Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
HALAMAN PENGESAHAN
CASE REPORT SESSION
GENERAL ANESTESIA PADA LAPARASKOPI
Oleh:
Ananda Ulandari, S.Ked
G1A213020
KATA PENGANTAR
Penulis menyampaikan segala puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan CRS
yang berjudul General Anestesia pada Laparaskopi sebagai kelengkapan
persyaratan dalam mengikuti Kepaniteraan Klinik Senior Bagian Anestesi Rumah Sakit
Raden Mattaher Provinsi Jambi.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Sulistyowati, Sp.An yang telah
bersedia meluangkan waktu dan pikirannya untuk membimbing penulis dengan selama
menjalani Kepaniteraan Klinik Senior Bagian Anestesi Rumah Sakit Raden Mattaher
Provinsi Jambi.
Penulis menyadari bahwa CRS ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu
kritik dan saran yang bersifat membangun dari berbagai pihak sangat diharapkan guna
kesempurnaan
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
Kista ovarium adalah suatu kantung yang berisi cairan atau materi semisolid
yang tumbuh pada atau sekitar ovarium. Kista ovarium ditemukan pada sonogram
transvaginal pada wanita premenopause dan 18% pada wanita postmenopausal. Ratarata kista yang ditemukan bersifat jinak. Umumnya kista fungsional terjadi pada usia
reproduktif, namun bisa pada segala usia. Kista ovarium merupakan jenis yang paling
sering terjadi terutama yang bersifat non neoplastik.
Kista ovarium adalah suatu kantung yang berisi cairan atau materi semisolid
yang tumbuh pada atau sekitar ovarium. Rata-rata kista yang ditemukan bersifat jinak.
Umumnya kista fungsional terjadi pada usia reproduktif, namun bisa pada segala usia.
Kista ovarium merupakan jenis yang paling sering terjadi terutama yang bersifat non
neoplastik. Di Indonesia, frekuensi kista sebesar 27%.
Sedangkan untuk kistadenoma ovarii serosum ditemukan dalam frekuensi yang
hampir sama dengan kistadenoma musinosum dan dijumpai pada golongan umur yang
sama. Angka kejadian kista bilateral (10 20%).
Laparaskopi adalah suatu instrument untuk melihat rongga peritoneum, struktur
rongga perlvik dan dapat juga digunakan untuk tindakan operatif. Laparoskopi operatif
untuk tujuan operasi reproduksi (infertilitas) dimulai sejak tahun 1991. Kemajuannya
berkembang pesat sejalan dengan perkembangan teknologi instrument. Sebagai sarana
diagnostik dengan hasil yang akurat dan temuan patologi yang jelas, saat ini dapat
langsung dilanjutkan dengan laparoskopi operatif terhadap patologi yang ditemukan.1,2
Anestesi berasal bahasa Yunani an-"tidak, tanpa" dan aesthtos "persepsi,
kemampuan untuk merasa"), secara umum berarti suatu tindakan menghilangkan
rasa sakit ketika melakukan pembedahan dan berbagai prosedur lainnya yang
menimbulkan rasa sakit pada tubuh. Anestesi umum bekerja di Susunan Saraf
Pusat, sedangkan anestetik lokal bekerja langsung pada Serabut Saraf di Perifer. 3
Anestesi umum (General Anesthesia) disebut pula dengan nama Narkose Umum
(NU).
Anastesi Umum adalah tindakan meniadakan nyeri secara sentral disertai
hilangnya kesadaran dan bersifat reversible. Anestesi umum yang sempurna
BAB II
LAPORAN KASUS
KUNJUNGAN PRA ANESTESI
2.1.
Identitas Pasien
Nama
: Ny. DMG
Umur
: 30 Tahun
: RT 13 Kasang, Jambi
:A
Diagnosis
: kista ovarium
Tindakan
: laparaskopi
Ruangan
: kelas II
No. MR
: 794558
2.2.
2.2.1.
Anamnesis
A. Keluhan Utama
Nyeri perut di sebelah kiri sejak 2 bulan yang lalu..
B. Riwayat Penyakit Sekarang
5 bukan yang lalu, pasien mengeluh keluar darah dari jalan lahir selama 1
bulan. Darah keluar sedikit-sedikit, bergumpal, coklat. Keluhan ini disertai
dengan nyeri. Riwayat menstruasi tidak teratur. 2 bulan yang lalu os mengeluh
nyeri perut, kemudian os terlambat haid, mual muntah (+), tes peck (+), keluar
darah dari jalan lahir (+). 1 bulan yang lalu pasien dikuret PA.
20 hari yang lalu pasien memeriksaan kesehatan ke poli kebidanan untuk
melakukan program hamil. Kemudian dilakukan pemeriksaan USG dan pasien
dicurigai menderita kista ovarium. Pasien kemudian direncanakan untuk
dilakukan laparaskopi. BAB dan BAK tidak ada kelainan. Riwayat menggunakan
gigi palsu tidak ada.
C. Riwayat Penyakit Dahulu
E. Riwayat Kebiasaan
Merokok (-), Alkohol (-)
2.2.2.
Pemeriksaan Fisik
: Compos mentis
GCS
: 15, E4V5M6
1. Tanda vital
- TD :
110/70 mmHg
- N
:
88 x/menit, regular, isi dan tegangan cukup
- S
:
36,5C
- RR :
20 x/menit, reguler
2. Kepala
a. Mata
: sklera ikterik (-/-), conjungtiva anemis (-/-), RC (+/+), edema (-/-)
b. THT
: tonsil T1/T1, tidak ada kesulitan membuka mulut
c. Leher
: pembesaran KGB (-), struma (-), JVP 5-2 cmH2O, kaku kuduk (-)
3. Thorax
Pulmo
- Inspeksi
: pergerakan dada simetris (ka/ki), jejas (-), sikatrik (-), massa (-)
- Palpasi
: massa (-), krepitasi (-), nyeri tekan (-), fremitus taktil simetris
kiri kanan
- Perkusi
- Auskultasi
Cor
- Inspeksi
- Palpasi
- Perkusi
- Auskultasi
4. Abdomen
- Inspeksi : tidak tampak kelainan
- Palpasi : nyeri tekan (-), hepar dan lien tidak teraba, defans muscular (-),
muscle rigidity (-), massa (-).
- Perkusi : timpani (+) normal
- Auskultasi : bising usus (+) normal
5. Pemeriksaan ginekologi
Pemeriksaan luar: palpasi abdomen tidak teraba massa, nyeri tekan (-).
6. Ekstremitas
Akral hangat, edema (-), sianosis (-), CRT < 2, refleks fisiologis (+), refleks
patologis (-). Kekuatan otot 5/5, sensibilitas +/+
2.2.3.
Pemeriksaan Penunjang
1. Darah Rutin
- WBC
: 4,0 103/mm3
- RBC
: 3,92 103/mm3
- Hb
: 11,1 g/dl
- Ht
: 31,2 %
- Trombosit: 284 103/mm
- CT
: 4
- BT
: 2
- LED
: 11
2. Kimia Darah Lengkap
- Protein total : 6,5 g/dl
- Albumin : 4,8 g/dl
- Globulin : 1,7 g/dl
- SGOT
: 14 u/l
- SGPT
: 11 u/l
- Ureum
: 20 mg/dl
- Kreatinin : 0,7 mg/dl
- GDS
: 100 g/dl
3. X-Ray
Cor : normal
Pulmo : KP dupleks
4. CT-Scan
Tidak diperiksa
5. Pemeriksaan Penunjang Lain
PA :
Makroskopik : jaringan tidak beraturan dengan volume 1 cc, kecoklatan, kenyal
Mikroskopik : kelenjar endometrium berdilatasi kistik
Kesan : Anovulatoar bleeding
BAB III
ANESTESI
3.1
: Laparaskopi
Status anestesi
: ASA 1
Malampati
:1
- Fentanyl 50 mg
- Propofol 100 mg
- Atracurium 30 mg + 10 mg + 10 mg + 10 mg
- Kaltropen sup 200 mg
- Tramadol 100 mg
- Ketorolac 30 ml
6. Maintenance : Sevofluran MAC 1-2 % + N2O : O2 (1:1)
7. Respirasi
: Napas kendali dengan Ventilator, Tidal Volume 400 ml,
frekuensi 14x/i
8. Ekstubasi : setelah pasien sadar penuh
Keadaan penderita selama operasi
1. Posisi pasien
: terlentang
2. Intubasi
: Oral, ETT no. 7
3. Penyulit intubasi : tidak ada
4. Penyulit waktu anastesi : tidak ada
5. Lama anastesi
: + 2 jam 45 menit
6. Jumlah cairan
Input
Kebutuhan cairan, diketahui BB 49 kg
- Maintenance (M) = BB X 2 cc = 98 cc
- Deficit cairan karena puasa (P) = M x 6 = 588 cc
- Sress operasi (SO) = BB x 6 cc (operasi sedang) = 294 cc
Kebutuhan cairan selama operasi
Jam I = P + M + O = 686 ml
Jam II = P + M + O = 539 ml
Jam III = P + M + O = 539 ml
Total 1764 ml
Jumlah cairan yang diberikan kepada pasien :
Input : RL 3 kolf 1500 ml
Obat-obatan = 32 ml
Total : 1532 ml
Output : Perdarahan (+ 80 cc), Urine tidak dapat dinilai karena kateter tidak
terpasang.
7. Monitoring :
Jam
10.00
10.15
10.30
10.45
11.00
11.15
11.30
11.45
TD (mmHg)
120/70
111/72
100/70
90/60
90/59
140/96
130/80
130/80
Nadi (x/i)
100
90
77
78
80
81
77
77
10
RR (x/i)
19
14
20
18
22
20
14
15
3.3
12.00
12.15
12.30
132/91
134/86
126/78
12.45
112/68
15
23
95
24
82
14
3.4
78
94
Masuk Jam
: 13.00
Keadaan umum : GCS : 15 (eye 4, motorik 6, verbal 4)
TD = 110/70 mmHg
Nadi = 84 x/menit, regular, kuat angkat
RR = 22x/menit
Skoring Alderete
Aktifitas
:2
Respirasi
:2
Warna kulit : 2
Sirkulasi
:2
Kesadaran : 2
Jumlah
: 10
11
BAB IV
TINJAUAN PUSTAKA
4.1 Kista Ovarium4
4.1.1
Definisi
Kista adalah pertumbuhan abnormal berupa kantong (pocket, pouch)
yang tumbuh abnormal di bagian tubuh tertentu. Kista ada yang berisi udara,
cairan, nanah atau bahan-bahan lain. Kista ovarium adalah suatu kantung yang
berisi cairan atau materi semisolid yang tumbuh pada atau sekitar ovarium. Kista
ovarium merupakan tumor ovarium yang dapat bersifat neoplastik dan non
neoplastik.
4.1.2
Klasifikasi
1. Non-neoplastik (fungsional)
a. Kista folikel
12
b. Cystadenoma serosum
Jenis ini lebih sering terjadi bila dibandingkan dengan mucinosum, tetapi
ukurannya jarang sampai besar sekali. Dinding luarnya dapat menyerupai kista
mucinosum. Pada umumnya kistaini berasal dari epitel permukaan ovarium
(germinal ephitelium).
13
Tumor ini merupakan bagian dari teratoma ovary bedanya ialah bahwa
tumor ini bersifat kistik, jinak dan elemen yang menonjol ialah eksodermal. Selselnya pada tumor ini sudah matang. Kista ini jarang mencapai ukuran yang
besar.
Patogenesis
Tiap bulan, normalnya ovarium yang berfungsi menghasilkan kista kecil
yang disebut folikel Graafian. Pada pertengahan siklus, 1 folikel dominan
dengan ukuran diatas 2,8 cm melepaskan sebuah oosit matur. Folikel yang
rupture tadi menjadi corpus luteum, dimana saat maturitas berukuran 1,5-2 cm
dengan adanya kista di bagian tengah. Bila tidak terjadi fertilisasi pada oosit,
akan terjadi fibrosis dan penyusutan progresif. Namun bila terjadi fertilisasi,
corpus luteum akan membesar fdan secara gradual akan menurun ukuran nya
selama kehamilan.
Kista ovarium berkembang dari proses normal ovulasi yang disebut kista
fungsional dan bersifat jinak. Kista dapat berupa follicular dan luteal, terkadang
disebut kista Techa-lutein. Kista ini dapat distimulasi oleh gonadotropin,
termasuk FSHdan HcG. Kista fungsional multiple dapat terjadi akibat hasil dari
14
Manifestasi Klinis
Kebanyakan wanita yang memiliki kista ovarium tidak memiliki gejala.
Namun kadang kadang kista dapat menyebabkan beberapa masalah seperti :
dan nodul pada ligamentum uterosakral, ini merupakan keganasan atau endometriosis.
Padaperkusi mungkin didapatkan ascites yang pasif.
c. Pemeriksaan Penunjang
1. USG
2. Foto Roentgen
3. Pengukuran serum CA-125
4. Laparoskopi
Perut diisi dengan gas dan sedikit insisi yang dibuat untuk memasukan
laparoskop. Melalui laparoskopi dapat diidentifikasi dan mengambil sedikit
contoh kista untuk pemeriksaan PA.
4.1.7
Diagnosa Banding
Kehamilan
Mioma uteri
Tumor kolon sigmoid
Ginjal ektopik
Limpa bertangkai
Ascites
4.1.8
Penatalaksanaan
Dapat dipakai prinsip bahwa tumor ovarium neoplastik memerlukan operasi dan
tumor non neoplastik tidak. Tumor non neoplastik biasanya besarnya tidak melebihi 5
cm. Tidak jarang tumor-tumor tersebut mengalami pengecilan secara spontan dan
menghilang. Tindakan operasi pada tumor ovarium neoplastik yang tidak ganas adalah
pengangkatan tumor dengan mengadakan reseksi pada bagian ovarium yang
mengandung tumor. Tetapi jika tumornya besar atau ada komplikasi perlu dilakukan
pengangkatan ovarium, disertai dengan pengangkatan tuba.
Seluruh jaringan hasil pembedahan perlu dikirim ke bagian patologi
anatomi untuk diperikasa. Pasien dengan kista ovarium simpleks biasanya tidak
membutuhkan terapi. Penelitian menunjukkan bahwa pada wanita post
menopause, kista yang berukuran kurang dari 5 cm dan kadar CA 125 dalam
batas normal, aman untuk tidak dilakukan terapi, namun harus dimonitor dengan
16
Komplikasi
a. Perdarahan
b. Torsio.
c. Rasa tidak nyaman pada perut dan dapat menekan vesica urinaria
d. Kanker (maligna)
4.1.10 Prognosis
Prognosis untuk kista jinak baik. Dapat residual dan terjadi di ovarium
kontralateral.
4.2 Laparaskopi5,15
Bedah laparoskopi, disebut juga bedah minimally invasive, atau keyhole
surgery merupakan teknik bedah modern dimana operasi abdomen melalui irisan
kecil (biasanya 0,5-1 cm) dibandingkan dengan prosedur bedah tradisional yang
memerlukan irisan yang lebih besar, dimana tangan ahli bedah masuk ke badan
pasien.
Pemanfaatan laparoskopi untuk diagnostik maupun terapeutik dengan
menggunakan insufflator otomatis diawali pada tahun 1970. Semm pada tahun
1983, memulai melakukan apendektomi. Saat ini telah dipergunakan chargecouple device (CCD), three chip camera, video monitor, high-definition camera,
true color image, sehingga diperoleh gambaran lapangan operasi yang makin
jelas (Soper et al., 2004).
Instrumen
Laparoskopi
Elemen
penggunaan laparoskop. Ada dua tipe laparoskop yaitu: (1) sistem teleskop
batang, yang biasanya dihubungkan dengan kamera video (single chip atau three
chip); (2) laparoskop digital dimana charge-couple device ditempatkan pada
ujung laparoskop. Laparoskopi juga menggunakan lampu yang dingin seperti
17
halogen atau xenon. Lapangan operasi dilihat dengan hand instrument yang
dimasukkan abdomen melalui trokar 5 mm atau 10 mm. Gas karbondioksida
dimasukkan ke dalam abdomen sehingga menaikkan dinding abdomen di atas
organ intraabdomen menjadi seperti kubah untuk menghasilkan ruang bekerja.
Penggunaan gas karbondioksida karena gas ini terdapat di dalam tubuh manusia
dan dapat diserap oleh jaringan dan dibuang melalui sistem pernafasan. Selain
itu, karbondioksida juga tidak mudah terbakar, sehingga tidak mengganggu alat
kauter selama prosedur laparoskopi.
Ruang laparoskopi modern dapat dilihat pada Gambar 1a. Adapun
perlengkapan yang dibutuhkan dalam laparoskopi menurut Scott-Conner (2006)
adalah sebagai berikut: meja operasi elektrik (bila tersedia), dua video monitor,
suction irrigator, electrosurgical unit dengan bantalan ground, ultrasonically
activated scissors, scalpel, perlengkapan laparoskop lain: sumber cahaya,
insufflator, video cassette recorder (VCR), color printer, monitor on articulating
arm, camera-processor unit (Gambar 1b), c-arm x-ray unit (jika direncanakan
cholangiography), meja mayo yang dilengkapi instrumen laparoskopi, antara
lain: scalpel nomor 11 dan 15 beserta pegangannya, towel clips, Veress needle
(Gambar 1c), pipa insufflator dengan micropore filter, kabel fiberoptik
dihubungkan ke laparoskop dengan sumber cahaya, video kamera dengan
kabelnya, kabel yang dihubungkan instrumen laparoskopi ke electrosurgical unit,
curved hemostatic forceps, retraktor kecil untuk umbilikus, trokar (Gambar 1c
dan 1d), laparoscopic instruments, antara lain: atraumatic graspers; Locking
toothed jawed graspers; needle holders; dissectors: curved, straight, right-angle;
bowel grasping forceps; babcock clamp; scissors: metzenbaum, hook, microtip;
fan retractors: 10mm, 5mm; specialized retractors, seperti endoscopic curved
retractors; biopsy forceps; tru-Cut biopsy-core needle, monopolar electrocautery
dissection
tools,
yang
terdiri
dari:
L-shaped
hook
dan
spade-type
ball
coagulator,
hook
dissector,
dan
scissors
18
19
ASA I
ASA II
ASA III
ASA IV
4.3.1 Premedikasi
Premedikasi adalah pemberian obat 1-2 jam sebelum induksi anestesi dilakukan,
dengan tujuan melancarkan induksi, rumatan, dan ketika pasien bangun dari
anestesi.
Tujuan Premedikasi sangat beragaman, diantaranya :
-
Menciptakan amnesia
- Tubes
20
- Airway : Orotracheal airway, untuk menahan lidah pasien saat pasien tidak sadar,
untuk menjaga agar lidah tidak menutup jalan nafas.
- Tape : Plaster untuk memfiksasi orotracheal airway.
- Introducer: Mandrain atau stilet dari kawat untuk memandu agar pipa trakea
mudah untuk dimasukkan.
- Conector
- Suction
: Penyedot lendir.
Induksi Intravena :
Induksi intravena hendaknya dikerjakan dengan hari-hati, perlahanlahan, lembut dan terkendali. Obat induksi bolus disuntikan dengan dalam
kecepatan antara 30-60 detik. Selama induksi anestesia, pernapasan pasien, nadi,
dan tekanan darah harus diawasi dan selalu diberi oksigen.
4.3.3. Rumatan Anestesi
Rumatan anestesi dapat dikerjakan secara intravena, inhalasi dan
campuran keduanya. Rumatan anestesia bertujuan menciptakan keadaan
hypnotis, anelgesia cukup dan relaksasi otot lurik yang baik.
Pembahasan :
Pada pasien ini rumatan anestesi dipilh secara inhalasi, yaitu
menggunakan N2O : O2 dengan 1 :1 dan ditambah isoflurance 1 2 vol%.
4.3.4 Intubasi Trakea
Indikasi Intubasi :
-
Kesulitan Intubasi :
-
Mandibula Menonjol
Maksila menonjol
21
Merangsang simpatis
Aspirasi
Spasme bonchus
Selama Extubasi :
Spasme laring
Edema glottis-subglotis
Kriteria Malampati :
Gradasi
1
2
3
4
Pilar Faring
+
-
Uvula
+
+
-
Palatum Mole
+
+
+
-
4.3.5 Ekstubasi
- Ekstubasi ditunda sampai pasien benar-benar sadar, jika :
- Intubasi kembali akan menemukan kesulitan
- Adanya resiko Aspirasi
- Ekstubasi umumnya dikerjakan pada keadaan anestesi sudah ringan, dengan
catatan tidak akan terjadi spasme laring.
- Sebelum tindakan hendaknya rongga mulut, laring, faring dibersihkan dari sekret
dan cairan.
4.3.6 Medikasi
-
Atropin
o Atropin memblok asetilkolin endogen maupun eksogen
22
Petidin
Propofol adalah obat induksi intavena yang memiliki efek depresi nafas
lebih sedikit, dan memiliki efek menurunkan tekanan darah.
Atrakurium
Neostigimin
Merupakan penawar dari pelumpuh otot. Bekerja pada sambung saraf otot,
mencegah asetilcholine-esterase bekerja, sehingga asetilcholine dapat
bekerja. Dosis yang digunakan adalah 0,04 0,08 mg/kgBB. Obat ini
bersifat muskarinik sehingga menyebabkan hipersalivasi , keringatan,
bradikardi, untuk itu pemberiannya harus disertai obat vagolitik yaitu atropin
dengan dosis 0,01-0,04 mg/kgBB.
-
Ketorolac
23
maksimal 90 mg dan untuk berat < 50kg, manila atau gangguan faal ginjal
dibtasi maksimal 60 mg.
-
Tramadol
Adalah analgetik sentral dengan afinitas rendah pada reseptor mu. Dan
kelemahan analgesinya 10-20% dibandingkan morfin. Tramadol dapat
diberikan im atau iv dengan dosis 50-100 mg dn dapat diulang tip 4-6jam.
Dengan dosis maksimal 400 mg perhari.
4.3 Anestesi pada Laparaskopi
4.3.1 Efek Fisiologi
Dampak fisiologi laparoskopi berkaitan dengan kombinasi beberapa efek
meliputi insuflasi karbon dioksida (CO2) intra peritoneum yang menimbulkan
pneumoperitonium, perubahan posisi pasien, efek absorpsi sistemik CO 2 dan
juga pengaruh refleks peningkatan tonus vagus yang dapat berkembang menjadi
aritmia. Efek fisiologi dari laparoskopi ini meliputi:
4.3.2 Efek Kardiovaskular
Prinsip terjadinya respon fisiologis ini adalah peningkatan resistensi
vaskular sistemik (SVR), tekanan pengisian miokardium, bersama sama
dengan penurunan awal cardiac index (CI), dengan perubahan yang kecil dari
frekuensi denyut jantung (HR).
Karakteristik respons hemodinamik dijelaskan sebagai berikut : diawali
dengan terjadinya penurunan cardiac index setelah insuflasi gas CO2 intra
peritoneum dan selanjutnya diikuti dengan pemulihan. Joris dkk. menemukan
penurunan yang signifikan dari cardiac index (30 40%) setelah induksi anestesi
dan kebalikan posisi trendelenburg (head-up position), selanjutnya terjadinya
penurunan cardiac index sampai 50% setelah insuflasi intra peritoneum.
Kembalinya cardiac index secara bertahap setelah terjadinya penurunan SVR.
Fraksi ventrikel kiri menurun sesaat setelah insuflasi intraperitoneum dan
kembali ke nilai awal setelah 30 menit pneumoperitoneum.
Respon hemodinamik terhadap insuflasi intraperitoneum tergantung pada
interaksi beberapa faktor :
1. Faktor penderita
24
Faktor yang berasal dari penderita yang mempengaruhi hemodinamik adalah ststus
kardiorespirasi pasien yang ada dan kondisi intravaskular sebelum dimulainya
prosedur laparoskopi. Pada pasien penyakit jantung yang menjalani laparoskopi,
pneumoperitoneum menyebabkan perubahan hemodinamik yang lebih besar
karena meningkatnya SVR sehingga meningkatkan afterload, akhirnya akan
menurunkan cardiac output yang lebih besar.
Pada pasien dengan penyakit paru berat terjadi gangguan ventilasi
difusi, dengan adanya pneumoperitoneum CO2 akan menyebabkan penurunan
cardiac output. Pasien ini juga membutuhkan ventilasi semenit yang lebih besar
dan peak airway pressure yang lebih tinggi untuk mencapai normokarbia
sehingga akan menyebabkan penurunan cardiac output yang lebih besar. Pada
pasien dengan volume intravaskular yang kurang (hipovolemik) sebelum
pneumoperitoneum memiliki cardiac output yang sudah kecil dan SVR yang
tinggi serta tekanan arteri rata rata (MAP) yang tinggi. Dengan
pneumoperitoneum akan terjadi peningkatan SVR dan penurunan cardiac output
yang lebih besar.
2. Tekanan intra abdomen (pneumoperitoneum)
Insuflasi ruang intra peritoneum dengan dengan gas CO 2 menghasilkan
pneumoperitoneum, efek sistemik dari absorbsi CO2 dan peningkatan refleks
tonus vagal yang bisa berkembang menjadi aritmia.
Peningkatan tekanan intra abdomen berhubungan dengan penekanan
pembuluh darah vena yang awalnya menyebabkan peningkatan preload sesaat
diikuti secara perlahan dengan penurunan preload. Penekanan pembuluh darah
arteri meningkatkan afterload dan biasanya secara nyata mengakibatkan
peningkatan SVR. Cardiac Index biasanya menurun dan besarnya penurunan ini
sebanding dengan besarnya tekanan intraabdominal. Pada pasien sehat yang
akan menjalani laparoskopi organ intra abdomen, Dexter dkk. dengan
menggunakan Doppler transesophagus menemukan bahwa cardiac output
menurun maksimal yaitu 28% saat tekanan insuflasi peritoneum 15 mmHg tetapi
dapat dipelihara pada tekanan insuflasi 7 mmHg. Sebagian besar peneliti
mendapatkan terjadinya penurunan cardiac output sebesar 10 30% selama
insuflasi peritoneum baik pada posisi head down atau head up. Ishizaki dkk.
25
merekomendasikan
batas
tekanan
intraabdomen
selama
insuflasi
oleh
volume
sirkulasi
sebelum
dilakukan
pneumoperitoneum.
26
diafragma.
Perubahan
posisi
pada
pasien
dengan
pneumoperitonium
dan
meningkatkan
kebutuhan
oksigen
miokardium.
Posisi
27
nafas
akan
meningkatkan
tekanan
intrathoraks,
selanjutnya
menurunkan aliran darah balik vena dan peningkatan tekanan rata rata arteri
pulmonalis. Efek ini merupakan kendala pada pasien dengan penyakit restriktif
paru, gangguan fungsi jantung dan kurangnya volume intravaskular.
5. Respon neurohumoral
Mediator mediator potensial yang dapat meningkatkan SVR selama
pneumoperitoneum adalah vassopresin dan katekolamin. Hiperkapnea dan
pneumoperitoneum dapat menyebabkan stimulasi system syaraf simpatis dan
menstimulasi pengeluaran katekolamin. Beberapa penelitian melaporkan adanya
aktivasi system renin angiotensin dengan produksi vasopressin. Joris dkk.
menemukan menemukan peningkatan vassopresin plasma segera setelah
insuflasi peritoneum. Peningkatan 4 kali lipat pada konsentrasi rennin dan
aldosteron berhubungan dengan peningkatan MAP.
Katekolamin, system renin angiotensin dan khususnya vasopressin
semua dikeluarkan selama pneumoperitoneum dan mempunyai andil dalam
meningkatkan
afterload.
Stimulasi
mekanik
reseptor
peritoneum
juga
28
pilihan
gas
untuk
insuflasi
pada
bedah
29
peningkatan PaCO2 pada pasien ASA III selama pneumoperitoneum dan pasien
ini membutuhkan ventilasi semenit yang lebih tinggi dan airway pressure yang
juga lebih tinggi. Nilai ETCO2 tidak berkorelasi dengan konsentrasi CO2 arteri
pada pasien ini. Gradient PETCO2 masih stabil selama laparoskopi pasien ASA
III. ETCO2 merupakan nilai yang tidak dapat dipercaya untuk mengetahui
PaCO2 selama insuflasi CO2 pada pasien dengan penyakit paru berat.
Kelarutan CO2 yang tinggi meningkatkan absorbsi sistemik oleh pembuluh darah
peritoneum, ditambah dengan volume tidal yang lebih rendah karena rendahnya
komplian paru menyebabkan peningkatan kadar CO2 arteri dan penurunan pH.
Peningkatan PaCO2 yang progresif mencapai kondisi konstan 15 30
menit setelah mulainya insuflasi CO2 pada pasien dengan kontrol ventilasi
mekanik selama laparoskopi ginekologi dengan posisi trendelenburg atau
laparoskopi organ intra abdomen pada posisi head up. Peningkatan
PaCO2 tergantung pada tekanan intra abdomen. Selama laparoskopi dengan
anestesi lokal, PaCO2 tetap tidak berubah namun ventilasi semenit meningkat.
Pada anestesi umum dengan nafas spontan kompensasi hiperventilasi tidak
mencukupi untuk menghindari hiperkapnea karena anestesi menginduksi depresi
ventilasi dan peningkatan kerja pernafasan yang disebabkan oleh penurunan
komplian torakopulmonal. Oleh karena hal ini terjadi dalam waktu 15 30 menit
untuk mencapai PaCO2 konstan, teknik anestesi dengan menggunakan nafas
spontan harus dibatasi untuk prosedur operasi yang pendek pada tekanan
intraabdomen yang rendah.
Mekanisme utama peningkatan PaCO2 pada pasien sehat selama
pneumoperitoneum CO2 lebih disebabkan oleh absorbsi CO2 daripada efek
ventilasi mekanik akibat peningkatan tekanan intraabdomen. Tetapi pada pasien
dengan masalah kardiorespirasi, perubahan ventilasi juga bertanggung jawab
meningkatkan PaCO2. PaCO2 harus dipertahankan dalam rentang fisiologis
dengan menyesuaikan kontrol ventilasi mekanik, kecuali pada kondisi khusus
seperti emfisema subkutis CO2, koreksi peningkatan PaCO2 bisa dengan mudah
dicapai dengan peningkatan 10 25% ventilasi alveolar.
Efek Pada Sistem Lain
30
Sistem Gastrointestinal
Pasien-pasien yang menjalani laparoskopi biasanya dianggap beresiko tinggi untuk
terjadinya sindrom aspirasi asam lambung karena regurgitasi gaster akibat
peningkatan tekanan intragastrik karena peningkatan IAP. Namun, selama
pneumoperitoneum, tonus sfinkter esophagus inferior jauh lebih kuat daripada
tekanan intragastrik dan peningkatan tekanan ini membatasi insidensi
regurgitasi.
Sirkulasi Hepatoportal
Peningkatan IAP (>20 mmHg) mengakibatkan peningkatan tahanan dan aliran balik
pada pembuluh darah abdominal. Pelepasan hormon (katekolamin, angiotensin,
dan vasopressin) selama pneumoperitoneum akan semakin meningkatkan
tahanan vaskuler mesenteric sehingga mengakibatkan penurunan yang berarti
pada volume darah hepatic dan splanknik. IAP > 20 mmHg menyebabkan
penurunan 60% pada aliran darah vena porta sehingga mengakibatkan disfungsi
hepar, yang akan menetap lebih lama pada periode postoperative. Terdapat
penurunan suplai darah secara menyeluruh ke semua organ, kecuali glandula
adrenal.
Fungsi Ginjal
Peningkatan IAP mempengaruhi hemodinamik ginjal melalui perubahan pada curah
jantung dan efek langsung aliran darah ginjal. Obstruksi mekanis aliran darah
vena renalis yang disertai peningkatan aktivitas simpatis, peningkatan ADH
plasma dan peningkatan aktivitas rennin-angiotensin plasma akan meningkatkan
resistensi vaskuler ginjal sehingga mengakibatkan penurunan tekanan filtrasi dan
produksi urine.
Tekanan Intrakranial dan Tekanan Intraokuler
Peningkatan IAP akan menekan vena cava inferior dan meningkatkan tekanan
spinal lumbal dengan menurunkan drainase dari pleksus lumbalis, sehingga
meningkatkan tekanan intrakranial dan intraokuler. Hiperkapnia menyebabkan
31
refleks vasodilatasi pada sistem saraf pusat dan hal ini juga turut meningkatkan
tekanan intrakranial.
Evaluasi Pasien Preoperasi Dan Premedikasi
Kontra
indikasi
medis
pembedahan
laparoskopi
adalah
relatif.
32
33
ventilasi
spontan
tidak
dianjurkan
dalam
perspektif
adanya
disesuaikan
untuk
pneumoperitoneum
kontrol
ventilasi
34
35
36
37
PONV merupakan salah satu keluhan utama yang umum terjadi juga
merupakan gejala yang sangat mencemaskan setelah prosedur laparoskopi (40
75% pasien) dan merupakan faktor yang paling penting yang menyebabkan
lamanya perawatan rumah sakit setelah anestesi. Penggunaan opioid intraoperasi
secara signifikan meningkatkan insiden PONV masih kontroversial. Drainase isi
lambung juga mengurangi insiden PONV. Pengurangan dosis opioid dengan obat
obatan analgesia multimodal bisa menurunkan insiden PONV. Selektif reseptor
antagonis 5 HT, ondansetron dengan dosis 4 mg efektif sebagai profilaksis
terhadap emesis pasca operasi laparoskopi. Penelitian yang lain mendapatkan
tidak ada perbedaan antara ondansetron 4 mg dan siklizin 50 mg sebagai
antiemesis pada pasien yang menjalani laparoskopi rawat jalan. Waktu yang
tepat pemberian ondansetron ditemukan lebih signifikan sebagai antiemesis pada
akhir pembedahan dibandingkan pemberian saat preinduksi. Pendekatan
multimodal untuk mencegah PONV bisa dilakukan dengan menggunakan obat
kombinasi droperidol 0,625 1 mg, antagonis 5 HT3 (ondansetron 4 mg atau
dolasetron 2.5 5 mg), dan deksamethason 4 8 mg, disertai dengan hidrasi
yang cukup, penggunaan dosis minimal opioid.
Monitoring
Pemantauan intraoperasi standar dianjurkan untuk semua pasien yang
menjalani prosedur dengan akses yang minimal. Monitor standar yang
digunakan : pulse rate, kontnyu ECG, Intermiten NIBP, Pulse oximetry (SpO2),
Capnography (EtCO2), suhu, tekanan intraabdominal, pulmonary airway
pressure. Pemantauan hemodinamik invasif sesuai pada pasien ASA III IV
untuk memonitor respon kardiovaskular terhadap pneumoperitoneum, perubahan
posisi dan untuk memberikan terapi. Kapnografi dan pulse oximetri merupakan
monitor PaCO2 dan saturasi oksigen arteri yang dapat dipercaya pada pasien
sehat tanpa gangguan intraoperasi akut. PaCO2 dan a-ETCO2 meningkat lebih
besar pada pasien ASA II III daripada pasien ASA I. Hal ini juga terjadi pada
pasien dengan penyakit paru obstruksi kronis (PPOK) dan pada anak dengan
penyakit jantung bawaan sianotik. Pemeriksaan analisis gas arteri danjurkan bila
secara klinis diduga adanya hiperkapnea bahkan pada pasien tanpa adanya
38
pergerakan/perpindahan
lapangan
operasi.
Pilihan
untuk
menghindari hal ini menggunakan volume tidal yang lebih rendah dan frekuensi
nafas yang lebih cepat namun bisa menyebabkan sampel gas alveolar yang buruk
dan kesalahan pengukuran ETCO2. Nilai ETCO2 tidak bisa dipercaya khususnya
pada pasien dengan penyakit jantung dan paru yang menjalani laparoskopi.
Pemasangan kateter arteri seharusnya dilakukan dan analisa gas darah penting
untuk mendeteksi hiperkarbia. Monitor PETCO2 juga bermanfaat untuk deteksi
dini emboli gas vena (VGE) pada pasien dengan penyakit kardiopulmoner.
Terjadi peningkatan yang proporsional dari ETCO2 dan PaCO2 setelah
Insuflasi
CO2 pada
pasien
sehat.
Sebaliknya
pasien
dengan
penyakit
kardiopulmoner PaCO2 meningkat secara bertahap selama insuflasi CO2 dan hal
ini tidak mencerminkan paningkatan ETCO2.
Monitor tekanan jalan nafas adalah mutlak pada pasien yang teranestesi yang
diberikan IPPV. Alarm tingginya tekanan jalan nafas dapat membantu
mendeteksi peningkatan berlebihan tekanan intraabdomen, juga mencegah
pergerakan pasien tiba tiba selama pembedahan yang dapat menyebabkan
trauma organ intraabdomen oleh peralatan laparoskopi.
Komplikasi Intraoperasi yang Spesifik
Kompikasi intraoperasi selama prosedur laparoskopi dengan pneumoperitoneum
CO2 meliputi :
1. Trauma vaskular
Trauma vaskular mayor isa terjadi saat insersi alat alat pembedahan terutama
veress needle atau trokars. Insiden trauma vaskular selama laparoskopi abdomen
39
untuk
melakukan
tindakan:
menghilangkan
stimulus
40
retroperitoneum
saat
insuflasi.
Insiden
dari
komplikasi
insuflasi
ekstraperitoneum bervariasi antara 0,4 2%. Emfisema subkutan yang luas bisa
mengenai abdomen, dada, leher, dan paha. Emfisema subkutis ditandai ditandai
dengan adanya krepitasi diatas dinding abdomen. Peningkatan absorbsi
CO2 menyebabkan peningkatan tiba tiba ETCO2 dan hiperkapnea, dan asidosis
respirasi yang berhubungan dengan emfisema subkutis karena insuflasi
ekstraperitoneum. Kehati hatian teknik pembedahan saat insersi veress needle
dan penilaian lokasi jarum intraperitoneum sebelum insuflasi mengurangi
insiden komplikasi ini.
5. Pneumothorak, Pneumomediastinum dan Pneumoperikardium
Pneumothorak bisa terjadi saat prosedur laparoskopi intraperitoneum
atau ekstraperitoneum, walaupun jarang, komplikasi ini adalah komplikasi yang
mengancam nyawa. Faktor penyebab komplikasi ini berupa defek embrional,
defek diafragma (hiatus aorta/esophagus), robekan pleura, rupture bulla
emfisematus. Pada laparoskopi organ intra abdomen, pneumothorak dapat terjadi
saat insersi veress needle dan trokar, CO2 insuflasi. Diduga mekanisme
terjadinya pneumothorak ini meliputi insuflasi CO2 sekitar aorta dan hiatus
esophagus diafragma kedalam ruang mediastinum yang selanjutnya terjadi
rupture ruang pleura. Perjalanan gas melewati defek anatomi diafragma atau
melalui defek kongenital pada hiatus pleuroperitoneum (paten canalis
pleuroperitoneum).
Tension
pneumothorak
pernah
ditemukan
selama
41
42
Pasien diposisikan head down dan lateral kiri dekubitus. Pada posisi ini
sejumlah gas yang masuk melalui jantung kanan kesirkulasi pulmonal berkurang
karena busa yang ringan berpindah kebagian lateral dan kaudal outflow ventrikel
kanan.
Jika cara cara sederhana ini tidak efektif, dilakukan pemasangan kateter vena
sentral atau kateter arteri pulmonalis untuk mengaspirasi udara.
43
pengukuran spirometri paru, fungsi paru seperti FRC, FEV1 dan kapasitas vital
parumenurun setelah prosedur laparoskopi sekitar 30 38%. Force vital capacity
menurun 27% setelah pembedahan laparoskopi dan menurun 48% setelah
pembedahan terbuka.
Selama periode awal pasca operasi laparoskopi, frekuensi nafas dan
PETCO2 dari pasien yang bernafas spontan lebih tinggi dibandinkan pasca
operasi terbuka.
Peningkatan
tekanan
intraabdomen
saat
pneumoperitoneum
menyebabkan stasis vena yang dapat meningkatkan potensi DVT dan emboli
paru. Insiden emboli paru yang fatal setelah laparoskopi organ intra abdomen
adalah 0,016% lebih rendah daripada setelah operasi terbuka yaitu 0,8%.
Penggunaan graduated elastic compression stocking dalam periode perioperasi
dapat mengurangi stasis vena. Teknik laparoskopi dengan trauma jaringan yang
minimal bisa memfasilitasi ambulasi lebih awal, sehingga bisa mengurangi
resiko DVT
Mual dan muntah pasca operasi laparoskopi umum terjadi walaupun rutin
dilakukan pengosongan lambung dengan pemasangan pipa nasogastrik, untuk ini
perlu dipertimbangkan untuk memberikan obat profilaksis.
44
BAB V
PEMBAHASAN
Pasien Ny. DMG 30 tahun, dirawat di ruang kelas II dengan diagnosa
kista ovarium. Diagnosis pada pasien ini ditegakkan berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Tatalaksana pada pasien ini
adalah dengan tindakan pembedahan, yaitu laparaskopi. Pada saat kunjungan pra
anastesi, dari anamnesis didapatkan 5 bulan yang lalu, pasien mengeluh haid
tidak lancar dan lama. 1 bulan yang lalu hamil dan mengalami keguguran dan
dilakukan kuret. 20 hari yang lalu pasien memeriksaan kesehatan ke poli
kebidanan untuk melakukan program hamil. Kemudian dilakukan pemeriksaan
USG dan pasien dicurigai menderita kista ovarium. Pasien kemudian
direncanakan untuk dilakukan laparaskopi.
Riwayat penyakit sistemik disangkal, alergi disangkal, menggunakan
obat-obatn disangkal, riwayat kebiasaan merokok dan alcohol disangkal. Status
fisik pasien ini adalah ASA I, yaitu Pasien sehat organik, fisiologik, psikiatrik,
biokimia.
Dari pemeriksaan fisik didapatkan tanda-tanda vital dalam batas normal,
status generalisata dalam normal, status lokalisata dalam batas normal. Hasil
pemeriksaan penunjang terutama factor pembekuan dalam batas normal,
hemoglobin darah dalam batas normal. EKG dalam batas normal, rontgen thorak
KP dupleks, namun dari anamnesis dan pemeriksaan fisik tidak ditemukan
kelainan pada paru. Ini adalah alasan status fisik pasien adalah ASA I.
Pada pasien ini pemilihan jenis anastesi adalah anastesi umum. Tindakan
premedikasi pada pasien
45
saluran nafas serta mencegah vagal refkleks. Fenthanyl diberikan sebagai obat
untuk memudahkan induksi.
Induksi menggunakan propofol 100 mg. Propofol dipilih karena
kelebihan propofol yaitu pasien terlihat lebih segar pada periode pasca bedah,
muntah tidak ditemukan, penderita dapat berjalan lebih cepat.
Rumatan anastesi dilakukan dengan cara inhalasi dan IV. Rumatan IV
menggunakan opioid dosis tinggi yaitu fentanyl 10-50 mcg/kg. dosis tinggi
opioid menyebabkan pasien tidur dengan analgesia cukup, sehingga tinggal
memberikan pelumpuh otot. Sementara rumatan anastesi secara inhalasi
menggunakan campuran N2O dan O2 dengan perbandingan 1:1 ditambah
sevofluran 1-2 vol%.
N2O jenis obat inhalasi yang stabil pada tekanan dan suhu kamar.
Sementara sevofluran merupakan jenis obat inhalasi terbaru yang induksi dan
pulih dari anastesi lebih cepat dibandingkan isofluran. Baunya tidak menyengat
dan tidak merangsang jalan nafas serta tidak mudah menguap seperti halotan,
isofluran, desfluran, dan metoksifluran. Serta aman digunakan, tidak berisiko
mudah terbakar seperti eter. Sementara klorofom tidak digunakan karena
toksiknya pada hati.
Pada kasus ini, pemberian rumatan anastesi sudah tepat, dimana
dilakukan secara inhalasi dengan perbandingan
46
47
BAB V
KESIMPULAN
48
paru
menurun 30 50% pada pasien sehat. Hal ini terjadi karena penurunan kapasitas
residu fungsional (FRC) dan komplian paru yang berhubungan dengan posisi
terlentang dan induksi anestesi yang selanjutnya diperberat oleh insuflasi
CO2 dan perpindahan ke sefalad diafragma selama posisi trendelenberg dan
perubahan distribusi ventilasi dan perfusi paru yang disebabkan oleh
peningkatan tekanan jalan nafas (airway pressure).
2. Peningkatan frekuensi denyut jantung, tekanan vena sentral, dan cardiac
output. Hal ini diakibatkan oleh peningkatan pengisian jantung, karena darah
49
50
12. Emfisema subkutis karena jika ujung jarum ditempatkan di subkutan, jaringan
preperitoneum atau retroperitoneum saat insuflasi.
13. Pneumothorak dapat disebabkan karena adanya defek embrional, defek
diafragma (hiatus aorta/esophagus), robekan pleura, rupture bulla emfisematus.
Terjadi saat insersi veress needle dan trokar, CO2 insuflasi. Diduga mekanisme
terjadinya pneumothorak ini meliputi insuflasi CO 2 sekitar aorta dan hiatus
esophagus diafragma kedalam ruang mediastinum yang selanjutnya terjadi
rupture ruang pleura. Perjalanan gas melewati defek anatomi diafragma atau
melalui defek kongenital pada hiatus pleuroperitoneum (paten canalis
pleuroperitoneum).
14. Pneumomediastinum dan pneumoperikardium karena tekanan intraabdomen
yang tinggi saat insuflasi.
15. Emboli CO2 vena ditandai dengan hipotensi berat, sianosis, dan asistol setelah
tindakan pneumoperitoneum. Mekanisme emboli gas meliputi penempatan
veress needle intravena yang tidak disengaja, aliran CO2 kedalam pembuluh
darah dinding abdomen dan pembuluh darah peritoneum selama insuflasi, atau
ke dalam pembuluh darah pada permukaan hepar saat diseksi kandung empedu.
Tanda dan beratnya efek emboli CO2 meliputi hipotensi dengan kolap
kardiovaskular, hipoksemia, hipertensi pulmoner, edema paru, deteksi dari mill
wheel murmur, tidak seperti emboli udara biasa, pada emboli gas CO 2,
ETCO2 meningkat sementara setelah itu baru terjadi penurunan ETCO 2 karena
penurunan aliran darah ke paru. Emboli paradoksikal yang melewati defek
paten foramen ovale,defek septum atrium bisa menyebabkan emboli
CO2 serebral.
16. Trauma vascular
17. Trauma organ intra abdomen.
51
DAFTAR PUSTAKA
1. Gomel
V.
Isobaric
laparoscopy.
Canada
Obstet
Gynecol:
JOGC.2007;29(6):493-4 2.
2. Hadisaputra W. Peran laparoskopi operatif pada nyeri pelvis kronis. Indones J
Obstet Gynecol. 2006;30(3):152-5.
3. Soenarto, R.F. 2012, Buku Ajar Anestesiologi. Departemen Anestesiologi dan
Intensive Care FKUI. Jakarta. Hal : 197-205
4. Prawiroharjo S. Ilmu kebidanan. YBPSP. Jakarta. 1985: 626-38
5. Dulucq, J. L., 2005, Tips and Techniques in Laparoscopic Surgery, Springer, 1243.
6. Haris, H. W., 2008, Surgery Basic Science and Clinical Evidence, Biliery
System, Springer, 47: 911-943.
7. Leo, J., Filipovic, G., Krementsova, J., Norblad, R., and Sderholm, M., 2006,
Open Cholecystectomy for All Patients in the Era of Laparoscopic Surgery A
Prospective Cohort Study, BMC Surger, 6:1471-82.
8. MacFadyen, V., 2004, Laparoscopic Surgery of the Abdomen, Bruce, 71:115.
52
9. Schietroma, M., Cartel, F., Franchi, L., Mazzotta, C., Sozio, A., et al., 2004, A
comparison of Serum Interleukin-6 Concentrations in Patients Treated by
Colecystectomy via Laparotomy or Laparoscopy, Hepato-gastroenterology,
51:1595-99.
10. Scott-Conner, C. E.H., 2006, The SAGES Manual Fundamentals of
Laparoscopy,Thoracoscopy, and GI Endoscopy, Springer, 5-6.
11. Soper, N. J., Swanstrom, L. L, and Eubanks, W.S., 2004, Mastery of Endoscopy
and Laparoscopic Surgery, Lippincott Williams & Wilkins, 2-5.
12. Tayeb, M., Raza, S. A., Khan, M. R., and Azami, R., 2005, Conversion from
Laparoscopic to Open Cholecystectomy: Multivariate analysis of preoperative
risk factors, 51:17- 20.
13. Vittimberga, F. J., Foley, D. P., Meyers, W. C., and Caller ,M. P., 1998,
Laparoscopic Surgery and the Systemic Immune Response, Ann Surg, 227: 326
34.
14. Whelan, R. L., 2006, The SAGES Manual Perioperative Care in Minimally
Invasive Surgery, Springer, 69-71.
15. Wikipedia, 2009a, Laparoscopic surgery, The Free Encyclopedia,. Wikipedia,
2009b, Cholecystectomy, The Free Encyclopedia.
16. Soenarto RF, Chandra S. Buku ajar anestesiologi. Anestesia umum. Jakarta :
FKUI, hal. 291-300
17. Kamus saku kedokteran Dorland. Edisi ke-25. Jakarta: EGC; 1998.
18. Bakhriansyah HM. Anestesi Umum. FK UNLAM Banjarbaru
19. Latief S.A, Suryadi KA & Dachlan, MR. eds. Petunjuk praktis Anestesiologi.
Edisi ke-2. Bagian Anestesiologi dan Terapi intensif FKUI. Jakarta; 2009. hal :
46-47
53