Anda di halaman 1dari 13

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tetrasiklin
Antibiotika adalah golongan senyawa, baik alami, semi sintetis maupun
sintetis, yang memiliki khasiat mematikan atau menghambat pertumbuhan bakteri.
Kegiatan antibiotik untuk pertama kalinya ditemukan secara kebetulan oleh dr.
Alexander Fleming. Tetapi penemuan ini baru dikembangkan dan digunakan pada
permulaan perang dunia II di tahun 1941, ketika obat-obat antibakteri sangat
diperlukan untuk menanggulangi infeksi dari luka-luka akibat pertempuran (Tan
dan Rahardja, 2008).
Tetrasiklin merupakan kelompok antibiotika yang dihasilkan oleh jamur
Streptomyces aureofaciens atau S. rimosus. Tetrasiklin merupakan derivat dari
senyawa hidronaftalen, dan berwarna kuning (Subronto, 2001). Tetrasiklin
merupakan antibiotika berspektrum luas yang aktif terhadap bakteri gram-positif
maupun gram-negatif yang bekerja merintangi sintesa protein (Tan dan Rahardja,
2008).
2.1.1 Sifat Fisikokimia Tetrasiklin HCl
Tetrasiklin HCl memiliki rumus molekul C22H24N2O8.HCl dengan berat
molekul 480,90 dan nama kimia 4-(Dimetilamino)-1,4,4a,5,5a,6,11,12a-oktahidro
-3,6,10,12,12apentahidroksi6-metil-1,11-diokso - 2 - naftasenakarboksamida
monohidroklorida. Pemeriannya berupa serbuk hablur, kuning; tidak berbau; agak
higroskopis, mudah larut dalam air, larut dalam larutan alkali hidroksida dan
dalam larutan karbonat; larut dalam methanol, etanol; praktis tidak larut dalam
kloroform dan dalam eter; bersifat stabil di udara tetapi pada pemaparan terhadap

Universitas Sumatera Utara

cahaya matahari yang kuat dalam udara lembab menjadi gelap. Dalam larutan
dengan pH lebih kecil 2, potensi berkurang dan cepat rusak dalam larutan alkali
hidroksida serta memiliki suhu lebur 2140. Rumus struktur dari Tetrasiklin HCL
dapat dilihat pada Gambar 1.
OH

OH

O
OH

CONH2

HCl
H
OH CH3
tetrasiklin

OH

Gambar 1. Rumus struktur


HCl H N(CH3)2
(Ditjen POM, 1979; Ditjen POM, 1995; Budavari, 2001).
2.1.2 Pemakaian Tetrasiklin pada Ternak
Pada unggas (ayam, kalkun), untuk pencegahan CRD tetrasiklin diberikan
dengan dosis 100-200 mg/gallon air minum, sedangkan untuk pengobatan CRD
dan air sacculitis, hexamitiasis dan bleucomb, sinusitis, dan sinivovitis, tetrasiklin
diberikan dengan dosis 200-400 mg/gallon air minum (Subronto, 2001).
Di bidang peternakan, selain untuk tujuan terapetik, antibiotik juga dipakai
sebagai imbuhan pakan untuk merangsang pertumbuhan pada ternak (Bahri,
2008).

Beberapa

antibiotika

yang

banyak

dipakai

sebagai perangsang

pertumbuhan antara lain dari golongan tetrasiklin, penisilin, macrolida, dan


lincomisin. Pengaruh pemberian antibiotik yang menguntungkan disebabkan oleh
adanya faktor pengendali infeksi subklinis. Antibiotik juga mampu meningkatkan
digesti pati dengan jalan menekan aktivitas mikroba yang bertanggung jawab
terhadap produksi gas di lambung (Soeparno, 1998).
Namun akhir-akhir ini penggunaan senyawa antibiotik dalam pakan ternak
telah menjadi perdebatan sengit oleh para ilmuwan akibat efek buruk yang
ditimbulkan melalui residu yang ditinggalkan baik pada daging, susu maupun

Universitas Sumatera Utara

telur. Larangan penggunaan antibiotik dalam pakan ternak bukan merupakan hal
yang baru bagi sebagian negara Eropa. Beberapa negara tertentu telah membatasi
penggunaan zat aditif tersebut dalam pakan ternak seperti di Swedia tahun 1986,
Denmark tahun 1995, Jerman tahun 1996 dan Swiss tahun 1999. Akan tetapi
pelarangan tersebut tidak menyeluruh dan hanya terbatas pada jenis antibiotik
tertentu misalnya avoparcin (Denmark), vancomisin (Jerman), spiramisin, tilosin,
dan virginiamicin (Uni Eropa). Hingga kini hanya tersisa empat antibiotik yang
masih diizinkan penggunaannya dalam pakan ternak pada masyarakat Eropa yaitu
flavophospholipol, avilamycin, monensin-Na dan salinomycin-Na. Sementara di
Indonesia larangan penggunaan beberapa antibiotik dalam imbuhan pakan
tercantum dalam revisi UU no 6 tahun 1967 (masih dalam tahap penyelesaian).
Hanya saja ada sedikit kerancuan karena tidak mencantumkan jenis antibiotik apa
saja yang dilarang penggunaannya dalam pakan ternak (Sjofjan, 2011).
2.1.3 Residu Tetrasiklin pada Ternak
Residu obat atau bahan kimia adalah akumulasi obat atau bahan kimia dan
atau metabolitnya dalam jaringan atau organ hewan setelah pemakaian obat atau
bahan kimia untuk tujuan pencegahan/pengobatan atau sebagai imbuhan pakan
untuk pemacu pertumbuhan. Residu antibiotik dalam makanan asal hewan erat
kaitannya dengan penggunaan antibiotik untuk pencegahan dan pengobatan
penyakit serta penggunaannya sebagai imbuhan pakan. Sebagai imbuhan pakan,
antibiotika dapat memacu pertumbuhan ternak agar dapat tumbuh lebih besar dan
lebih cepat serta dapat mencegah terjadinya infeksi bakteri. Penggunaan antibiotik
yang berlebihan serta tidak dipatuhinya waktu henti obat menyebabkan timbulnya
residu di dalam daging ternak, telur, susu atau produk ternak lainnya. Waktu henti

Universitas Sumatera Utara

adalah kurun waktu dari saat pemberian obat terakhir hingga ternak boleh
dipotong atau produknya dapat dikonsumsi (Bahri, 2008). Waktu henti pemakaian
antibiotik golongan tetrasiklin adalah 5 hari menjelang ternak dipotong (Lastari,
dkk., 1987).
2.1.4 Efek Residu Antibiotik dalam Produk Ternak terhadap Kesehatan
Pemakaian yang luas dari obat-obatan pada ternak menimbulkan
kemungkinan yang besar terjadinya residu obat maupun metabolitnya dalam
produk ternak. Kehadiran residu obat-obatan di dalam makanan tentu akan
mempengaruhi kesehatan manusia. Salah satunya misalnya terjadinya reaksi
alergi dari antibiotik golongan -laktam pada konsumen yang sensitif. Efek lain
yang mungkin timbul yaitu terjadinya keracunan, resistensi mikroba dan
gangguan fisiologis pada manusia (Botsoglou dan Fletouris, 2001).
2.2 Analisis Residu Tetrasiklin
Analisis residu antibiotik golongan tetrasiklin secara Kromatografi Cair
Kinerja Tinggi (KCKT) telah dikembangkan oleh Muriuki, et.al. (2001) dan
Suryani (2009). Muriuki menganalisis residu tetrasiklin dalam daging sapi dengan
menggunakan detektor penangkap elektron dengan fase gerak metanol-asetonitrilasam oksalat 0,01 M (1 : 1,5 : 2,5) pada laju alir 2 ml/menit. Kadar residu yang
diperoleh berkisar 524 g/kg 1046 g/kg. Sementara Suryani menganalisis
residu tetrasiklin dalam daging ayam pedaging dengan memanfaatkan detektor
berkas fotodioda dengan fase gerak asam oksalat 0,0025 M-asetonitril (4:1) pada
laju alir 1 ml/menit. Kadar residu tetrasiklin yang diperoleh berkisar 5 g/kg 68
g/kg.
2.2.1 Proses Ekstraksi

Universitas Sumatera Utara

Ekstraksi merupakan suatu metode yang digunakan dalam proses pemisahan


suatu komponen dari campurannya dengan menggunakan bantuan pelarut sebagai
tenaga pemisah. Tetrasiklin mampu berikatan dengan protein (membentuk
konjugat) dan ion logam (membentuk khelat) sehingga sulit diekstraksi dari
matriks biologi. Untuk melepaskan ikatan tersebut dapat dilakukan dengan
mendenaturasi protein menggunakan pereaksi pengendap protein dengan
penambahan etilendiamin tetra-asetat (EDTA), asam sitrat, suksinat, atau oksalat
untuk meningkatkan efisiensi ekstraksi (Botsoglou dan Fletouris, 2001).
Muriuki et.al. (2001) menggunakan buffer McIlvaine pH 4 dan metanol
pada proses ekstraksi awal dengan perbandingan 3:7, sementara Suryani (2009)
menggunakan

asam

trikloroasetat

dan

buffer

McIlvaine-EDTA

sebagai

pengekstraksi awal. Selanjutnya keduanya menggunakan ekstraksi fase padat C18


sebagai proses ekstraksi lanjutan.
2.2.2 Ektraksi Fase Padat
Ekstraksi fase padat (Solid Phase Extraction/ SPE) merupakan suatu proses
ekstraksi yang dilakukan dengan melewatkan larutan sampel melalui suatu lapisan
partikel penjerap, analit yang diinginkan akan berpindah dari larutan sampel dan
terkonsentrasi pada lapisan penjerap. Analit kemudian dipindahkan dari penjerap
dengan penambahan pelarut pengelusi. Metode ekstraksi ini biasanya dipakai
untuk mengekstraksi analit dalam matriks yang kompleks seperti urin, darah, dan
jaringan otot (Anonim c, 2005). Ekstraksi fase padat mempunyai beberapa
kelebihan dibandingkan ekstraksi fase cair-cair yaitu hemat pelarut, waktu
pengerjaan relatif singkat, hasil ektraksi tidak membentuk emulsi serta cukup
selektif (Botsoglou dan Fletouris, 2001).

Universitas Sumatera Utara

Ekstraksi fase padat dapat dibagi menjadi 4 berdasarkan jenis fase diam atau
penjerap yang dikemas dalam cartridge, yakni fase normal (normal phase), fase
terbalik (reversed phase), adsorpsi (adsorption) dan pertukaran ion (ion exchange)
(Anonim a, 1998). Pemilihan penjerap didasarkan pada kemampuannya berikatan
dengan analit, dimana ikatan antara analit dengan penjerap harus lebih kuat
dibandingkan ikatan antara analit dengan matriks sampel. Sehingga analit akan
tertahan pada penjerap. Selanjutnya dipilih pelarut yang mampu melepaskan
ikatan antara analit dengan penjerap pada tahap elusi (Botsoglou dan Fletouris,
2001).
Adapun 4 langkah utama dalam penggunaan ekstraksi fase padat adalah
seperti terlihat pada Gambar 2 halaman 11. Tahap pertama yaitu pengkondisian
(conditioning), merupakan tahapan yang dilakukan dengan penambahan pelarut
yang mampu mengaktifkan penjerap serta mampu membasahi permukaan
penjerap sehingga analit yang terdapat dalam larutan sampel dapat berinteraksi
dengan penjerap. Tahap kedua yaitu retensi (retention/loading) merupakan proses
pemasukan larutan sampel, dimana pada proses ini analit yang diinginkan akan
tertahan pada penjerap sementara komponen lain dari matriks yang tidak
diinginkan akan keluar dari cartridge. Tahap ketiga dilanjutkan dengan
pembilasan (washing) yang dilakukan dengan penambahan larutan yang mampu
menghilangkan sisa matriks yang tertinggal tetapi tidak mempengaruhi interaksi
analit dengan penjerap. Tahap terakhir yaitu pengelusian (elutioning) yang
dilakukan dengan penambahan larutan yang mampu memutuskan ikatan analit
dengan penjerap (Anonim a, 1988) .
Pelarut
pengkondis

Sampel =
analit+matrik

Pelarut
pembilas

Pelarut
pengelusi

Universitas Sumatera Utara

Gambar 2. Empat langkah dalam penggunaan ekstraksi fase padat (Anonim c,


2005).
2.3 Spektrofotometri Ultraviolet
2.3.1 Teori Spektrofotometri Ultraviolet
Spektrofotometri ultraviolet adalah suatu teknik pengukuran serapan radiasi
elektromagnetik yang diserap oleh zat pada daerah ultraviolet (panjang gelombang
190 nm - 380 nm) (Ditjen POM, 1979). Radiasi ultraviolet diabsorpsi oleh
molekul organik aromatik, molekul yang mengandung elektron- terkonjugasi
dan/ atau atom yang mengadung elektron-n, menyebabkan transisi elektron di
orbit terluarnya dari tingkat energi elektron dasar ke tingkat energi elektron
tereksitasi lebih tinggi (Satiadarma, 2004).
Gugus atau atom dalam molekul organik yang mampu menyerap sinar
ultraviolet dan sinar tampak disebut kromofor (misalnya C=C, C=O, dan NO2).
Sedangkan auksokrom (misalnya OH, NH2 dan OCH3)

merupakan gugus

fungsional yang mempunyai elektron bebas sehingga mampu memberikan transisi


n*. Terikatnya gugus ini pada gugus kromofor akan mengakibatkan

Universitas Sumatera Utara

pergeseran pita absorpsi menuju ke panjang gelombang yang lebih besar


(pergeseran merah atau pergeseran batokromik) disertai dengan peningkatan
intensitas (efek hiperkromik) (Gandjar dan Rohman, 2007).
Untuk mengukur banyaknya radiasi yang diserap oleh suatu molekul dapat
dibuat suatu grafik (spektrum absorpsi) yang menghubungkan banyaknya sinar
yang diserap dengan frekuensi (atau panjang gelombang) sinar. Transisi yang
dibolehkan untuk suatu molekul dengan struktur kimia yang berbeda adalah tidak
sama sehingga spektrum absorpsinya juga berbeda. Dengan demikian, spektrum
absorpsi dapat digunakan sebagai bahan informasi yang bermanfaat untuk analisis
kualitatif. Banyaknya sinar yang diabsorpsi pada panjang gelombang tertentu
sebanding dengan banyaknya molekul yang menyerap radiasi. Dengan demikian
spektrum absorpsi juga dapat digunakan untuk analisis kuantitatif (Gandjar dan
Rohman, 2007).
Pada penentuan analit yang terdapat dalam suatu matriks diperlukan
pengukuran dari blanko matriks untuk meralat kesalahan yang disebabkan oleh
matriks. Bila komponen matriks untuk blanko tidak dapat diperoleh, maka dapat
digunakan metode adisi standar, yaitu dengan menambahkan standar ke dalam
larutan sampel yang diukur dengan konsentrasi yang meningkat secara teratur
(Satiadarma, 2004).
2.3.2 Analisis kuantitatif secara Spektrofotometri Ultraviolet
Penggunaan utama spektroskopi ultraviolet-sinar tampak adalah dalam
analisis kuantitatif. Apabila terdapat senyawa yang mengabsorpsi radiasi, maka
akan terjadi pengurangan kekuatan radiasi yang mencapai detektor. Parameter
kekuatan energi radiasi khas yang diabsorpsi oleh molekul adalah absorbansi (A)

Universitas Sumatera Utara

yang nilainya sebanding dengan banyaknya molekul yang mengabsorpsi radiasi


dan merupakan dasar analisis kuantitatif. Senyawa yang tidak mengabsorpsi
radiasi ultraviolet-sinar tampak dapat juga ditentukan dengan spektroskopi
ultraviolet-sinar tampak, apabila ada reaksi kimia yang dapat mengubahnya
menjadi kromofor atau dapat disambungkan dengan suatu pereaksi kromofor
(Satiadarma, 2004).
2.3.3 Metode Adisi Standar
Metode adisi standar dipakai secara luas karena mampu meminimalkan
kesalahan yang disebabkan oleh perbedaan kondisi lingkungan (matriks) sampel
dan standar (Anonim b, 2010). Idealnya kalibrasi standar seharusnya mendekati
komposisi dari sampel yang dianalisis, tidak hanya pada konsentrasi analit tetapi
juga dalam hal konsentrasi dari elemen lain yang ada dalam matriks sampel,
sehingga dapat meminimalkan pengaruh dari berbagai komponen dalam sampel
terhadap absorbansi yang terukur (Skoog dan West, 1996). Pemanfaatan teknik
adisi standar sangat membantu terutama untuk analisa senyawa yang kadarnya
kecil (Ramette, 1981).
Dalam metode ini, sejumlah volume dari sampel dipindahkan ke dalam
beberapa labu ukur. Satu larutan diencerkan sampai volume tertentu (tidak
ditambah dengan larutan standar) kemudian larutan yang lain ditambahkan
terlebih dahulu sejumlah larutan standar sehingga diperoleh serangkaian
konsentrasi larutan standar. Kemudian larutan tersebut diukur, dan hasilnya dibuat
grafik absorbansi versus konsentrasi standar yang ditambahkan (Anonim b, 2010),
seperti terlihat pada Gambar 3.

Universitas Sumatera Utara

Gambar 3. Grafik Penentuan Kadar dalam Metode Adisi Standar (Harris, 1987)
Seperti terlihat pada Gambar 3, sumbu X merupakan konsentrasi standar
yang ditambahkan sementara sumbu Y menunjukkan nilai absorbansinya.
Ekstrapolasi garis pada sumbu X (titik potong pada sumbu X, mensubstitusikan
nilai Y = 0 pada persamaan regresi) inilah yang setara dengan konsentrasi analit
(concentration of unknown) yang terkandung dalam larutan sampel yang diukur
(Harris, 1987).
Berdasarkan hukum Beer akan berlaku hal hal berikut:
Ax

= k. Ck

At

= k ( Cs + Ck )

Dimana :

Cx = kadar zat sampel


Cs = kadar zat yang ditambahkan ke dalam larutan sampel
Ax = absorbansi zat sampel (tanpa penambahan zat standar)
At = absorbansi zat sampel + zat standar

Jika kedua rumus digabung maka diperoleh Cx = Cs

Universitas Sumatera Utara

Konsentrasi analit dalam sampel dapat dihitung dengan membuat grafik At lawan
Cs seperti pada Gambar 3. Dengan mengekstrapolasi At = 0 pada grafik atau
mensubstitusikan nilai Y = 0 (absorbansi = 0) akan diperoleh kadar analit dalam
sampel, sehingga diperoleh :
Cx = Cs
Cx = Cs

Cx = Cs

(Harris, 1987).

2.4. Validasi
Validasi metode analisis adalah suatu tindakan penilaian terhadap parameter
tertentu, berdasarkan percobaan laboratorium, untuk membuktikan bahwa
parameter tersebut memenuhi persyaratan untuk penggunaanya (Harmita, 2004).
Menurut USP (United States Pharmacopeia), ada 8 langkah dalam validasi
metode analisis yakni akurasi, presisi, batas deteksi, batas kuantifikasi,
spesifisitas, linieritas dan rentang, kekasaran (Ruggedness) dan ketahanan
(Robutness) (Gandjar dan Rohman, 2007).
Akurasi dari suatu metode analisis adalah kedekatan nilai yang terukur
dengan nilai sebenarnya, sering kali dinyatakan dalam persen perolehan kembali
analit pada penentuan kadar sampel yang mengandung analit dalam jumlah
diketahui. Akurasi merupakan ukuran ketepatan prosedur analisis. Akurasi
prosedur analisis ditentukan dengan menerapkan prosedur tersebut pada sampel
atau campuran komponen matriks yang telah dibubuhi analit dalam jumlah
diketahui.

Universitas Sumatera Utara

Presisi dari suatu metode analisis adalah derajat kesesuaian di antara


masing-masing hasil uji, jika prosedur analisis ditetapkan berulang kali pada
sejumlah cuplikan yang diambil dari satu sampel homogen. Presisi dinyatakan
sebagai simpangan baku atau simpangan baku relatif (Relative Standard
Deviation).
Batas deteksi adalah nilai parameter uji batas, yaitu konsentrasi analit
terendah yang masih dapat dideteksi, meskipun tidak selalu dapat dikuantifikasi
pada kondisi percobaan yang dilakukan. Limit deteksi dinyatakan dalam
konsentrasi analit dalam sampel.
Batas kuantifikasi didefenisikan sebagai konsentrasi analit terendah dalam
sampel yang dapat ditentukan dengan presisi dan akurasi yang dapat diterima
pada kondisi operasional metode yang digunakan. Batas kuantifikasi juga
dinyatakan dalam konsentrasi analit dalam sampel.
Spesifisitas adalah kemampuan untuk mengukur analit yang dituju secara
tepat dan spesifik dengan adanya komponen-komponen lain dalam matriks sampel
seperti ketidakmurnian, produk degradasi, dan komponen matriks.
Linieritas merupakan kemampuan suatu metode untuk memperoleh hasilhasil uji yang secara langsung proporsional dengan konsentrasi analit pada kisaran
yang diberikan. Rentang didefenisikan sebagai konsentrasi terendah dan tertinggi
yang mana suatu metode analisis menunjukkan akurasi, presisi, dan linieritas yang
mencukupi.
Kekasaran merupakan tingkat reprodusibilitas hasil yang diperoleh di bawah
kondisi yang bermacam-macam yang diekspresikan sebagai persen standar deviasi
relatif (%RSD).

Universitas Sumatera Utara

Ketahanan merupakan kapasitas metode untuk tetap tidak terpengaruh oleh


adanya variasi parameter metode yang kecil (Gandjar dan Rohman, 2007;
Satiadarma, 2004).

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai