Anda di halaman 1dari 4

TPQ As-Sholihin Abror dalam Gelisah Kawasan Industri Jakut

Bacaan 300 santri TPQ As-Sholihin Abror berkejaran dengan dengung mesin potong batu.
Sejumlah bongkahan besar batu akik siap dipermak untuk menjadi buah batu mungil pemanis
jari. Tiga santri remaja menghadapi mesin potong batu yang terus berputar.
Alhamdulillah kita sudah punya 4 mesin. Buat nutupin pesanan kalau lagi banyak. Lumayan
buat makan santri-santri di sini, kata Ustadz Mukhlis menjelaskan aktivitas tiga santrinya
yang sedang menghaluskan batu di sore hari.
Sementara itu, 300 santri TPQ terus belajar membaca Al-Quran sejak pukul 14.00 hingga
17.00. Ustadz Muklis, kiai muda kelahiran 1975 yang sangat disegani di bilangan kelurahan
Rorotan, kecamatan Cilincing, Jakarta Utara ini menyerahkan delapan dari mereka untuk
dibimbing seorang guru perempuan yang pernah belajar kepadanya.
Target kita, ketika duduk di kelas satu ibtidaiyah, para santri sudah bisa membaca Al-Quran.
Alhamdulillah target 50 % tercapai, Ustadz Mukhlis menyebutkan perkembangan pesat 5
tahun terakhir TPQ yang dipimpinnya.
Ia sendiri hingga Tsanawiyah, menghirup habis udara Rorotan yang penuh debu. Telinga
berikut dua matanya dan anak-anak Tsanawiyah seusianya di Rorotan menjadi saksi bising
lalu-lalang dan ilir-mudik mobil-mobil besar mengangkut aneka barang dari dan menuju
syahbandar Tanjung Priok.
Semua pengajar TPQ perempuan. Mereka adalah murid yang pertama kali belajar sepulang
ustadz Mukhlis dari sejumlah pesantren pada 2004. Begitu pulang, saya melakukan
kaderisasi guru. Ada yang kuliah, ada yang sudah berumah tangga mengabdi di sini. Mereka
rata-rata orang sini. Ada juga orang Kediri, adik ipar saya sendiri.
Sementara Ustadz Mukhlis mondok selama enam tahun di pesantren Raudlatul Ulum,
Kencong, Pare, Kediri. Pria Betawi yang mengenyam pendidikan formal hingga Aliyah ini,
melanjutkan mondoknya selama beberapa tahun di Papar, Kediri sebelum pulang ke Jakarta
pada 2004.
Arsitektur dan Lahan Pendidikan
Pesantren As-Sholihin Abror terletak di belakang Al-Abror, masjid peninggalan keluarga
besar ustadz Mukhlis. Kalau menganggap pesantren terdiri atas sejumlah bangunan khusus
yang diperuntukkan belajar dan asrama santri, maka As-Sholihin Abror ini sulit dicari.
Pasalnya, pesantren ini tidak memiliki fisik bangunan khusus seperti pesantren pada
umumnya.
Pesantren ini hanya memiliki sebuah aula majelis taklim berukuran 9 x 6 meter. Di sinilah
300 santri TPQ belajar hingga sore. Di sini pula 200 santri madrasah diniyah belajar mulai
jamu 19.00 hingga jam 22.00. Bagaimana bisa? Tentu hanya 30 santri. Selebihnya mereka
menempati halaman 6 rumah kerabat ustadz Mukhlis yang berkenan pekarangan rumahnya
dipakai untuk mengaji.

Aroma pesantren terasa kuat pada saat aktivitas TPQ dan Madrasah Diniyah berlangsung. Di
luar jam itu, kampung di sekitar masjid Al-Abror tampak seperti perkampungan di Jakarta
pada umumnya. Lengang. Lalu-lalang mobil besar sebentar sekali melintas menaikkan
kembali endapan debu jalanan.
Sementara di selatan aula terdapat sejumlah makam yang dikelilingi 6 bangunan tradisional
terbuat dari bambu. Rimbun oleh sejumlah pohon. Pohon delima salah satunya. Di sini
sejumlah santri yang terdiri atas anak jalanan dan beberapa ustadz tinggal. Komplet, ada
masjid tempat ibadah. Ada majelis taklim tempat belajar. Nah ini di samping kita kuburan,
semuanya bakalan ditanam, ustadz Mukhlis mengumbar senyum.
Di salah satu dari enam saung bambu yang berukuran sebesar pos kamling di mana pun,
ustadz Mukhlis tinggal sendiri. Terbentang sajadah di dalamnya dan satu lekar dengan
tumpukkan sejumlah kitab. Cukup untuk tidur.
Aktivitas saya nggak ngapa-ngapain. Ini kamar saya. Kamar istri di rumah, seberang aula.
Tamu apa aja diterima di sini. Di sini sering kedatangan tamu yang curhat mulai dari intel
polsek, polres, sejumlah artis, dan macam-macam orang. Kadang tidak ada jadwal, pagi
siang, sore, malam. Itu bukti manusia itu kering, kata Ustadz Mukhlis yang mewiridkan
bait-bait Al-Hikam setiap malam bersama sedikitnya 100 warga dan santrinya.
Model arsitektur pesantren dibiarkan tanpa pagar. Tujuannya, agar tidak ada jurang pemisah
antara pesantren dan masyarakat. Artinya, banyak pesantren yang sudah jadi seperti sekarang
dengan bentuknya itu, nanti pada akhirnya orang masyarakat setempat pada tidak masuk.
Seakan-akan ada pemisah.
Seringkali terjadi di banyak pesantren, orang sekitar pesantren pada nggak ngaji. Ini sering
saya temukan. Makanya kemudian saya berpikir bagaimana caranya orang sekitar pada
mengaji. Kemudian format inilah yang saya temukan. Saya antara lain meniru keadaan
pesantren Buya Dimyathi Banten. Perkampungan biasa.
Bangunan bukan masalah bagi mereka yang ingin membangun pesantren. Pesantren hadir
agar masyarakat mengaji. Buat apa ada bangunan kalau pesantren justru menjauhkan
masyarakat dari mengaji. Ustadz Mukhlis memaknai pesantren sebagai aktivitas mengaji,
bukan bangunan atau administrasi. Prinsip saya, yang penting masyarakat mengaji. Ngaji.
Ngaji. Dan ngaji.
Ia berpikir, kehadiran lembaga pendidikan ditujukan untuk masyarakat setempat. Pesantren
di sini didominasi masyarakat setempat. Rencana kami bikin pesantren, 70% untuk
masyarakat setempat, 30% untuk orang luar.
Madrasah Diniyah
Ustadz Mukhlis menerapkan sistem pesantren pada madrasah diniyahnya. Jenjang ibtidaiyah,
tsanawiyah, dan aliyah ada di sini. Santri kita baru sampai tsanawiyah. Mereka umumnya
tidak lanjut ke aliyah karena keburu kuliah atau menikah. Harapan kita yang TPQ ini estafet
sampai aliyah.

Jejang Ibtidaiyah memiliki 4 kelas, kelas 3, 4, 5, 6. Sementara tingkat tsnawiyah baru


memiliki 2 kelas. Pendidikan diniyah dimulai sejak 19.00 ini. Lagi-lagi, mereka belajar di
pelataran rumah kerabatnya. Tiga santri berkopiah hitam berdiri di samping teman-temannya.
Sanksi bagi pelajar yang datang terlambat.
Setiap kelas dibatasi maksimal 20 murid. Kalau lebih, paling cuma sedikit 23 murid begitu,
kata ustadz yang mengawini perempuan buta huruf Al-Quran. Di satu tingkatan, ada yang dua
kelas. Ada yang satu kelas.
Ia memasukkan kurikulum pesantren pada diniyahnya. Materi pelajarannya mencakup
nahwu, shorof, fiqih, dan akhlaq sesuai tingkatannya. Kita keluar dari pemerintah bukan
karena membelot, tetapi ingin mempertahankan mutu.
Diniyah dipegang jebolan beberapa pesantren seperti dari Kediri, Banten, Lamongan. Banyak
dari ustadz di sini terutama santri pesantren sebelum pulang kampung, mengabdikan dirinya.
Mereka tinggal bersama sejumlah santri anak jalanan di saung yang ada di kiri-kanan saung
ustadz Mukhlis.
Spiritualitas Metropolitan
Sasaran pengajian di sini cukup komplet. Ada anak-anak, remaja, dan orang tua. Majelis
taklim ini membawahi juga pengajian orang tua. Setiap malam pengajian kitab tasawuf AlHikam dan Ihya Ulumiddin diadakan. Setiap malam.
Sepekan sekali majelis taklim mengadakan pengajian fiqih, Sullam Taufiq. Ustadz Mukhlis
mengampu pengajian tafsir Jalalain dan kitab fiqih sepekan sekali di masjid Al-Abror.
Jamaah masjidnya orang sekitar. Kurang-lebih 100 orang.
Tasawuf lebih sering frekuensinya. Ini sangat dibutuhkan orang terutama di kota-kota besar.
Kalau fiqih, cukup seminggu sekali. Mereka lazimnya sudah bisa mengerti caranya
sembahyang. Maklum orang-orang banyak kekeringan. Di samping itu warga dan santri
diajak membaca ratiban setiap malam Jumat. Tidak lupa bubur kacang hijau buatan santri
akan menemani jamaah.
Banyak kalau malam orang datang bertamu. Hanya sekadar untuk berkeluh kesah. Belum lagi
intelijen polsek, polres, dan korem di depan kampung. Rutin datang. Mereka kerap tertekan.
Tanggung jawab kerja mereka seringkali bertolak belakang dengan hati nurani kemanusiaan
mereka.
Santri-santri yang berasal dari jalanan, diperkuat mentalnya. Kita bangkitkan semangatnya,
optimisnya. Semua manusia berpeluang rahmat Allah.
Urakan dan Spiritualitas
Ustadz Mukhlis pulang ke Rorotan pada 2004. Kurus dengan rambut panjang. Oh itu Ustadz
gondrong, kata tukang Es Kelapa yang mangkal di muka kampung, samping SMP 200
Rorotan.

Ia baru mencukur rambutnya baru dua tahun terakhir. Mungkin banyak orang tidak tahu ia
sudah cukur rambut. Karena ustadz Mukhlis sudah lama tidak keluar-keluar rumah. Usia
hampir 40. Ingin fokus ngaji. Istiqomah ngaji, siang malam, pagi sore. Artinya sisa-sisa umur
saya ini mau saya abdikan untuk umat, kata ustadz yang mengamalkan ajaran tarekat
Qadiriyah Naqsyabandiyah.
Awalnya masyarakat mengingkari dirinya. Keluaran pesantren kok urakan. Ia sengaja
memilih penampilan demikian. Karena kalau saya pulang dengan rapi mengenakan sarung
dan baju koko, anak jalanan tidak akan mau mendekat.
Sepulang dari mondok, ia kerap nongkrong di jalanan. Dari situ, anak-anak jalanan mulai
ikut. Kenapa saya utamakan mereka? Karena mereka pun manusia. Mereka pun umat Islam.
Karena ada faktor-faktor lain, mereka menjadi seperti itu. Makanya kita dekati. Awalnya saya
mendekati para preman, pemabuk. Dengan apa? Dengan kasih sayang. Saya tidak ngomongin
hukum. Yang penting kenal saya dulu. Lama-lama, lama-lama, mereka meninggalkan itu.
Dengan gayanya yang demikian, para ustadz setempat awalnya ingkar. Tetapi orang kalangan
bawah seperti anak jalanan bisa masuk. Kenapa demikian? Memang tahapnya begitu. Saya
pun berjanji, pada gilirannya saya pun diterima semua kalangan. Contohnya seperti sekarang
ini, tercapai gitu.
Rorotan terbilang dataran tinggi kendati dekat laut. Di padepokannya kerap berkumpul artisartis reliji. Mereka meminta bantuan. dulu waktu saya masih sering keluar. Satu tahun
belakangan ia sudah tidak keluar.
Dapur?
Kalau masalah perekonomian, terus terang tidak ada. Hanya anak-anak santri membuat batu
akik. Hasilnya digunakan untuk makan sehari-hari. Artinya insya Allah saya orang paling
kaya di sini secara batiniyah. Kenapa? Karena saya tidak pernah mengemis dan meminta
kepada orang lain. Ketika ada haul syekh, ada acara apa saja, dirinya tidak pernah meminta
kepada siapa pun.
Kecuali ketika ada santunan yatim, saya mengajak masyarakat berpartisipasi. Itu pun saya
cuma imbau mulut aja. Mereka antusias. Setiap santunan alhamdulillah dana terkumpul tidak
kurang dari 80 jutaan. Ini yang per tahun. Sementara per bulan kami keluarkan 2 juta buat
operasional, ujar Ustadz Mukhlis yang mengajari istrinya Al-Quran dari nol hingga menjadi
ustadzah TPQ.
Ia memanfaatkan pekarangan sekitar makam untuk beternak bebek dan burung dara. Ia juga
memelihara ayam kampung dan seekor musang. Kalau ditanya dari ustadz menghidupi anak
istri, ia menjawab menyungging senyum, Tuhan saya Maha Kaya.

Anda mungkin juga menyukai