Anda di halaman 1dari 64

WANITA ACEH

DALAM PEMERINTAHAN
DAN PEPERANGAN
disarikan dari buku
Wanita Indonesia sebaga Negarawan dan Panglima Perang
karangan A. Hasjmy

Disadur oleh :
Dra. Hj. Emi Suhaimi
Ketua Komisi Pembinaan Wanita
ICMI Orwil Daerah Istimewa Aceh

^~

/^^^^?^\

Diterbitkan oleh
YAYASAN PENDIDIKAN A. HASJMY
Banda Aceh
1993

Dicetak oleh :
CV. GUA Hl RA'
offset & computer system
Banda Aceh

iii

RANUP SIGAPU

Dalam rangka memperingati genap dua tahun usia Perpustakaan dan Museurn Yayasan Pendidikan A l i Hasmy, yayasan akan
mengadakan suatu kegiatan yaitu Pameran Perjuangan dan Kcpahlawanan Wanita Aceh secara khusus dan Wanita Indonesia pada
umumnya, yang diharapkan pameran yang bermakna itu akan dibuka
oleh Menteri Negara Urusan Peranan Wanita, Ibu Sulasikin
Murpratomo.
D i samping itu, yayasan menerbitkan sebuah risalah kecil
berjudul "Peranan Wanita Aceh dalam Pemerintahan dan Peperangan", yang penyusunannya dilakukan oleh Sdri. Dra. Hj. Emi
Suhaimi, berdasarkan buku Wanita Indonesia sebagai Negarawan
dan Panglima Perang, karangan prof. A . Hasjmy.
Kepada semua pihak yang telah memungkinkan risalah
kecil ini terbit, Direktur Perpustakaan dan Museum Yayasan Pendidikan A l i Hasjmy mengucapkan syukur alhamdulillah dan terima
kasih ikhlas.
In Tansurullah, Yansurkum wa Yusabbit Aqdaamakum.

Banda Aceh, Januari 1993


Salam Takzim,
Perpustakaan dan Museum
Yayasan Pendidikan A l i Hasjmy
Direktur,

KATA PENGANTAR

Pada akhir bulan Januari 1993 yang akan datang, Majelis


Ulama Indonesia (MUI) Propinsi Daerah Istimewa Aceh akan mengadakan suatu Muzakarah dengan mengambil topik mengenai
wanita, dan pada waktu yang bersamaan Perpustakaan dan Museum
yayasan Pendidikan A l i Hasjmy akan memperingati Ulang Tahun
berdirinya yang kedua. Oleh Bapak Prof. A . Hasjmy yang menggagaskan dan memimpin kedua kegiatan itu bermaksud untuk menerbitkan sebuah buku kecil mengenai wanita Aceh, yang secara langsung
dapat dibaca oleh baik peserta Muzakarah maupun pengunjung
Ulang tahun Perpustakaan dan Museum.
Sehubungan dengan hal tersebut, maka pada suatu hari
beliau mcminta saya untuk mau menyadur kembali sebuah tulisannya, berupa makalah setebal 69 halaman yang pernah disampaikan
di hadapan sebuah forum yang diadakan oleh Yayasan Pencinta
Sejarah di Jakarta pada tanggal 6 Februari 1988, untuk menjadi
sebuah buku kecil yang bcrisi riwayat singkat sejumlah wanita Aceh
yang telah berperan dalam pemerintahan dan peperangan di Aceh.
Permintaan beliau saya terima dengan senang hati, bukan saja kar-na
hal itu merupakan suatu kepercayaan dan penghargaan, dan bukan
saja karena kebetulan saya dipercayakan menjabat Ketua Komisi
Pembinaan Wanita pada pengurus I C M I Orwil Daerah Istimewa
Aceh, tetapi juga karena saya merasa amat tertarik dengan sejarah
perjuangan wanita-wanita Aceh yang telah saya baca dari beberapa
tulisan tentang itu.
Sebanyak 14 orang wanita Aceh yang riwayat singkatnya
tercantum dalam buku kecil ini, adalah hasil saduran atau intisari
Wanita Indonesia sebagai Negarawan dan Panglima Perang dari
Naskah tulisan Bapak Prof. A . Hasjmy tersebut di atas.

vi

Saya menyadari bahwa saduran ini masih mengalami banyak


kekurangan, terutama dalam upaya membuat sebuah uraian yang
panjang menjadi singkat tanpa menghilangkan esensi yang penting
dari padanya. Namun, mudah-mudahan buku kecil ini bermanfaat
dalam upaya menambah kepustakaan mengenai wanita Aceh.
Pada akhirnya saya mengucapkan terima kasih kepada
Bapak Prof. A . Hasjmy atas kepercayaannya.

Banda Aceh, 20 Januari 1993


Wassalam
Penyadur,

Dra. Hj. Emi Suhaimi

vii

DAFTARISI

Ranup Sigapu

iii

Kata Pengantar

K E D U D U K A N WANITA A C E H DI M A S A L A M P A U

WANITA A C E H D A L A M P E M E R I N T A I I A N

1. Putri Lindung Bulan

2.
3.
4.
5.
6.
7.

Puteri Pahang
Ratu Nihrasiyah Rawangsa Khadiyu
Ratu Safiatuddin
Ratu Naqiatuddin
Ratu Zakiatuddin
Ratu Kamalat Syah

8
11
13
16
18
21

WANITA A C E H D A L A M P E P E R A N G A N

24

1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.

24
27
30
32
34
38
41

Laksamana Malahayati
Teungku Fakinah
CutNyakDhien
Cut Meutia
Pocut Meurah Intan
Pocut Baren
Teungku Fakinah

K E D U D U K A N WANITA A C E H DI MASA L A M P A U
Kerajaan-kerajaan Islam di Aceh pada masa lampau
(Perlak, Pasai, Lingga, Daya, dan akhirnya Darussalam)
semuanya mengambil Al-Qur'an dan Al-Sunnah menjadi sumber hukumnya. Sesuai dengan ajaran Islam itu, maka kerajaankerajaan tersebut telah memberi kepada kaum wanita
kedudukan yang sama dengan kaum pria, sehingga karena itu
banyak muncul tokoh wanita Aceh, baik sebagai pemimpin
pemerintahan maupun sebagai pahlawan dalam peperangan.
Dalam kerajaan Aceh Darussalam, dimana ditetapkan
Islam sebagai dasar kerajaan dan Al-Qur'an serta Al-Hadits
sebagai sumber hukum, maka kedudukan wanita disesuaikan
dengan ketentuan-ketentuan yang termaktub dalam sumber
hukum itu.
Al-Qur'an menegaskan bahwa manusia diciptakan dari sumber yang satu, yaitu Adam, baik pria maupun wanita. Dalam

4
Al-Qur'anul Karim Surah A n Nisa (sarakata Wanita) banyak
tersebut masalah mengenai wanita, seperti mengenai
kedudukannya yang sama dengan pria, mengenai hak dan
kewajiban wanita, serta mengenai peranan wanita dalam pembinaan keluarga.
Menurut ajaran Islam, kewajiban pria dan wanita
adalah sama, baik dalam hubungan dengan masalah negara
maupun masalah perang, artinya sama-sama berkewajiban
berperang atau berjihad untuk menegakkan agama Allah,
membela tanah air, memimpin dan membangun negara,
sebagaimana dapat dipahami dari Hadits-Hadits Nabawi.
Dalam Kerajaan Aceh Darussalam, hak wanita untuk
memegang jabatan-jabatan apa saja dalam kerajaan diakuinya.
Demikian pula kewajiban mereka terhadap kerajaan, seperti
kewajiban untuk membela dan memajukan kerajaan, oleh
karena wanita dipandang sama dengan pria dalam hukum
kerajaan.
Dalam Kitab SAFINATUL HUKKAM (Bahtera Para
Hakim) karangan Ulama Aceh Syekh Jalaluddin Tursani yang
dikarang pada tahun 1721 M , jelas difatwakan bahwa pria dan
wanita mempunyai hak dan kewajiban yang sama dalam
kerajaan. Wanita boleh menjadi Raja atau Sultan asal
memenuhi persyaratan yang ditetapkan.
Berdasarkan dalil-dalil ayat Al-Qur'an dan HaditsHadits Nabawi, maka kerajaan-kerajaan Islam Perlak, Pasai
dan Aceh Darussalam, telah memberi kepada kaum wanita
"hak" dan "kewajiban" yang sama dengan kaum pria. Oleh
karena itu adalah logis kalau sejarah mencatat sejumlah nama

5
wanita yang telah memainkan peranan yang amat penting di
tanah Aceh masa lampau, sejak zaman kerajaan Islam Perlak
sampai zaman revolusi kemerdekaan.
Berikut ini dikemukakan secara singkat riwayat 7
orang negarawan wanita dan 7 orang pahlawan wanita Aceh
yang telah mengisi lembaran sejarah dunia.

WANITA ACEH DALAM PEMERINTAHAN

1. Puteri Lindung Bulan


Puteri Lindung Bulan yang juga disebut Puteri Sri
Kandee Negeri adalah puteri Raja Muda Sedia yang memerintah Negeri Benua Tamieng (negara bagian dari Kerajaan Islam
Perlak) dalam tahun 735 - 800 H (1353 - 1398 M ) .
Sekalipun tidak memegang salah satu jabatan dalam
pemerintahan, namun di belakang layar, Puteri Lindung Bulan
telah membantu ayahnya dalam berbagai urusan kerajaan,
yang pada hakekatnya adalah sebagai Perdana Menteri dalam
pekerjaannya.
Ketika angkatan perang Majapahit di bawah pimpinan
Patih Nala telah menduduki Pulau Kampey pada tahun 779 H
(1377 M ) , lalu mengirim utusan kepada Raja Muda Sedia di

7
kota Masmani untuk meminta agar Negeri Benua Tamieng
tunduk kepada Kerajaan Majapahit dan Puteri Lindung Bulan
diserahkan kepada Raja Hayam Wuruk sebagai persembahan.
Sebagai seorang muslim Raja Muda Sedia menolak
permintaan itu, dan sebagai seorang muslimat sudah tentu
Puteri Lindung Bulan tidak mau diserahkan kepada Raja
Majapahit yang "bukan Islam". Akibatnya Patih Nala
menyerang Negeri Benua Tamieng dimana terjadi pertempuran yang hebat di kota Masmani yang dipertahankan oleh
tentara Benua di bawah pimpinan Lakseumana Kantom Mano.
Kota Masmani direbut, Raja Muda Sedia dan permaisurinya
melarikan diri ke kota Peunaron, namun Puteri Lindung Bulan
membiarkan diri ditawan oleh Patih Nala dengan tujuan hanya
sebagai suatu siasat.
Dengan suatu tipu daya dari Puteri Lindung Bulan,
maka beberapa waktu kemudian angkatan perang Negeri
Benua dapat merebut kembali kota Masmani yang telah hancur, dan Puteri Lindung Bulan dibebaskan, setelah serangan
tiba-tiba tengah malam yang dilakukan oleh Lakseumana Kantom Mano. Karena kecewa tidak dapat menaklukkan Negeri
Benua dan menyerahkan Puteri Lindung Bulan sebagai persembahan kepada Prabu Hayam Wuruk, maka Patih Nala
melanjutkan perang perluasan kerajan Majapahit ke wilayah
kerajaan Islam Perlak dan Samudera Pasai. Namun sementara
itu terdengar berita bahwa Prabu Hayam Wuruk meninggal
dunia, semangat perang Patih Nala menjadi patah, dan dengan
tergesa-gesa ia menarik angkatan perangnya dari Perlak dan
Pasai untuk kembali ke Majapahit.

2. Puteri Pahang
Tatkala Sultan Iskandarmuda pada tahun 1615
menyerang kembali Johor untuk kedua kalinya dan kemudian
memperluas wilayah perlindungannya sampai ke Pahang pada
tahun 1617 karena kedua kerajaan itu telah bersekongkol dengan Portugis, maka sejumlah besar rakyat negeri Pahang
ditawan dan dibawa ke Aceh, termasuk seorang puteri Raja
Pahang bernama Puteri Kamaliah yang kemudian dijadikan
permaisuri oleh Sultan Iskandarmuda.
Puteri Pahang itu dalam Istana Darud Dunia tidak
hanya sebagai Permaisuri Raja, tetapi juga menjadi penasihat
bagi suaminya. Ia sangat bijaksana dan menjadi sangat termashur dengan nama Putrou Phang.
Salah satu dari nasihat Puteri Pahang yang dilaksanakan oleh Sultan Iskandarmuda, dan yang mata bersejarah,
ialah pembentukan sebuah lembaga yang disebut Balai Majlis

9
Mahkamah Rakyat (semacam D P R sekarang), yang beranggotakan 73 orang yang mewakili Mukim dalam Kerajaan Aceh
Darussalam.
Untuk mengabadikan jasa dan karya besar Puteri
Pahang itu, maka semua produk Majlis Mahkamah Rakyat
disebut sebagai produk Puteri Pahang, sebagaimana tercermin
dalam sebuah Hadih Maja (kata berhikmat) yang berbunyi
sebagai berikut:
Adat bak Poteu Meureuhoom
Hukoom bak Syiah Kuala
Kanun bak Putrou Phang
Reusam bak Lakseumana
Hukom ngon adat
Lagee zat ngon sifeut
Hadih Maja tersebut menunjukkan adanya pembagian kekuasaan dalam kerajaan Aceh Darussalam, yaitu :
1.

Kekuasaan eksekutif (kekuasaan politik/adat) yang


berada di tangan Sultan yang disebut Poteu Meureuhoom,
yaitu Iskandarmuda yang menciptakan sistim tersebut.
(baris 1)

2.

Kekuasaan yudikatif atau pelaksanaan hukum yang berada di tangan ulama. Karena Syekh Abdurrauf Syiah Kuala
merupakan seorang ahli hukum dan Kadli Malikul A d i l
yang amat menonjol, maka pelaksanaan kekuasaan
yudikatif itu dibangsakan kepadanya yang bergelar Syiah
Kuala, (baris 2)

10
3.

Kekuasaan legislatif (kekuasaan membuat undang-undang). Dan kekuasaan ini berada di tangan Dewan Perwakilan yang dilambangkan oleh Puteri Pahang, karena
ialah yang memberi nasihat kepada Iskandarmuda untuk
membentuk Balai Majlis Mahkamah Rakyat. (baris 3)

4.

Peraturan keprotokolan atau reusam diserahkan pada


Laksamana/Panglima Angkatan Perang Ach. (baris 4)

5.

Akhirnya dalam Hadih Maja itu dinyatakan bahwa dalam


keadaan bagaimanapun, antara adat, kanun dan reusam
tidak boleh dipisahkan dari hukoom (ajaran Islam),
sebagaimana tercantum dalam baris 5 dan 6.

Hadih Maja itu tetap menjadi filsafat hidup orang


Aceh, dan tiga nama tetap menjadi ingatan, yaitu : Iskandarmuda, Syekh Abdurrauf Syiah Kuala dan Puteri Pahang.
Keberadaan Lembaga Balai Majlis Mahkamah
Rakyat itu terus berlanjut. Pada masa pemerintahan Ratu
Safiatuddin dan Raja Iskandar Sani, sebanyak 17 orang dari 73
orang anggota Balai Majlis Mahkamah Rakyat itu adalah
wanita.

11

3. Ratu Nihrasiyah Rawangsa Khadiyu


Ratu Nihrasiyah Khadiyu adalah Sulthanah terakhir
dari Kerajaan Islam Samudera Pasai yang memerintah tahun
801 - 831 H (1400 - 1428 M), setelah mangkat ayahnya Sultan
Zainal Abidin Malikud Dhahir yang memerintah Kerajaan
Pasai tahun 750 - 798 H (1350 - 1359 M ) .
Sultan Zainal Abidin, ayah Ratu Nihrasiyah, mangkat
dalam suatu pertempuran perebutan kekuasaan oleh
panglimanya Lakseumana Nagur Rabath Abdulkadir Syah,
yang kemudian ia dibunuh oleh perwira bawahannya yang
bernama Arya Bakoy, yang juga menjabat Syahbandar
Samudera Pasai. Arya Bakoy kemudian kawin dengan janda
Zainal Abidin, yang berarti menjadi ayah tiri dari Ratu Nihrasiyah.
Sebagai membalas jasa kepada Arya Bakoy yang telah
membunuh pembunuh ayahnya, maka Ratu Nihrasiyah mengangkat ayah tirinya itu menjadi Perdana Menteri Kerajaan

12
Samudera Pasai dengan gelar Maharaja Bakoy Ahmad Permala. Tetapi ternyata kemudian bahwa Arya Bakoy adalah
penganut ajarah Wahdatul Wujudyang telah jauh menyimpang
dari ajaran aslinya, dan membunuh orang-orang yang menentang ajarannya itu. Menurut ajaran Arya Bakoy, seseorang
boleh kawin dengan anak kandungnya sendiri, karena ia sendiri
ingin kawin dengan putri kandungnya yang cantik bernama
Puteri Madoong Peria.
Karena Ratu Nihrasiyah menentang ajaran Arya
Bakoy yang akan mengawini puteri kandungnya sendiri itu,
maka Perdana Menteri Arya Bakoy berusaha merebut
kekuasaan dari Ratu Nihrasiyah. Ratu menyuruh menangkap
Arya Bakoy, dan dalam suatu "perang tanding" dengan Malik
Mustafa, suami Ratu yang bergelar Pocut Cindai Simpul Alam
maka Arya Bakoy tewas.
Kerajaan Samudera Pasai di bawah pemerintahan
Ratu Nihrasiyah mencapai puncak kemajuan. Kalau kakeknya,
Sultan Malikus Saleh yang memerintah tahun 659 - 688 H
(1261 - 1289 M), adalah pembangun awal dari tamaddun Islam
di Samudera Pasai, maka Ratu Nihrasiyah merupakan
penyempurna pembangunan kerajaan itu, malah pada zamannya kerajaan Samudera Pasai mencapai puncak tamaddun,
yang menjadi azas kuat bagi tamaddun kerajaan Aceh Darussalam, setelah pada tahun 1611 M , Kerajaan Islam Samudera
Pasai digabungkan ke dalam Kerajaan Aceh Darussalam.
Makam Ratu Nihrasiyah yang terletak dalam komplek
Makam Raja-Raja Samudera Pasai, merupakan sebuah
makam yang terindah, dengan ukiran kaligrafi ayat-ayat A l Qur'an yang bernilai seni tinggi dan mengagumkan.

RATU TAJUL ALAMSAFIATUDDIN

13

4. Ratu Safiatuddin
Setelah Sultan Iskandar Sani wafat, maka atas keputusan pembesar negara dan para ulama, dinobatkanlah
Puteri Safinah anak Sultan Iskandarmuda Meukuta Alam dan
yang juga pada waktu itu isteri Sultan Iskandar Sani, menjadi
Sultanah Kerajaan Aceh Darussalam dengan gelar Sri Ratu
Tajul Alam Safiatuddin.
Semenjak berusia 7 tahun, Safiatuddin telah belajar
bersama-sama Iskandar Sani (asal dari Negeri Pahang) dan
putra putri istana lainnya pada ulama-ulama besar seperti
Syekh Hamzah Fansury, Syekh Nuruddin Ar-Raniry, Syekh
Kamaluddin dan lain-lain yang semuanya adalah guru besar
pada Jami' Baiturrahman pada waktu itu. Sehingga setelah
selesai pendidikannya, Safiatuddin telah mampu menguasai
berbagai ilmu pengetahuan dan berbagai bahasa, yaitu bahasa
Arab, Persia dan Spanyol, di samping alim dalam ilmu fikh

14

(hukum) termasuk hukum tata negara, ilmu sejarah, mantik,


falsafah, tasawuf, sastra dan lain-lain.
Setelah masa Iskandarmuda, maka masa pemerintahan Ratu Safiatuddin adalah zaman emas ilmu pengetahuan
dalam kerajaan Aceh Darussalam. Pada masanya banyak muncul ulama besar seperti Syekh Nurruddin Ar-Raniry, Syekh
Abdurrauf Syiah Kuala, Syekh Jalaluddin Tursany, dan lainlain. Ia mendorong para ulama dan sarjana mengarang bukubuku dalam berbagai disiplin ilmu, dimana dalam
mukaddimah buku-buku itu disebutkan bahwa buku itu
dikarang atas anjuran Ratu Safiatuddin, seperti misalnya buku
Hidayatul Iman F i Fadhlil Manan karya Nuruddin Ar-Raniry
dan buku Miratuth Thullab karya Abdurrauf Syiah Kuala. Pada
masa pemerintahan Ratu Safiatuddin, Nuruddin Ar-Raniry
telah menyelesaikan 30 judul buku, sedangkan Abdurrauf
menyelesaikan 10 judul buku dalam berbagai bidang ilmu.
Karena itu tidak heran apabila pada masa itu ibukota kerajaan
Aceh Darussalam menjadi pusat kebudayaan dan ilmu pengetahuan di Asia Tenggara.
D i samping perhatiannya kepada kebudayaan dan
ilmu pengetahuan, Ratu Safiatuddin juga menaruh perhatian
kepada kedudukan kaum wanita. Banyak peraturan yang
dibuatnya untuk melindungi kaum wanita.
Ratu Safiatuddin mempunyai kebijaksanaan dan
kemampuan yang luar biasa, seperti dikemukakan oleh
Muhammad Said dalam bukunya "Aceh Sepanjang Abad",
antara lain :
"

Kelebihan TajulAlam dalam kenegaraan terlihat

15
pula dari kuatnya dukungan para Menteri, orang besar
dan para ulama atasnya. Menurut catatan, lembaga
kenegaraan Tiga Sagi diadakan oleh Tajul Alam. Dua
orang cerdikpandai dan berpengaruh dengan kuat men dukungnya. Mereka adalah Syekh Nuruddin Ar-Raniry
dan Syekh Abdurrauf sendiri. Tampak dengan dukungan ini tidak ada kekolotan keagamaan dalam membenarkan seorang wanita menjadi raja. Kesanggupan
dan ketangkasannya tidak beda dengan apa yang
dimiliki raja laki-laki. Tajul Alam bukan saja telah
berhasil mengatasi ujian berat untuk membuktkan
kecakapannya memerintah tidak kalah dari seorang
laki-laki, tetapijuga berhasil mengadakan pembaharuan dalampemerintahan, memperluaspengertian demokrasi yang selama ini kurang disadari oleh kaum
laki-laki sendiri
"

Kebesaran Ratu Safiatuddin juga digambarkan dalam


bermacam-macam hikayat terkenal di Aceh.

16

5. Ratu Naqiatuddin
Ketika ia masih hidup, Ratu Safiatuddin telah mempersiapkan tiga orang wanita untuk menjadi penggantinya,
salah seorang bernama Puteri Naqiah. Sesuai dengan ketentuan dalam Kanun Al-Asyi atau Adat Meukuta Alam, maka
sebelum Ratu Safiatuddin dimakamkan, dilantiklah Puteri
Naqiah menjadi Raja Aceh pada tanggal 1 Sya'ban 1086 H (23
Oktober 1675 M ) , dengan gelar Seri Ratu Nurul Alam
Naqiatuddin, yang memerintah sampai tahun 1678 M .
Sejak awal pemerintahannya Ratu Naqiatuddin telah
menghadapi tantangan-tantangan yang besar, baik dari dalam
maupun dari luar negeri. Ancaman terhadap kerajaan Aceh
bertambah hebat dari Barat (Belanda, Portugis, Inggeris) yang
membawa agama Kristen, sementara di dalam negeri "kaum
Wujudiyah" yang telah menyimpang dari ajaran Islam, berusaha meningkatkan oposisinya terhadap Ratu Naqiatuddin

17
dengan melakukan sabotase berupa pembakaran kota Banda
Aceh. Masjid Raya Baiturrahman dan Istana Seri Sulthan beserta segala isinya habis musnah dimakan api. Kebakaran di
Aceh yang maha dahsyat itu turut menggemparkan Malaka,
yang memuat peristiwa itu dalam tambo kerajaan pada tahun
1677 M .
Dalam upaya menekan oposisi "kaum wujudiyah" dan
kelompok oposisi lain, Ratu Naqiatuddin mengadakan perobahan-perobahan dalam pemerintahan, antara lain menyempurnakan Kanun Al-Asyi atau Adat Meukuta Alam, dengan
petunjuk-petunjuk Kadli Malikul Adil Syekh Abdurrauf Syiah
Kuala dan dengan persetujuan Balai Majlis Mahkamah
Rakyat. Perubahan itu antara lain mengenai ketentuan pengangkatan Sultan dan penyempurnaan Federasi Tiga Sagi yang
telah dibentuk oleh Ratu Safiatuddin. Dalam hubungan itu,
maka kedudukan ketiga Panglima Sagi menjadi sangat kuat,
dimana merekalah yang memberi kata akhir dalam pengangkatan atau pemberhentian seorang Sultan.
Sabotase dari "kaum Wujudiyah" menyebabkan pemerintahan Seri Ratu Naqiatuddin tidak berjalan lancar dan
juga membawa dampak negatif kepada para Ratu yang
memerintah setelahnya.

18

6. Ratu Zakiatuddin
Ratu Zakiatuddin meninggal pada tanggal 1 Z u l ka'idah 1088 H (23 Januari 1678 M), dan sebelum pemakamannya terlebih dahulu dilantik Puteri Zakiyah menjadi Sultanah
Kerajaan Aceh Darussalam dengan gelar Seri Ratu Zakiatuddin Inayat Syah, yang memerintah sampai tahun 1688 M .
Puteri Zakiah adalah calon pengganti kedua yang dipersiapkan oleh Ratu Safiatuddin untuk memimpin Kerajaan
Aceh Darussalam. Mereka yang dipersiapkan itu telah dididik
dalam istana Darud Dunia dengan berbagai ilmu pengetahuan : ilmu hukum termasuk hukum tatanegara, sejarah, filsafat,
kesusastraan/adab, pengetahuan agama Islam, bahasa Arab,
Bahasa Persia, bahasa Spanyol dan bahasa Inggris. (Yang mengajarkan bahasa Spanyol dan Inggris adalah seorang wanita
Belanda yang menjadi sekretaris Ratu Safiatuddin).
Begitu naik tahta, Ratu Zakiatuddin juga menghadapi

19
tantangan berat, malah lebih berat dari pendahulunya. Hanya
karena pengaruh yang besar dari Kadli Malikul A d i l Syekh
Abdurrauf Syiah Kuala, tantangan-tantangan itu dapat diatasinya.
Kebijaksanaan para pendahulunya, baik terhadap
V O C maupun terhadap rongrongan "kaum wujudiyah" diteruskannya. D i Sumatera Barat Ratu Zakiatuddin menunjukkan kekuasaannya terhadap V O V dengan menarik kembali
Bayang ke dalam wilayah kerajaan Aceh. Sikap tegas demikian
itu mendapat sambutan baik dari masyarakat Minangkabau,
sehingga menimbulkan kesulitan bagi perwakilan V O C di
Padang yang harus menghadapi peperangan yang hebat selama
dua tahun dengan rakyat disana.
Ketika pemerintahannya pernah datang ke Aceh utusan Inggeris dan utusan Syarif Mekkah. Utusan Inggeris meminta agar diizinkan mendirikan kantor Dagangnya di Aceh bersama loji militer, tetapi permintaan itu ditolak dengan marah
oleh Ratu.
Utusan Syarif Mekkah tiba di Aceh pada tahun 1092
H (1681 M ) dan tinggal di Aceh selama satu tahun. Mereka
kagum akan kemampuan Ratu yang berbicara dalam bahasa
Arab tanpa memakai jurubahasa serta kagum akan berbagai
bangsa yang tinggal di Banda Aceh, yang kebanyakannya para
saudagar. D i antara rombongan Syarif Mekkah itu terdapat
dua bersaudara yang bernama Syarif Hasyim dan Syarif
Ibrahim. Utusan Syarif Mekkah kembali kenegerinya, kecuali
mereka berdua, yang ternyata kemudian ketika pemerintahan
Ratu Kamalat Syah keduanya mempelopori perebutan

20
kekuasaan dalam kerajaan.
Setelah memerintah 10 tahun lamanya, Ratu
Zakiatuddin meninggal pada 8 Zulhijjah 1098 H (3 Oktober
1688 M).

21

7. Ratu Kamalat Syah


Puteri Kamalah, orang ketiga yang telah dipersiapkan
oleh Ratu Safiatuddin untuk memimpin pemerintahan kerajaan Aceh Darussalam, dinobatkan pada hari meninggalnya
Ratu Zakiatuddin, yaitu sebelum upacara pemakamannya.
Puteri Kamalah menjadi Sultanah dengan gelar Seri Ratu
Kamalatuddin Inayah Syah.
Meninggalnya Ratu Zakiatuddin dipergunakan sebaik-baiknya oleh kelompok politisi yang memperalat "kaum
wujudiyah" untuk merebut kekuasaan. Karena itu penobatan
Ratu Kamalat Syah mengalami goncangan. Dalam kelompok
orang yang ingin merebut kekuasaan termasuk beberapa orang
hulubalang yang merasa telah kehilangan beberapa hak istimewa mereka sejak pemerintahan Ratu Safiatuddin, yang
karena itu tidak puas dengan pemerintahan seorang Ratu.
"Kaum Wujudiyah" terus menerus merongrong agar kerajaan

22
tidak boleh lagi dipegangoleh seorang wanita. D i antara tokoh
yang mempelopori perebutan kekuasaan itu ialah Syarif
Hasyim, seorang dari Syarif bersaudara yang datang ke Aceh
bersama-sama dengan Syarif Mekkah kira-kira tujuh tahun
sebelumnya.
Dalam bukunya "Tarich Raja-Raja Kerajaan Aceh".
M . Yunus Jamil melukiskan keadaan pada masa itu sbb :

".
diangkatnya Ratu ini (Kamalat Syah) menjadi
Sultanah Kerajaan Aceh Darussalam menimbulkan
kegoncangan politik, terutama dalam golongan pem
besar-pembesar negara. Adagolongan yang mendukun
Kamalat Syah dan ada pula yang berupaya supaya
Syarif Hasyim Jamalul'lail diangkat menjadi Sultan
dan ada pula yang menghendaki agar Maharaja Lela
Abdurrahim, keturunan Maharaja Lela DaengMansur,
diangkat menjadi Raja. Dengan kecerdikan dan
wewenangnya, Waliyu-Mulki, Mufti Besar Kerajaan
Aceh Darussalam, Syekh Abdurrauf Syiah Kuala,
kegoncangan itu dapat ditenteramkan kembali. Se
Ratu Kamaluddin Syah tetap diangkat menjadi Su
tanah Kerajaan Aceh Darussalam".
Walaupun tantangan cukup berat dari golongan
oposisi, namun Ratu Kamalat Syah, masih memikirkan pembangunan kerajaan, termasuk pembangunan ekonomi.
Kebijakan Ratu sebelumnya dijalankan terus. Sementara
hubungan dengan Belanda semakin meruncing, hubungan
dengan negara tetangga terus dipelihara. D i samping itu
beberapa perjanjian dengan Inggeris yang memberi keuntung-

23
an kepada kerajaan juga dilakukannya (termasuk hal-hal yang
dapat melawan operasi V O C Belanda yang terus menggerogoti).
Pada waktu Ratu Kamalat sedang membangun
kerajaan dengan rencana-rencana yang telah disahkan oleh
Balai Majlis Mahkamah Rakyat, tiba-tiba tangan kanannya
yang kuat, Syekh Abdurauf, meninggal dunia. Penggantinya
sebagai Kadli Malikul Adil yang baru, tidak cukup kuat untuk
menghadapi kaum oposisi yang akan menjatuhkan ratu,
terutama dengan isyu tidak boleh diperintah oleh raja wanita.
Malah menurut sebuah pendapat, Kadli Malikul A d i l yang
baru itupun menggabungkan diri dengankaum oposisi. Akhirnya, Ratu Kamalat Syah harus turun tahta, yaitu pada tanggal
20 Rabiul'awal 1109 H (1699 M ) , dan pada hari itu juga
dinobatkan Syarif Hasyim menjadi Sultan Kerajaan Aceh
Darussalam dengan gelar Sultan Badrul Alam Syarif Hasyim
Jamaluriail. Dan berakhirlah pemerintahan Raja-Raja wanita
dalam sejarah kerajaan Aceh.
Tujuh tahun setelah turun tahta, Ratu Kamalat Syah
meninggal dunia pada tahun 1116 H (1705 M ) dan dimakamkan bersama tiga orang Ratu sebelumnya dalam "Kandang
Dua Belas"yang terletak dalam komplek Darud Dunia di kota
Banda Aceh.

24

WANITA A C E H D A L A M P E P E R A N G A N
1. L a k s a m a n a M a l a h a y a t i
Pada waktu Sultan Alaidin Riayat Syah A l Mukamil
memerintah Kerajaan Aceh Darussalam (1589 - 1604 M ) terjadilah pertempuran laut di Teluk A r u , antara armada Selat
Malaka Aceh dengan armada Portugis. Pertempuran dipimpin
oleh Sultan dengan dibantu dua orang Lakseumana. Pertempuran Teluk Aru berakhir dengan hancurnya armada Portugis,
sementara sekitar 1000 orang prajurit dan dua orang laksamana Aceh mati syahid. Isteri dari salah seorang Lakseumana
itu ialah Lakseumana Malahayati, yang pada waktu itu menjabat Komandan Protokol Istana Darud Dunia.
Sekalipun kemenangan suatu pertempuran menimbulkan kegembiraan, namun bagi Malahayati, di samping kegembiraan, kehilangan suaminya adalah pula suatu kesedihan

Laksamana MALAHAYATI

25
bercampur geram dan marah. Karena itu ia meminta kepada
Sultan agar membentuk sebuah Armada Aceh yang prajuritnya
seluruhnya terdiri dari para janda yang suaminya telah syahid
dalam pertempuran Teluk Haru itu.
Permintaannya dikabulkan, dan terbentuklah Armada
Inong Balee (Armada Wanita Janda) dengan Malahayati sebagai Panglimanya, dan mengambil Teluk Krueng Raya sebagai
pangkalan armada tersebut.
Ketika muda, Malahayati mendapat pendidikan
militer pada Pusat Pendidikan tentera Aceh yang bernama
Pusat Pendidikan Asykar Baital Makdis, yang dilatih oleh para
perwira dari Turki, dalam rangka kerja sama antara Turki
dengan kerajaan Aceh Darussalam.
Darah pelaut telah tumbuh dalam dirinya dari ayah
dan kakeknya. Dalam pendidikan itulah ia bertemu dengan
suaminya, dan menikah. Setelah selesai pendidikan, suaminya
terus mengembangkan karir di laut, sementara ia menjadi
komandan protokol istana, sampai ia diangkat menjadi
panglima armada Inong Balee.
Peristiwa Houtman bersaudara telah mengangkat
derajat Laksamana Malahayati ke puncak kegemilangan. A r mada Inong Balee yang diperlengkapi dengan 100 buah kapal
perang dan meriam-meriam, pada waktu itu merupakan
sebuah armada yang kuat di Samudera AsiaTenggara. Armada
kapal perang Belanda yang menyamar sebagai armada dagang
yang dipimpin oleh Houtman bersaudara (Cornelis dan
Frederijk), yang memasuki pelabuhan Banda Aceh dan
diterima bersahabat, ternyata berkhianat terhadap keperca-

26
yaan Sultan dengan membuat manipulasi dagang, mengadakan
pengacauan, menghasut, dan sebagainya. Sultan memerintahkan Malahayati menyelesaikan persoalan itu. Dalam pertempuran dengan kapal perang Belanda, Cornelis de Houtman
mati ditikam Malahayati dan Frederijk ditawan.
Laksamana Malahayati bukan saja seorang panglima
armada perang, tetapi juga seorang negarawan. Ketika negeri
Belanda berusaha memperbaiki hubungan dengan kerajaan
Aceh, datanglah utusan Belanda dengan membawa surat istimewa dari Prins Maurits, pemimpin negeri Belanda pada
waktu itu. Untuk melakukan perundingan ditunjuk Malahayati
oleh Sultan, dan ternyata memberikan hasil yang gemilang,
antara lain dibukanya kedutaan Aceh di negeri Belanda dengan Duta Besar pertama Abdul Hamid.
Demikianlah profil seorang wanita Aceh yang hidup
pada abad ke-17, di samping seorang panglima yang gagah
berani, juga seorang diplomat yang cakap.

27

2.

Teungku Fakinah

Selama perang Aceh melawan Belanda pada akhir


abad ke-19 banyak sekali muncul pahlawan wanita, salah
seorang di antaranya ialah Teungku Fakinah. Tetapi ia bukan
hanya seorang pehlawan perang yang berani, melainkan juga
seorang pendidik dan ulama. Sebelum Perang Teungku
Fakinah membuka sebuah dayah (pesantren), ketika zaman
perang ia tampil sebagai panglima perang yang disegani
musuh, dan setelah kembali dari medan perang beliau kembali
muncul sebagai ulama dan pendidik yang bekerja keras membangun kembali pendidikan pada pesantrennya yang porak
poranda karena peperangan.
Ayah Teungku Fakinah adalah seorang pejabat tinggi
kerajaan (umara) dan ibunya adalah anak seorang ulama besar,
yang juga menjadi ulama. Karena itu tidak heran kalau
Teungku Fakinah menjelma menjadi seorang panglima perang
dan ulama besar.

28
Ketika kecil dan remaja, Teungku Fakinah mendapat
pendidikan Islam dan membaca Al-Qur'an dari ibunya, serta
belajar kerajinan tangan dan ilmu-ilmu agama, ia juga pernah
mendapat pendidikan militer menjelang pecahnya perang
Aceh.
Setelah dewasa, Fakinah bersuamikan seorang perwira juga ulama bernama Teungku Ahmad, yang keduanya
sebelum pecah perang mengajar pada Dayah Lampucok yang
dibangun oleh ayah Fakinah.
Teungku Ahmad, suami Fakinah, mati syahid dalam
perang, dan sejak itu Teungku Fakinah berusaha untuk membentuk sebuah pasukan tentara setingkat Resimen (yang disebut Sukey). Atas persetujuan Sultan terbentuklah Sukey
Fakinah yang terdiri atas 4 batalyon (balang), dimana beliau
sendiri menjadi panglimanya. Salah satu dari keempat batalyon
dalam Sukey Fakinah itu, seluruh prajuritnya terdiri atas kaum
wanita, sementara komandan-komandan kompi dan Regu
pada batalyon-batalyon lain adalah juga dipimpin oleh wanita.
Beliau ikut bertempur di berbagai medan perang dalam
wilayah Aceh Besar, dan setelah lewat 10 tahun perang beliau
turut bergerilya di pedalaman dengan beberapa pemimpin
Aceh, termasuk bersama Sultan Muhammad Daud dan
Tuangku Hasyim Banta Muda.
Salah satu peranan Teungku Fakinah yang perlu
dicatat ialah, upayanya untuk menyadarkan T. Umar, suami
kawan dekatnya Cut Nyak Dhien, untuk kembali ke pihak
Aceh.
Kepada teman dekatnya itu beliau mengirim surat,
yang antara lain isinya sbb :

29

"Saya harap kepada Cutnyak agar menyuruh suami


Cutnyak, T. Umar, untuk memerangi wanita-wanita
yang sudah siap menanti di Kuala Lamdiran (maksudnya Resimen Fakinah), sehingga akan dikatakan orang
bahwa dia adalah panglima yang berani, johan pahlawan seperti yang digelarkan oleh musuh kita Belanda

Isi surat itu sangat menyegat perasaan Cut Nyak


Dhien, dan mendorongnya untuk berusaha menyadarkan kembali suaminya. Lewat Do Karim, Cut Nyak Dhien mengirim
pesan kepada suaminya, yang antara lain berbunyi:
"Apalagi Pang Karim, sampaikan kepada Teuku Umar,
bahwa Teungku Fakinah telah siap sedia menanti
kedatangan Teuku Umar di Lamdiran. Sekarang
barulah dinilai perjuanganmu cukup tinggi pria lawan
wanita, yang belum pernah terjadi pada masa nenek
moyang kita. Kafir sendiri segan memerangi wanita.
Karena itu, Teuku didesak berbuat demikian. Sudah
dahulu kuperingatkan : janganlah engkau menyusu
pada badak
".
Pesan Cut Nyak Dhien sangat menyentuh hati Teuku
Umar, dan tidak berapa lama kemudian maka Teuku Umar
kembali kepada bangsanya dengan membawa alat persenjataan Belanda yang cukup banyak.
Demikianlah, maka kemudian dalam umur yang cukup tua, seorang pahlawan dan ulama besar Teungku Fakinah
berpulang kerahmatullah pada tanggal 3 Oktober 1933, dan
dimakamkan di Lamdiran di tempat kelahirannya.

30

3. Cut Nyak Dhien


Cut Nyak Dhien adalah seorang wanita Aceh yang
telah menjadi pahlawan Nasional, karena memang dalam
tubuhnya bersemi semangat pahlawan yang luar biasa. Ketika
masih bayi telah didendangkan ketelinganya dengan lagu-lagu
yang dapat menanamkan semangat kepahlawanan. Ayahnya
menceritakan kepadanya kehebatan para wanita Aceh di masa
lalu, sehingga setelah ia tumbuh menjadi dewasa seperti telah
ditakdirkan untuk menjadi srikandi, pahlawan bangsa.
Cut Nyak Dhien adalah puteri seorang uleebalang
berdarah pahlawan, bernama Teuku Nanta Setia, penguasa V I
Mukim Peukan Bada. Neneknya juga seorang bangsawan,
Teuku Nanta Syekh, yang sangat dipercayai oleh Sultan Aceh!
Suami Cut Nyak Dhien yang pertama ialah Teuku
Ibrahim dari Lam Nga, Montasik, seorang pahlawan yang sangat ditakuti Belanda, yang syahid pada tahun 1873 setelah

CUT NYA' DHIEN

31

hanya baru lima tahun menikah dengan Cut Nyak Dhien, dan
meninggalkan seorang putri bernama Cutnyak Gambang.
Setelah beberapa tahun Cut Nyak Dhien menjanda,
maka ia dipinang oleh seorang panglima muda, Teuku Umar,
yang kebetulan cucu dari kakek Cut Nyak Dhien sendiri, Teuku
Nanta Syekh.
Pada mulanya Cut Nyak Dhien menolak pinangan
Teuku Umar, tetapi atas desakan keluarga ia bersedia menjadi
isteri Teuku Umar dengan syarat bahwa ia tidak lagi menjadi
isteri penjaga rumah, tetapi dibolehkan ikut perang bersama
suaminya dan pejuang-pejuang lainnya, yang hal itu disetujui
oleh Teuku Umar. DemikianJah, semenjak setelah perkawinannya, Cut Nyak Dhien terus berada di medan perang, melawan musuh untuk mempertahankan tanah airnya.
Setelah Teuku Umar mati syahid di Meulaboh, maka
pimpinan perang diambil alih olehnya. Bertahun-tahun ia berjihad dalam hutan, berpindah dari satu lembah ke lembah yang
lain, sampai kemudian matanya buta.
Akhirnya pada tanggal 4 Nopember 1905, Cut Nyak
Dhien, ditawan oleh pasukan Belanda di bawah pimpinan
Letnan V a n Vuuren. Dalam keadaan tertawan dan buta Cut
Nyak Dhien masih tetap mengomandokan perang dari kamp
tawanan di Banda Aceh. Kemudian beliau diasingkan ke tanah
Jawa, dan di Sumedang Jawa Barat beliau wafat pada tanggal
6 Nopember 1908.
Perjuangan Cut Nyak Dhien telah diabadikan alam
beberapa buku, dan dalam film kolosal berjudul namanya: Cut
Nyak Dhien.

32

4. Cut Meutia
Seperti halnya Cut Nyak Dhien, pejuang wanita Acer
Cut Meutia adalah pahlawan nasional, yang telah ditetapkar
oleh pemerintah karena perjuangannya yang luar biasa dalarr
mempertahankan tanah air dari penjajahan Belanda.
Seperti halnya Cut Nyak dhien, Cut Meutia juga mempunyai dua suami yang keduanya mati syahid sebagai panglima
perang. Bedanya ialah, kalau Cut Nyak Dhien ditawan Belanda
dan dibuang ke luar daerah, maka Cut Meutia mati syahid
dalam medan perang dalam usia terlalu muda, 30 tahun (1880
-1910 M ) .
Orang tua Cut Meutia adalah Teuku Ben Daud, dan
darah bangsawan yang kesatria dan ulama yang bersemangat
jihad telah mengalir dalam dirinya dari moyang Teuku Ben
Daud sendiri yang hidup sekitar 400 tahun sebelum Cut Meutia
lahir, yaitu seorang tokoh bangsawan yang ulama, yang erat

CUT MEUTIA

33
hubungannya dengan istana Darud Dunia di Banda Aceh, yang
bernama Tok Bineh Blang. Disamping itu Cut Meutia dilahirkan dalam suasana perang (7 tahun setelah pecah perang),
dimana ibunya senantiasa mendendangkan lagu-lagu yang
menggelorakan semangat.
Mula-mula ia dikawinkan dengan Teuku Syamsyarif
yang tidak dicintainya dan yang segera bercerai. Kemudian
menikah dengan Teuku Cut Muhammad yang juga seorang
pejuang dan panglima perang. Setelah suaminya mati syahid,
atas wasiat suaminya itu Cut Meutia kawin dengan Pang
Nanggrou, seorang pahlawan yang menjadi wakil suaminya
Teuku Cut Muhammad, dan terus melanjutkan perjuangan
suaminya yang telah syahid itu. Akhirnya Cut Meutia menjadi
janda untuk kedua kalinya, setelah Pang Nanggrou syahid pula
pada 26 September 1910, dan sebulan kemudian, 25 Oktober
1910, Cut Meutia syahid pula. Cut Meutia meninggalkan
seorang putra dari suaminya Teuku Cut Muhammad, yang
diberi nama T. Raja Sabi.

34

5. Pocut Meurah Intan


D i Desa Tegal Sari, Blora, di bawah kesejukan pepohonan yang rimbun merindang, berbaringlah jasad seorang
pahlawan wanita, Pocut Meurah Intan, yang ditawan Belanda
dalam perang kolonial di Aceh. Bersama puteranya Tuanku
Nurdin dan pembantunya Pang Mahmud, Pocut Meurah Intan
yang tubuhnya telah dikoyak-koyak oleh peluru musuh, bersemedi di Tegal Sari, jauh dari bumi kelahirannya, sejak
tanggal 28 September 1937 sebagaimana tertulis pada batu
nisannya (menurut surat Gubernur Jawa Tengah kepada
Gubernur Jenderal di Bogor, bahwa beliau meninggal pada
tanggal 19 September 1937).
Pocut Meurah Intan adalah puteri seorang bangsawan
yang turut berjuang melawan tentera kolonial Belanda.
Suaminya seorang turunan Sultan Aceh, bernama Tuanku
Abdul Majid bin Tuanku Abbas bin Sultan Alaidin Jauhar Syah

CUT MEURAH

INSEN

35
Alam yang memerintah Aceh selama 28 tahun. Dari suaminya
Pocut Meurah Intan mendapat putrera tiga orang, semuanya
menjadi pahlawan perang Aceh, yaitu Tuanku Budiman,
Tuanku Muhammad dan Tuanku Nurdin. Pocut Meurah Intan
adalah "ibu tiri" dari permaisuri Sultan Alaidin Muhammad
Daud Syah, Sultan terakhir dari kerajaan Aceh, yang setelah
ditawan Belanda pada tahun 1903, lalu dibuang ke Ambon dar
kemudian dipindahkan ke Batavia, dan meninggal disana.

Tentang bagaimana keperkasaan dan semangat juang


mempertahankan tanah air yang menggelora dalam tubuh pahlawan wanita Pocut Meurah Intan, dengan panjang lebar telah
ditulis oleh seorang wartawan dan pengarang Belanda terkenal, H . C . Zentgraaff, dalam bukunya A T J E H . Berikut adalah beberapa kutipan dari buku tersebut.
"Veltman yang terkenal dengan sebutan Tuan
Pedoman, seorang perwira yang baik had, pernah mengenai seorang wanita Aceh turunan bangsawan,
namanya Pocut Meurah Intan. Wanita itu disangka
menyembunyikan sebilah keiewang di dalam lipatan
kainnya. Tiba-tiba ia mencabut rencongnya dan dengan
meneriakkan : "Kalau begitu biarlah kau mati syahid'
iapun menyerbu brigade. Anggota-anggota pasukan
nampaknya kurang bemafsu untuk bertempur dengan
seorang wanita yang berlaku sebagai singa betina, yang
menikam kekiri dan kekanan, dan sebentar kemudian
wanita itupun jatuh terbaring di tanah
"
"Ia mengalami luka-luka parah; ia memperoleh dua
buah tatakan di kepalanya dan dua buah di bahunya,

36

sedang salah satu urat ketingnya putus. Ia terbaring di


tanah, penuh dengan darah dan lumpurlaksanasetumpuk daging yang dicencang-cencang. Seorang sersan
yangmelihatnya, dengan perasaan penuh belas kasihan
berkata kepada komandannya : Bolehkah saya meiepaskan tembakan pelepas nyawanya?, yang dibentak Veltma
dengan: Apa kau sudah gila? Lalupasukan meneruskan
perjalanannya. Mereka menginginkan agar wanita itu
meninggal di tangan bangsanya sendiri". Beberapa hari
telah berlalu, ketika Veltman berjalan-jalan di kedai
Biheu (dekat Padangtiji) disana ia mendengar bahwa
Pocut Meurah Intan bukan saja masih hidup, tetapi
bahkan ia mempunyai rencana hendak membunuh
penduduk kampung yang telah menyerah kepada
Belanda.

Untuk mengetahui hal itu yang sebenarnya, Veltman


memerintahkan untuk menggeledah rumah-rumah di
kampung. Setelah dicari dalam setiap rumah dalam arti
kata yang sebenarnya, ditemuilah wanita itu tubuhnya
dibalut dengan bermacam-macam kain dan kelihatannya menyedihkan sekali. Pada luka-lukanya itu disapukan setumpuk kotoran sapi. Keadaannya lemah sebab banyak kehilangand arah dan tubuhnya menggigil;
ia mengerang karena kesakitan.
Walaupun begitu ia tetap menolak bantuan dokter,
lebih baik mati daripada tubuhnya dijamah seorang
"khapee". Veltman yang sangatpasih berbahasa Aceh,
lama berbicara dengan wanita itu dengan cara yang

37
amat hormat, sesuai dengan kedudukannya. Akhirnya
ia menerima juga bantuan serdadu itu yang ditolaknya
dari seorang dokter. Orang-orang Aceh sangat sportif;
serdadu-serdadu dari semua negara dan keturunan
dapat sama-sama harga-menghargai, wanita itu membiarkan dirinya dirawat oleh Veltman, dia membersihkan luka-lukanya yang berulat, kemudian membalutnya baik-baik
"

Demikianlah sekilas gambaran dari perjuangan dan


keberanian pahlawan Pocut Meurah Intan.

38

6. Pocut Baren
Dalam tahun-tahun Revolusi fisik 1945, di Aceh dibentuk satu lasykar rakyat yang sangat kuat persenjataannya
dan amat tangguh organisasinya, bernama Divisi Rencong, di
bawah pimpinan A . Hasjmy dan Nyak Neh Lhoknga. Dalam
Divisi Rencong itu terdapat satu resimen Putri yang terdiri dari
gadis remaja, bernama Resimen Pocut Baren, yang dibentuk
pada tahun 1946, yang merupakan lasykar wanita pertama di
Sumatera, dan mungkin di Indonesia. Kepahlawanan Pocut
Baren telah diangkat menjadi nama resimen tersebut.
Pocut Baren adalah Puteri Teuku Cut Ahmad, Uleebalang Tungkop, lahir dalam kancah perang, tahun 1880.
Darah kepahlawanan dari ayahnya mengalir ke dalam tubuh
Pocut Baren. Dalam usia muda (7-14 tahun) ia selalu mengikuti ayahnya dalam berbagai medan perang di Aceh Barat,
sehingga asap mesiu, dentuman meriam dan gemerincing
keiewang tidaklah asing bagi remaja puteri itu.

39
Setelah usia dewasa, Pocut bersuamikan seorang Kejruen, yang menjadi Uleebalang Geume, di samping sebagai
panglima perang di Woyla. Setelah suaminya syahid, Pocut
menggantikan kedudukan suaminya, baik sebagai Uleebalang
maupun sebagai panglima perang, dan terus melakukan perlawanan terhadap Belanda sambil dengan bijaksana memimpin pemerintahan di daerahnya. Waktu ia masih berusia sekitar
18 tahun, seorang janda yang luar biasa.

Pocut membangun sebuah benteng di "Gua Gunong


Macang" yang menjadi markasnya, yang dari tempat itu ia
melakukan gerilya dengan menyerang tiba-tiba pasukan
patroli Belanda. Setiap kali patroli Belanda melewati wilayah
markasnya, selalu Belanda terpaksa kembali dengan raembawa mayat serdadunya.
Atas perintah Kapiten Heidens, Letnan Scheuler dari
kesatuan Kuala Batee, Meulaboh, berkali-kali menyerang
"Gunong Macang", tetapi tidak berhasil, sampai akhirnya ia
(setelah mendapat persetujuan dari Kutaraja) membakar
Gunong Macang dengan 2000 liter minyak tanah sehingga
Kuta Gunong Macang menjadi lautan api. Akibatnya banyak
yang mati, baik dari pasukan Pocut Baren maupun juga dari
serdadu marsose yang terjebak dalam gua. D i antara mayatmayat yang ditemukan ialah mayat Teuku Cut Ahmad, ayah
Pocut Baren. Adapun Posut Baren sendiri dapat menerobos
pasukan marsose yang mengawal di pintu gua melalui suatu
pertempuran yang sangat dahsyat. Setelah bebas dari "Neraka
Gunong Macang" Pocut membangun kubu pertahanan baru,
yang tidak lama kemudian ia telah menyerang pasukan
Schleuler di Tanoh Mirah, pos Belanda yang telah diperkuat
dengan pasukan dari Meulaboh, Kutaraja dan dari Betawi.

40
Dalam suatu pertempuran yang berkecamuk sejak
pagi buta sampai sore hari, kaki Pocut Baren tertembak, dan
beliau ditawan karena tidak sempat dibawa lari oleh pasukannya. Beliau dibawa ke Meulaboh dan kemudian ke Kutaraja.
Kakinya yang telah hancur kena pecahan peluru itu terpaksa
dipotong, dan menjadi cacat.
Jenderal van Daalen yang telah menjadi Gubernur
Militer Aceh, telah menetapkan untuk membuang Pocul
Baren ke tanah Jawa, tetapi seorang perwira Belanda, Kapten
Veltman, yang telah mempelajari adat istiadat Aceh memberi
advis agar Pocut Baren tidak dibuang ke luar Aceh, sebab
rakyat akan bertambah marah dan semangat perang mereka
akan bertambah menyala.
Akhirnya, Pocut Baren yang tidak jadi dibuang ke
tanah Jawa, dan kaki kanannya yang cacat itu, menikah dengan
Teuku Muda Rasyid, dan menetap di Tungkop sebagai Uleebalang Tungkop dan Geume.
Pada tanggal 9 September 1912, Kapten Veltman bersama Letnan Gosensons datang ke Tungkop menemui Pocut
Baren yang masih marah, untuk meminta maaf kepada Pocut
Baren.
Setelah berjihad sejak masih amat muda dengan tidak
mengenai lelah, setelah ditawan sebagai orang yang tidak
mempunyai kaki sebelah, dan setelah memimpin pemerintahan di Tungkop dan Geume dengan berhasil, maka pada
tahun 1933, dalam usia 53 tahun, pahlawan wanita dari Aceh,
Pocut Baren, meninggal dunia, dan meninggalkan nama yang
harum sepanjang masa.

41

7. Teungku Fatimah
Seperti telah dikemukakan pada bagian terdahulu
bahwa setelah Pang Nanggrou, suami Cut Meutia, mati syahid
pada tanggal 24 September 1910, maka Cut Meutia melanjutkan perang grilya bersama putranya yang masih kecil, Teuku
Raja Sabi. Namun Cut Meutia pun syahid sebulan kemudian,
maka perjuangannya dilanjutkan oleh para panglima bawahannya, salah seorang di antaranya ialah Teungku Cutpo Fatimah,
yang berjuang bersama suaminya Teungku di Barat.
Teungku Fatimah adalah anak Teungku Khatim seorang ulama. Teungku Fatimah dan Teungku di Barat
(suaminya) adalah sama-sama murid dari Teungku Khatim.
Teungku di Barat dan Teungku Fatimah adalah
Panglima-panglima dari pasukan Cut Meutia-Pang Nanggrou.
Seperti pahlawan wanita lainnya yang telah dibicarakan,
Teungku Fatimah pun berperang di medan laga dengan gagah

42
berani, bahu membahu dengan suaminya dan pejuang yang
lain.
Pertempuran antara lain berlangsung di hutan Pasai,
di mana di tempat itu di dalam suatu pertempuran yang sangat
sengit, Teungku Fatimah dan suaminya teungku di Barat mati
syahid bertindih mayat
dengan disaksikan kayu-kayu
perawan hutan Pasai dan diratapi kicauan burung-burung
rimba. Itu terjadi pada tanggal 22 Pebruari 1912.

Anda mungkin juga menyukai