Anda di halaman 1dari 6

Prosiding Seminar Hasil Penelitian Kebencanaan

TDMRC-Unsyiah, Banda Aceh, 13 19 April 2011

ISSN 2088-4532

Studi Pengetahuan, Sikap dan Perilaku Masyarakat


Aceh Dalam Pencegahan
Demam Berdarah Dengue
(KAP study on dengue prevention in aceh)
Rosaria Indah1, Nurjannah1, Dahlia1, Dewi Hermawati1
1

) Peneliti pada Tsunami and Disaster Mitigation Research Center (TDMRC) Universitas Syiah Kuala,
Jl. Tgk Abdurrahman, Gampong Pie, Banda Aceh, Indonesia

Abstrak
DBD (Demam Berdarah Dengue) adalah penyakit endemik yang menimbulkan banyak kerugian dan mengancam jiwa.
Walaupun jarang ditetapkan sebagai Kejadian Luar Biasa (KLB), namun kerugian moral dan material yang disebabkan
oleh DBD cukup besar. Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan cross-sectional desain yang bertujuan untuk
memperoleh gambaran dan hubungan antara pengetahuan, sikap dan perilaku masyarakat dalam upaya pencegahan
DBD. Pengumpulan data telah dilakukan tanggal 22 Desember 2010 sampai 2 Januari 2011 di Kota Banda Aceh dan
Kabupaten Aceh Utara. Pengambilan sampel dilakukan dengan cara stratified random sampling pada 200 responden ibu
rumah tangga di kedua daerah tersebut. Instrumen yang digunakan adalah kuesioner dan lembaran observasi. Hasil
penelitian dianalisa dengan metode statistik Chi-Square (x2) untuk melihat hubungan antara pengetahuan, sikap, dan
perilaku masyarakat di Kabupaten Aceh Utara dan Kota Banda Aceh terhadap pencegahan DBD. Dari hasil penelitian
didapatkan bahwa masih rendahnya pengetahuan masyarakat terhadap upaya pencegahan DBD, yang akhirnya
berpengaruh pada sikap dan perilaku mereka. Dari analisa bivariat ditemukan adanya hubungan yang signifikan antara
pengetahuan terhadap sikap responden dalam pencegahan DBD (x2=5,653, p = 0,017), terdapat hubungan yang
signifikan antara pengetahuan terhadap perilaku responden dalam pencegahan DBD (x2=25,209, p = 0,000) serta
terdapat hubungan yang signifikan antara sikap terhadap perilaku responden dalam pencegahan DBD (x2=17,271, p =
0,000). Penelitian ini merekomendasikan pada pembuat kebijakan dan komponen-komponen masyarakat lainnya untuk
meningkatkan upaya-upaya yang dapat memperbaiki pengetahuan masyarakat tentang DBD sehingga dapat
memperbaiki sikap dan perilaku mereka.
Kata kunci: Pengetahuan, Sikap dan Perilaku (PSP), Demam Berdarah Dengue (DBD), Aceh
1.
PENDAHULUAN
Demam Berdarah Dengue (DBD) sekarang ini telah
menjadi masalah kesehatan yang sangat penting di
negara-negara berkembang tropis. Angka kejadian
demam dengue dan demam berdarah dengue (DBD)
meningkat secara signifikan pada beberapa tahun
terakhir. Setiap tahunnya diperkirakan 50-100 juta kasus
dari demam dengue dan sekitar 250.000-500.000 kasus
terjadi di dunia. Penyakit DBD ini telah menyerang
lebih dari 20 negara dengan jumlah kasus lebih dari
17.000 kasus termasuk 225 kasus kematian. Pergantian
berbagai jenis serotype dari DBD telah dilaporkan dari
berbagai negara. DBD dapat mengenai anak-anak dan
orang dewasa, serta infeksi sekunder dari jenis virus
DBD yang berbeda serotype merupakan faktor resiko
keparahan penyakit DBD (Gubler, 2002).

tahun 2006, kasus DBD sekitar 104.656 kasus dengan


angka kematian 1,03% dan pada tahun 2007 jumlah
kasus mencapai 140.000 dengan angka kematian 1%
(Depkes, 2008).

Di Indonesia, Dengue Hemorrhagic Fever (DHF) atau


Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan penyakit
akibat virus yang masih menjadi masalah kesehatan di
masyarakat. Departemen Kementrian Kesehatan
melaporkan sampai pertengahan tahun 2011 penyakit
DBD telah menjadi masalah endemik di 122 kecamatan,
1800 desa dan menjadi kejadian luar biasa (KLB) pada
tahun 2005 dengan angka kematian sekitar 2%. Pada

Banyak cara dapat diterapkan dalam upaya pencegahan


penyakit DBD seperti Pemberantasan Sarang Nyamuk
Demam
Berdarah
Dengue
(PSN-DBD),
dan
peningkatan perilaku yang sesuai seperti kebiasaan
tidur, penggunaan obat anti nyamuk, kelambu, serta
kebiasaan tidak menggantung baju sembarangan. Caracara pencegahan penyakit DBD dapat diterapkan
dengan pendekatan program-program pendidikan,

Demam Berdarah Dengue merupakan penyakit endemik


di provinsi Aceh dengan jumlah kasus di tahun 2007
sebanyak 40,03/1 juta penduduk yang naik secara
signifikan menjadi 51,82/1 juta penduduk pada tahun
2008. Hal ini dipengaruhi oleh kondisi daerah di
provinsi Aceh sangat cocok bagi tempat berkembang
biak nya nyamuk Aedes aegepty sebagai nyamuk
penyebar virus DBD. Dari data Dinas Kesehatan
Propinsi Aceh, didapatkan data bahwa hanya 39,22%
dari rumah tangga yang bebas dari nyamuk ini (Dinkes
Provinsi Aceh, 2009).

34

Prosiding Seminar Hasil Penelitian Kebencanaan


TDMRC-Unsyiah, Banda Aceh, 13 19 April 2011

ISSN 2088-4532
pemberian bubuk abate secara gratis serta peningkatan
keterlibatan masyarakat dalam upaya peningkatan
kebersihan lingkungan (WHO, 1999).

dan responden yang mempunyai keluarga yang pernah


menderita DBD sebanyak 18,5%. Tabel 1 menjelaskan
tentang demografi responden pada penelitian ini.
Tabel 1. Demografi responden penelitian

Menentukan upayaupaya pencegahan DBD menjadi


hal penting yang harus dilakukan untuk mencegah
kemungkinan kejadian luar biasa dari penyakit DBD.
Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi tingkat
pengetahuan, sikap dan perilaku masyarakat dalam
upaya pencegahan DBD serta mengidentifikasi
hubungan antara variabel-variabel tersebut.

Total
Usia
n
%
18-25
21
10,25
26-40
104
52,0
41-64
69
34,5
65+
6
3,0
Pendidikan
Tidak sekolah
6
3,0
Pendidikan Dasar
76
38,0
Pendidikan Menengah
81
40,5
Pendidikan Tinggi
37
18,5
Pekerjaan
Tidak Bekerja/IRT
125
62,5
PNS
17
8,5
Non-PNS
58
29
Pendapatan
<1.300.000
118
59
1.300.000 4.000.000
74
37
>4.800.000
8
4
Riwayat responden menderita DBD
Ya
16
8,0
Tidak
184
92,0
Riwayat keluarga dengan DBD
Ya
37
18,5
Tidak
163
81,5

2.
METODOLOGI PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan
pendekatan cross sectional design dengan populasi
adalah seluruh ibu rumah tangga (IRT) yang berdomisili
di dua daerah yaitu kota Banda Aceh yang mewakili
urban area dengan kejadian DBD yang cukup tinggi dan
kabupaten Aceh Utara sebagai mewakili rural area
dengan kejadian DBD yang lebih rendah. Jumlah ibu
rumah tangga di kedua daerah tersebut adalah 183,932
orang. Tehnik pengambilan sampel menggunakan
rumus Lwanga & Lemeshow (1991) dan diperoleh 200
responden, yang dibagi secara sratified random
sampling menjadi 68 orang IRT di Kota Banda aceh
dan 132 orang IRT di kabupaten Aceh Utara. Kriteria
inklusi responden bila bersedia menjadi responden dan
dapat berkomunikasi dalam bahasa Aceh atau bahasa
Indonesia. Instrumen penelitian ini berupa kuesioner
yang dikembangkan oleh peneliti berdasarkan literatur
review. serta modifikasi dari hasil penelitian dari PerezGuerra dkk (Perez-Guerra, Seda, Garcia-Rivera, &
Clark, 2005).

Data pada tabel 2 menjelaskan pengetahuan responden


tentang penularan DBD, gejala dan pengobatannya. Dari
total responden yang pernah mendengar tentang DBD,
hanya 57,5% yang mengetahui bahwa DBD adalah
penyakit menular, masih terdapat 25,5% responden
yang percaya bahwa DBD penyakit keturunan serta
13,5% mengatakan DBD tidak ditularkan melalui
gigitan nyamuk. Saat ditanya tentang gejala DBD,
umumnya responden (92%) menjawab demam sebagai
gejala yang paling sering muncul diikuti dengan
kemerah-merahan pada kulit (58,5%).

Kuesioner penelitian terdiri dari 4 bagian. Bagian A


merupakan data demografi, bagian B untuk mengukur
pengetahuan
responden
tentang
DBD
dan
pencegahannya (12 pernyataan), bagian C untuk
mengukur sikap responden dalam mencegah DBD (15
pernyataan), bagian D untuk mengukur perilaku
responden dalam mencegah DBD (13 pernyataan).
Uji coba instrumen telah dilakukan pada 30 orang yang
mempunyai karakteristik yang sama dengan responden
dengan nilai > 0,364 pada derajat kepercayaan 95% (=
0,05). Analisa data terdiri dari: analisa univariat seperti
mean, standard deviasi, frekuensi dan persentase, serta
analisa bivariat untuk mendapatkan hubungan antara
variabel pengetahuan, sikap, dan perilaku responden
dalam upaya pencegahan DBD dengan menggunakan
uji statistik Chi-square (2).

Tabel 2. Pengetahuan responden tentang penyebaran,


gejala dan pengobatan DBD
Pertanyaan penyebaran, gejala &
Total
pengobatan DBD
(n)
DBD penyakit menular
Ya
115
Tidak
54
Tidak Tau
31
DBD penyakit keturunan
Ya
7
Tidak
170
Tidak Tau
23
Cara Penularan DBD
Gigitan Nyamuk
173
Bukan oleh gigitan nyamuk
27
DBD dapat ditularkan dari manusia ke manusia
Ya
40
Tidak
128
Tidak tau
32
DBD dapat di cegah
Ya
182
Tidak
3
Tidak Tau
15
Gejala DBD*
Demam
184

3.
HASIL PENELITIAN
Dari seluruh total responden, semuanya pernah
mendengar tentang DBD. Umumnya responden di
kedua kabupaten berusia 26-40 tahun (52,0%) dengan
tingkat pendidikan terbanyak yaitu tamat SMA (40,5%).
Mayoritas responden tidak bekerja (IRT) (62,35%),
dengan tingkat pendapatan keluarga responden
umumnya kurang dari Rp. 1.300.000 (59,0%).
Responden yang pernah menderita DBD sebanyak 8,0%
35

(%)
57,5
27,0
15,5
3,5
85,0
11,5
86,5
13,5
20,0
64,0
16,0
91
1,5
7,5
92

Prosiding Seminar Hasil Penelitian Kebencanaan


TDMRC-Unsyiah, Banda Aceh, 13 19 April 2011

ISSN 2088-4532
Perdarahan
Nyeri otot
Kemerah-merahan pada kulit
Sakit Kepala
Mual/Muntah
Tidak tau
Pengobatan DBD*
Antibiotik
Anti Malaria
Penurun demam
Anti nyeri
Banyak minum
DBD dapat menyebabkan kematian
Ya
Tidak
Tidak Tau
DBD dapat terkena lagi
Ya
Tidak
Tidak Tau
*Pilihan boleh lebih dari 1

25
37
117
35
42
18

12,5
18,5
58,5
17,5
21,0
9,0

56
18
71
16
58

28,0
9,0
35,5
8,0
29,0

187
3
10

93,5
1,5
5,0

136
17
47

68
8,5
23,5

Memotong/membersihkan kebun
Fogging
Memelihara ikan

Dari tabel 4 dapat dilihat sikap responden tentang


pencegahan DBD. Dari semua item sikap dapat
diketahui hampir seluruh responden memiliki sikap
baik terhadap pencegahan DBD, tetapi terdapat 26%
dari responden yang tidak setuju untuk memelihara ikan
cupang sebagai sebagai salah satu cara pencegahan
DBD.
Tabel 4. Sikap responden terhadap pencegahan DBD
Pertanyaan
DBD berbahaya dan menyebabkan kematian.
Cemas jika saya/anggota keluarga terkena DBD.
DBD harus dicegah bersama-sama.
Gotong royong sangat perlu dilakukan secara
rutin
Membersihkan tempat penampungan air minimal
seminggu sekali.
Kaleng /ban bekas seharusnya dikubur.
Botol, gelas plastik, batok kelapa juga perlu
dikubur atau dibakar.
Tempat penampungan air selalu ditutup.
Fogging/pengasapan tidak diperlukan
Sumur/bak air sebaiknya di beri bubuk abate
Memelihara ikan cupang di bak/sumur saya.
Anggota keluarga yang demam tinggi perlu
segera dibawa ke puskesmas/dokter.
Pot bunga yang berisi air dibersihkan sesering
mungkin
Perlu menghadirinya penyuluhan tentang DBD.
Televisi, radio dan koran perlu memberikan
informasi tentang DBD.

Tabel 3. Pengetahuan responden tentang karakteristik


vektor dan pencegahan DBD
Tempat perindukan (sarang nyamuk)*
Air bersih yg tergenang
Air kotor yg tergenang
Air bersih yg mengalir
Air kotor yg mengalir
Tempat sampah
Kebun
Kapan nyamuk menggigit*
Sore hari
Subuh
Pagi hari
Malam hari
Siang hari
Cara mencegah DBD*
Menguras & membersihkan tempat
penampungan air
Mengubur kaleng bekas
Menutup tempat air
Semprot nyamuk
Obat nyamuk bakar/ listrik/cair
Memasang kawat nyamuk
Memasang kelambu
Membersihkan rumah
Obat nyamuk oles/krim
Membersihkan tempat sampah
Memakai pakaian tertutup
Pengasapan
Raket nyamuk listrik
Bubuk ABATE
Menghindari adanya genangan air

Total
(n)

(%)

83
110
4
10
44
19

41,5
55,0
2,0
5,0
22,0
9,5

56
4
104
44
49

28,0
2,0
52,0
22,0
24,5

136

68,0

98
90
85
65
53
68
123
42
87
17
27
24
46
53

49,0
45,0
42,5
32,5
26,5
34,0
61,5
21,0
43,5
8,5
13,5
12,0
23,0
26,5

10,0
30,5
13,5

* Pilihan jawaban lebih dari satu

Selanjutnya data pengetahuan responden tentang tempat


perindukan nyamuk, waktu menggigit dan cara
pencegahan DBD ditunjukkan pada tabel 3. Lebih dari
separuh total responden (55%) percaya bahwa nyamuk
penyebar DBD berkembang biak di air kotor yang
tergenang dan hanya 41,5% yang mengatakan di air
bersih yang tergenang. Umumnya responden (52%)
mengetahui nyamuk ini menggigit pada pagi hari.
Menguras tempat penampungan air dan membersihkan
rumah merupakan pencegahan yang umum diketahui
oleh reponden (68% dan 61%).

Pertanyaan

20
61
27

n
192

Total
%
96

198
199
196

99
99,5
98

194

97

185
124

92,5
62

192
6
174
52
196

96
3
87
26
98

184

92

183
195

91,5
97,5

Tabel 5 menunjukkan perilaku responden tentang


pencegahan DBD. Umumnya responden berada pada
kategori baik (58,0%). Dari semua item perilaku dapat
diketahui bahwa tindakan yang paling sering dilakukan
responden adalah menguras dan membersihkan tempat
penampungan air (77,5%), serta menutup tempat
penampungan air (64,0%).
Tabel 5 Perilaku responden dalam pencegahan DBD
Pertanyaan
Membersihkan baju bergantungan
Menutup tempat penampungan air
Menguras dan membersihkan tempat
penampungan air
Menggunakan bubuk Abate
Obat nyamuk semprot
Obat nyamuk bakar/listrik
Menggunakan kelambu
Obat anti nyamuk oles
Pengasapan seperti membakar ranting kayu
untuk mengusir nyamuk
Memakai baju dan celana panjang untuk
menghindari gigitan nyamuk
Mengubur kaleng-kaleng/ban bekas

36

n
46
128
155

Total
%
23,0
64,0
77,5

32
89
97
15
33
110

16,0
44,5
48,5
7,5
16,5
55,0

61

30,5

87

43,5

Prosiding Seminar Hasil Penelitian Kebencanaan


TDMRC-Unsyiah, Banda Aceh, 13 19 April 2011

ISSN 2088-4532
4.

mengatakan bahwa demam adalah gejala yang umum


terjadi pada penyakit DBD, lebih tinggi (59%) dari
penelitian Koendraat (2006) di Thailand dan Acharya
(2005) 71,92%. Diikuti oleh gejala timbulnya kemerahmerahan pada kulit (58,5%). Masih terdapat 9,0%
responden yang tidak tahu gejala penyakit DBD, hal ini
konsisten dengan penelitian Itrat (2008) yaitu 9,5%.
Untuk pengobatan, hampir separuh dari responden
(43,5%) mengatakan bahwa minum obat penurun
demam dan penghilang nyeri dapat mengobati DBD,
lebih tinggi dari Itrat (2008) 31,5%, dan hanya 29,0%
responden yang menjawab bahwa minum air yang
banyak dapat membantu pengobatan DBD.

PEMBAHASAN

Sampel dari kedua kabupaten ini menunjukkan


persamaan pada data demografi. Mayoritas responden
berusia 26 40 tahun, sama untuk kedua kabupaten
Aceh Utara dan Banda Aceh (45,5% dan 64,7%).
Responden paling banyak berpendidikan menengah.
Data menunjukkan bahwa hanya 8,0% dari total
responden yang pernah menderita DBD dan 18,5%
mempunyai keluarga dengan riwayat DBD. Hasil ini
lebih rendah dibandingkan dengan dengan penelitian
Itrat (2008) di Pakistan dimana 23% respondennya
mempunyai keluarga dengan riwayat menderita DBD.

Berdasarkan petunjuk dari WHO (1999), tempat


perindukan nyamuk Aedes aegypti adalah air bersih
yang tergenang. Dari tabel 3 hampir setengah dari
responden (41,5%) mengetahui tempat perindukan
jentik nyamuk DBD di air bersih yang tergenang.
Sebaliknya 55% responden menjawab tempat
perindukan jentik di air kotor yang tergenang.
Responden yang mengetahui bahwa waktu nyamuk
Aedes aegypti menggigit pada pagi hari (52,0%), siang
hari (24,5%) dan sore hari (28,0) masih rendah.
Ditambah lagi masih ada responden yang menjawab
nyamuk penyebar DBD menggigit pada malam hari
(22,0%). Hal ini bisa terjadi karena di Aceh juga daerah
yang endemis dengan malaria, sehingga masyarakat
sulit membedakan tempat perindukan jentik dan waktu
menggigit antara nyamuk penyebar DBD dan malaria
(Itrat, 2008). Hanya 68,0% responden yang telah
mengetahui bahwa menguras dan membersihkan tempat
penampungan air dapat mencegah penularan DBD,
lebih rendah dari penelitian Krianto (2009) yang yakni
72,6%. Pengetahuan tentang manfaat membersihkan
rumah untuk mencegah DBD dimiliki oleh 61,5%
responden, lebih tinggi penelitian Acharya (2005)
55,7% serta pengetahuan tentang manfaat mengubur
kaleng bekas (49,0%) lebih tinggi dari Suzuki (2009) di
Jepang 22%.

Dari data terlihat bahwa seluruh responden pernah


mendengar tentang DBD (100%). Umumnya mereka
mendengar dari televisi (60,5%) sedangkan informasi
dari petugas kesehatan hanya 33,0%. Hal ini sejalan
dengan penelitian yang pernah dilakukan oleh Acharya
(2005) di India dan Krianto (2009) di Indonesia bahwa
masing-masing 59,27% dan 64,4% responden
memperoleh informasi DBD dari televisi dan 37,95%
dan 33,6% dari petugas kesehatan. Walapun pada
Krianto (2009) tidak sama sampelnya yaitu antara anak
murid SD, akan tetapi disini terlihat bahwa televisi
sebagai pusat informasi memegang peranan penting
dalam melakukan edukasi kesehatan pada masyarakat
dengan tidak memandang usia dan tempat, ditambah
lagi saat ini hampir semua wilayah di Indonesia sudah
terjangkau oleh jaringan televisi. Ini menunjukkan juga
bahwa peran petugas kesehatan dalam melakukan
penyuluhan tentang pentingnya masyarakat mengetahui
penyakit DBD dan pencegahannya masih kurang dan
mungkin hal ini yang perlu ditingkatkan dimasa
mendatang.
Umumnya pengetahuan responden tentang DBD dan
pencegahannya kurang baik (63,0%). Walaupun semua
responden pernah mendengar tentang DBD, tetapi
hanya 57,5% yang mengetahui bahwa DBD itu penyakit
menular. Proporsi ini lebih rendah dibandingkan dengan
penelitian yang dilakukan Itrat (2008) yang memperoleh
84,8% responden mengetahui DBD itu penyakit
menular. Pada penelitian ini juga masih ditemukannya
miskonsepsi tentang DBD, dimana responden masih
mengatakan bahwa DBD adalah penyakit keturunan
(15%), DBD tidak disebarkan oleh gigitan nyamuk
(13,5%), hal ini konsisten dengan penelitian Itrat (2008)
sebanyak 13,1%.

Pengetahuan ibu-ibu tentang penggunaan obat nyamuk


bakar, semprot dan oles masih rendah (53,5%). Hasil ini
tidak konsisten dengan penelitian Acharya (2005)
dimana pengetahuan tentang pencegahan gigitan
nyamuk memakai obat anti nyamuk (bakar, cair, oles)
sebanyak 70,3%. Pengetahuan responden tentang
penggunaan abate dan memelihara ikan cupang untuk
mencegah penularan DBD masih sangat rendah (23,0%
dan 13,5%), sejalan dengan penelitian Koendraat (2006)
yang menyatakan bahwa pengetahuan tentang
penggunaan abate 46% dan memelihara ikan 5%.

Lebih dari seperempat dari total responden (36%)


menyatakan bahwa DBD dapat ditularkan dari manusia
ke manusia. Ditambah lagi masih ada responden (9%)
yang menganggap bahwa DBD tidak dapat dicegah.
Walaupun angka ini tidak tinggi, tapi punya andil yang
besar dalam mata rantai pencegahan penularan DBD.
Hal ini yang perlu diintervensi oleh stakeholder terkait
seperti puskesmas, dinas kesehatan, maupun masyarakat
itu sendiri. Hampir seluruh responden (92%)

Tabel 6 menunjukkan hubungan antara pengetahuan


dengan variabel usia (p=0,172), pendidikan (p=0,000),
pekerjaan (p=0,002), dan pendapatan (p=0,024).
Responden dengan pendidikan dasar lebih cenderung
mempunyai
pengetahuan
yang
kurang
baik
dibandingkan dengan pendidikan menengah dan tinggi.
Hal ini sesuai dengan penelitian Itrat (2008) bahwa
37

Prosiding Seminar Hasil Penelitian Kebencanaan


TDMRC-Unsyiah, Banda Aceh, 13 19 April 2011

ISSN 2088-4532
tingkat pendidikan mempengaruhi tingkat pengetahuan
seseorang. Demikian halnya dengan tingkat pendapatan
dan pekerjaan, status sosial ekonomi juga
mempengaruhi
tingkat
pengetahuan
seseorang.
Beberapa penelitian menggambarkan hal serupa bahwa
semakin tinggi status ekonomi seseorang akan semakin
meningkat pengetahuannya (Kubik (2004), McArthur
(2001) & Portvin (2000).

serta 92,5% responden tidak menggunakan kelambu


untuk tidur di siang hari.
Dari hasil uji statistik, dapat diketahui bahwa adanya
hubungan yang signifikan antara pengetahuan dan sikap
responden terhadap pencegahan DBD (x2=5,653, p =
0,017), konsisten dengan penelitian Hairil (2003)
dengan p = 0,047.

Tabel 6 Hubungan antara pengetahuan dengan faktor


determinan demografi
Usia (p=0,172)
18-25
26-40
41-64
65+
Pendidikan (p= 0,000)
Tidak sekolah
Pendidikan Dasar
Pendidikan Menengah
Pendidikan Tinggi
Pekerjaan (p=0,002)
Tidak Bekerja/IRT
PNS
Non-PNS
Pendapatan (p=0,024)
<1.300.000
1.300.000 4.000.000
>4.800.000

Pengetahuan
baik
n
%

Didapatkan juga hubungan yang signifikan antara


pengetahuan responden terhadap perilaku pencegahan
DBD (x2=25,209, p = 0,000), sejalan dengan penelitian
Rosdiana (2010) dengan nilai x2=65,047, p = 0,000.
Namun hasil ini tidak sejalan dengan Hairil (2003) yang
menyatakan bahwa pengetahuan yang baik tidak selalu
menunjukkan perilaku yang baik pula.

Pengetahuan
kurang baik
n
%

4
44
23
3

5,4
59,5
31,1
4,1

17
60
46
3

13,5
47,6
36,5
2,4

1
12
41
20

1,4
16,2
55,4
27

5
64
40
17

4,0
50,8
31,7
13.5

44
13
17

59,5
17,6
23

80
4
41

64
3,2
32,8

33
35
6

44,6
47,3
8,1

66
39
2

61,7
36,4
1,9

Untuk hubungan antara sikap terhadap perilaku


pencegahan DBD tampak adanya hubungan yang
signifikan (x2=17,271, p = 0,000), sama dengan hasil
yang diperoleh Krianto (2009) dengan nilai x2=13,998,
p = 0,000 dan Rosdiana (2010) dengan x2=53,188 dan
p=0,000.
5.
KESIMPULAN DAN SARAN
Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa sumber
informasi tentang DBD yang paling banyak diakses oleh
masyarakat adalah televisi. Tingkat pengetahuan
masyarakat tentang pencegahan DBD masih relatif
rendah dan masih sering didapatkan kesalah-pahaman
tentang pencegahan DBD.
Analisa statistik menggambarkan adanya hubungan
yang signifikan antara pengetahuan, sikap dan perilaku
masyarakat terkait pencegahan DBD.
Dapat kita
asumsikan bahwa upaya dalam meningkatkan
pengetahuan juga akan meningkatkan sikap dan perilaku
masyarakat.
Maka dari itu penelitian ini
merekomendasikan
upaya-upaya
peningkatan
pengetahuan melalui media televisi, didukung oleh
media lainnya, agar sikap dan perilaku masyarakat juga
ikut bertambah baik.

Umumnya sikap responden terhadap DBD dan


pencegahannya adalah baik dan positif (62,0%), sama
untuk kedua kabupaten (Aceh Utara 59,8%, Banda
Aceh 60,3%). Hampir seluruh pernyataan tentang sikap
dalam mencegah DBD direspon positif oleh responden,
kecuali untuk tidak dilakukannya fogging atau
pengasapan. Hanya 3% dari total responden yang setuju,
sisanya masih menganggap fogging atau pengasapan
penting dilakukan untuk mencegah DBD. Fogging
memang dilakukan untuk memutus mata rantai
penularan DBD akan tetapi efektifitas untuk pencegahan
DBD sangat rendah karena hanya bertahan lebih kurang
2 minggu dan hanya membunuh nyamuk dewasa saja.
Fogging yang dilakukan secara berulang dalam jangka
waktu lama juga dapat meningkatkan resistensi nyamuk
terhadap insektisida yang digunakan saat kegiatan
fogging. Hanya 26% responden yang mau memelihara
ikan cupang di tempat penampungan air untuk
membunuh jentik nyamuk, padahal cara ini sangat aman
untuk memutus siklus hidup nyamuk.

UCAPAN TERIMAKASIH
Tim peneliti dari Peer Group Human Security TDMRC mengucapkan banyak terimakasih atas
pendanaan menyeluruh dari pihak MDF dan UNDP
melalui project DRR-A dengan nomor kontrak:
537.A/TDMRC-UNSYIAH/TU/XI/2010, dan juga atas
kerjasama TDMRC dengan Pemerintah Daerah Aceh
dan Departemen Dalam Negeri.

Perilaku pencegahan DBD umumnya baik (58,0%),


sama halnya di Aceh Utara dan Banda Aceh (59,8% dan
60,3%). Secara umum perilaku responden dalam
mencegah DBD dengan cara menguras dan
membersihkan tempat penampungan air, menutupnya,
serta melakukan pengasapan seperti membakar ranting
kayu untuk mengusir nyamuk masing-masing 77,5%,
64%, dan 55%. Lebih dari tiga perempat responden
yaitu 77% yang sering membiarkan baju bergantungan

DAFTAR KEPUSTAKAAN
Acharya, A. K., Srinanth, G. S., & Goswami, A. (2005).
Awarness about dengue syndrome and related
preventive practices amongst residents of an
urban ressettlement colony of South Delhi.
journal Vector bornw Diseases .
38

Prosiding Seminar Hasil Penelitian Kebencanaan


TDMRC-Unsyiah, Banda Aceh, 13 19 April 2011

ISSN 2088-4532
Rosdiana.
(2010,
September
1).
Hubungan
Pengetahuan, Sikap dan Perilaku dengan
Pelaksanaan Pemberantasan Sarang Nyamuk
Desa Loa Janan Ulu. Kutai Kertanegara,
Kalimantan Timur, Indonesia.

Depkes, R. (2008). Sistem kesehatan nasional. Jakarta:


Depkes RI.
Dinkes Provinsi Aceh. (2009). Profil kesehatan provinsi
Aceh.

Suzuki, A., Hyunh, T., Tsunoda, T., Luu, L., kawada,


H., & Takagi, M. (2009). effect of existing
practices on reducing aedes Aegypti pre-adults in
key breeding containers in Ho Chi Minh city,
Vietnam. American Journal tropical medicine
Hygiene .

Gubler, D. (2002). Epidemic dengue/dengue


hemorrhagic fever as a public health, social and
economic problem in the 21st century. Trends in
Microbiology , 10 (2).
Hairil F et.al,. (3002). A Knowledge, Attitude and
Practices (KAP) Study on Dengue among
Selected Rural Communities in the Kuala
Kangsar District. Pacific Journal of Public
Health , 37 - 43.

WHO. (1999). The incidence of dengue haemorrhagic


fever.

Itrat, A., Khan, A., Javaid, S., Kamal, H., Javed, S.,
Saira, k., et al. (2008). Knowledge, Awarness
and Practices Regarding Dengue Fever among
the Adult Population of Dengue Hit
Cosmopolitan. Plos One .
Koendraat, C. J., Tuiten, W., Sithiprasasna, R.,
Kijchalao, U., Jones, J. W., & Scott, T. w.
(2006). Dengue knowledge and practices and
their impact on Aedes Aegypti populations in
Khampaeng Phet, Thailand. American Journal
Tropical Medicine and Hygine .
Krianto, T. (2009). Tidak semua anak sekolah mengerti
Demam Berdarah. Makara Kesehatan .
Kubik, K., Blackwell, L., & Heit, M. (2004). Does
socioeconomic status explain racial differences
in urinary incontinence knowledge. American
journal Obsetri Gynecology .
Lwanga, S. K., & Lemeshow, S. (1991). Sample Size
Determination in Health Studies. Geneva: World
Health Organization.
McArthur, L., Pena, M., & Holbert, D. (2001). Effect of
socioeconomic status on the obesity knowledge
on adolesence from six Latin American cities.
International Journal Obesity Relate Metabolism
Diseases .
Perez-Guerra, C. L., Seda, H., Garcia-Rivera, E. J., &
Clark, G. G. (2005). Knowledge and attitudes in
Puerto Rico concerning dengue prevention. Pan
American Journal of Public Health , 17 (4), 243253.
Potvin, L., Richard, L., & Edwards, D. (2000).
Knowledge on Cardiovascular disease risk
factors among the Canadian population:
Relationship with indicators of socioeconomic
status. Cmaj .
39

Anda mungkin juga menyukai