DALAM PEMERINTAHAN
DAN PEPERANGAN
disarikan dari buku
Wanita Indonesia sebaga Negarawan dan Panglima Perang
karangan A. Hasjmy
Disadur oleh :
Dra. Hj. Emi Suhaimi
Ketua Komisi Pembinaan Wanita
ICMI Orwil Daerah Istimewa Aceh
^~
/^^^^?^\
Diterbitkan oleh
YAYASAN PENDIDIKAN A. HASJMY
Banda Aceh
1993
Dicetak oleh :
CV. GUA Hl RA'
offset & computer system
Banda Aceh
iii
RANUP SIGAPU
Dalam rangka memperingati genap dua tahun usia Perpustakaan dan Museurn Yayasan Pendidikan A l i Hasmy, yayasan akan
mengadakan suatu kegiatan yaitu Pameran Perjuangan dan Kcpahlawanan Wanita Aceh secara khusus dan Wanita Indonesia pada
umumnya, yang diharapkan pameran yang bermakna itu akan dibuka
oleh Menteri Negara Urusan Peranan Wanita, Ibu Sulasikin
Murpratomo.
D i samping itu, yayasan menerbitkan sebuah risalah kecil
berjudul "Peranan Wanita Aceh dalam Pemerintahan dan Peperangan", yang penyusunannya dilakukan oleh Sdri. Dra. Hj. Emi
Suhaimi, berdasarkan buku Wanita Indonesia sebagai Negarawan
dan Panglima Perang, karangan prof. A . Hasjmy.
Kepada semua pihak yang telah memungkinkan risalah
kecil ini terbit, Direktur Perpustakaan dan Museum Yayasan Pendidikan A l i Hasjmy mengucapkan syukur alhamdulillah dan terima
kasih ikhlas.
In Tansurullah, Yansurkum wa Yusabbit Aqdaamakum.
KATA PENGANTAR
vi
vii
DAFTARISI
Ranup Sigapu
iii
Kata Pengantar
K E D U D U K A N WANITA A C E H DI M A S A L A M P A U
WANITA A C E H D A L A M P E M E R I N T A I I A N
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Puteri Pahang
Ratu Nihrasiyah Rawangsa Khadiyu
Ratu Safiatuddin
Ratu Naqiatuddin
Ratu Zakiatuddin
Ratu Kamalat Syah
8
11
13
16
18
21
WANITA A C E H D A L A M P E P E R A N G A N
24
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
24
27
30
32
34
38
41
Laksamana Malahayati
Teungku Fakinah
CutNyakDhien
Cut Meutia
Pocut Meurah Intan
Pocut Baren
Teungku Fakinah
K E D U D U K A N WANITA A C E H DI MASA L A M P A U
Kerajaan-kerajaan Islam di Aceh pada masa lampau
(Perlak, Pasai, Lingga, Daya, dan akhirnya Darussalam)
semuanya mengambil Al-Qur'an dan Al-Sunnah menjadi sumber hukumnya. Sesuai dengan ajaran Islam itu, maka kerajaankerajaan tersebut telah memberi kepada kaum wanita
kedudukan yang sama dengan kaum pria, sehingga karena itu
banyak muncul tokoh wanita Aceh, baik sebagai pemimpin
pemerintahan maupun sebagai pahlawan dalam peperangan.
Dalam kerajaan Aceh Darussalam, dimana ditetapkan
Islam sebagai dasar kerajaan dan Al-Qur'an serta Al-Hadits
sebagai sumber hukum, maka kedudukan wanita disesuaikan
dengan ketentuan-ketentuan yang termaktub dalam sumber
hukum itu.
Al-Qur'an menegaskan bahwa manusia diciptakan dari sumber yang satu, yaitu Adam, baik pria maupun wanita. Dalam
4
Al-Qur'anul Karim Surah A n Nisa (sarakata Wanita) banyak
tersebut masalah mengenai wanita, seperti mengenai
kedudukannya yang sama dengan pria, mengenai hak dan
kewajiban wanita, serta mengenai peranan wanita dalam pembinaan keluarga.
Menurut ajaran Islam, kewajiban pria dan wanita
adalah sama, baik dalam hubungan dengan masalah negara
maupun masalah perang, artinya sama-sama berkewajiban
berperang atau berjihad untuk menegakkan agama Allah,
membela tanah air, memimpin dan membangun negara,
sebagaimana dapat dipahami dari Hadits-Hadits Nabawi.
Dalam Kerajaan Aceh Darussalam, hak wanita untuk
memegang jabatan-jabatan apa saja dalam kerajaan diakuinya.
Demikian pula kewajiban mereka terhadap kerajaan, seperti
kewajiban untuk membela dan memajukan kerajaan, oleh
karena wanita dipandang sama dengan pria dalam hukum
kerajaan.
Dalam Kitab SAFINATUL HUKKAM (Bahtera Para
Hakim) karangan Ulama Aceh Syekh Jalaluddin Tursani yang
dikarang pada tahun 1721 M , jelas difatwakan bahwa pria dan
wanita mempunyai hak dan kewajiban yang sama dalam
kerajaan. Wanita boleh menjadi Raja atau Sultan asal
memenuhi persyaratan yang ditetapkan.
Berdasarkan dalil-dalil ayat Al-Qur'an dan HaditsHadits Nabawi, maka kerajaan-kerajaan Islam Perlak, Pasai
dan Aceh Darussalam, telah memberi kepada kaum wanita
"hak" dan "kewajiban" yang sama dengan kaum pria. Oleh
karena itu adalah logis kalau sejarah mencatat sejumlah nama
5
wanita yang telah memainkan peranan yang amat penting di
tanah Aceh masa lampau, sejak zaman kerajaan Islam Perlak
sampai zaman revolusi kemerdekaan.
Berikut ini dikemukakan secara singkat riwayat 7
orang negarawan wanita dan 7 orang pahlawan wanita Aceh
yang telah mengisi lembaran sejarah dunia.
7
kota Masmani untuk meminta agar Negeri Benua Tamieng
tunduk kepada Kerajaan Majapahit dan Puteri Lindung Bulan
diserahkan kepada Raja Hayam Wuruk sebagai persembahan.
Sebagai seorang muslim Raja Muda Sedia menolak
permintaan itu, dan sebagai seorang muslimat sudah tentu
Puteri Lindung Bulan tidak mau diserahkan kepada Raja
Majapahit yang "bukan Islam". Akibatnya Patih Nala
menyerang Negeri Benua Tamieng dimana terjadi pertempuran yang hebat di kota Masmani yang dipertahankan oleh
tentara Benua di bawah pimpinan Lakseumana Kantom Mano.
Kota Masmani direbut, Raja Muda Sedia dan permaisurinya
melarikan diri ke kota Peunaron, namun Puteri Lindung Bulan
membiarkan diri ditawan oleh Patih Nala dengan tujuan hanya
sebagai suatu siasat.
Dengan suatu tipu daya dari Puteri Lindung Bulan,
maka beberapa waktu kemudian angkatan perang Negeri
Benua dapat merebut kembali kota Masmani yang telah hancur, dan Puteri Lindung Bulan dibebaskan, setelah serangan
tiba-tiba tengah malam yang dilakukan oleh Lakseumana Kantom Mano. Karena kecewa tidak dapat menaklukkan Negeri
Benua dan menyerahkan Puteri Lindung Bulan sebagai persembahan kepada Prabu Hayam Wuruk, maka Patih Nala
melanjutkan perang perluasan kerajan Majapahit ke wilayah
kerajaan Islam Perlak dan Samudera Pasai. Namun sementara
itu terdengar berita bahwa Prabu Hayam Wuruk meninggal
dunia, semangat perang Patih Nala menjadi patah, dan dengan
tergesa-gesa ia menarik angkatan perangnya dari Perlak dan
Pasai untuk kembali ke Majapahit.
2. Puteri Pahang
Tatkala Sultan Iskandarmuda pada tahun 1615
menyerang kembali Johor untuk kedua kalinya dan kemudian
memperluas wilayah perlindungannya sampai ke Pahang pada
tahun 1617 karena kedua kerajaan itu telah bersekongkol dengan Portugis, maka sejumlah besar rakyat negeri Pahang
ditawan dan dibawa ke Aceh, termasuk seorang puteri Raja
Pahang bernama Puteri Kamaliah yang kemudian dijadikan
permaisuri oleh Sultan Iskandarmuda.
Puteri Pahang itu dalam Istana Darud Dunia tidak
hanya sebagai Permaisuri Raja, tetapi juga menjadi penasihat
bagi suaminya. Ia sangat bijaksana dan menjadi sangat termashur dengan nama Putrou Phang.
Salah satu dari nasihat Puteri Pahang yang dilaksanakan oleh Sultan Iskandarmuda, dan yang mata bersejarah,
ialah pembentukan sebuah lembaga yang disebut Balai Majlis
9
Mahkamah Rakyat (semacam D P R sekarang), yang beranggotakan 73 orang yang mewakili Mukim dalam Kerajaan Aceh
Darussalam.
Untuk mengabadikan jasa dan karya besar Puteri
Pahang itu, maka semua produk Majlis Mahkamah Rakyat
disebut sebagai produk Puteri Pahang, sebagaimana tercermin
dalam sebuah Hadih Maja (kata berhikmat) yang berbunyi
sebagai berikut:
Adat bak Poteu Meureuhoom
Hukoom bak Syiah Kuala
Kanun bak Putrou Phang
Reusam bak Lakseumana
Hukom ngon adat
Lagee zat ngon sifeut
Hadih Maja tersebut menunjukkan adanya pembagian kekuasaan dalam kerajaan Aceh Darussalam, yaitu :
1.
2.
Kekuasaan yudikatif atau pelaksanaan hukum yang berada di tangan ulama. Karena Syekh Abdurrauf Syiah Kuala
merupakan seorang ahli hukum dan Kadli Malikul A d i l
yang amat menonjol, maka pelaksanaan kekuasaan
yudikatif itu dibangsakan kepadanya yang bergelar Syiah
Kuala, (baris 2)
10
3.
Kekuasaan legislatif (kekuasaan membuat undang-undang). Dan kekuasaan ini berada di tangan Dewan Perwakilan yang dilambangkan oleh Puteri Pahang, karena
ialah yang memberi nasihat kepada Iskandarmuda untuk
membentuk Balai Majlis Mahkamah Rakyat. (baris 3)
4.
5.
11
12
Samudera Pasai dengan gelar Maharaja Bakoy Ahmad Permala. Tetapi ternyata kemudian bahwa Arya Bakoy adalah
penganut ajarah Wahdatul Wujudyang telah jauh menyimpang
dari ajaran aslinya, dan membunuh orang-orang yang menentang ajarannya itu. Menurut ajaran Arya Bakoy, seseorang
boleh kawin dengan anak kandungnya sendiri, karena ia sendiri
ingin kawin dengan putri kandungnya yang cantik bernama
Puteri Madoong Peria.
Karena Ratu Nihrasiyah menentang ajaran Arya
Bakoy yang akan mengawini puteri kandungnya sendiri itu,
maka Perdana Menteri Arya Bakoy berusaha merebut
kekuasaan dari Ratu Nihrasiyah. Ratu menyuruh menangkap
Arya Bakoy, dan dalam suatu "perang tanding" dengan Malik
Mustafa, suami Ratu yang bergelar Pocut Cindai Simpul Alam
maka Arya Bakoy tewas.
Kerajaan Samudera Pasai di bawah pemerintahan
Ratu Nihrasiyah mencapai puncak kemajuan. Kalau kakeknya,
Sultan Malikus Saleh yang memerintah tahun 659 - 688 H
(1261 - 1289 M), adalah pembangun awal dari tamaddun Islam
di Samudera Pasai, maka Ratu Nihrasiyah merupakan
penyempurna pembangunan kerajaan itu, malah pada zamannya kerajaan Samudera Pasai mencapai puncak tamaddun,
yang menjadi azas kuat bagi tamaddun kerajaan Aceh Darussalam, setelah pada tahun 1611 M , Kerajaan Islam Samudera
Pasai digabungkan ke dalam Kerajaan Aceh Darussalam.
Makam Ratu Nihrasiyah yang terletak dalam komplek
Makam Raja-Raja Samudera Pasai, merupakan sebuah
makam yang terindah, dengan ukiran kaligrafi ayat-ayat A l Qur'an yang bernilai seni tinggi dan mengagumkan.
13
4. Ratu Safiatuddin
Setelah Sultan Iskandar Sani wafat, maka atas keputusan pembesar negara dan para ulama, dinobatkanlah
Puteri Safinah anak Sultan Iskandarmuda Meukuta Alam dan
yang juga pada waktu itu isteri Sultan Iskandar Sani, menjadi
Sultanah Kerajaan Aceh Darussalam dengan gelar Sri Ratu
Tajul Alam Safiatuddin.
Semenjak berusia 7 tahun, Safiatuddin telah belajar
bersama-sama Iskandar Sani (asal dari Negeri Pahang) dan
putra putri istana lainnya pada ulama-ulama besar seperti
Syekh Hamzah Fansury, Syekh Nuruddin Ar-Raniry, Syekh
Kamaluddin dan lain-lain yang semuanya adalah guru besar
pada Jami' Baiturrahman pada waktu itu. Sehingga setelah
selesai pendidikannya, Safiatuddin telah mampu menguasai
berbagai ilmu pengetahuan dan berbagai bahasa, yaitu bahasa
Arab, Persia dan Spanyol, di samping alim dalam ilmu fikh
14
15
pula dari kuatnya dukungan para Menteri, orang besar
dan para ulama atasnya. Menurut catatan, lembaga
kenegaraan Tiga Sagi diadakan oleh Tajul Alam. Dua
orang cerdikpandai dan berpengaruh dengan kuat men dukungnya. Mereka adalah Syekh Nuruddin Ar-Raniry
dan Syekh Abdurrauf sendiri. Tampak dengan dukungan ini tidak ada kekolotan keagamaan dalam membenarkan seorang wanita menjadi raja. Kesanggupan
dan ketangkasannya tidak beda dengan apa yang
dimiliki raja laki-laki. Tajul Alam bukan saja telah
berhasil mengatasi ujian berat untuk membuktkan
kecakapannya memerintah tidak kalah dari seorang
laki-laki, tetapijuga berhasil mengadakan pembaharuan dalampemerintahan, memperluaspengertian demokrasi yang selama ini kurang disadari oleh kaum
laki-laki sendiri
"
16
5. Ratu Naqiatuddin
Ketika ia masih hidup, Ratu Safiatuddin telah mempersiapkan tiga orang wanita untuk menjadi penggantinya,
salah seorang bernama Puteri Naqiah. Sesuai dengan ketentuan dalam Kanun Al-Asyi atau Adat Meukuta Alam, maka
sebelum Ratu Safiatuddin dimakamkan, dilantiklah Puteri
Naqiah menjadi Raja Aceh pada tanggal 1 Sya'ban 1086 H (23
Oktober 1675 M ) , dengan gelar Seri Ratu Nurul Alam
Naqiatuddin, yang memerintah sampai tahun 1678 M .
Sejak awal pemerintahannya Ratu Naqiatuddin telah
menghadapi tantangan-tantangan yang besar, baik dari dalam
maupun dari luar negeri. Ancaman terhadap kerajaan Aceh
bertambah hebat dari Barat (Belanda, Portugis, Inggeris) yang
membawa agama Kristen, sementara di dalam negeri "kaum
Wujudiyah" yang telah menyimpang dari ajaran Islam, berusaha meningkatkan oposisinya terhadap Ratu Naqiatuddin
17
dengan melakukan sabotase berupa pembakaran kota Banda
Aceh. Masjid Raya Baiturrahman dan Istana Seri Sulthan beserta segala isinya habis musnah dimakan api. Kebakaran di
Aceh yang maha dahsyat itu turut menggemparkan Malaka,
yang memuat peristiwa itu dalam tambo kerajaan pada tahun
1677 M .
Dalam upaya menekan oposisi "kaum wujudiyah" dan
kelompok oposisi lain, Ratu Naqiatuddin mengadakan perobahan-perobahan dalam pemerintahan, antara lain menyempurnakan Kanun Al-Asyi atau Adat Meukuta Alam, dengan
petunjuk-petunjuk Kadli Malikul Adil Syekh Abdurrauf Syiah
Kuala dan dengan persetujuan Balai Majlis Mahkamah
Rakyat. Perubahan itu antara lain mengenai ketentuan pengangkatan Sultan dan penyempurnaan Federasi Tiga Sagi yang
telah dibentuk oleh Ratu Safiatuddin. Dalam hubungan itu,
maka kedudukan ketiga Panglima Sagi menjadi sangat kuat,
dimana merekalah yang memberi kata akhir dalam pengangkatan atau pemberhentian seorang Sultan.
Sabotase dari "kaum Wujudiyah" menyebabkan pemerintahan Seri Ratu Naqiatuddin tidak berjalan lancar dan
juga membawa dampak negatif kepada para Ratu yang
memerintah setelahnya.
18
6. Ratu Zakiatuddin
Ratu Zakiatuddin meninggal pada tanggal 1 Z u l ka'idah 1088 H (23 Januari 1678 M), dan sebelum pemakamannya terlebih dahulu dilantik Puteri Zakiyah menjadi Sultanah
Kerajaan Aceh Darussalam dengan gelar Seri Ratu Zakiatuddin Inayat Syah, yang memerintah sampai tahun 1688 M .
Puteri Zakiah adalah calon pengganti kedua yang dipersiapkan oleh Ratu Safiatuddin untuk memimpin Kerajaan
Aceh Darussalam. Mereka yang dipersiapkan itu telah dididik
dalam istana Darud Dunia dengan berbagai ilmu pengetahuan : ilmu hukum termasuk hukum tatanegara, sejarah, filsafat,
kesusastraan/adab, pengetahuan agama Islam, bahasa Arab,
Bahasa Persia, bahasa Spanyol dan bahasa Inggris. (Yang mengajarkan bahasa Spanyol dan Inggris adalah seorang wanita
Belanda yang menjadi sekretaris Ratu Safiatuddin).
Begitu naik tahta, Ratu Zakiatuddin juga menghadapi
19
tantangan berat, malah lebih berat dari pendahulunya. Hanya
karena pengaruh yang besar dari Kadli Malikul A d i l Syekh
Abdurrauf Syiah Kuala, tantangan-tantangan itu dapat diatasinya.
Kebijaksanaan para pendahulunya, baik terhadap
V O C maupun terhadap rongrongan "kaum wujudiyah" diteruskannya. D i Sumatera Barat Ratu Zakiatuddin menunjukkan kekuasaannya terhadap V O V dengan menarik kembali
Bayang ke dalam wilayah kerajaan Aceh. Sikap tegas demikian
itu mendapat sambutan baik dari masyarakat Minangkabau,
sehingga menimbulkan kesulitan bagi perwakilan V O C di
Padang yang harus menghadapi peperangan yang hebat selama
dua tahun dengan rakyat disana.
Ketika pemerintahannya pernah datang ke Aceh utusan Inggeris dan utusan Syarif Mekkah. Utusan Inggeris meminta agar diizinkan mendirikan kantor Dagangnya di Aceh bersama loji militer, tetapi permintaan itu ditolak dengan marah
oleh Ratu.
Utusan Syarif Mekkah tiba di Aceh pada tahun 1092
H (1681 M ) dan tinggal di Aceh selama satu tahun. Mereka
kagum akan kemampuan Ratu yang berbicara dalam bahasa
Arab tanpa memakai jurubahasa serta kagum akan berbagai
bangsa yang tinggal di Banda Aceh, yang kebanyakannya para
saudagar. D i antara rombongan Syarif Mekkah itu terdapat
dua bersaudara yang bernama Syarif Hasyim dan Syarif
Ibrahim. Utusan Syarif Mekkah kembali kenegerinya, kecuali
mereka berdua, yang ternyata kemudian ketika pemerintahan
Ratu Kamalat Syah keduanya mempelopori perebutan
20
kekuasaan dalam kerajaan.
Setelah memerintah 10 tahun lamanya, Ratu
Zakiatuddin meninggal pada 8 Zulhijjah 1098 H (3 Oktober
1688 M).
21
22
tidak boleh lagi dipegangoleh seorang wanita. D i antara tokoh
yang mempelopori perebutan kekuasaan itu ialah Syarif
Hasyim, seorang dari Syarif bersaudara yang datang ke Aceh
bersama-sama dengan Syarif Mekkah kira-kira tujuh tahun
sebelumnya.
Dalam bukunya "Tarich Raja-Raja Kerajaan Aceh".
M . Yunus Jamil melukiskan keadaan pada masa itu sbb :
".
diangkatnya Ratu ini (Kamalat Syah) menjadi
Sultanah Kerajaan Aceh Darussalam menimbulkan
kegoncangan politik, terutama dalam golongan pem
besar-pembesar negara. Adagolongan yang mendukun
Kamalat Syah dan ada pula yang berupaya supaya
Syarif Hasyim Jamalul'lail diangkat menjadi Sultan
dan ada pula yang menghendaki agar Maharaja Lela
Abdurrahim, keturunan Maharaja Lela DaengMansur,
diangkat menjadi Raja. Dengan kecerdikan dan
wewenangnya, Waliyu-Mulki, Mufti Besar Kerajaan
Aceh Darussalam, Syekh Abdurrauf Syiah Kuala,
kegoncangan itu dapat ditenteramkan kembali. Se
Ratu Kamaluddin Syah tetap diangkat menjadi Su
tanah Kerajaan Aceh Darussalam".
Walaupun tantangan cukup berat dari golongan
oposisi, namun Ratu Kamalat Syah, masih memikirkan pembangunan kerajaan, termasuk pembangunan ekonomi.
Kebijakan Ratu sebelumnya dijalankan terus. Sementara
hubungan dengan Belanda semakin meruncing, hubungan
dengan negara tetangga terus dipelihara. D i samping itu
beberapa perjanjian dengan Inggeris yang memberi keuntung-
23
an kepada kerajaan juga dilakukannya (termasuk hal-hal yang
dapat melawan operasi V O C Belanda yang terus menggerogoti).
Pada waktu Ratu Kamalat sedang membangun
kerajaan dengan rencana-rencana yang telah disahkan oleh
Balai Majlis Mahkamah Rakyat, tiba-tiba tangan kanannya
yang kuat, Syekh Abdurauf, meninggal dunia. Penggantinya
sebagai Kadli Malikul Adil yang baru, tidak cukup kuat untuk
menghadapi kaum oposisi yang akan menjatuhkan ratu,
terutama dengan isyu tidak boleh diperintah oleh raja wanita.
Malah menurut sebuah pendapat, Kadli Malikul A d i l yang
baru itupun menggabungkan diri dengankaum oposisi. Akhirnya, Ratu Kamalat Syah harus turun tahta, yaitu pada tanggal
20 Rabiul'awal 1109 H (1699 M ) , dan pada hari itu juga
dinobatkan Syarif Hasyim menjadi Sultan Kerajaan Aceh
Darussalam dengan gelar Sultan Badrul Alam Syarif Hasyim
Jamaluriail. Dan berakhirlah pemerintahan Raja-Raja wanita
dalam sejarah kerajaan Aceh.
Tujuh tahun setelah turun tahta, Ratu Kamalat Syah
meninggal dunia pada tahun 1116 H (1705 M ) dan dimakamkan bersama tiga orang Ratu sebelumnya dalam "Kandang
Dua Belas"yang terletak dalam komplek Darud Dunia di kota
Banda Aceh.
24
WANITA A C E H D A L A M P E P E R A N G A N
1. L a k s a m a n a M a l a h a y a t i
Pada waktu Sultan Alaidin Riayat Syah A l Mukamil
memerintah Kerajaan Aceh Darussalam (1589 - 1604 M ) terjadilah pertempuran laut di Teluk A r u , antara armada Selat
Malaka Aceh dengan armada Portugis. Pertempuran dipimpin
oleh Sultan dengan dibantu dua orang Lakseumana. Pertempuran Teluk Aru berakhir dengan hancurnya armada Portugis,
sementara sekitar 1000 orang prajurit dan dua orang laksamana Aceh mati syahid. Isteri dari salah seorang Lakseumana
itu ialah Lakseumana Malahayati, yang pada waktu itu menjabat Komandan Protokol Istana Darud Dunia.
Sekalipun kemenangan suatu pertempuran menimbulkan kegembiraan, namun bagi Malahayati, di samping kegembiraan, kehilangan suaminya adalah pula suatu kesedihan
Laksamana MALAHAYATI
25
bercampur geram dan marah. Karena itu ia meminta kepada
Sultan agar membentuk sebuah Armada Aceh yang prajuritnya
seluruhnya terdiri dari para janda yang suaminya telah syahid
dalam pertempuran Teluk Haru itu.
Permintaannya dikabulkan, dan terbentuklah Armada
Inong Balee (Armada Wanita Janda) dengan Malahayati sebagai Panglimanya, dan mengambil Teluk Krueng Raya sebagai
pangkalan armada tersebut.
Ketika muda, Malahayati mendapat pendidikan
militer pada Pusat Pendidikan tentera Aceh yang bernama
Pusat Pendidikan Asykar Baital Makdis, yang dilatih oleh para
perwira dari Turki, dalam rangka kerja sama antara Turki
dengan kerajaan Aceh Darussalam.
Darah pelaut telah tumbuh dalam dirinya dari ayah
dan kakeknya. Dalam pendidikan itulah ia bertemu dengan
suaminya, dan menikah. Setelah selesai pendidikan, suaminya
terus mengembangkan karir di laut, sementara ia menjadi
komandan protokol istana, sampai ia diangkat menjadi
panglima armada Inong Balee.
Peristiwa Houtman bersaudara telah mengangkat
derajat Laksamana Malahayati ke puncak kegemilangan. A r mada Inong Balee yang diperlengkapi dengan 100 buah kapal
perang dan meriam-meriam, pada waktu itu merupakan
sebuah armada yang kuat di Samudera AsiaTenggara. Armada
kapal perang Belanda yang menyamar sebagai armada dagang
yang dipimpin oleh Houtman bersaudara (Cornelis dan
Frederijk), yang memasuki pelabuhan Banda Aceh dan
diterima bersahabat, ternyata berkhianat terhadap keperca-
26
yaan Sultan dengan membuat manipulasi dagang, mengadakan
pengacauan, menghasut, dan sebagainya. Sultan memerintahkan Malahayati menyelesaikan persoalan itu. Dalam pertempuran dengan kapal perang Belanda, Cornelis de Houtman
mati ditikam Malahayati dan Frederijk ditawan.
Laksamana Malahayati bukan saja seorang panglima
armada perang, tetapi juga seorang negarawan. Ketika negeri
Belanda berusaha memperbaiki hubungan dengan kerajaan
Aceh, datanglah utusan Belanda dengan membawa surat istimewa dari Prins Maurits, pemimpin negeri Belanda pada
waktu itu. Untuk melakukan perundingan ditunjuk Malahayati
oleh Sultan, dan ternyata memberikan hasil yang gemilang,
antara lain dibukanya kedutaan Aceh di negeri Belanda dengan Duta Besar pertama Abdul Hamid.
Demikianlah profil seorang wanita Aceh yang hidup
pada abad ke-17, di samping seorang panglima yang gagah
berani, juga seorang diplomat yang cakap.
27
2.
Teungku Fakinah
28
Ketika kecil dan remaja, Teungku Fakinah mendapat
pendidikan Islam dan membaca Al-Qur'an dari ibunya, serta
belajar kerajinan tangan dan ilmu-ilmu agama, ia juga pernah
mendapat pendidikan militer menjelang pecahnya perang
Aceh.
Setelah dewasa, Fakinah bersuamikan seorang perwira juga ulama bernama Teungku Ahmad, yang keduanya
sebelum pecah perang mengajar pada Dayah Lampucok yang
dibangun oleh ayah Fakinah.
Teungku Ahmad, suami Fakinah, mati syahid dalam
perang, dan sejak itu Teungku Fakinah berusaha untuk membentuk sebuah pasukan tentara setingkat Resimen (yang disebut Sukey). Atas persetujuan Sultan terbentuklah Sukey
Fakinah yang terdiri atas 4 batalyon (balang), dimana beliau
sendiri menjadi panglimanya. Salah satu dari keempat batalyon
dalam Sukey Fakinah itu, seluruh prajuritnya terdiri atas kaum
wanita, sementara komandan-komandan kompi dan Regu
pada batalyon-batalyon lain adalah juga dipimpin oleh wanita.
Beliau ikut bertempur di berbagai medan perang dalam
wilayah Aceh Besar, dan setelah lewat 10 tahun perang beliau
turut bergerilya di pedalaman dengan beberapa pemimpin
Aceh, termasuk bersama Sultan Muhammad Daud dan
Tuangku Hasyim Banta Muda.
Salah satu peranan Teungku Fakinah yang perlu
dicatat ialah, upayanya untuk menyadarkan T. Umar, suami
kawan dekatnya Cut Nyak Dhien, untuk kembali ke pihak
Aceh.
Kepada teman dekatnya itu beliau mengirim surat,
yang antara lain isinya sbb :
29
30
31
hanya baru lima tahun menikah dengan Cut Nyak Dhien, dan
meninggalkan seorang putri bernama Cutnyak Gambang.
Setelah beberapa tahun Cut Nyak Dhien menjanda,
maka ia dipinang oleh seorang panglima muda, Teuku Umar,
yang kebetulan cucu dari kakek Cut Nyak Dhien sendiri, Teuku
Nanta Syekh.
Pada mulanya Cut Nyak Dhien menolak pinangan
Teuku Umar, tetapi atas desakan keluarga ia bersedia menjadi
isteri Teuku Umar dengan syarat bahwa ia tidak lagi menjadi
isteri penjaga rumah, tetapi dibolehkan ikut perang bersama
suaminya dan pejuang-pejuang lainnya, yang hal itu disetujui
oleh Teuku Umar. DemikianJah, semenjak setelah perkawinannya, Cut Nyak Dhien terus berada di medan perang, melawan musuh untuk mempertahankan tanah airnya.
Setelah Teuku Umar mati syahid di Meulaboh, maka
pimpinan perang diambil alih olehnya. Bertahun-tahun ia berjihad dalam hutan, berpindah dari satu lembah ke lembah yang
lain, sampai kemudian matanya buta.
Akhirnya pada tanggal 4 Nopember 1905, Cut Nyak
Dhien, ditawan oleh pasukan Belanda di bawah pimpinan
Letnan V a n Vuuren. Dalam keadaan tertawan dan buta Cut
Nyak Dhien masih tetap mengomandokan perang dari kamp
tawanan di Banda Aceh. Kemudian beliau diasingkan ke tanah
Jawa, dan di Sumedang Jawa Barat beliau wafat pada tanggal
6 Nopember 1908.
Perjuangan Cut Nyak Dhien telah diabadikan alam
beberapa buku, dan dalam film kolosal berjudul namanya: Cut
Nyak Dhien.
32
4. Cut Meutia
Seperti halnya Cut Nyak Dhien, pejuang wanita Acer
Cut Meutia adalah pahlawan nasional, yang telah ditetapkar
oleh pemerintah karena perjuangannya yang luar biasa dalarr
mempertahankan tanah air dari penjajahan Belanda.
Seperti halnya Cut Nyak dhien, Cut Meutia juga mempunyai dua suami yang keduanya mati syahid sebagai panglima
perang. Bedanya ialah, kalau Cut Nyak Dhien ditawan Belanda
dan dibuang ke luar daerah, maka Cut Meutia mati syahid
dalam medan perang dalam usia terlalu muda, 30 tahun (1880
-1910 M ) .
Orang tua Cut Meutia adalah Teuku Ben Daud, dan
darah bangsawan yang kesatria dan ulama yang bersemangat
jihad telah mengalir dalam dirinya dari moyang Teuku Ben
Daud sendiri yang hidup sekitar 400 tahun sebelum Cut Meutia
lahir, yaitu seorang tokoh bangsawan yang ulama, yang erat
CUT MEUTIA
33
hubungannya dengan istana Darud Dunia di Banda Aceh, yang
bernama Tok Bineh Blang. Disamping itu Cut Meutia dilahirkan dalam suasana perang (7 tahun setelah pecah perang),
dimana ibunya senantiasa mendendangkan lagu-lagu yang
menggelorakan semangat.
Mula-mula ia dikawinkan dengan Teuku Syamsyarif
yang tidak dicintainya dan yang segera bercerai. Kemudian
menikah dengan Teuku Cut Muhammad yang juga seorang
pejuang dan panglima perang. Setelah suaminya mati syahid,
atas wasiat suaminya itu Cut Meutia kawin dengan Pang
Nanggrou, seorang pahlawan yang menjadi wakil suaminya
Teuku Cut Muhammad, dan terus melanjutkan perjuangan
suaminya yang telah syahid itu. Akhirnya Cut Meutia menjadi
janda untuk kedua kalinya, setelah Pang Nanggrou syahid pula
pada 26 September 1910, dan sebulan kemudian, 25 Oktober
1910, Cut Meutia syahid pula. Cut Meutia meninggalkan
seorang putra dari suaminya Teuku Cut Muhammad, yang
diberi nama T. Raja Sabi.
34
CUT MEURAH
INSEN
35
Alam yang memerintah Aceh selama 28 tahun. Dari suaminya
Pocut Meurah Intan mendapat putrera tiga orang, semuanya
menjadi pahlawan perang Aceh, yaitu Tuanku Budiman,
Tuanku Muhammad dan Tuanku Nurdin. Pocut Meurah Intan
adalah "ibu tiri" dari permaisuri Sultan Alaidin Muhammad
Daud Syah, Sultan terakhir dari kerajaan Aceh, yang setelah
ditawan Belanda pada tahun 1903, lalu dibuang ke Ambon dar
kemudian dipindahkan ke Batavia, dan meninggal disana.
36
37
amat hormat, sesuai dengan kedudukannya. Akhirnya
ia menerima juga bantuan serdadu itu yang ditolaknya
dari seorang dokter. Orang-orang Aceh sangat sportif;
serdadu-serdadu dari semua negara dan keturunan
dapat sama-sama harga-menghargai, wanita itu membiarkan dirinya dirawat oleh Veltman, dia membersihkan luka-lukanya yang berulat, kemudian membalutnya baik-baik
"
38
6. Pocut Baren
Dalam tahun-tahun Revolusi fisik 1945, di Aceh dibentuk satu lasykar rakyat yang sangat kuat persenjataannya
dan amat tangguh organisasinya, bernama Divisi Rencong, di
bawah pimpinan A . Hasjmy dan Nyak Neh Lhoknga. Dalam
Divisi Rencong itu terdapat satu resimen Putri yang terdiri dari
gadis remaja, bernama Resimen Pocut Baren, yang dibentuk
pada tahun 1946, yang merupakan lasykar wanita pertama di
Sumatera, dan mungkin di Indonesia. Kepahlawanan Pocut
Baren telah diangkat menjadi nama resimen tersebut.
Pocut Baren adalah Puteri Teuku Cut Ahmad, Uleebalang Tungkop, lahir dalam kancah perang, tahun 1880.
Darah kepahlawanan dari ayahnya mengalir ke dalam tubuh
Pocut Baren. Dalam usia muda (7-14 tahun) ia selalu mengikuti ayahnya dalam berbagai medan perang di Aceh Barat,
sehingga asap mesiu, dentuman meriam dan gemerincing
keiewang tidaklah asing bagi remaja puteri itu.
39
Setelah usia dewasa, Pocut bersuamikan seorang Kejruen, yang menjadi Uleebalang Geume, di samping sebagai
panglima perang di Woyla. Setelah suaminya syahid, Pocut
menggantikan kedudukan suaminya, baik sebagai Uleebalang
maupun sebagai panglima perang, dan terus melakukan perlawanan terhadap Belanda sambil dengan bijaksana memimpin pemerintahan di daerahnya. Waktu ia masih berusia sekitar
18 tahun, seorang janda yang luar biasa.
40
Dalam suatu pertempuran yang berkecamuk sejak
pagi buta sampai sore hari, kaki Pocut Baren tertembak, dan
beliau ditawan karena tidak sempat dibawa lari oleh pasukannya. Beliau dibawa ke Meulaboh dan kemudian ke Kutaraja.
Kakinya yang telah hancur kena pecahan peluru itu terpaksa
dipotong, dan menjadi cacat.
Jenderal van Daalen yang telah menjadi Gubernur
Militer Aceh, telah menetapkan untuk membuang Pocul
Baren ke tanah Jawa, tetapi seorang perwira Belanda, Kapten
Veltman, yang telah mempelajari adat istiadat Aceh memberi
advis agar Pocut Baren tidak dibuang ke luar Aceh, sebab
rakyat akan bertambah marah dan semangat perang mereka
akan bertambah menyala.
Akhirnya, Pocut Baren yang tidak jadi dibuang ke
tanah Jawa, dan kaki kanannya yang cacat itu, menikah dengan
Teuku Muda Rasyid, dan menetap di Tungkop sebagai Uleebalang Tungkop dan Geume.
Pada tanggal 9 September 1912, Kapten Veltman bersama Letnan Gosensons datang ke Tungkop menemui Pocut
Baren yang masih marah, untuk meminta maaf kepada Pocut
Baren.
Setelah berjihad sejak masih amat muda dengan tidak
mengenai lelah, setelah ditawan sebagai orang yang tidak
mempunyai kaki sebelah, dan setelah memimpin pemerintahan di Tungkop dan Geume dengan berhasil, maka pada
tahun 1933, dalam usia 53 tahun, pahlawan wanita dari Aceh,
Pocut Baren, meninggal dunia, dan meninggalkan nama yang
harum sepanjang masa.
41
7. Teungku Fatimah
Seperti telah dikemukakan pada bagian terdahulu
bahwa setelah Pang Nanggrou, suami Cut Meutia, mati syahid
pada tanggal 24 September 1910, maka Cut Meutia melanjutkan perang grilya bersama putranya yang masih kecil, Teuku
Raja Sabi. Namun Cut Meutia pun syahid sebulan kemudian,
maka perjuangannya dilanjutkan oleh para panglima bawahannya, salah seorang di antaranya ialah Teungku Cutpo Fatimah,
yang berjuang bersama suaminya Teungku di Barat.
Teungku Fatimah adalah anak Teungku Khatim seorang ulama. Teungku Fatimah dan Teungku di Barat
(suaminya) adalah sama-sama murid dari Teungku Khatim.
Teungku di Barat dan Teungku Fatimah adalah
Panglima-panglima dari pasukan Cut Meutia-Pang Nanggrou.
Seperti pahlawan wanita lainnya yang telah dibicarakan,
Teungku Fatimah pun berperang di medan laga dengan gagah
42
berani, bahu membahu dengan suaminya dan pejuang yang
lain.
Pertempuran antara lain berlangsung di hutan Pasai,
di mana di tempat itu di dalam suatu pertempuran yang sangat
sengit, Teungku Fatimah dan suaminya teungku di Barat mati
syahid bertindih mayat
dengan disaksikan kayu-kayu
perawan hutan Pasai dan diratapi kicauan burung-burung
rimba. Itu terjadi pada tanggal 22 Pebruari 1912.