Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
105
PENDIDIKAN MULTIKULTURAL
SATU TANTANGAN BARU BAGI PENDIDIKAN SEJARAH
oleh
I Gde Widja
Jurusan Pendidikan Sejarah
Fakultas Pendidikan IPS, IKIP Negeri Singaraja
ABSTRAK
Tulisan ini mencoba mengkaji permasalahan kehidupan berbangsa
yang dialami Indonesia dalam periode pasca - Orde Baru. Dalam
menghadapi situasi belakangan ini, satu pendekatan baru yang disebut
multikulturalisme telah dicoba diperkenalkan oleh kalangan akademisi
sebagai solusi kuncinya. Dalam konteks ini, studi dan pendidikan sejarah
bisa ikut mengambil peran strategis sepanjang mampu membuat reorientasi
dalam praktik pembelajarannya.
Kata kunci : pendidikan multikultural, tantangan, pendidikan sejarah.
ABSTRACT
This article tries to discuss the problems of nationhood experienced
by Indonesia during the post New Order period. Dealing with the
present situation, a new approach called Multiculturalism has been
introduced by some scholars as key solution. In this context, historical
studies and education can play strategic role as long as they are able to
reorient their learning practices.
Key word : multicultural education, challenge, history education.
____________ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, No. 1
TH. XXXIX Januari 2006
106
1. Pendahuluan
Kehidupan sosial politik pasca - Orde Baru (sering disebut zaman/
Orde Reformasi) yang antara lain ditandai dengan terjadinya gejolak di
berbagai daerah, telah menggugah munculnya kesadaran baru di antara
komponen - komponen bangsa ini, bahwa kebanggaan kita akan kehidupan
berbangsa selama ini ternyata hanyalah bayang- bayang semu. Menarik
untuk diperhatikan dua sisi dari kesadaran baru tersebut. Di satu sisi, kita
sadar bahwa menipu diri akan kekokohan bangunan suprastruktur
kebangsaan kita yang ternyata rapuh (tidak mencerminkan kekuatan riil
seperti yang sering diwacanakan dalam berbagai doktrin ideologis). Di sisi
lainnya, kita sadar perlu membangun kembali semangat asli dari semboyan
Bhineka Tunggal Ika , yang selama ini cenderung telah diselewengkan
(direduksi) ke arah yang lebih menguntungkan kekuasaan (elit) di pusat.
(lihat Azra, 2002).
Bertolak dari kesadaran di atas, terlihat kekeliruan mendasar yang
ingin diperbaiki sejak zaman reformasi yaitu perhatian yang minim di masa
lalu terhadap dinamika daerah akibat titik berat yang berlebihan pada
kepentingan pusat. Disamping itu juga, terlihat kekuatan memaksakan
penyeragaman berbagai aspek sistem sosial politik dan budaya lokal dengan
berbagai akibat dan resikonya (lihat Abdullah, 2001). Tekad untuk
memperbaiki apa yang telah dipraktikan di masa lalu ini, tampaknya terkait
dengan munculnya perangkat hukum berupa Undang- Undang No. 22
Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (UU Otonomi Daerah).
Namun timbul pertanyaan, apakah ini akan menyelesaikan semua
masalah kehidupan berbangsa yang selama ini menghadang kita. Banyak
____________ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, No. 1
TH. XXXIX Januari 2006
107
108
109
110
111
112
113
114
sejarah nasional akan tampil dalam suatu wajah yang berbeda dari yang kita
kenal ( Lapian, 1980 : 3).
Apa yang bisa dipetik dari saran Lapian ini, kiranya sejalan dengan
sejarah sosial hubungan antaretnis yang dikemukakan di atas, yaitu mulai
mendekonsentrasikan studi sejarah Indonesia dalam rangka membangun
kembali gambaran sejarah yang lebih adil (fair) dan proposional yang
dimiliki kelompok-kelompok etnis, yang ikut membentuk bangsa ini. Ini
juga dengan sendirinya sangat relevan dengan paradigma baru, dalam
memaknai semboyan Bhineka Tunggal Ika yang tidak terlalu
menekankan asas ketunggalannya, tetapi juga menghargai semangat asas
kemajemukannya (sesuai pendekatan multikulturalisme).
Sesuai semangat di atas ini, sudah jelas perlu dibangun
penggambaran sejarah yang bernuansa pendekatan sosial-budaya, yang
intinya memuat gaya pengisahan ceritera sejarah yang lebih mencerminkan
jaringan hubungan pluralistik kultural dari pada gaya yang lebih diwarnai
jaringan hubungan monolitik politik. Dalam konteks ini, apa yang
disarankan Taufik Abdullah perlu kita perhatikan. Melalui apa yang dia
sebut gaya romantik dalam pengisahan sejarah, dia lebih menekankan
adanya dan berkembangnya komunikasi budaya dari berbagai kesatuan
politik/ etnis (lihat Abdullah, 1996 : 13 14). Dalam lukisan sejarah
seperti ini yang tampil menonjol dalam kisah sejarah, bukan lagi tokohtokoh politik/penguasa ataupun para panglima perang yang saling
menaklukkan, tetapi para tokoh yang diistilahkannya para pialang budaya
atau cultural brokers yang tidak lain dari para pelayar, pedagang, alim
ulama, atau para pujangga/sastrawan. Jadi, yang lebih dominan tampil di
panggung sejarah adalah satuan-satuan kelompok etnis (dengan para
____________ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, No. 1
TH. XXXIX Januari 2006
115
116
117
118
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Irwan. 2001. Konflik Sosial, Realitas Etnis, dan Hubungan
Negara Bangsa , makalah dalam Seminar Nasional Kebhinekaan
dalam Wawasan Kebangsaan. PPS Kajian Budaya, Universitas
Udayana.
Abdullah, Taufik. 1996. Pengajaran Sejarah yang Reflektif dan Inspiratif
, artikel dalam Jurnal SEJARAH no. 6 Feb. 1996.
Anderson, Benedict. 1991 ( 2001 ). Imagined Communities : Komunitaskomunitas Terbayang. Yogyakarta : INSIST & Pustaka Pelajar.
Azra, Azyumardi. 2002. Pendidikan Multikultural : Membangun kembali
Indonesia Bhineka Tunggal Ika , makalah dalam Simposium
Internasional Jurnal Antropologi III di Denpasar (16 19 Juli 2002).
Bettencourt, A. 1989. What is Contructivism and Why Are They Talking
About It ? Michigan : Michigan University Press.
119