Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
PENDAHULUAN
Perioperatif adalah suatu disiplin ilmu kedokteran yang mencakup masalah-masalah
sebelum anesthesia/ pembedahan (preoperatif), selama anesthesia/pembedahan dan sesudah
anesthesia/pembedahan. Pemeriksaan rutin pre anestesi, baik atas dasar indikasi sesuai
gambaran klinis pasien ataupun tidak, telah menjadi bagian praktek klinik selama bertahuntahun. Tujuan pemeriksaan tersebut adalah melakukan identifikasi kondisi yang tidak terduga
yang mungkin memerlukan terapi sebelum operasi atau perubahan dalam penatalaksanaan
operasi atau anestesia perioperatif; menilai penyakit yang sudah diketahui sebelumnya,
kelainan, terapi medis atau alternatif yang dapat mempengaruhi anestesia perioperatif;
memperkirakan komplikasi pascabedah; sebagai dasar pertimbangan untuk referensi
berikutnya; pemeriksaan skrining. Pada akhirnya tujuan utama dari penilaian medis pre
operatif adalah untuk mengurangi morbiditas serta mortalitas perioperatif dari pembedahan
dan anestesi pada pasien.
Penting halnya untuk menyadari bahwa resiko perioperatif adalah multifaktorial dan
manfaat dari kondisi medis preoperatif dari pasien, tingkat invasi dari prosedur pembedahan
dan tipe anestesi yang diberikan. Riwayat dan pemeriksaan fisis berfokus pada faktor-faktor
resiko dari komplikasi kardial dan pulmoner dan serta penentuan kapasitas fungsional dari
pasien adalah sangat esensial dalam setiap evaluasi preoperatif.
Evaluasi mengenai risiko preoperatif berfokus pada dua hal :
1.
2.
penyakit paru, hipertensi, gagal jantung), pembedahan sebaiknya ditunda dan diberikan terapi
yang sesuai.
kompleks yang sebanding dengan besarnya cedera, total waktu operasi, jumlah darah yang
hilang intraoperatif dan derajat nyeri postoperatif. Efek samping metabolik dan hemodinamik
dari respon stres ini dapat menimbulkan banyak masalah dalam perioperatif. Mengurangi
respon stres pada pembedahan dan trauma adalah faktor kunci untuk meningkat hasil dan
mengurangi waktu perawatan di rumah sakit serta tentu saja biaya total perawatan pasien.
Sehingga persiapan anestesi umumnya menitikberatkan pada persiapan psikologis/mental
pasien yang akan dianestesi dan pemberian obat tertentu sebelum induksi dimulai atau yang
biasa disebut sebagai premedikasi. Gunanya adalah membuat pasien bebas dari rasa cemas
pra bedah, tersedasi tetapi mudah dibangunkan dan kooperatif. Hal ini cukup berperan dalam
menentukan keberhasilan pembiusan dan pembedahan.
PEMBAHASAN
Evaluasi Pra Bedah (Pre-Operatif Visite) adalah semua pemeriksaan (anamnesa,
pemeriksaan fisik, laboratorium, radiologi dll) sebelum penderita diberikan anestesi/
dilakukan operasi. Pre-operatif visite dilakukan pada :
I.
3.
dekompensasi kordis)
Penyakit susunan saraf (seperti stroke, kejang, parese, plegi, dll)
Penyakit hati.
Penyakit ginjal.
Penyakit ganguan perdarahan (riwayat perdarahan memanjang)
Riwayat penggunaan obat, hal ini harus diperoleh pada semua pasien
terutama populasi geriatri yang yang mengkonsumsi obat-obatan sistemik
lebih banyak dibanding kelompok lain. Beberapa interaksi obat dan
komplikasi timbul pada populasi ini dan perhatian khusus harus diberikan
pada mereka yang termasuk dalam kelompok tersebut. Umumnya,
pemberian kebanyakan obat harus dilanjutkan sampai dengan pagi hari
sebelum operasi, meskipun dibutuhkan beberapa penyesuaian dosis
(misalnya antihipertesi dan insulin). Beberapa jenis obat harus dihentikan
sebelum operasi. Inhibitor monamine oxidase harus dihentikan 2-3 minggu
sebelum operasi karea resiko dari interaksi dengan obat yang digunakan
selama anestesi. Pil kontrasepsi oral harus dihentikan setidaknya 6 minggu
sebelum operasi elektif karena resiko trombosis vena. Baru-baru ini,
American Society of Anestheseiologist (ASA) meneliti penggunaan
suplemen herbal dan potensi bahaya interaksi obat yang mungkin terjadi
pada pemakaian produk-produk tersebut sebelum operasi.
Penggunaan obat-obatan yang yang mempotensiasi pendarahan harus
dievaluasi secara ketat, dengan sebuah analisa resiko-keuntungan pada
setiap obat dan dengan batas waktu yang direkomendasikan untuk
penghentian penggunaan obat berdasarkan pada karakteristik waktu luruh
dan waktu paruh. Aspirin harus dihentikan 7-10 hari sebelum operasi untuk
menghindari perdarahan yang berlebihan dan Thienopyridines (seperti :
Clopidogrel) 2 minggu sebelum operasi. Selektif cyclooxygenase-2 (COX3
prosedur invasif, sehingga INR dapat mencapai level 1,5 sebelum operasi
Alergi dan reaksi obat. Reaksi alergi kadang-kadang salah diartikan oleh
pasien dan kurangnya dokumentasi sehingga tidak didapatkan keterangan
yang
6.
pasca bedah.
Riwayat keluarga. seperti
dalam darah.
Pecandu alkohol umumnya resisten terhadap obat- obat anestesi
khususnya golongan
8.
sirosis hepatic.
Meminum obat-obat penenang atau narkotik.
Makan minum terakhir (khusus untuk operasi emergensi)
b. Data Objektif :
Pemeriksaan Fisik
Perhatian khusus dilakukan untuk evaluasi jalan napas, jantung, paru-paru dan
pemeriksaan neurologik. Jika ingin melaksanakan teknik anestesi regional maka perlu
dilakukan pemeriksaan extremitas dan punggung. Pemeriksaan fisik sebaiknya terdiri
dari :
1. Evaluasi Keadaan Umum Penderita
Keadaan fisik meliputi : status gizi (malnutrisi atau obesitas).
Keadaan psikis : gelisah, takut, depresi, kesakitan.
Tanda-tanda penyakit saluran napas : batuk berdahak, sputum kental atau
pemberian beta blok dan cepat pada pasien dengan demam, regurgitasi aorta
atau sepsis. Pasien yang cemas dan dehidrasi sering mempunyai denyut
Gigi : gigi palsu, gigi goyang, gigi menonjol, lapisan tambahan pada gigi,
pancoas)
Palpasi : Premitus (normal, mengeras, melemah)
Auskultasi : Bunyi nafas pokok (vesikuler,
bronchial,
(dapat menjadi
2.
3.
4.
5.
6.
penyakit paru sedang sampai berat, sakit kritis atau sepsis, bedah toraks
Uji fungsi paru pada : bedah toraks, penyakit paru sedang sampai berat,
10
11
mudah terlihat.
Skor Kelas II diberikan jika palatum molle, amandel, dan sebagian
12
Cek 8 T
T1 = teeth = gigi
Apakah gigi atas goyang atau menonjol, atau ada tidaknya gigi palsu
T2 = Tongue = lidah
Apakah lidah besar? Karena lidah yang besar menyulitkan intubasi
T3 = temporomandibular joint =TMJ
Apakah kaku sehingga terjadi trismus? Jika sulit membuka mulut lebih
kepala.
T6 = Thyroid notch
Apakah jarak antara tiroid dan simfisis mandibula < 3 jari dengan
ekstensi kepala yang maksimal, jika < 3 jari akan menyulitkan intubasi
T7 = trakea
Apakah trakea mengalami deviasi, yang biasanya disebabkan karena
menentukan fit untuk operasi. Tes sederhana yang dapat dilakukan dalam
klinik adalah :
Tes tahan nafas Sabrasez : pasien dalam keadaan istirahat diminta untuk
menarik nafas dalam dan selanjutnya menahan nafasnya. Apabila dapat
menahan nafas selama 25-30 detik pasien dapat dianggap normal. Pasien
13
II.
forced ekspiratory volume dalam satu detik kurang dari satu liter.
Menentukan Masalah yang Ada
Langkah selanjutnya adalah menentukan masalah berdasarkan data-data yang telah
dikumpulkan.
Masalah Medis : asma bronchiale, DM, infark miokard, syok, peningkatan
III.
15
for
Complications
Faktor resiko pasien biasanya dibagi menjadi tiga kategori : mayor, intermediat dan
minor. Periode 6 minggu diperlukan oleh myocardium untuk sembuh setelah
terjadinya infark dan perbaikan pada trombosis. Pasien dengan revaskularisasi
koroner yang berlangsung selama 40 hari juga diklasifikasikan sebagai pasien
beresiko tinggi. Karena stimulasi simpatis dan hiperkoabilitas selama dan sesudah
operasi, pasien dengan predisposisi mayor memiliki lima kali resiko perioperatif lebih
besar. Hanya
penting
dapat
Beberapa hasil studi secara umum menyatakan bahwa infark miokard dalam waktu 6
bulan dari operasi yang direncakanan merupakan sebuah kontraindikasi dari anestesi
elektif dan pembedahan. Tampaknya sekarang resiko setelah infark sebelumnya
memiliki hubungan lebih kurang dengan umur dari infark dibandingkan dengan status
fungsional dari ventrikel dan ukuran miokardium pada resiko iskemia lebih lanjut.
Sebuah infark kecil tanpa angina residual dalam konteks status fungsional yang baik
memungkinkan operasi non-cardiac penting secepatnya 6 minggu setelah episode
iskemik. Sebaliknya, pasien dengan infark besar, gejala residual dan fraksi ejeksi <
0,35 memiliki probabilitas tinggi mengarah pada kelainan jantung lebih lanjut.,
bahkan 6 bulan setelah infark terjadi. Pedoman praktek biasa mempertimbangkan
periode dalam waktu 6 minggu dari proses infark sebagai sebuah waktu dari resiko
tinggi untuk perioperatif masalah cardiac, sebab periode tersebut adalah waktu
penyembuhan rata-rata dari lesi terkait infark. Masa waktu dari 6 minggu hingga 3
bulan adalah resiko intermediet; periode ini akan memanjang sebanyak 3 bulan lagi
pada kasus dengan komplikasi seperti aritmia, disfungsi ventricular atau terapi medis
berkelanjutan. Pada kasus-kasus tanpa komplikasi, tidak ada manfaat yang
ditunjukkan pada penundaan operasi lebih dari 3 bulan setelah sebuah serangan
iskemik.
Data terbaru menunjukkan bahwa setiap masalah pada sirkulasi koroner, (iskemia,
infark atau revaskularisasi) mengawali sebuah resiko tinggi pada periode 6 minggu
dan resiko intermediet pada periode 3 bulan. Sebuah penundaan minimal 3 bulan
diindikasi sebelum melakukan operasi non-cardiac setelah terjadi infark miokar atau
revaskularisasi. Namun, penundaan ini dapat saja terlalu lama jika sebuah prosedur
pembedahan urgen dibutuhkan, seperti misalanya pada tumor yang menyebar dengan
cepat, impending ruptur aneurisma, infeksi yang membutuhkan drainase atau fraktur
tulang. Pada situasiseperti ini, studi terbaru telah menunjukkan manfaat nyata dari
operasi dengan menggunakan proteksi 1-adrenergic antagonis, yang mengurangi
tingkat komplikasi cardiac dari pasien tersebut. Bila mungkin, beta-blocker harus
dimulai beberapa hari atau beberapa minggu sebelum operasi elektif dengan target
heart rate antara 50 sampa 60 denyut per menit.
Keadaan-keadaan apa yang didefinisikan sebagai komplikasi cardiac perioperatif ?
Infark miokard, edema paru, fibrilasi ventrikel, cardiac arrest primer atau heart block
komplet didefinisikan sebagai komplikasi cardiac perioperatif mayor. Perioperatif
infark miokard : biasanya menyajikan atypically (tanpa nyeri dada), terjadi dalam 2
hari pertama operasi dan menimbulkan mortalitas yang tinggi. Tingkat dari infak
17
miokard postoperatif adalah 0,7% setelah operasi umum pada populasi laki-laki di
atas 50 tahun tetapi meningkat menjadi 3,1% setelah operasi vaskuler dimana
prevalensi dari penyakit arteri koroner asymptomatic sangat tinggi. Saat infark
miokard terjadi, tingkat mortalitas menetap pada 40% hingga 70%. Pedoman Evaluasi
Kardiovaskuler Perioperatif pada Operasi Noncardiac dari ACC/AHA menawarkan
rekomendasi
hipoksemia,
gagal
napas
dengan
ventilasi
mekanik
yang
hingga 40 %. Sebagai aturan, semakin dekat operasi dari diafragma maka semakin
tinggi resiko komplikasi pulmoner. Faktor resiko paling penting yang dapat
termodifikasi adalah merokok. Resiko yang berhubungan dengan komplikasi
pulmoner di kalangan perokok dibandingkan dengan bukan perokok berkisar antara
1,4 sampai 4,3. Sayangnya, resiko dapat menurun hanya bila penghentian merokok
untuk kepentingan preoperatif telah dilakukan selama delapan minggu. Interval
tersebut memungkinkan mekanisme transportasi mukosiliar untuk memulih, sekresi
berkurang dan level karbonmonoksida dalam darah menurun.
Adanya penyakit pulmoner baik obstruktif ataupun restriktif menempatkan pasien
pada peningkatan resiko dari komplikasi pulmoner perioperatif. Apabila penyakit
pulmoner signifikan dicurigai melalu anamnesis atau pemeriksaan fisis, penentuan
dari kapasitas fungsional, respon terhadap bronchodilator dan atau evaluasi untuk
adanya retensi karbondioksida maka dapat dilakukan analisis gas darah arterial.
Untuk anestesi dan operasi elektif pada pasien dengan riwayat asma, status asmaticus
harus terkontron dan pasien bebas dari wheezing (mengi) dengan peak flow lebih
besar 80% dari prediksi. Jika perlu, pasien harus menerima terapi singkat steroid (60
mg prednison per hari atau yang setara) sebelum operasi untuk mencapai target
tersebut di atas. Jika pasien berobat secara rutin dan teratur, pengobatan tidak boleh
dihentikan. Setiap pasien yang sebelumnya telah dirawat di rumah sakit dengan
serangan asma harus dievaluasi dengan hati-hati dan teliti sebab reaktivitas saluran
napas berlangsung selama beberapa minggu setelah episode asmaticus.
Meningkatnya frekuensi dari komplikasi pulmoner perioperatif pada pasien dengan
penyakit pulmoner obstruktif (PPOK) dapat dijelaskan lewat co-morbiditas (misalnya
penyakit jantung) bukan dengan obstruksi jalan napas. Pasien dengan PPOK mungkin
memiliki kelelahan otot-otot pernapasan kronis, nutrisi terganggu, gangguan elektrolit
dan endokrin dapat berkontribusi pada kelemahan otot pernapasan dan harus dikoreksi
sebelum operasi. Pasien dengan PPOK harus dievaluasi untuk mengantisipasi cor
pulmonale, bila ada harus diterapi sebelum pembedahan.
Umumnya, semua pasien dengan PPOK/asma yang membutuhkan terapi oksigen di
rumah atau memerlukan rawat inap akibat masalah-masalah respiratoris dalam 6
bulan terakhir diasumsikan berada pada kategori resiko yang lebih besar.
Pasien dengan obstruktif sleep apnea (OSA) rentan terhadap hipoksemia post operatif
sesaat setelah menerima anestesi umum. Efek sedatif dan depresi saluran napas dari
anestesi umum menempatkan pasien dengan OSA pada peningkatan resiko yang
signifikan terhadap obstruksi jalan napas dan gangguan respiratoris selama periode
19
20
dari jenis operasinya atau penderita diabetes yang menjalani terapi agen oral dan
sedang menjalani operasi minor.
Komplikasi hiperglikemia perioperatif termasuk dehidrasi, gangguan penyembuhan
luka, penghambatan fungsi (berhubungan dengan peningkatan resiko infeksi) dan
kemotaksis sel darah, gangguan SSP dan cedera tulang belakang dalam kondisi
iskemik atau hipoksia da hiperosmolaritas menyebabkan hiperviskositas dan
trombogenesis. Level glukosa > 180 mg/dL (10 mmol/L) menyebabkan diuresis
osmotik, glikosuria dapat mengakibatkan dehidrasi dan peningkatan resiko infeksi
saluran kencing. Sebagai aturan umum pada pasien dengan berat badan 70 kg, 1
unit/jam dari insulin reguler menurunkan kadar glukosa sekitar 2530mg/dL (1,5
mmol/L).
Hipoglikemia (glukosa < 50 mg/dL / 2,8 mmol/L pada dewasa dan < 40 mg/dL/2,2
mmol/L pada anak-anak) dapat memburuk pada periode post operatif karena efek
residual dari agen hipoglikemik oral long-acting atau preparat insulin yang diberikan
preoperatif, selain juga efek dari puasa preoperatif. Penemuan kasus hipoglikemia
selama perioperatif mungkin saja terlambat karena efek agen anestesi, analgesik,
sedatif dan simpatolitik dapat mengubah gejala yang biasanya timbul pada keadaan
hipoglikemia. Selain itu, penderita diabetes dengan neuropati otonom dapat
mengaburkan gejala adrenergic yang biasanya terkait dengan hipoglikemia. Gejalagejala ini umumnya diawali dengan konfusi, iritabilitas, sakit kepala dan somnolen
serta dapat berkembang menjadi kejang, defisit neurologis fokal, koma hingga
kematian.
Manajemen Perioperatif pada Pasien Antikoagulasi
Dalam melakukan operasi noncardiac pada pasien dengan riwayat terapi jangka
panjang antikoagulan oral, perhatian utama adalah kapan waktu yang aman untuk
melakukan operasi tanpa meningkatkan resiko perdarahan atau meningkatkan resiko
tromboemboli (vena, arteri) setelah menghentikan terapi antikoagulan oral. Tidak ada
kesepakatan tentang bagaimana penatalaksanaan perioperatif pada pasien dengan
terapi antikoagulan. Di bawah ini ada beberapa rekomendasi bermanfaat yang dapat
digunakan bersama dengan penilaian klinis dengan tujuan memberi solusi pada
masing-masing pasien.
1. Sebagian besar pasien dapat menjalani pencabutan gigi, arthrocentesis,
biopsi, operasi mata dan endoskopi diagnostik tidak mengalami perubahan
dari regimen mereka. Untuk prosedur invasif dan bedah lainnya,
21
insersi penempatan jarum/kateter spinal atau epidural dan level dari antikoagulasi
harus dimonitor secara seksama selama periode kateterisasi epidural. Kateter boleh
dilepas dengan adanya terapi antikoagulasi, karena hal ini tampaknya secara
signifikan meningkatkan resiko hematoma tulang belakang. Kewaspadaan dalam
pemantauan sangat penting untuk memungkinkan evaluasi awal disfungsi neurologis
dan intervensi yang cepat.
Pasien yang Menerima Terapi Trombolitik
Pasien yang menerima obat fibrinolitik/trombolitik beresiko mengalami perdarahan
yang serius.
1. Obat-obatan trombolitik harus dihindari selama 10 hari setelah pungsi lumbal,
anestesi spinal/epidural atau injeksi steroid epidural.
2. Anestesi spinal atau epidural adalah kontraindikasi pada pasien yang menerima
obat fibrinolitik dan trombolitik. Data tidak tersedia untuk secara jelas
menguraikan panjang waktu neuraksial pungsi yang harus dihindari setelah
penghentian jenis obat ini.
Di Amerika Serikat (AS) regimen dosis profilaksis biasa untuk pasca pembedahan
deep vein thrombosis (DVT) adalah 30 mg SC, setiap 12 jam, dengan dosis awal
diberikan 12-24 jam postoperatif. Protokon dosis enoxaparin Eropa terdiri dari 40 mg
SC/hari. Namun, regimen Eropa dihubungkan dengan insidensi yang jauh lebih
rendah dari formasi epidural hematoma.
1. Profilaksis LMWH dengan regimen eropa (40 mg enoxaparin setiap harinya)
tampaknya tidak meningkatkan resiko perdarahan spinal, memberi interval
minimal 10-12 jam selisih waktu antara pemberian obat dan pungsi (penusukan).
2. Dosis berikut LMWH tidak boleh diberikan kurang dari 4 jam setelah pungsi.
3. Kateter spinal atau epidural tidak boleh dilepas hingga paling tidak 12 jam setelah
dosis akhir dari LMWH. Dosis lanjutan LMWH diberikan setidaknya 2 jam setelah
pelepasan kateter.
4. Pemberian terapi Antiplatelet atau antikoagulan oral pada kombinasi dengan
LMWH dan interaksi dari LMWH dengan dextran dapat meningkatkan resiko dari
formati spinal hematoma.
5. Pada pasien yang dijadwalkan untuk blok spinal atau epidural, profilaksis
tromboemboli dengan LMWH seharusnya dimulai pada malam hari sebelum
operasi dan dilanjutkan pada malam hari operasi. Dosis ini memiliki efek
tromboemboli yang sama dengan memulai pada pagi hari operasi.
6. Jika ada yang memilih untuk menggunakan dosis dua kali sehari sesuai protokol
AS (30 mg setiap 12 jam), dosis pertama LMWH harus diberikan tidak lebih cepat
dari 24 jam pasca operasi, terlepas dari tehnik anestesi dan hanya dengan syarat
adanya hemostatis yang adekuat.
Pasien Menerima Antikoagulan Oral (Antagonis Vitamin K)
1. Blok spinal atau epidural merupakan kontraindikasi pada pasien yang sepenuhnya
ter-antikoagulasi dengan antagonis vitamin K seperti warfarin atau acenocumarol
IV.
(Sintrom)
2. Jika bedah
Menentukan Status Fisik Pasien
Dari hasil anamnesa, pemeriksaan fisik, hasil pemeriksaan laboratorium dan
pemeriksaan penunjang yang ada kemudian ditentukan status fisik pasien dan
prognosis/resiko terhadap anestesi. Pada kesimpulan evaluasi pre anestesi setiap
pasien ditentukan kalsifikasi status fisik menurut American Society of Anestesiologist
(ASA). Hal ini merupakan ukuran umum keadaan pasien. Klasifikasi status fisik
menurut ASA adalah sebagai berikut :
ASA 1 : Pasien tidak memiliki kelainan organik maupun sistemik selain
penyakit yang akan dioperasi.
24
koma diabetikum
ASA 5 : Pasien dalam kondisi yang sangat jelek dimana tindakan anestesi
mungkin saja dapat menyelamatkan tapi risiko kematian tetap jauh lebih
yang membutuhkan.
Untuk operasi darurat, di belakang angka diberi huruf E (emergency) atau D (darurat),
V.
Anestesi Regional :
Nerve block
Spinal atau intratechal injeksi
Epidural
Caudal
Anestesi Lokal :
Topikal
Infiltrasi lokal
25
Pada anestesi regional dan lokal, obat-obatan yang biasa digunakan antara lain :
VI.
etidocaine.
Menentukan premedikasi
Setelah evaluasi prabedah selesai, langkah berikutnya adalah menentukan macam obat
premedikasi yang akan digunakan (premedikasi dalam arti sempit).
Cara Pemberian :
Intravena (iv) 5-10 menit sebelum anestesi/operasi
Intramuskuler (im) - 1 jam sebelum anestesi/operasi
Peroral malam sebelum operasi
Menghilangkan kecemasan
Mendapatkan sedasi
Mendapatkan analgesi
Mendapatkan amnesi
Mendapatkan efek antisialogoque
Informed Consent
Edukasi pasien secara singkat tentang jenis operasi dan rencana anestesi yang akan
digunakan, manajemen intraoperatif dan penanganan nyeri post operatif dengan
harapan mengurangi kecemasan pasien dan membangun hubungan timbal balik
dokter-pasien kemudian meminta persetujuan prosedur anestesi.
27