlu dilakukan adanya kategorisasi ulang pada negara yang mengimpor obat.
Pengkategorian ini tergantung dari karakterisitik alam yang ada pada nagara pengimpor.
Misalnya, obat herbal yang terkategori bukan obat di negara pengimpor akan lebih meningkat
popularitasnya, padahal di negara pengekspor merupakan bagian dari obat, hal ini membuat
kesulitan dalam mengontrol distribusi obat. Adanya hubungan ekspor-impor ini tidak diikuti
dengan berbaginya informasi obat yang lengkap, sehingga sulit untuk memonitoring dan mencari
efek obat yang tidak diinginkan.
Begitu pula pada obat yang seharusnya dengan resep, jika terjadi kategorisasi ulang dapat
terjadi obat tersebut akan berubah menjadi kategori obat non-resep. Sehingga banyak pasien

yang melakukan swamedikasi. Di banyak negara, terdapat proporsi signifikan dari produk herbal
yang berubah menjadi kategori non-resep.
Jaminan kualitas dan kontrol kualitas yang memastikan kualitas produk memenuhi standar
harus ada di setiap negara dimana ada regulasi obat herbal. Sistem regulasi yang lemah dan
kontrol kualitas yang lemah membuat insiden terjadinya reaksi obat yang merugikan semakin
meningkat dan juga adanya pencampuran dari obat herbal menyebabkan tidak jelasnya kadungan
dan kontaminasi yang berbahaya.
Masalah lainnya adalah adanya farmakope yang berbeda antar negara. Di farmakope akan
disebutkan spesifikasi dan hal-hal terkait tanaman yang sesuai dengan habitatnya. Namun jika
antar negara memiliki farmakope yang berbeda akan menjadi masalah, apalagi jika memiliki
nama yang serupa namun bukan tanaman yang dimaksud, sehingga tidak akan sesuai dengan
ekologi dan habitatnya.
Kurangnya aksi dari pemerintah yang kurang menjamin adanya kesesuaian produk dengan
standar untuk menjamin keamanan, kualitas, dan efikasi. Padahal obat herbal sudah banyak
digunakan pada manusia. Maka dari itu perlu ada aksi yang nyata untuk menjamin keamanan
obat herbal di masyarakat.
3.2 Penggunaan yang tepat
Penggunaan obat herbal di negara yang mengkategorikan merupakan obat resep, selain dokter,
dokter gigi dan farmasis tidak dapat meresepkan obat herbal, untuk menjamin pelaporan dan
monitoring. Namun di beberapa negara, obat herbal tidak memerlukan resep untuk dibeli.
Pemasok obat herbal pun juga tidak selalu seorang dokter. Bisa saja pemasok adalah seorang
farmasis dan perawat yang mengerti tentang pengobatan alternatif. Seharusnya pemasok obat
herbal mematuhi aturan dalam monitoring terkait dengan keamanan obat non-resep.
Cara mengatasi permasalahan ini adalah dengan memberi pelatihan kepada dokter, perawat,
dan farmasis agar lebih mengerti tentang pengobatan herbal yang dapat berefek pada kesehatan
pasien. Tak hanya dokter, perawat, dan farmasis namun semua tenaga kesehatan yang bekerja
dibidang pengobatan herbal.

Anda mungkin juga menyukai