Anda di halaman 1dari 32

REFERAT

SINDROMA NYERI

Pembimbing:
Dr. Hadi Kurniawan Sp. KFR

Disusunoleh:
Alessandrasesha Santoso
11-2013-020

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Saraf


Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
RS. Panti Wilasa Dr. Cipto
Periode 18 November 21 Desember 2013
1

KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala berkat
dan karunia-Nya sehingga referat Ilmu Penyakit Saraf tentang Sindroma Nyeri,
Nyeri Neuropatik ini dapat selesai. Referat ini dibuat sebagai salah satu syarat untuk
menyelesaikan tugas kepaniteraan Ilmu Penyakit Saraf di RS Panti Wilasa Dr. Cipto
Semarang.
Penulis menyadari ada banyak pihak yang turut mendukung pembuatan referat
ini. Untuk itu dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada
dosen pembimbing saya, dr. Hadi K Sp.KFR, dr. Hexanto Sp.S, dr. Endang K Sp.S
Msi.Med, yang telah membimbing saya selama kepaniteraan di RS Panti Wilasa Dr.
Cipto dalam pembuatan referat ini.
Penulis sadar referat ini jauh dari sempurna. Untuk itu penulis mengharapkan
kritik dan saran yang membangun. Akhir kata, semoga referat ini dapat bermafaat
bagi semua pihak dan setiap pembaca pada umumnya. Terimakasih.

Semarang, 2 Desember 2013

Penulis

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

BAB I. PENDAHULUAN

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Nyeri

2.2 Klasifikasi Nyeri

2.3. Reseptor Nyeri dan Stimulasinya

2.4. Jalur Nyeri di Sistem Saraf Pusat

2.5 Patofisiologi Nyeri

12

2.6 Gejala Klinis

15

2.6.1 Gejala Klinis Nyeri Nosiseptif

15

2.6.2 Gejala Klinis Nyeri Neuropatik

16

2.7 Diagnostik Nyeri

16

2.8 Intensitas Nyeri

18

2.9 Penatalaksanaan Farmakologis

21

2.9.1 Penatalaksanaan Nyeri Nosiseptif

21

2.9.2 Penatalaksanaan Nyeri Neuropatik

26

2.10 Penatalaksanaan Nonfarmakologis Nyeri Nosiseptif dan Nyeri Neurogenik

28

BAB III. KESIMPULAN

31

DAFTAR PUSTAKA

32

BAB I
PENDAHULUAN
Nyeri merupakan bagian dari pengalaman hidup sehari-hari. Neyri mempunyai
sifat unik, akrena di satu sisi nyeri menimbulkan derita bagi yang bersangkutan, tetapi
disisi lain nyeri juga menunjukan suatu manfaat. Nyeri bukan hanya merupakan
modalitas sensori tetapi juga merupakan suatu pengalaman. Menurut The
International Association for the Study of Pain (IASP), nyeri didefinisikan sebagai
suatu pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan yang
berhubungan dengan adanya atau potensi rusaknya jaringan atau keadaan yang
menggambarkan kerusakan jaringan tersebut.1 Berdasarkan definisi tersebut nyeri
merupakan suatu gabungan dari komponen objektif (aspek fisiologi sensori nyeri) dan
komponen subjektif (aspek emosional dan psikologis).1,2
Nyeri sering dilukiskan sebagai suatu yang berbahaya atau yang tidak
berbahaya, misalnya sentuhan ringan, kehangatan, tekanan ringan. Nyeri dapat
dirasakan atau terjadi secara akut, dapat pula dirasakan secara kronik oleh penderita.
Nyeri akut akan disertai hiperaktifitas saraf otonom dan umumnya mereda dan hilang
sesuai dengan laju proses penyembuhan. Pemahaman tentang patofisiologgi
terjadinya nyeri sangatlah penting sebagai landasan menanggulangi nyeri yang
diderita oleh penderita. Bila pengelolaan nyeri dan penyebab nyeri akut tidak
dilaksanakan dengan baik, nyeri itu dapat berkembang menjadi nyeri kronik.
Walaupun ketidaknyamanan dari suatu nyeri, nyeri dapat diterima oleh seorang
penderitanya sebagai suatu mekanisme untuk menghindari keadaan yang berbahaya,
mencegah kerusakan lebih jauh, dan untuk mendorong proses suatu penyembuhan.
Nyeri membuat kita menjauhkan diri dari hal berbahaya yang dapat menyebabkan
stimulus noksius yaitu akar dari suatu nyeri.
Nyeri sampai saat ini merupakan maslah dalam dunia kedokteran. Nyeri bukan
hanya berkaitan dengan kerusakan structural dar system jaringan saja, tetapi juga
menyangkut kelainan transmitter yang berfungsi dalam proses penghantaran impuls
saraf. Dipihak lain, nyeri juga sangat mempengaruhi morbiditas, mortalitas dan mutu
kehidupan.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Nyeri
Nyeri berdasarkan International Association for the Study of Pain (IASP),
adalah pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan akibat adanya
kerusakan atau ancaman kerusakan jaringan.2,3 Berdasarkan definisi tersebut nyeri
merupakan suatu gabungan dari komponen objektif (aspek fisiologi sensorik nyeri)
dan komponen subjektif (aspek emosional dan psikologis).2
Sedangkan nyeri akut disebabkan oleh stimulasi noxious akibat trauma, proses
suatu penyakit atau akibat fungsi otot atau visceral yang terganggu. Nyeri tipe ini
berkaitan dengan stress neuroendokrin yang sebannding dengan intensitasnya. Nyeri
akut akan disertai hiperaktifitas saraf otonom dan umumnya mereda dan hilang sesuai
dengan laju proses penyembuhan.2
2.2 Klasifikasi Nyeri
Nyeri diklasifikasikan dari mekanisme, sumber, lokasi, durasi, dan intensitasnya. 3,4,5

a.

Klasifikasi berdasarkan mekanisme nyeri banyak dipakai diklinik, yaitu:3,4,5


Nyeri nosiseptif yaitu nyeri yang timbul bila reseptor nyeri (nociceptor)
teraktivasi. Stimulasi nosiseptor baik secara langsung maupun tidak langsung
akan mengakibatkan pengeluaran mediator inflamasi dari jaringan, sel imun
dan ujung saraf sensoris dan simpatik. Umumnya nyeri hilang tanpa

b.

pengobatan atau dengan analgetik ringan.6


Nyeri neuropatik yaitu nyeri yang disebabkan oleh lesi atau disfungsi primer
pada sistem saraf perifer. Hal ini disebabkan oleh cedera pada jalur serat saraf
perifer, infiltrasi sel kanker pada serabut saraf, dan terpotongnya saraf perifer.
Sensasi yang dirasakan adalah rasa panas dan seperti ditusuk-tusuk dan
kadang disertai hilangnya rasa atau pada perabaan rasanya tidak enak. Nyeri
neuropatik dapat menyebabkan terjadinya allodynia dan hiperalgesia. Ini
mungkin

terjadi

secara

mekanik

atau

peningkatan

sensitivitas

dari

noradrenalin yang kemudian menghasilkan sympathetically maintained pain


(SMP). SMP merupakan komponen pada nyeri kronik. Nyeri tipe ini sering
c.

menunjukan respon yang buruk pada pemberian analgetik konvesional.


Nyeri psikogenik yaitu nyeri yang dikeluhkan tanpa terdeteksi adanya kelainan

organic. Ditimbulkan karena abnormalitas atau gangguan fungsi system saraf


pusat yang berupa peningkatan sensitivitas terhadap berbagai stimulus.
Berhubungan dengan gangguan jiwa misalnya cemas dan depresi. Nyeri akan
hilang apabila keadaan kejiwaan pasien tenang. Contoh lain nyeri fungsional
d.

antara lain fibromyalgia, nyeri kepala, tegang otot dan sebagainya.


Nyeri campuran yaitu gabungan dari nyeri inflamasi dan nyeri neuropatik.
Contohnya:

Low back pain with radiculopathy, Cervical radiculopathy,

Cancer pain dan Carpal tunnel syndrome.

Gambar 1. Sumber nyeri5

Berdasarkan sumber nyeri, maka nyeri dibagi menjadi:3,4,5


a.
Nyeri somatic luar6
Nyeri yang stimulusnya berasal dari kulit, jaringan subkutan dan membrane
mukosa. Nyeri biasanya dirasakan seperti terbakar, tajam dan terlokalisasi.
b.

Nyeri somatic dalam


Nyeri tumpul dan tidak terlokalisasi dengan baik akibat rangsangan pada otot
rangka, tulang, sendi dan jaringan ikat.

c.

Nyeri visceral
Nyeri karena perangsangan organ visceral atau membrane yang menutupinya
(pleura parietalis, pericardium, peritoneum).

a.

Berdasarkan lokasi, nyeri dibagi menjadi:3,4,5


Nyeri neuropatik perifer yaitu letak lesi pada system aferen perifer di saraf tepi,
ganglion radiks dorsalis, atau pada radiks dorsalis. Contoh: polyneuritis,

b.

polineuropat diabetic, neuralgia pascaherpes, dan neuralgia terminal.


Nyeri neuropatik sentral yaitu letak lesi di medulla spinalis, batang otak,
thalamus atau korteks serebri. Contoh: nyeri spinal pasca trauma, nyeri sentral

a.

b.

pasca stroke.6
Berdasarkan durasi (waktu), nyeri dibagi menjadi:3,4,5
Nyeri akut, bila nyeri yang dialami dalam waktu 3 bulan. Contoh: iskhialgia
pada HNP, neuralgia trigeminal.6
Nyeri kronis bila nyeri berkepanjangan dapat berbulan-bulan tanpa ada tanda6

tanda aktivitas otonom kecuali serangan akut. Nyeri tersebut dapat berupa
nyeri yang tetap bertahan sesudah penyembuhan luka (penyakit/operasi) atau
awalnya berupa nyeri akut lalu menetap sampai melebihi 3 bulan. Ada 2 jenis
nyeri kronis yaitu nyeri malignan akibat tekanan atau rusaknya serabut saraf,
contoh nyeri kanker, nyeri pasca radiasi, nyeri pasca operatif, nyeri pasca
kemoterapi. Lalu nyeri nonmalignan akibat trauma atau proses degenerasi
contoh, neuropati diabetic, sindrom terowongan karpal, neuropati toksik, nyeri
sentral pasca stroke, nyeri spinal pasca trauma.
Table 1. Perbandingan nyeri akut dan kronik
Sifat
Awitan, durasi

Nyeri akut
Awitan mendadak,

Nyeri kronik
Awitan bertahap,

Intensitas
Respon fisiologik

durasi singkat, <3 bulan


Ringan-sedang
Spesifik, dapat

menetap, >6 bulan


Sedang-parah
Kasus mungkin jelas,

diidentifikasi secara

mungkin tidak

Respon emosi/perilaku

biologis
Hiperaktivitas autonomy Aktivitas autonom
yang dapat

normal

diperkirakan: tekanan
darah, nadi, napas
meningkat, dilatasi
pupil, pucat, mual,
Respon terhadap

muntah
Cemas, tidak mampu

Depresi, lelah,

analgesik

konsentrasi, gelisah,

imobilitas atau

distress, tapi tetap

inaktivasi fisik, menarik

optimis nyeri akan

diri dari lingkungan

hilang

social, tidak ada harapan


akan kesembuhan,
memperkirakan nyeri

Respon terhadap

a.

b.

Meredakan nyeri secara

akan berlangsung lama


Sering kurang dapat

analgesik
efektif
meredakan nyeri
Berdasarkan intensitas, nyeri dibagi menjadi:3,4,5
Nyeri ringan: nyeri yang hilang timbul, terutama sewaktu melakukan aktifitas
sehari-hari dan hilang pada waktu tidur.
Nyeri sedang: nyeri yang terus menerus, aktifitas terganggu, yang hanya hilang
7

c.

jika penderita tidur.6


Nyeri berat: nyeri yang berlangsung terus menerus sepanjang hari, penderita tak
dapat tidur atau sering terjaga oleh gangguan nyeri sewaktu tidur.

2.3. Reseptor Nyeri dan Stimulasinya


Kapasitas jaringan untuk menimbulkan nyeri apabila jaringan tersebut mendapat
rangsangan yang mengganggu bergantung pada keberadaan nosiseptor. Nosiseptor
adalah saraf eferen primer untuk menerima dan menyalurkan rangsangan nyeri.
Nosiseptor terletak di jaringan subkutis, otot rangka dan sendi. Reseptor nyeri di
viseral tidak terdapat di parenkeim organ internal itu sendiri, tetapi di permukaan
periotenum, membrane pleura, dura meter, dan dinding pembuluh darah. Reseptor
yang terdapat di kulit dan jaringan lain semuanya merupakan ujung saraf bebas.
Reseptor ini tersebar luas pada permukaan superisial kulit dan juga dijaringan dalam
tertentu, misalnya periosteum, dinding arteri, permukaan sendi dan falks serta
tentorium tempurung kepala. Sebagian besar jaringan dalam lainnya hanya sedikit
sekali dipersarafi oleh ujung saraf nyeri namun, setiap kerusakan jaringan yang luas
dapat bergabung sehingga pada kebanyakan daerah tersebut akan timbul tipe rasa
nyeri pegal yang lambat dan kronik.7
Rasa nyeri dapat dirasakan melalui berbagai jenis rangsangan. Semua ini
dikelompokkan sebagai rangsangan nyeri mekanis, suhu, dan kimiawi. Pada
umumnya nyeri cepat diperoleh melalui rangsangan jenis mekanis atau suhu,
sedangkan nyeri lambat dapat diperoleh melalui ketiga jenis tersebut.2,3
Beberapa zat yang merangsang jenis nyeri kimiawi adalah bradikinin, serotin,
histamine, ion kalium, asam, asetilkolin dan enzim proteolitik. Selain itu,
prostaglandin I dan substansi P meningkatkan sensitivitas ujung-ujung serabut nyeri
tetapi tidak secara langsung merangsangnya. Substansi kimia terutama penting untuk
perangsangan lambat, jenis rasa nyeri yang menusuk yang terjadi setelah cedera
jaringan.
Berbeda dengan kebanyakan reseptor sensoris tubuh lainnya, reseptor nyeri
sedikit sekali beradaptasi dan kadang tidak beradaptasi sama sekali. Ternyata pada
beberapa kondisi, eksitasi serabut rasa nyeri menjadi semakin bertambah secara
progresif terutama pada rasa nyeri mual menusuk lambat, karena stimulus rasa nyeri
berlangsung terus-menerus. Keadaan ini akan meningkatkan sensitivitas reseptor
nyeri dan disebut hiperalgesia.4

2.4. Jalur Nyeri di Sistem Saraf Pusat

Gambar 2. Jalur Nyeri7


Sistem Nyeri Perifer
Ujung saraf bebas (atau nociceptor) neuron-neuron tingkat pertama merupakan
komponen sistem nyeri perifer. Serabut nyeri juga ikut terlibat.2,3
Nociceptor
Nociceptor menyusun axon perifer neuron tingkat pertama. Reseptor nyeri ini
umum dijumpai pada bagian superficial atau permukaan kulit, kapsul sendi, dalam
periosteum tulang dan di sekitar dinding pembuluh darah.
Serabut Nyeri
Serabut delta adalah serabut yang kecil, termielinisasi, yang akan direkrut
pertama kali sebagai respon terhadap stimuli noxious. Mielin adalah senyawa seperti
lemak (fat-like) yang membentuk selaput mengelilingi axon beberapa neuron dan
yang memungkinkan untuk meningkatkan transmisi stimuli. Manifestasi respon
pertama (atau nyeri cepat) biasanya muncul sebagai sensasi yang jelas dan
terlokalisasi. Nyeri ini sering dideskripsikan sebagai nyeri yang tajam, menyengat
atau menusuk, dan berlangsung hanya ketika stimulus mengakibatkan kerusakan
jaringan. Ambang batas nyeri untuk nyeri pertama ini relatif sama untuk semua
orang.4,7
Sensasi nyeri yang menyebar, perlahan, membakar atau linu merupakan akibat
dari stimuli yang ditransmisikan oleh serabut C yang tidak termielinisasi. Nyeri
kedua ini disebabkan oleh jejas yang sama dengan nyeri cepat, namun, nyeri ini
dimulai belakangan dan berlangsung untuk waktu yang lebih lama (lihat Gambar 7-2).
Pasien yang menderita nyeri jenis ini menyadari rasa nyeri ini tapi biasanya agak sulit

menyatakan di mana tepatnya lokasi nyeri tersebut. Pasien demikian seringkali


meraba daerah nyeri untuk menunjukkan lokasi nyerinya. Ambang batas nyeri
kedua ini bervariasi antar individu.
Serabut A delta dan C memiliki sifat sensitisasi, yaitu peningkatan sensitivitas
reseptor ketika menerima stimulus noxious berulang. Salah satu contoh klasik
sensitisasi adalah melewatkan telapak tangan di atas nyala lilin. Dengan paparan
berulang-ulang, waktu yang diperlukan untuk timbulnya sensasi nyeri akan berkurang
(karena sensitisasi serabut).
Jalur Nyeri Ascending
Ketika nociceptor distimulasi oleh stimuli noxious, axon perifer neuron tingkat
pertama meneruskan data sensori ke badan sel pada ganglion akar dorsal. Sensasi
kemudian diteruskan sampai ke bagian abu-abu (gray matter) korda spinalis dorsal.
Neuron tingkat kedua memiliki badan sel pada tanduk dorsal, dan neuron-neuron ini
mengarah ke atas korda spinalis melalui satu atau dua jalur: traktus spinotalamus atau
traktus spinoretikular (lihat gambar 2 dan 3).
Serat saraf C dan A- aferen yang menyalurkan impuls nyeri masuk kedalam
medula spinalis di akar saraf dorsal. Serat-serat memisah sewaktu masuk ke korda dan
kemudian kembali menyatu di kornu dorsalis (posterior) medula spinalis. Daerah ini
menerima, menyalurkan, dan memproses impuls sensorik. Kornu dorsalis medula
spinalis dibagi menjadi lapisan-lapisan sel yang disebut lamina. Dua dari lapisan ini
(lapisan 2 dan 3), yang disebut substansia gelatinosa, yang sangat penting dalam
transmisi dan modulasi nyeri.
Dari kornu dorsalis, impuls nyeri dikirim ke neuro-neuron yang menyalurkan
informasi ke sisi berlawanan medula spinalis di komisura anterior dan kemudian
menyatu di traktus spinothalamikus antero-lateralis, yang naik ke thalamus dan
struktur otak lainnya. Dengan demikian, transmisi impuls nyeri di medula spinalis
bersifat kontra lateral terhadap sisi tubuh tempat impuls itu berasal.
Traktus Spinotalamus
Traktus spinotalamus mencakup spine sampai thalamus. Sensasi nyeri yang
berasal dari daerah reseptor kecil dan terlokalisasi pada perifer berjalan melalui
neuron tingkat ketiga ke korteks (lihat gambar 2 dan 3). Sensasi ini menghasilkan
persepsi nyeri aspek yang jelas (misalnya sifat, lokasi, intensitas, dan durasi nyeri).
Daerah penerimaan yang luas pada perifer juga akan memproyeksikan sensasi ke
korteks, dan sensasi ini menghasilkan persepsi nyeri aspek afektif dan emosi,
10

misalnya menderita.
Traktus Spinoretikular
Neuron tingkat kedua yang mengarah ke atas melalui traktus spinoretikular
berjalan menuju batang otak. Neuron spinoretikular ini yang menjelaskan adanya
aspek emosi pada sensasi nyeri.
Jalur Nyeri Descending
Serabut saraf ke arah bawah dari korteks, thalamus, atau batang otak dapat
menghambat penerusan impuls yang bergerak melalui jalur nyeri ascending. Serabutserabut saraf ini berhenti pada kolom abu-abu dorsal korda spinalis. Neurotransmiter
(misalnya epinefrin, norepinefrin, serotonin, berbagai opioid endogen) terlibat dalam
modulasi sensasi nyeri. Jalur nyeri descending bertanggung jawab untuk menghambat
transmisi nyeri dari korda spinalis.
Daerah-daerah tertentu di otak itu sendiri mengendalikan atau mempengaruhi
persepsi nyeri, hipotalamus dan struktur limbik berfungsi sebagai pusat emosional
persepsi nyeri, dan korteks frontalis menghasilkan interpretasi dan respon rasional
terhadap nyeri. Namun, terdapat variasi yang luas dalam cara individu
mempersepsikan nyeri. Salah satu penyebab variasi ini adalah karena sistem saraf
pusat (SSP) memiliki beragam mekanisme untuk memodulasi dan menekan
rangsangan nosiseptif. Jalur-jalur desenden serat eferen yang berjalan dari korteks
serebrum ke bawah ke medula spinalis dapat menghambat atau memodifikasi
rangsangan nyeri yang datang melalui suatu mekanisme umpan balik yang melibatkan
substansia gelatinosa dan lapisan lain kornu dorsalis. Salah jalur desenden yang telah
diidentifikasi sebagai jalur penting dalam sistem modulasi-nyeri atau analgesik adalah
jalur yang mencakup tiga komponen berikut:
1. Bagian pertama adalah substansia grisea periakuaduktus (PAG) dan substansia
grisea periventrikel (PVG) mesensefalon dan pons bagian atas yang mengelilingi
akuaduktus sylvius.
2. Neuron dari daerah daerah satu mengirim impuls ke nukleus rafemagnus (NRM)
yang terletak di pons bagian bawah dan medula bagian atas dan nukleus retikularis
paragigantoselularis (PGL) di medula lateralis.
3. Impuls ditransmisikan dari nukleus ke bawah ke kolumna dorsalis medula spinalis
ke suatu kompleks inhibitorik nyeri yang terletak di kornu dorsalis medula spinalis.
Zat-zat kimia yang disebut neuroregulator, juga mungkin mempengaruhi masukan
sensorik ke medula spinalis. Neuroregulator ini dikenal sebagai neurotransmiter atau
11

neuromodulator. Neurotransmiter adalah neurokimia yang menghambat atau


merangsang aktifitas di membran pascasinaps. Zat P (suatu neuropeptida) adalah
neurotransmiter spesifik nyeri yang terdapat di kornu dorsalis medula spinalis.
Neurotransmiter SSP lain yang terlibat dalam transmisi nyeri adalah asetilkolin,
norepinefrin, epinefrin, dopamin dan serotonin.

Gambar 3. Jaras asending dan desending7


2.5 Patofisiologi Nyeri
Bila terjadi kerusakan jaringan atau ancaman kerusakan jaringan tubuh, seperti
pembedahan akan menghasilkan sel-sel rusak dengan konsekuensi akan mengeluarkan
zat-zat kimia bersifat algesik yang berkumpul sekitarnya dan dapat menimbulkan
nyeri akan terjadi pelepasan beberapa jenis mediator seperti zat-zat algesik, sitokin
serta produk-produk seluler yang lain, seperti metabolit elcosinoid, radikal bebas dan
lain-lain. Mediator-mediator ini dapat menimbulkan efek melalui mekanisme
spesifik.2,4,7
Table 2. Neurotransmitter yang berperan dalam menimbulkan nyeri
Zat

Sumber

Menimbulkan nyeri Efek pada aferen


++
++
+++
+

primer
Mengaktifkan
Mengaktifkan
Mengaktifkan
Mengaktifkan
Sensitisasi

Kalium
Serotonin
Bradikinin
Histramin
Prostaglandin

Sel-sel rusak
Thrombosis
Kininogen plasma
Sel-sel mast
Asam arakidonat

Lekotrien

dan sel rusak


Asam arakidonat

Sensitisasi

Substansi P

dan sel rusak


Afek primer

Sensitisasi

12

Rangkaian proses perjalanan yang menyertai antara kerusakan jaringan sampai


dirasakan nyeri adalah suatu proses elektrofisiologis. Ada 4 proses yang mengikuti
suatu proses nosisepsi yaitu:2,4,7
1.Tranduksi
Adalah perubahan rangsang nyeri (noxious stimuli) menjadi aktifitas listrik pada
ujung-ujung saraf sensoris. Zat-zat algesik seperti prostaglandin, serotonin,
bradikinin, leukotriene, substansi P, potassium, histamine, asam laktat dan lain-lain
akan mengaktifkan atau mensensitisasi reseptor-reseptor nyeri. Reseptor nyeri
merupakan anyaman ujung-ujung bebas serat afferent A delta dan C. reseptor-reseptor
ini banyak dijumpai dijaringan kulit, periosteum dan jaringan tubuh yang lain. Serat
saraf afferent A delta dan C adalah serat-serat saraf sensorik yang mempunyai fungsi
meneruskan sensorik nyeri dari perifer ke sentral ke susunan saraf pusat. Interaksi
antara zat algesik dengan reseptor nyeri menyebabkan terbentuknya impuls nyeri.
2.Transmisi
Adalah proses perambatan impuls nyeri melalui A delta dan C serabut yang
menyusul proses tranduksi. Oleh karena afferent A delta dan C impuls nyeri
diteruskan ke sentral, yaitu ke medulla spinalis, ke sel neuron di kornu dorsalis. Serat
afferent A delta dan C berfungsi meneruskan impuls nyeri mempunyai perbedaan
ukuran diameter. Serat A delta menghantarkan impuls lebih cepat (12-30 m/detik)
dibandingkan dengan serat C (0,5-5 m/detik). Sel-sel neuron di medulla spinalis kornu
dorsalis yang berfungsi dalam fisiologi nyeri ini disebut sel-sel neuron nosisepsi. Pada
nyeri akut, sebagian dari impuls nyeri tadi oleh serat afferent A delta dan C diteruskan
langsung ke sel-sel neuron yang berada di kornu anterior medulla spinalis. Aktifasi
sel-sel neuron di kornu anterior medulla spinalis akan menimbulkan peningkatan
tonus otot skelet didaerah cedera dengan segala akibatnya.
3.Modulasi
Merupakan interaksi antara system analgesic endogen (endorphin, NA, 5HT)
dengan input nyeri yang masuk ke kornu posterior. Impuls nyeri yang diteruskan oleh
serat-serat A delta dan C ke sel-sel neuron nosisepsi di kornu dorsalis medulla spinalis
tidak semuana diteruskan ke sentral lewat traktus spinotalamikus. Daerah ini akan
terjadi interaksi antara impuls yang masuk dengan system inhibisi, baik system
inhibisis endogen maupun system inhibisi eksogen. Tergantung mana yang lebih
dominan. Bila impuls yang masuk lebih dominan, maka penderita akan merasakan
sensible nyeri. Sedangkan bila efek system inhibisi yang lebih kuat, maka penderita
13

tidak akan merasakan sensible nyeri.

3
2
1

Gambar 4. Proses transmisi dan modulasi

6
7
8

4.Persepsi
Impuls yang diteruskan ke kortex sensorik akan mengalami proses yang sangat
kompleks termasuk proses interpretasi dan persepsi yang akhirnya menghasilkan
sensible nyeri. Hasil akhir dari proses interaksi yang kompleks dan unik yang dimulai
dari proses transduksi, transmisi, dan modulasi yang pada gilirannya menghasilkan
suatu perasaan yang subyektif yang dikenal sebagai persepsi nyeri.

2.6 Gejala Klinis


2.6.1 Gejala Klinis Nyeri Nosiseptif
Nyeri akut memperlihatkan respons neurologic yang terukur yang disebabkan
oleh stimulus simpatis yang disebut sebagai hiperaktivitas autonom sehingga
memperlihatkan takikardi, takipnea, meningkatnya aliran darah perifer, meningkatnya
tekanan darah dan dibebaskannya katekolamin. Prototipe untuk nyeri akut adalah
nyeri pasca operasi. Kualitas, intensitas, dan durasi nyeri berkaitan dengan sifat
prosedur bedah. Setiap trauma, termasuk trauma bedah menyebabkan kerusakan
jaringan. Zat-zat yang menimbulkan nyeri yang dibebaskan ke dalam jaringan yang
cedera menurunkan ambang nyeri.8,9
Nyeri somatik superficial berasal dari struktur-struktur superficial kulit dan
jaringan subkutis. Stimulus yang efektif untuk menimbulkan nyeri di kulit dapat
berupa rangsangan mekanis, suhu, kimiawi, atau listrik. Apabila hanya kulit yang
terlibat, nyeri sering dirasakan sebagai menyengat, tajam, mengiris atau seperti

14

terbakar tetapi apabila pembuluh darah ikut berperan menimbulkan nyeri, sifat nyeri
menjadi berdenyut. Kulit memiliki banyak saraf sensoris sehingga kerusakan di kulit
menimbulkan sensasi yang lokasinya lebih akurat dan presisi yang lebih luas
dibandingkan di bagian tubuh lain. Contohnya nyeri akibat tertusuk jarum atau teriris
benda tajam.9
Nyeri somatik dalam mengacu kepada nyeri yang berasal dari otot, tendon,
ligamentum, tulang, sendi, dan arteri. Struktur-struktur ini memiliki lebih sedikit
reseptor nyeri sehingga lokalisasi nyeri sering tidak jelas. Nyeri dirasakan lebih difus
daripada nyeri kulit dan cenderung menyebar ke daerah sekitarnya. Nyeri akibat
suatu cedera akut pada sendi memiliki lokalisasi yang jelas dan biasanya dirasakan
sebagai rasa tertusuk, terbakar, atau berdenyut. Contohnya pada arthritis, yang
dirasakan adalah nyeri pegal-tumpul yang disertai tertusuk apabila sendi bergerak.
Nyeri tulang berasal dari reseptor nyeri di periosteum dan lokalisasi nyeri relative
kurang jelas, nyeri ini dirasakan sebagai rasa pegal-tumpul atau linu.8,9
Nyeri viscera mengacu kepada nyeri yang berasal dari organ tubuh. Reseptor
nyeri viscera lebih jarang dibandingkan resptor nyeri somatik. Parenkim viscera
relative tidak sensitive terhadap sayatan, panas, atau cubitan. Mekanisme yang
menimbulkan nyeri adalah peregangan atau distensi abnormal dinding atau kapsul
organ, iskemia, dan peradangan. Reseptor nyeri pada organ viscera tidak hanya
berespon pada distensi ataupun peregangan tetapi juga pada zat-zat kimia hasil
inflamasi. Aferen visera biasanya serat tipe C dan sensasi nyeri yang dihasilkan
biasanya memiliki kualitas tumpul atau pegal.
2.6.2 Gejala Klinis Nyeri Neuropatik
Nyeri neuropati memiliki gejala-gejala seperti pada Tabel 3. Gejala dari nyeri
neuropati adalah orang merasa tidak nyaman dengan gejala yang digambarkan sebagai
kesemutan atau seperti ditusuk paku dan jarum atau gejala nyeri lebih seperti
membakar.10,11,12
Tabel 3. Gejala klinis dari nyeri neuropati

15

Rasa geli dan sensasi terbakar nyeri saraf sangat berbeda dari rasa sakit dan
nyeri yang dirasakan dari nyeri otot. Nyeri otot disebabkan oleh cedera fisik, seperti
terjatuh, akan menghilang setelah cedera telah sembuh. Di sisi lain, nyeri saraf yang
mungkin tidak disebabkan oleh trauma, sering menghasilkan rasa sakit terus-menerus
atau rutin. Sejalan dengan waktu, nyeri saraf dapat menyebar dari kaki bawah ke atas
atau naik ke lengan dari tangan.10,11,12
Gejala lainnya adalah disestesia (nyeri terbakar yang dicetuskan atau spontan,
dengan nyeri yang pedih). Sensasi lain seperti hiperesthesia, hiperalgesia (sensitivitas
berlebihan terhadap nyeri), allodynia (nyeri akibat rangsangan yang pada umumnya
tidak menyebabkan nyeri) dapat terjadi. Gejala biasanya bertahan lama, dan tetap ada
setelah penyebab utama diatasi (bila penyebab utama ditemukan) karena sistem saraf
pusat telah disensitisasi dan ditata ulang.11,12
2.7 Diagnostik Nyeri
Nyeri merupakan suatu keluhan. Berkenaan dengan hal ini diagnostic nyeri
sesuai dengan usaha untuk mencari penyebab terjadinya nyeri. Langkah ini meliputi
langkah anamnesa, pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan
radiologi serta pemeriksaan imagin. Dengan demikian diagnostic terutama ditujukan
untuk mencari penyebab. Dengan menanggulangi penyebab, keluhan nyeri akan
mereda atau hilang.5
Tabel 4. Evaluasi nyeri

16

a. Anamnesis yang teliti


Dengan melakukan anamnesis terhadap nyeri kita harus mengetahui bagaimana
riwayat klinik (awitan nyeri, perjalanan penyakit, mencari penyakit dasar, riwayat
pengobatan), sifat keluhannya, kualitas nyeri yang diderita dan variasi yang
ditimbulkan untuk mengetahui penyebab nyeri, factor yang meringankan atau
memperberat nyeri, dan anamnesis psikologis (kecemasan, depresi, gangguan tidur)
apakah dirasakan diseluruh tubuh atau hanya pada bagian tubuh tertentu.
Intensitasnya nyeri juga penting ditanyakan atau memperingan nyeri. Tanyakan pula
tentang penyakit sebelumnya, pengobatan yang pernah dijalanni dan alergi obat.5
b. Pemeriksaan fisik
Pemeriksan fisik yang benar sangat diperlukan untuk menguraikan patofisiologi
nyeri. Pemeriksaan vital sign sangat penting dilakukan untuk mendapatkan
hubungannya dengan intensitas nyeri karena menyebabkan stimulus simpatik seperti
takikardia, hiperventilasi dan hipertensi. Pemeriksaan Glascow coma scale rutin
dilaksanakan untuk mengetahui apakah ada proses patologi di intracranial.
Pemeriksaan khusus neurologi seperti adanya gangguan sensorik sangat penting
dilakukan dan yang perlu diperhatikan adalah adanya hipoastesia, hiperastesia,
hiperpatia dan alodinia pada daerah nyeri yang penting menggambarkan kemungkinan
nyeri neuropatik.5
c. Pemeriksaan psikologis
Mengingat factor kejiwaan sangat berperan penting dalam manifestasi nyeri
yang subjektif, maka pemeriksaan psikologis juga merupakan bagian yang harus
dilakukan dengan seksama agar dapat menguraikan factor-faktor kejiwaan yang
menyertai. Dari kesadaran, saraf-saraf kranial, motoric, sensorik, otonom, dan fungsi
luhur. Test yang biasanya digunakan untuk menilai psikologis pasien berupa The
Minnesota

Multiphasic

Personality

Inventory

(MMPI).

Dalam

mengetahui

permasalahan psikologis yang ada maka akan memudahkan dalam pemilihan obat
yang tepat untuk penanggulangan nyeri.5
d. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan bertujuan untuk mengetahui penyebab
dari nyeri. Pemeriksaan yang dilakukan seperti pemeriksaan laboratorium (darah
rutin, urin dan pemeriksaan cairan serebrospinalis) dan pemeriksaan elektrofisiologis
motoric, sensorik dan quantitative sensory testing, neuroimaging seperti foto polos,
USG, CT scan, MRI atau bone-scan.5
17

2.8 Intensitas Nyeri


Intensitas nyeri adalah gambaran tentang seberapa parah nyeri dirasakan oleh
individu, pengukuran intensitas nyeri sangat subjektif dan individual dan
kemungkinan nyeri dalam intensitas yang sama dirasakan sangat berbeda oleh dua
orang yang berbeda oleh dua orang yang berbeda. Pengukuran nyeri dengan
pendekatan objektif yang paling mungkin adalah menggunakan respon fisiologik
tubuh terhadap nyeri itu sendiri. Namun, pengukuran dengan teknik ini juga tidak
dapat memberikan gambaran pasti tentang nyeri itu sendiri.3,4,5

Gambar 5. No 1-3 Skala Intensitas Nyeri


Keterangan:

0:Tidak nyeri5
1-3:Nyeri ringan, secara obyektif pasien dapat berkomunikasi dengan baik5
4-6:Nyeri sedang, secara obyektif pasien mendesis, menyeringai, dapat
menunjukkan lokasi nyeri, dapat mendeskripsikannya, dapat mengikuti

perintah dengan baik5


7-9: Nyeri berat, secara obyektif pasien terkadang tidak dapat mengikuti
perintah tapi masih respon terhadap tindakan, dapat menunjukkan lokasi nyeri,
tidak dapat mendeskripsikannya, tidak dapat diatasi dengan alih posisi nafas
panjang dan distraksi

18

10:Nyeri sangat berat, pasien sudah tidak mampu lagi berkomunikasi5


Karakteristik paling subyektif pada nyeri adalah tingkat keparahan atau

intensitas nyeri tersebut. Pasien seringkali diminta untuk mendeskripsikan nyeri


sebagai yang ringan, sedang atau parah.3,4,5
Skala deskritif merupakan alat pengukuran tingkat keparahan nyeri yang lebih
obyektif. Skala pendeskripsi verbal (Verbal Descriptor Scale) merupakan sebuah garis
yang terdiri dari tiga sampai lima kata pendeskripsi yang tersusun dengan jarak yang
sama di sepanjang garis. Pendeskripsi ini diranking dari tidak terasa nyeri sampai
nyeri yang tidak tertahankan. Perawat menunjukkan pasien skala tersebut dan
meminta pasien untuk memilih intensitas nyeri terbaru yang ia rasakan. Perawat juga
menanyakan seberapa jauh nyeri terasa paling menyakitkan dan seberapa jauh nyeri
terasa paling tidak menyakitkan.
Skala

nyeri

harus

dirancang

sehingga

mudah

digunakan dan

tidak

mengkomsumsi banyak waktu. Apabila pasien dapat membaca dan memahami skala,
maka deskripsi nyeri akan lebih akurat. Skala deskritif bermanfaat bukan saja dalam
upaya mengkaji tingkat keparahan nyeri, tapi juga, mengevaluasi perubahan kondisi
pasien. Perawat dapat menggunakan setelah terapi atau saat gejala menjadi lebih
memburuk atau menilai apakah nyeri mengalami penurunan atau peningkatan.3,4,5
Skala penilaian numerik (Numerical Pain Intensity Scales) lebih digunakan
sebagai pengganti alat pendeskripsi kata. Dalam hal ini, pasien menilai nyeri dengan
menggunakan skala 0-10. Skala paling efektif digunakan saat mengkaji intensitas
nyeri sebelum dan setelah intervensi terapeutik.34,5
Skala analog visual (Visual Analog Scale) tidak melebel subdivisi. VAS adalah
suatu garis lurus, yang mewakili intensitas nyeri yang terus menerus dan pendeskripsi
verbal pada setiap ujungnya. Skala ini memberi pasien kebebasan penuh untuk
mengidentifikasi keparahan nyeri. VAS dapat merupakan pengukuran keparahan nyeri
yang lebih sensitif karena klien dapat mengidentifikasi setiap titik pada rangkaian dari
pada dipaksa memilih satu kata atau satu angka.

19

Gambar 6. Skala Analog Visual


2.9 Penatalaksanaan Farmakologis
Terapi secara farmakologis pada nyeri inflamasi yang utama adalah OAINS,
Terdapat tiga kelompok obat nyeri yaitu analgesik non opioid, analgesik opioid dan
antagonis dan agonis-antagonis opioid. Kelompok keempat obat disebut adjuvan atau
koanalgesik. Nyeri akut dan nyeri kronik memerlukan pendekatan terapi yang
berbeda. Pada penderita nyeri akut, diperlukan obat yang dapat menghilangkan nyeri
dengan cepat. Pasien lebih dapat mentolerir efek samping obat daripada nyerinya.
Pada penderita kronik, pasien kurang dapat mentolerir efek samping obat. Istilah
3pukul dulu, urusan belakang tampak cukup tepat untuk menggambarkan prinsip
tatalaksana nyeri akut. Prinsip pengobatan nyeri akut dan berat (nilai Visual Analogue
Scale = 7-10) yaitu pemberian obat yang efek analgetiknya kuat dan cepat dengan
dosis optimal. Pada nyeri akut, dokter harus memilih dosis optimum obat dengan
mempertimbangkan kondisi pasien dan keparahan nyeri. Pada nyeri kronik, dokter
harus mulai dengan dosis efektif yang serendah mungkin untuk kemudian
ditingkatkan sampai nyeri terkendali. Pemilihan obat awal pada nyeri kronik
ditentukan oleh keparahan nyeri. Protokol ini dikenal dengan nama WHO analgesic
ladder.13,14

20

Gambar 7. Analgesik OPIOD


2.9.1 Penatalaksanaan Nyeri Nosiseptif
Nyeri nosiseptif timbul akibat stimulasi reseptor nyeri yang berasal dari organ
visceral. Stimulus nyeri berkaitan dengan inflamasi jaringan, deformasi mekanik,
injuri yang sedang berlangsung atau destruksi. Oleh karena itu penting untuk mencari
dan mengobati jaringan yang rusak atau yang mengalami inflamasi sebagai penyebab
nyeri. Sebagai contoh, pasien datang dengan nyeri nosiseptif akibat polymyalgia
rheumatic maka diberikan kortikosteroid sistemik.13
Nyeri nosisepsi ini sendiri dapat berupa akut maupun kronik. Bahwa nyeri
nosisepsi yang akut itu berupa kerusakan soft tissue atau inflamasi. Hal ini lebih
mudah ditangani, yaitu dapat dengan menghilangkan penyebab nyeri itu sendiri
misalnya seperti yang dikemukakan diatas, yaitu dengan pemberian opioid misalnya
morfin, sedangkan yang non-opioid dapat berupa aspirin yang mekanisme kerjanya
menginhibisi sintesis prostaglandin dan parasetamol. Selain itu dapat juga diberikan
analgesia regional baik secara sederhana yaitu dengan blok saraf dan anestesi,
maupun dengan teknologi tinggi berupa epidural dan anastetik opioid. Untuk nyeri
nosisepsi kronik, penanganannya berupa terapi farmaka, blok transmisi saraf.
Obat adalah bentuk pengendalian nyeri yang paling sering digunakan. Terdapat
tiga kelompok obat nyeri yaitu analgesik non opioid, analgesik opioid dan antagonis

21

dan agonis-antagonis opioid. Kelompok keempat obat disebut analgesik atau


koanalgesik. Penatalaksanaan farmakologik dengan obat-obat analgesik harus
digunakan dengan menerapkan pendekatan bertahap. Ada pula mengatasi nyeri secara
terpadu yaitu bila pada proses transduksi diberikan NSAID, bila pada proses transmisi
diberikan anestesi dan bila pada proses modulasi diberikan narkotik.
1.Analgesik non-opioid
Langkah pertama, sering efektif untuk penatalaksanaan nyeri ringan sampai
sedang, menggunakan analgesik non-opioid, terutama asetaminofen dan OAINS.
Tersedia bermacam-macam OAINS dengan efek antipiretik, analgesik, dan anti
inflamasi (kecuali asetaminofen). OAINS yang sering digunakan adalah asam asetil
salisilat (aspirin) dan ibuprofen. OAINS sangat efektif untuk mengatasi nyeri akut
derajat ringan, penyakit meradang yang kronik seperti artritis, dan nyeri akibat kanker
ringan.15

Gambar 8. Pembagian Obat Anti Inflamasi Non Steroid


OAINS menghasilkan analgesia dengan bekerja di tempat cedera melalui
inhibisi sintesis prostaglandin dari prekusor asam arakidonat. Prostaglandin
mensensitisasi nosiseptor dan bekerja secara sinergis dengan produk inflamatorik lain
di tempat cedera, misalnya bradikinin dan histamine, untuk menimbulkan
hiperalgesia. Dengan demikian, OAINS mengganggu mekanisme transduksi di
nosiseptor dengan menghambat sintesis prostaglandin. Efek samping yang sering
adalah iritasi gastrointestinal atau ulkus peptikum dan menghambat agregasi platelet.
Inhibitor COX-2 spesifik (seperti celecoxib dan lumiracoxib) mengurangi resiko efek
samping tersebut. Inhibitor COX-2 bersifat selektif karena hanya menghambat COX2. Tidak terpengaruhnya jalur COX-1 ini melindungi produk-produk prostaglandin
yang baik yang diperlukan untuk fungsi fisiologis seperti melindungi mukosa
lambung dan filtrasi glomerulus di ginjal. Cox-1-Cox-2 inhibitor adalah ibuprofen,

22

mefenamic acid, dan diclofenac. COX-1 inhibitor adalah piroxicam, indomethacin.


COX-2 selektif adalah nabumetone, meloxicam, etodolac, nimesulide.15

Gambar 9. Mekanisme kerja NSAID

Gambar 10. Paradigm baru NSAID


Berbeda dengan opioid, OAINS tidak menimbulkan ketergantungan atau
toleransi fisik. Semua memiliki ceiling effect yaitu peningkatan dosis melebihi kadar
tertentu tidak menambah efek analgesik. Penyulit yang tersering berkaitan dengan
23

pemberian OAINS adalah gangguan saluran cerna, meningkatnya waktu pendarahan,


pengelihatan kabur, perubahan minor uji fungsi hati, dan berkurangnya fungsi hati,
dan berkurangnya fungsi ginjal.
Tabel 5. Obat dan dosis OAINS
Nama obat
Aspirin
Kalium diklofenak
Natrium diklofenak
Ibuprofen
Asam mefenamat
Naproksen
Piroksikam
Tenoksikam
Meloksikam
Celecoxib
Ketorolac
Asetaminofen
2. Analgesik opioid

Dosis oral
325-1000 mg
50-200 mg
50 mg
200-800 mg
250 mg
250-500 mg
10-20 mg
20-40 mg
7,5-15 mg
100-200 mg
10-3- mg
500-1000 mg

Jadwal pemberian
4-6 jam sekali
8 jam sekali
8 ja msekali
4-8 jam sekali
6 jam sekali
12 jam sekali
12-24 jam sekali
24 jam sekali
24 jam sekali
12 jam sekali
4-6 jam sekali
4 jam sekali

Analgesik opioid merupakan kelompok obat yang memiliki sifat-sifat seperti


opium atau morfin. Opioid saat ini adalah analgesik paling kuat yang tersedia dan
digunakan dalam penatalaksanaan nyeri sedang-berat sampai berat. Analgesik opioid
efektif dalam penanganan nyeri nosiseptif maupun neuropatik. Obat-obat ini
merupakan patokan dalam pengobatan nyeri pascaoperasi dan nyeri terkait kanker.
Morfin adalah salah satu obat yang paling luas digunakan untuk mengobati nyeri berat
dan masih menjadi standar pembanding untuk menilai obat anlgesik lain.13,14,15
Berbeda dengan OAINS, yang bekerja di perifer, morfin menimbulkan efek
analgesiknya di sentral. Mekanisme pasti kerja opioid telah semakin jelas sejak
penemuan resptor-reseptor opioid endogen di sistem limbik, talamus, PAG, substansia
gelatinosa, kornu dorsalis dan usus. Opioid endogen seperti morfin menimbulkan efek
dengan mengikat reseptor opioid dengan cara serupa dengan opioid endogen
(endorfin-enkefalin); yaitu morfin memiliki efek agonis (meningkatkan kerja
reseptor). Dengan mengikat reseptor opioid di nukleus modulasi-nyeri di batang otak,
morfin menimbulkan efek pada sistem-sistem desenden yang menghambat nyeri.
Obat-obat golongan opioid memiliki pola efek samping yang sangat mirip
termasuk depresi pernafasan, mual, muntah, sedasi, dan konstipasi. Selain itu, semua
opioid berpotensi menimbulkan toleransi, ketergantungan dan ketagihan (adiksi).
Toleransi adalah kebutuhan fisiologik untuk dosis yang lebih tinggi untuk
mempertahankan efek analgesik obat. Toleransi terhadap opioid tersebut diberikan
24

dalam jangka panjang, misalnya pada terapi kanker. Walaupun terdapat toleransi
silang yang cukup luas diantara obat-obat opioid, hal tersebut tidaklah komplit.
Misalnya codein, tramadol, morfin solutio.5,15
Tabel 6. Obat dan dosis analgesic Opioid
Nama obat
Dosis oral
Morfin
10-100 mg
Kodein
30-65 mg
Metadon
5-20 mg
Hidrokodon
30 mg
Tramadol
50-100 mg
3. Antagonis dan agonis-antagonis opioid

Jadwal pemberian
Tiap 4 jam
Tiap 3-4 jam
Per hari
Tiap 3-4 jam
6 jam sekali

Antagonis opioid adalah obat yang melawan efek obat opioid dengan mengikat
reseptor opioid dan menghambat pengaktifannya. Nalokson adalah suatu antagonis
opioid murni, menghilangkan analgesia dan efek samping opioid. Nalokson
digunakan untuk melawan efek kelebihan dosis narkotik, yaitu yang paling serius
adalah depresi nafas dan sedasi. Dosis 0,4 mg 2 mg.5,15
Obat opioid lain adalah kombinasi agonis dan anatagonis, seperti pentazosin
(talwin) dan butorfanol (stadol). Apabila diberikan kepada pasien yang bergantung
pada narkotik, maka obat-obat ini dapat memicu gejala-gejala putus obat. Agonisantagonis opioid adalah analgetik efektif apabila diberikan tersendiri dan lebih kecil
kemungkinannya menimbulkan efek samping yang tidak diinginkan (misalnya depresi
pernafasan) dibandingkan dengan antagonis opioid murni.
4. Adjuvan atau koanalgesik
Obat adjuvan adalah obat yang semula dikembangkan untuk tujuan selain
menghilangkan nyeri tetapi kemudian ditemukan memilki sifat analgetik atau efek
komplementer dalam penatalaksanaan pasien dengan nyeri. Sebagian dari obat ini
sangat efektif dalam mengendalikan nyeri neuropatik yang mungkin tidak berespon
terhadap opioid. Adjuvan lain untuk analgesik adalah agonis reseptor adrenergic-alfa
(misalnya, agonis alfa-2, klonidin), yang sering diberikan secara intraspinal bersama
dengan opioid atau analgesik local, obat ini juga memiliki efek analgetik apabila
diberikan secara sistemis karena memulihkan respon adrenergic simpatis yang
berlebihan di reseptor sentral dan perifer.15
2.9.2 Penatalaksanaan Nyeri Neuropatik
Tujuan keseluruhan dalam pengobatan nyeri adalah mengurangi nyeri sebesarbesarnya dengan kemungkinan efek samping paling kecil. Terdapat dua metode umum

25

untuk terapi nyeri yaitu secara farmakologik dan non farmakologik. Obat-obatan yang
banyak digunakan sebagai terapi nyeri neuropati adalah anti depresan trisiklik dan
anti konvulsan karbamasepin.16
1. Anti depresan
Dari berbagai jenis anti depresan, yang paling sering digunakan untuk terapi
nyeri neuropati adalah golongan trisiklik, seperti amitriptilin, imipramin, maprotilin,
desipramin. Mekanisme kerja anti depresan trisiklik (TCA) terutama mampu
memodulasi transmisi dari serotonin dan norepinefrin (NE). Anti depresan trisiklik
menghambat pengambilan kembali serotonin (5-HT) dan noradrenalin oleh reseptor
presineptik. Disamping itu, anti depresan trisiklik juga menurunkan jumlah reseptor 5HT (autoreseptor), sehingga secara keseluruhan mampu meningkatkan konsentrasi 5HT dicelah sinaptik. Hambatan reuptake norepinefrin juga meningkatkan konsentrasi
norepinefrin dicelah sinaptik. Peningkatan konsentrasi norepinefrin dicelah sinaptik
menyebabkan penurunan jumlah reseptor adrenalin beta yang akan mengurangi
aktivitas adenilsiklasi. Penurunan aktivitas adenilsiklasi ini akan mengurangi siklik
adenosum monofosfat dan mengurangi pembukaan Si-Na. Penurunan Si-Na yang
membuka berarti depolarisasi menurun dan nyeri berkurang.5
Table 7. Obat dan dosis Anti depresan
Nama obat

Amitriptilin

Dosis oral

100-200 mg

Frekuensi

Efek

Efek

Efek

antikolinergik

hipotensi

sedasi

ortostatik
Sedang

Tinggi

kali Tinggi

Klomipramin 100-250 mg

sehari
4
kali Sedang

Sedang

Sedang

Nortriptilin

10-150 mg

sehari
2-4
kali Sedang

Rendah

Sedang

10-300 mg

sehari
2-4
kali Rendah

Rendah

Rendah

Desipramin

sehari
2. Anti konvulsan
Anti konvulsan merupakan gabungan berbagai macam obat yang dimasukkan
kedalam satu golongan yang mempunyai kemampuan untuk menekan kepekaan
abnormal dari neuron-neuron di sistem saraf sentral. Seperti diketahui nyeri neuropati
timbul karena adanya aktifitas abnormal dari sistem saraf. Nyeri neuropati dipicu oleh
hipereksitabilitas sistem saraf sentral yang dapat menyebabkan nyeri spontan dan

26

paroksismal. Reseptor NMDA dalam influks Ca2+ sangat berperan dalam proses
kejadian wind-up pada nyeri neuropati. Prinsip pengobatan nyeri neuropati adalah
penghentian proses hiperaktivitas terutama dengan blok Si-Na atau pencegahan
sensitisasi sentral dan peningkatan inhibisi.5
Karbamasepin dan Okskarbasepin, mekanisme kerja utama adalah memblok
voltage-sensitive sodium channels (VSSC). Efek ini mampu mengurangi cetusan
dengan frekuensi tinggi dari neuron. Okskarbasepin dengan dosis 900-1800 mg /hari
dengan jadwal pemberian 2-4 kali sehari merupakan anti konvulsan yang struktur
kimianya mirip karbamasepin maupun amitriptilin. Dari berbagai uji coba klinik,
pengobatan dengan okskarbasepin pada berbagai jenis nyeri neuropati menunjukkan
hasil yang memuaskan, sama, atau sedikit diatas karbamazepin dengan dosis 1001000 mg/hari dengan jadwal pemberian 2-4 kali sehari, hanya saja okskarbasepin
mempunyai efek samping yang minimal.
Lamotrigin, merupakan anti konvulsan baru untuk stabilisasi membran melalui
VSCC, merubah atau mengurangi pelepasan glutamat maupun aspartat dari neuron
presinaptik, meningkatkan konsentrasi GABA di otak. Khusus untuk nyeri neuropati
penderita HIV, digunakan lamotrigin sampai dosis 100-300 mg/hari dengan jadwal
pemberian 2 kali. Hasilnya, efektivitas lamotrigin lebih baik dari plasebo, tetapi 11
dari 20 penderita dilakukan penghentian obat karena efek samping. Efek samping
utama lamotrigin adalah skin rash, terutama bila dosis ditingkatkan dengan cepat.
Gabapentin, akhir-akhir ini penggunaan gabapentin untuk nyeri neuropati cukup
populer dengan dosis 300-1500 mg/hari dnegan jadwal pemberian 2-4 kali sehari,
mengingat efek yang cukup baik dengan efek samping minimal. Khusus obat cukup
efektif mengurangi intensitas nyeri diantaranya untuk nyeri neuropati diabetika, nyeri
pasca herpes, nyeri neuropati sehubungan dengan infeksi HIV, nyeri neuropati
sehubungan dengan kanker dan nyeri neuropati deafferentasi. Dalochio, Nicholson
mengatakan bahwa gabapentin dapat digunakan sebagai terapi berbagai jenis
neuropati sesuai dengan kemampuan gabapentin yang dapat masuk kedalam sel untuk
berinteraksi dengan reseptor yang merupakan subunit dari Ca2+-channel.5
2.9.3 Penatalaksanaan Nonfarmakologis Nyeri Nosiseptif dan Nyeri Neurogenik
Dikembangkannya sejumlah metode nonfarmakologis untuk mengatasi nyeri.
Metode nonfarmakologik untuk mengendalikan nyeri dapat dibagi menjadi dua
kelompok yaitu terapi dan modalitas fisik serta strategi kognitif-perilaku. Sebagian
27

dari modalitas ini mungkin berguna walaupun digunakan secara tersendiri atau
digunakan sebagai adjuvan dalam penatalaksanaan nyeri.5,13,14,16
1. Terapi dan Modalitas Fisik5
Terapi fisik untuk meredakan nyeri mencakup beragam bentuk stimulasi kulit
(pijat, stimulasi saraf dengan listrik transkutis, akupuntur, aplikasi panas atau dingin,
olahraga). Stimulasi kulit akan merangsang serat-serat non-nosiseptif yang
berdiameter besar untuk menutup gerbang bagi serat-serat berdiameter kecil yang
menghantarkan nyeri sehingga nyeri dapat dikurangi. Dihipotesiskan bahwa stimulasi
kulit juga dapat menyebabkan tubuh mengeluarkan endorfin dan neurotransmiter
lainnya yang menghambat nyeri.
Salah satu strategi stimulasi yang paling sering digunakan adalah pemijatan atau
penggosokan. Pijat dapat dilakukan dengan jumlah tekanan dan stimulasi yang
bervariasi terhadap berbagai titik diseluruh tubuh. Pijat akan melemaskan ketegangan
otot dan meningkatkan sirkulasi lokal. Pijat punggung memiliki efek relaksasi yang
kuat dan apabila dilakukan oleh individu yang penuh perhatian maka akan
menghasilkan efek emosional yang positif.
Stimulasi saraf dengan listrik melalui kulit (TENS) terdiri dari suatu alat yang
digerakkan oleh batre yang mengirim impuls listrik lemah melalui elektroda yang
diletakkan di tubuh. Elektroda pada umumnya diletakkan diatas atau dekat dengan
bagian yang nyeri. TENS digunakan untuk penatalaksanaan nyeri akut dan kronik
seperti nyeri pascaoperasi, nyeri punggung bawah, phantom limb pain, neuralgia
perifer dan artritis rematoid.
Akupuntur berupa insersi jarum halus ke dalam berbagai titik akupuntur di
seluruh tubuh untuk meredakan nyeri. Metode noninvasif lain untuk merangsang titiktitik pemicu adalah memberi tekanan dengan ibu jari, suatu teknik yang disebut
akupresur.
Range of motion (ROM) exercise (pasif, dibantu, atau aktif) dapat digunakan
untuk melemaskan otot, memperbaiki sirkulasi dan mencegah nyeri yang berkaitan
dengan kekakuan dan imobilitas.
Aplikasi panas adalah tindakan sederhana sebagai metode yang efektif untuk
mengurangi nyeri kronik atau kejang otot. Diberikan untuk mengurangi atau
menghilangkan rasa sakit, kekakuan otot dan kekakuan sendi.
Terdapat 2 macam pemanasan:

28

Pemanasan dangkal
Karena daya tembusnya hanya beberapa milimeter saja. Misalnya lampu sinar
merah infra, bantal hidrokolataor atau botol berisi air panas
Pemanasan dalam (diatermi)
- Diatermi gelombang pendek: menggunakan arus listrik frekuensi tinggi yang
-

diubah menjadi panas sewaktu melintasi jaringan


Diatermi gelombang mikro: menggunakan radiasi elektromagnet dengan

efek pemanasan jaringan


Diatermi ultrasonik: mengunakan gelombang suara dengan frekuensi diatas
17.000 Hz

Panas dapat disalurkan melalui konduksi (botol air panas, bantalan pemanas
listrik, lampu, kompres basah panas), konveksi (whirpool, sitz bath, berendam air
panas), konversi (ultrasonografi, diatermi). Nyeri akibat memar, spasme otot, dan
artritis berespon baik terhadap panas. Karena melebarkan pembuluh darah dan
meningkatkan aliran darah lokal, panas jangan digunakan setelah cidera traumatik
saat masih ada edema dan peradangan. Karena meningkatkan aliran darah, panas
mungkin meredekan nyeri dengan menyingkirkan produk-produk inflamasi seperti
bradikinin, histamin, dan prostaglandin yang menimbulkan nyeri lokal.
Aplikasi dingin efektif untuk nyeri akut (misalnya trauma akibat luka bakar,
tersayat, dan terkilir). Dingin dapat disalurkan dalam bentuk berendam atau
komponen air dingin, kantung es, dan pijat es. Aplikasi dingin mengurangi aliran
darah ke suatu bagian dan mengurangi edema serta perdarahan. Diperkirakan bahwa
terapi dingin menimbulkan efek analgetik dengan memperlambat kecepatan hantaran
saraf sehingga impuls nyeri yang mencapai otak lebih sedikit. Mekanisme lain yang
mungkin bekerja bahwa persepsi dingin menjadi dominan dan mengurangi persepsi
nyeri.
R: Rest, mengistirahatkan bagian yang cedera
I: Ice, pendinginan untuk mengurangi nyeri dan pendarahan
C: Compression, penekanan dengan maksud membatasi pembengkakan
E: Elevation, meninggikan letak bagian tubuh yang mengalami cedera, sampai lebih
tinggi dari jantung agar gaya berat dapat membantu penyaluran cairan yang
berlebihan
2. Strategi kognitif-perilaku5
Strategi kognitif-perilaku bermanfaat dalam mengubah persepsi pasien terhadap

29

nyeri, mengubah perilaku nyeri, dan memberi pasien perasaan yang lebih mampu
untuk mengendalikan nyeri. Strategi-strategi ini mencakup relaksasi, penciptaan
khayalan (imagery), hipnosis, dan biofeedback. Walaupun sebagian besar metode
kognitif-perilaku menekankan salah satu relaksasi atau pengelihatan, pada praktik
keduanya tidak dapat dipisahkan.
Cara lain untuk menginduksi relaksasi adalah dengan olahraga dan bernafas
dalam, meditasi dan mendengarkan musik-musik yang menenangkan. Teknik-teknik
relaksasi akan mengurangi rasa cemas, ketegangan otot, dan stress emosi sehingga
memutuskan siklus nyeri-stress-nyeri, saat nyeri dan stress saling memperkuat.
Teknik-teknik pengalihan mengurangi nyeri dengan memfokuskan perhatian
pasien pada stimulus lain dan menjauhi nyeri. Menonton televisi, membaca buku,
mendengar musik, dan melakukan percakapan.
Penciptaan khayalan dengan tuntutan adalah suatu bentuk pengalihan fasilator
yang mendorong pasien untuk mevisualisasikan atau memikirkan pemandangan atau
sensasi yang menyenangkan untuk mengalihkan perhatian menjauhi nyeri. Tehnik ini
sering dikombinasikan dengan relaksasi.
Hipnosis adalah suatu metode kognitif yang bergantung pada bagaimana
memfokuskan perhatian pasien menjauhi nyeri; metode ini juga bergantung pada
kemampuan ahli terapi untuk menuntun perhatian pasien ke bayangan-bayangan yang
paling konstruktif.

BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Nyeri nosiseptif merupakan suatu nyeri yang ditimbulkan oleh suatu rangsangan
pada nosiseptor. Reseptor dari nyeri nosiseptif adalah serabut A-delta yang
menghantarkan nyeri cepat dan serabut C yang menghantarkan nyeri lambat.
Komponen dari nyeri nosiseptif terdiri dari transduksi, transmisi, modulasi, dan
persepsi. Penanganan dari nyeri nosiseptif terdiri dari farmakologik dan nonfarmakologik.
Nyeri neuropati adalah nyeri yang disebabkan oleh penyakit atau kerusakan dari
sistem saraf pusat atau perifer, dan dari disfungsi sistem saraf. Nyeri neuropati bisa
30

terjadi pada perifer dan central dari sistem saraf dengan patofisiologi dari penyakit
masing-masing. Seseorang dengan nyeri neuropati akan memiliki beraneka ragam
gejala klinis seperti rasa tidak nyaman, kesemutan, geli, rasa terbakar, baal, dan lainlain.
Maka dari itu dibutuhkan pemeriksaan untuk menegakkan diagnosis nyeri
sehingga dapat dilakukan tatalaksana yang tepat dan cepat. Penatalaksanaan terhadap
nyeri neuropati berdasarkan penyebab nyeri tersebut dengan cara injeksi, fisioterapi,
maupun pembedahan.

BAB IV
DAFTAR PUSTAKA
1.Latief SA. Petunjuk praktis anestesiologi. Edisi ke-2. Jakarta: Pusat penerbitan
FKUI; 2001.
2.Morgan GE. Pain management, In: Clinical Anesthesiology 2 nded. Stamford:
Appleton and Lange; 1996. P274-316.
3. Hamill, RJ. The assessment of pain, In: Handbook of Critical Care Pain
Management. New york: McGrow-Hill Inc; 1994. P13-25.
4.Pain. The American journal of managed care. June; 2006. 12: S256-62.
5.Suryamiharja A, et all. Konsesus nasional 1 diagnostik dan penatalaksanaan
nyeri neuropatik. Cetakan ke-1. Surabaya: Pusat penerbitan dan percetakan

31

unair; 2011. H1-60.


6.Portenoy, Russel. Types of Pain. U.S.A.: Merck Sharp & Dohme Corp; 2011.
7. Hadinoto SH, Setiawan, Soetedjo. Nyeri pengenalan dan tatalaksana. Cetakan
ke-1. Semarang: Pusat penerbitan FK Undip RS Kariadi; 1991. H1-41.
8.Nicholson B. Differential diagnosis: Nociceptive and Neuropathic pain. The
American journal of managed care. June; 2006. 12: s256-62.
9.Handwerker, Hermann O. Nociceptors: neurogenic inflammation. In: Handbook
of Clinical Neurology. 8t ed. 2005. P29-3.
10. Dupere D. Neuropathic pain: An option overview. The Canadian journal of
CME. February; 2006. 79: 90-2.
11. Argoff CE. Managing neuropathic pain: New Approaches For Today's Clinical
Practice. [homepage on the internet] 2002: Available from: URL :
http://www.medscape.org/viewarticle/453496, diunduh tanggal 5 desember
2013.
12. American Chronic Pain Ascociation. Neuropathic pain. Diunduh dari
http://www.theacpa.org/conditionDetail.aspx?id=29,

diunduh

tanggal

desember 2013
13. Gidal B, Billington R. New and emerging treatment option for neuropatic
pain. The American Journal of Managed Care: Juni; 2006. 12(9): S269-78.
14. Grayson CE. Pain management: Neuropathic Pain. Diunduh dari
http://www.medicinenet.com/script/main/art.asp?articlekey=42085, tanggal 5
desember 2013.
15. Santoso SO, Dewoto HR. Analgesik opioid dan antagonis. Farmakologi dan
terapi. 4thed. Jakarta: FKUI; 2004. p.189-97.
16. Cole BE. Pain management: Classifying, Understanding, and Treating Pain.
Diunduh dari http://www.turner-white.com/pdf/hp_jun02_pain.pdf, tanggal 5
desember 2013.

32

Anda mungkin juga menyukai