Anda di halaman 1dari 10

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Filsafat adalah studi tentang seluruh fenomena kehidupan dan pemikiran manusia
secara kritis dan dijabarkan dalam konsep mendasar. Filsafat tidak didalami dengan
melakukan eksperimen-eksperimen dan percobaan-percobaan, tetapi dengan mengutarakan
masalah secara persis, mencari solusi untuk itu, memberikan argumentasi dan alasan yang
tepat untuk solusi tertentu. Akhir dari proses-proses itu dimasukkan ke dalam sebuah proses
dialektika. Untuk studi falsafi, mutlak diperlukan logika berpikir dan logika bahasa.
Dalam pembahasan kali ini yaitu mengenai Hak Asasi Manusia dalam perspektif
Filsafat Hukum, bagaimana kita dapat berfikir secara logis tentang kehidupan HAM yang ada
dimuka bumi ini, dalam hal ini tentu saja kita membicarakan mengenai sisi keadilannya,
bagaimana komposisi keadilan itu sendiri dalam kehidupan berfalsafah. Sesungguhnya pada
dasarnya sebuah keadilan didapatkan oleh manusia secara bebas dan itu merupakan haknya
ketika mereka sudah terbentuk seperti janin ketika berada dalam kandungan ibu. Pada zaman
sekarang ini semua orang mengenal sebutan keadilan , tetapi sayangnya mereke
mencederai nama keadilan itu sendiri dengan sikap mereka yang tidak memikirkan orang
lain, tetapi hanya memikirkan dirinya saja dan kelompoknya saja. Betapa ironisnya ketika
keadilan itu keluar dari jalan yang benar karena pikiran manusianya dalam berfalsafah yang
telah menyimpang dari aturan-aturan atau kaidah-kadiah yang ada.
Keadilan merupakan posisi yang teratas dalam moralitas bereaksi, kita harus
menggunakan sikap keadilan tanpa pandang bulu, tidak bertindak berdasarkan kasta atau
staus sosial yang ada, sebab pada dasarnya Indonesia mengandung azas equality before the
law. Filsafat hukum harus dapat menekan segala problematika hukum yang ada di dalam
negara ini maupun di dunia ini, tidak boleh adanya proses presure of mind atau presure of
react dalam menjalankan sikap hukum.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apakah Pengertian dari Hak Asasi Manusia?
2. Apakah pengertian dari Filsafat Hukum?

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 HAK ASASI MANUSIA (HAM)
A. PENGERTIAN HAK ASASI MANUSIA (HAM)
Hak Asasi Manusia (HAM) adalah hak-hak yang diberikan langsung oleh Tuhan Yang
Maha Pencipta (hak-hak yang bersifat kodrati). Pada hakikatnya HAM terdiri dari atas dua
hak dasar yang paling fundamental, yaitu hak persamaan dan hak kebebasan. Dari kedua hak
dasar inilah lahir HAM yang lainnya atau tanpa kedua hak dasar ini hak asasi manusia
lainnya sulit ditegakkan.
Hak asasi manusia dimaksud di Indonesia diatur melalui Undang-Undang Dasar 1945,
baik dalam pembukaan maupun dalam batang tubuhnya. Batang tubuh dimaksud, dapat
diungkapkan beberapa pasal diantaranya: Pasal 5 ayat (1), 20 ayat (1), 26, 27, 28, 29, 30, 31,
32, 33 ayat (1) dan ayat (3), dan 34. Namun, hak asasi manusia secara khusus diatur dalam
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999.
Hak asasi manusia yang bertujuan untuk: (1) mengembangkan kondisi yang kondusif
bagi pelaksanaan hak asasi manusia sesuia dengan pancasila, Undang-Undang Dasar 1945,
dan piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa, serta Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia; (2)
meningkatkan perlindungan dan penegakan hak asasi manusia guna berkembangnya pribadi
manusia Indonesia seutuhnya dan kemampuan berpartisipasi dalam berbagai bidang
kehidupan.[1]
B. LATAR BELAKANG HAK ASASI MANUSIA
Hak asasi manusia adalah hak dasar atau hak pokok yang dibawa manusia sejak lahir
sebagai anugerah Tuhan yang Maha Esa. Hak asasi ini menjadi dasar hak dan kewajiban yang
lain. Yang dimaksud dengan hak-hak asasi manusia ini mencakup sekumpulan hak,seperti hak
hidup dengan selamat serta hak kebebasan dan kesamaan, yang sifatnya tidak boleh dilanggar
oleh siapapun.
Hak-hak asasi manusia dapat pula dibagi sebagai berikut:
1. Hak-hak asasi pribadi.
2. Hak-hak asasi ekonomi.
3. Hak-hak untuk mendapatkan perlakuan yang sama dalam hukum dan pemerintahan.
4. Hak-hak sosial dan budaya
5. Hak-hak asasi untuk mendapatkan perlakuan tata peradilan dan perlindungan.
Menjadi kewajiban pemerintah atau negara hukum untuk mengatur pelaksanaan hakhak asasi ini, yang berarti menjamin pelaksanaannya, mengatur pembatasan-pembatasannya
demi kepentingan umum, kepentingan bangsa dan negara. Dengan adanya kemakmuran
masing-masing individu, kemakmuran masyarakat keseluruhan akan tercapai. Pandangan
demikian adalah pandangan liberal yang sangat mengedepankan individu.

1[1] Zainuddin Ali, Filsafat Hukum, Jakarta: Sinar Grafika), hlm.146-147

C. HAK ASASI MAN2USIA DAN WIBAWA HUKUM


Wibawa hukum diperlukan pula untuk penegakan hak asasi manusia. Orang sering
kurang mengetahui dan menyadari bahwa HAM mempunyai hubungan yang erat dengan
wibawa hukum. Kalau berbicara tentang HAM, maka hanya masalah ini saja yang disoroti.
Demikian juga sebaliknya.
Padahal HAM dan wibawa hukum merupakan dua sisi yang tidak dapat dipisahkan
dengan sisi yang lain. Charles Himawan mengungkapkan bahwa di negara berkembang baik
yang sudah tergolong dalam kelompok Newly Industrialized countries (NIC) maupun yang
masih tergolong sebagai Less Developed Countries (LDC) hubungan antara HAM dengan
wibawa hukum seringkali dilupakan. Demikian yang diungkapkan oleh masyarakat yang
mendiami beberapa negara maju (Developed Countries). Indonesia adalah negara yang kuat,
Indonesia merupakan negara yang berkembang tetapi dalam proses peradilannya Indonesia
masih di belakang negara maju dalam hal penegakan keadilannya. Indonesia saat ini
mempunyai peluang untuk mengurangi sifat keterbelakangan itu berdasarkan.
Pertama, mayoritas anggota Komnas HAM mempunyai latar belakang pendidikan
hukum sehingga tidak ada kesulitan untuk masuk kedalam bidang hukum untuk menangani
problematical cases of law.
Kedua, beberapa anggota Komnas HAM merupakan mantan hakim, jaksa, dan
pengacara sehingga mereka mumpuni dalam memberikan masukan kepada Komnas HAM
yang perlu ditempuh untuk melakukan balancing wibawa.
Ketiga, wibawa hukum di Indonesia rendah oleh karena itu Indonesia dikatakan
sebagai inferior country. [2]
D.

PERIODE HAK ASASI MANUSIA (HAM) DI INDONESIA


MATERI MUATAN HAM DALAM UUD 1945
Menyikapi jaminan UUD 1945 atas HAM, terdapat pandangann yang beragam.
Setidaknya, terdapat tiga kelompok pandangan, yakni : pertama, mereka yang berpandangan
bahwa UUD 1945 tidak memberikan jaminan HAM secara komprehensif; kedua, mereka
yang berpandangan bahwa UUD 1945 memberikan jaminan atas HAM secara komprehensif;
dan berpandangan bahwa UUD 1945 hanya memberikan pokok jaminan atas HAM.[3]
Terdapat dua pandangan untuk melihat HAM dalam UUD 1945, yakni sebagai berikut :
Pertama segi filosofis. Sesuai dengan asas demokrasi yang digariskan dalam pola
dasar pembangunan nasional, demokrasi yang ingin diketengahkan adalah demokrasi
berdasarkan Pancasila yang meliputi bidang-bidang politik, sosial, dan ekonomi, serta dalam
penyelesaian masalah-masalah nasional berusaha sejauh mungkin menempuh jalan
permusyawaratan untuk mencapai mufakat. Pada pokoknya, prinsip inilah yang dianut dalam
UUD 1945 sebagai konstitusi yang dijiwai oleh filsafat pancasila. Ini berarti bahwa di dalam
UUD 1945 ada dicantumkan kewajiban dasar di samping adanya hak-hak dasar. Kewajiban
dasar dimaksudkan secara garis besarnya yang tersurat adalah kewajiban menjunjung hukum
dan pemerintahan. Kedua, segi yuridis. Suatu pandangan mengatakan waktu UUD 1945
dirancang, maka kata pembukaannya menjamin demokrasi revolusioner. Akibatnya pendirian
ini yaitu hak dasar tidaklah diakui seluruhnya, melainkan satu dua saja yang kira-kira sesuai
2[2] Darji Darmodiharjo, Pokok-pokok Filsafat Hukum, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008),

hlm.168-172[3] Majda El-Muhtaj, Hak Asasi Manusia Dalam Konstitusi Indonesia : Dari UUD 1945
Sampai Dengan Amandemen UUD 1945 Tahun 2002, (Jakarta : Kencana, 2007), hlm. 94-95

dengan suasana politik dan sosial pada tahun 1945. Yang dipengaruhi oleh peperangan antara
negara fasisme melawan demokrasi.
Berdasarkan pandangan-pandangan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa dalam
UUD 1945 tidak ditemukan sebuah pengaturan yang tegas, akibatnya muncul berbagai
intrepretasi terhadap muatan kualitas muatan dan jaminan UUD 1945 atas HAM. Akan
tetapi, satu hal yang patut mendapat apresiasi positif adalah, bahwa para pendiri Bangsa
34
Indonesia telah berhasil memfomulasikan sebuah tatanan kehidupan nasional berikut
jaminan atas HAM.
2. 2 Filsafat Hukum
A. Pengertian Filsafat Hukum
Para ahli hukum memberikan pengertian sebagai filsafat hukum dengan rumusan yang
berbeda, sebagai berikut :
Menurut Soetikno
Filsafat hukum adalah mencari hakikat dari hukum, dia ingin mengetahui apa yang ada di
belakang hukum, mencari apa yang tersembunyi di dalam hukum, dia menyelidiki kaidahkaidah hukum sebagai pertimbangan nilai, dia memberi penjelasan mengenai nilai, mengkaji
sampai pada dasar-dasarnya dan berusaha untuk mencapai akar-akar dari hukum.
Menurut Satjipto Raharjo dan Soerjono Soekanto
Filsafat hukum mempelajari pertanyaan-pertanyaan dasar dari hukum, tentang dasar bagi
kekuatan yang mengikat dari hukum, merupakan contoh-contoh pertanyaan yang bersifat
mendasar itu. Atas dasar yang demikian itu, filsafat hukum bisa menggarap bahan hukum,
tetapi masing-masing mengambil sudut pemahaman yang berbeda sama sekali. Ilmu hukum
positif hanya berurusan dengan suatu tata hukum tertentu dan mempertayakan konsistensi
logis, peraturan, bidang serta sistem hukum itu sendiri.[4]
Bisa disimpulkan bahwa filsafat hukum adalah cabang filsafat, yakni tingkah laku atau
etika yang mempelajari hakikat hukum. Dengan perkataan lain, filsafat hukum adalah ilmu
yang mempelajari hukum secara filosofis. Jadi yang dikaji secara mendalam sampai pada inti
atau dasarnya yang disebut hakikat.[5] Filsafat hukum dituntut untuk menyertakan argumenargumen yang dapat dipahami dari perspektif rasional.[6] Jadi filsafat hukum adalah
perenungan dan perumusan nilai-nilai selain itu fisafat hukum juga mencakup penyerasian
nilai-nilai.[7]
B. Manfaat Filsafat Hukum
Adapun untuk mempermudah memahami apa manfaat dari filsafat hukum, disini kami
akan membahasnya berdasarkan sifat-sifat filsafat hukum. Sifat-sifat filsafat hukum terbagi
dalam tiga sifat, yaitu:
3[4] Prof.Dr.H.Zainuddin Ali,MA,Filsafat Hukum,Jakarta:Sinar Grafika,hlm.16[5] Prof.Darji
Darmodiharjo,SH,dan,DR.Shidarta,SH.,MHum,Pokok-Pokok Filsafat Hukum Apa dan Bagaimana Filsafat
Hukum
Indonesia,Jakarta:Gramedia Pustaka Utama,2008,hlm.11
[6] Herman Bakir,SH.,MH.,Filsafat Hukum Desain dan Arsitektur Kesejarahan,Bandung:Refika Aditama,2007,hlm.217
[7] Prof.Darji Darmodiharjo,SH,dan,DR.Shidarta,SH.,MHum,hlm.18

1) Holistik atau menyeluruh


Dengan cara berpikir yang holistik tersebut, kita diajak untuk berwawasan luas dan
terbuka. Mereka diajak untuk menghargai pemikiran, pendapat dan pedirian orang lain. Itulah
5
sebabnya dalam filsafat hukum diajarkan berbagai aliran tentang hukum. Dengan demikian
kita tidak bersifat arogam dan apriori, bahwa disiplin ilmu yang dimilikinya lebih tinggi
daripada disiplin ilmu lainnya.
2) Mendasar
Artinya dalam menganalisis suatu masalah kita dituntut untuk berpikir kritis dan
radikal. Mereka yang mempelajari filsafat hokum diajak untuk memahami hokum tidak
dalam arti hokum positif semata, tidak akan mampu memanfaatkan dan memanfaatkan
hokum secara baik.
3) Spekulatif
Sifat ini tidak boleh diartikan secara negatif. Sebagaimana dinyatakan oleh
Suriasumantri, bahwa semua ilmu yang berkembang saat ini bermula dari sifat spekulatif
tersebut. Sifat ini mengajak mereka yang mempelajari filsafat hokum untuk berpikir inovatif,
selalu mencari sesuatu yang baru. Memang salah satu ciri orang yang besifat yang senang
terhadap hal yang baru. Tapi disini tentu saja, tindakan spekulatif
Ini dimaksud dengan tindakan yang terarah, yang dapat dipertangungjawabkan secara ilmiah.
Dengan berpikir spekulatif (dalam arti positif) itulah hokum, dapat dikembangkan kearah
yang dapat dicita-citakan bersama.[8]
Sedangkan Muhammad Erwin SH, M.Hum dalam bukunya Filsafat Hukum,
Refleksi Kritis Terhadap Hukum, menambahkan tiga sifat lainya yaitu:
4) Refleksi-Kritis
Melalui sifat ini, filsafat hukum berguna untuk membimbing kita menganalisis
masalah-masalah hukum secara rasional dan kemudian mempertanyakan jawaban itu secara
terus-menerus. Jawaban tersebut seharusnya tidak sekedar diangkat dari gejala-gejala itu.
Analisis ini lah yang membantu kita menentukan sikap secara bijaksana dalam menghadapi
suatu masalah konkret. Dari uraian tersebut dapat dirumuskan bahwa adanya sifat refleksi
kritis ada pada filsafat hukum yaitu untuk melakukan evaluasi terhadap keberlakuan dan
pelaksanaan aturan dalam kehidupan dan pelaksanaan aturan dalam kehidupan berorganisasi.
5) Disiplin
Dengan karakter yang satu ini, filsafat hukum akan mampu menegaskan yang ada sesuai
dengan adanya yang telah ditentukan untuk itu, hal ini berarti permasalahan-permasalahan
yang telah, sedang dan yang baru terjadi dapat dipilah dan ditetapkan atau digolongkan ke
dalam wilayah permasalahan filsafat hkum.
6) Mengejar Kesempurnaan
Artinya filsafat hukum selalu bergerak dalam diamnya secara sistematik ataupun secara
ketakteraturannya dengan menemukan, menelaah, dan menganalisis serta mengevaluasi lalu
menyusun satu bagian dengan bagian lainnya untuk kemudian dikonstruksikan menjadi
5[8] Prof.Darji Darmodiharjo,SH,dan,DR.Shidarta,SH.,MHum,hlm.16-17[9] Muhammad Erwin,Filsafat Hukum, Refleksi
Kritis Terhadap Hukum,Jakarta:Raja Grafindo,2011,hlm.26-27

susunan atau sebagai alat untuk membuka jendela pengetahuan dengan mencari tahu rahasia
alam yang ada, sehingga dapat terus mengurangi keraguan dalam diri manusia.[9]
Berikut beberapa teori tentang keadilan yang dikemukakan tokoh. Didalam filsafat
hukum terdapat beberapa ahli yang mengemukakan teori keadilan, para ahli itu ialah Plato,
Aristoteles, Cicero dan John Rawls.
C. Aliran Keadilan dalam Filsafat Hukum6
Teori Keadilan Pada Masa Klasik
Keadilan telah menjadi pokok pembicaraan serius sejk awal munculnya filsafat
Yunani. Pembicaraan keadilan memiliki cakupan yang luas, mulai dari yang bersifat etik,
filosofis, hukum sampai pada keadilan sosial. Banyak orang yang berpikir bahwa bertindak
adil tergantung pada kekuatan dan kekuatan yang dimiliki, untuk menjadi adil cukup terlihat
mudah, namun tentu saja tidak begitu halnya penerapannya dalam kehidupan manusia.
Berikut beberapa teori tentang keadilan yang dikemukakan tokoh. Didalam filsafat hukum
terdapat beberapa ahli yang mengemukakan teori keadilan, para ahli itu ialah Plato,
Aristoteles dan John Rawls.
PLATO
Plato berpendapat bahwa keadilan adalah diluar kemampuan manusia biasa. Sumber
ketidakadilan adalah adanya perubahan dalam masyarakat. Masyarakat memiliki elemenelemen prinsipal yang harus dipertahankan, yaitu:
1. Pemilahan kelas-kelas yang tegas, misalnya kelas penguasa yang diisi oleh
penggembala dan anjing penjaga harus dipisahkan secara tegas dengan domba
manusia.
2. Identifikasi takdir Negara dengan takdir kelas penguasa; perhatian khusus terhadap
kelas ini dan persatuannya; dan kepatuhan pada persatuannya, aturan-aturan yang
rigid bagi pemeliharaan dan pendidikan kelas ini, dan pengawasan yang ketat serta
kolektivisasi kepentinga-kepentingan anggotanya.
Untuk mewujudkan keadilan masyrakat harus dikembalikan pada struktur aslinya, domba
menjadi domba, penggembala menjadi penggembala. Tugas ini adalah tugas Negara untuk
menghentikan perubahan. Dengan demikian keadilan bukan mengenai hubungan antara
individu melainkan hubungan individu dengan Negara. Bagaimana individu melayani
Negara.
Keadilan juga dipahami secara metafisis keberadaanya sebagai kualitas atau fungsi
makhluk super manusia, yang sifatnya tidak dapat diamati oleh manusia. Konsekuensinya
ialah, bahwa realisasi keadilan di geser ke dunia lain, diluar pengalaman manusia; dan akal
manusia yang esensial bagi keadilan tunduk pada cara-cara Tuhan yang tidak dapat diubah
atau keputusan-keputusan Tuhan yang tidak dapat diduga. Oleh karena inilaj Plato
mengungkapkan bahwa yang memimpin Negara seharusnya manusia super, yaitu the King of
Philosopher.
ARISTOTELES
Keadilan diuraikan secara mendasar oleh Aristoteles dalam Buku ke-5 buku
Nicomachean Ethics. Untuk mengetahui tentang keadilan dan ketidakadilan harus dibahas
tiga hal utama yaitu (1) tindakan apa yang terkait dengan istilah tersebut, (2) apa arti keadilan
dan (3) diantar dua titik ekstrim apakah keadilan itu terletak.[10]
6[10] Aristoteles,Nicomachean Ethics,Translated by: W.D.Ross,http://bocc.ubi.pt/pag/Aristotelesnicomachean.

JOHN RAWLS
John Rawls dikenal sebagai seorang fisuf yang secara keras mengkritik ekonomi
pasar bebas. Baginya pasar bebas memberikan kebebsan bagi setiap orang, namun dengan
adanya pasar bebas maka keailan sulit ditegakan. Oleh karena hal ini, ia mengembangkan
sebuah teori yang disebut teori keadilan. Menurut Rawls, prinsip paling mendasar dari
keadilan adalah bahwa setiap orang memiliki hak yang sama dari posisi-posisi mereka yang
wajar. Menurutnya kebaikan bagi seluruh masyarakat tidak dapat 7mengesampingkan atau
mengganggu rasa keadilan dari setiap orang yang telah memperoleh rasa keadilan, khususnya
masyarakat lemah. [11]
Teori keadilan Rawls dapat disimpulakan memiliki inti sebagai berikut:
1. Memaksimalkan kemerdekaan. Pembatasan terhadap kemerdekaan ini hanya
untuk kepentingan kemerdekaan itu sendiri.
2. Kesetaraan bagi semua orang, baik kesetaraan dalam kehidupan sosial maupun
kesetaran dalam bentuk pemanfaatan kekayaan alam. Pembatasan dalam hal
ini hanya dapat diizinkan bila ada kemungkinan keuntungan yang lebih besar.
3. Kesetaraan kesempatan untuk kejujuran dan penghapusan terhadap
ketidaksetaraan berdasarkan kelahiran dan kekayaan.
Untuk memberikan jawaban atas hal tersebut, Rawls melahirkan prinsip keadilan,
yang sering dijadikan rujukan oleh beberapa ahli yakni:
1. Prinsip Kebebasan (liberty of principle)
2. Prinsip Persamaan (equal of principle)
Rawls mencoba menggiring masyarakat untuk memperoleh prinsip kesamaan dan
kebebesan yang adil itulah sebabnya mengapa Rawls menyebut teorinya tersebut sebagai
justice as fairness.[12]
Secara spesifik, Rawls mengembangkan gagasan mengenai prinsip-prinsip keadilan
dengan menggunakan sepenuhnya konsep ciptaannya yang dikenal dengan:
1. Posisi Asali (Original Postion)
Konsep ini menjelaskan dimana seseorang memosisikan adanya situasi yang sama dan
setara antara tiap-tiap orang yang ada di dalam masyarakat serta tidak ada pihak yang
memiliki posisi yang lebih tinggi antara satu dengan yang lainnya, seperti misalnya
kedudukan, status sosial, tingkat kecerdasan, kemampuan, kekuatan dan lain sebagainya.
Sehingga orang-orang tersebut dapat melakukan kesepakatan dengan pihak lain.
Kondisi demikianlah yang dimaksud oleh Rawls sebagai posisi asal yang bertumpu
pada pengertian ekulibrium reflektif dengan didasari oleh ciri rasionalitas (rationality),
kebebasan (freedom), dan persamaan (equality) guna mengatur struktur dasar masyarakat
(basic structure of society). Hipotesa Rawls yang tanpa rekam historis tersebut sebenarnya
hampir serupa dengan apa yang dikemukakan oleh Thomas Nagel sebagai pandangan tidak
darimanapun (the view from nowhere), hanya saja dirinya lebih menekankan pada versi
sangat abstrak dari the State of Nature.
2.

Selubung Ketidaktahuan (Veil of Ignorence)


Konsep ini diterjemahkan oleh Rawls bahwa setiap orang dihadapkan pada
tertutupnya seluruh fakta dan keadaan tentang dirinya sendiri, termasuk terhadap posisi sosial
dan doktrin tertentu, sehingga membutakan adanya konsep atau pengetahuan tentang keadilan

7[11] John Rawls,Teori Keadilan (a Theory Justice),1997h.3[12] http:/ilhamendra.wordpress.com/2010/10/19/teorikeadilan-john-rawls-pemahaman-sederhana-buku-a-theory-of-justice/.

yang tengah berkembang. Dan setiap orang atau kelompok yang terlibat dalam situasi yang
sama tidak mengetahui konsepsi-konsepsi mereka tentang kebaikan.
Prinsip-prinsip Keadilan
Rawls menjelaskan bahwa para pihak di dalam posisi asali masing-masing akan
mengadopsi dua prinsip keadilan utama, yaitu:

1.

Prinsip Kebebasan (Liberty of Principle)


Setiap orang memiliki hak yang sama atas kebebasan-kebebasan dasar yang paling
luas dan kompatibel dengan kebebasan-kebebasan sejenis bagi orang lain.
Prinsip ini dikenal dengan prinsip kebebasan yang sama (equal liberty principle), seperti
misalnya kemerdekaan berpolitik (political of liberty), kebebasan berpendapat dan
mengemukakan ekspresi (freedom of speech and expression), serta kebebasan beragama
(freedom of religion).
Ini merupakan hal yang paling mendasar (hak asasi) yang harusnya dimiliki semua
orang. Dengan kata lain, hanya dengan adanya jaminan kebebasan yang sama bagi semua
orang maka keadilan akan terwujud (Prinsip Kesamaan Hak). Prinsip ini tidak lain adalah
prinsip kesamaan hak merupakan prinsip yang memberikan kesetaraan hak dan tentunya
berbanding terbalik dengan beban kewajiban yang dimiliki setiap orang. Prinsip ini
merupakan ruh dari asas kebebasan berkontrak.

2.

Prinsip Persamaan (Equal of Principle)


Ketimpangan atau ketidaksamaan sosial dan ekonomi yang diatur sedemikian rupa,
sehingga menjadi dua frasa, yakni:
a. Prinsip Perbedaan (Difference Principle)
Memperoleh manfaat sebesar-besarnya bagi anggota masyarakat yang paling tidak
diuntungkan. Prinsip perbedaan ini berangkat dari prinsip ketidaksamaan yang dapat
dibenarkan melalui kebijaksanaan terkontrol sepanjang menguntungkan kelompok
masyarakat lemah. Prinsip ini memerlukan persamaan atas hak dan kewajiban dasar.
b. Prinsip Persamaan Kesempatan (Equal Opportunity Principle)
Jabatan-jabatan dan posisi-posisi harus dibuka bagi semua orang dalam keadaan
dimana adanya persamaan kesepakatan yang adil. Prinsip ini tidak hanya memerlukan
adanya prinsip kualitas kemampuan semata, namun juga adanya dasar kemauan dan
kebutuhan dari kualitas tersebut. Sehingga dengan kata lain, ketidaksamaan kesempatan
akibat adanya perbedaan kualitas kemampuan, dan kemauan, dan kebutuhan juga dapat
dipandang sebagai suatu nilai yang adil berdasarkan prespektif Rawls. Prinsip ini
berpijak dari hadirnya ketimpangan sosial dan ekonomi yang kemudian dalam mencapai
nilai-nilai keadilan dapt diperkenankan jika memberikan manfaat bagi setiap orang,
khususnya terhadap kelompok masyarakat yang kurang beruntung (the least advantage).
Prinsip-prinsip ini diharapkan memberikan keuntungan terbesar bagi orang-orang
yang kurang beruntung, serta memberikan penegasan bahwa dengan kondisi dan
kesempatan yang sama, semua posisi dan jabatan harus terbuka bagi semua orang.
Prinsip kedua, yaitu Different Principle dan Equal Opportunity Principle, merupakan
prinsip perbedaa obyektif, artinya prinsip kedua tersebut menjamin terwujudnya
proporsionalitas pertukaran hak dan kewajiban para pihak, sehnga secara wajar

(obyektif) diterima adanya perbedaan pertukaan asalkan memenuhi syarat good faith and
fairness (redelijkhid n billijkheid. Dengan demikian, prinsip pertama dan prinsip kedua
idak dapat dipisahkan satu dengan lainnya. Sesuai dengan azaz proposionalitas, keadilan
Rawls ini akan terwujud apabila kedua syarat tersebut diterapkan secara komprehensif.
Dengan penekanannya ang begitu kuat pada pentingya member peluang yang sama bai
smua pihak, Rawls berusaha agar keadlilan tidak terjebak dalam ekstrem kapitalisme di
satu pihak dan sosialisme di lain pihak. Rawls mengatakan bahwa prinsip Different
Principle, harus lebih diprioritaskan dari prinsip yang kedua apabial keduanya
8
berkonflik. Sedang prinsip kedua, bagian b, yaitu Equal Opportunity Principle harus
lebi diprioritaskan dari bagian a yaitu Different Principle[16].

8[16] John Rawls,Teori Keadilan (a Theory Justice),1997h.72

BAB III
SIMPULAN
Hak Asasi Manusia (HAM) adalah hak-hak yang diberikan langsung oleh Tuhan Yang
Maha Pencipta (hak-hak yang bersifat kodrati). Pada hakikatnya HAM terdiri dari atas dua
hak dasar yang paling fundamental, yaitu hak persamaan dan hak kebebasan. Dari kedua hak
dasar inilah lahir HAM yang lainnya atau tanpa kedua hak dasar ini hak asasi manusia
lainnya sulit ditegakkan.
Sedangkan filsafat hukum adalah mencari hakikat dari hukum, dia ingin mengetahui
apa yang ada di belakang hukum, mencari apa yang tersembunyi di dalam hukum, dia
menyelidiki kaidah-kaidah hukum sebagai pertimbangan nilai, dia memberi penjelasan
mengenai nilai, mengkaji sampai pada dasar-dasarnya dan berusaha untuk mencapai akarakar dari hukum. Dan di dalam filsafat hukum terdapat teori yang bernama teori keadilan.
Jika kita sangkut pautkan HAM itu sendiri dengan prinsip keadilan yang di dalamnya
disebutkan bahwa keadilan itu memberi perlakuan yang sama terhadap semua orang sesuai
dengan hukum yang berlaku dalam filsafat hukum jelasberkaitan. Karena Ini merupakan hal
yang paling mendasar (hak asasi) yang harusnya dimiliki semua orang. Dengan kata lain,
hanya dengan adanya jaminan kebebasan yang sama bagi semua orang maka keadilan akan
terwujud (Prinsip Kesamaan Hak). Prinsip ini tidak lain adalah prinsip kesamaan hak
merupakan prinsip yang memberikan kesetaraan hak dan tentunya berbanding terbalik
dengan beban kewajiban yang dimiliki setiap orang. Prinsip ini merupakan ruh dari asas
kebebasan berkontrak.
Dan itu berarti semua orang harus dilindungi dan tunduk pada hukum yang ada secara
tanpa pandang bulu.

Anda mungkin juga menyukai