Definisi Autokorelasi
Autokorelasi, korelasi antara anggota observasi satu dengan observasi lain yang
berlainan waktu. Dalam kaitannya dengan asumsi metode OLS, autokorelasi
merupakan korelasi antara satu variable gangguan dengan variable gangguan yang
lain. Sedangkan salah satu asumsi penting metode OLS berkaitan dengan variable
gangguan adalah tidak adanya hubungan antara variabel gangguaan satu dengan
variabel gangguan yang lain. Autokorelasi umumnya terjadi pada penelitian yang
menggunakan data time series namun dapat juga terjadi pada data cross section.
Secara Matematik autokorelasi dinyatakan sebagai :
Cov ( e i , e j )=0 untuk i j
B. Akibat Autokorelasi
Apabila asumsi-asumsi model regresi linier dapat dipenuhi, maka estimator OLS
(ordinary least square) koefisien regresi akan : linier, tidak berbias, dan mempunyai
varians yang minimum, singkatnya memenuhi standar BLUE (best linier unbiased
estimator). Sehingga terjadinya autokorelasi menyebabkan beberapa hal-hal berikut :
1. Estimator yang dihasilkan masih tetap tak bias dan asympot konsisten
2. Penduga tetap tak bias, konsisten tetapi tidak lagi efisien (variansnya tidak
lagi minimum). Oleh karena itu selang keyakinannya menjadi lebar dan
pengujian arti (signifikan) kurang kuat.
3. Estimasi standard error dan varian koefisien regresi yang didapat akan
underestimate.
4. Pemerikasaan terhadap residualnya akan menemui permasalahan.
5. Autokorelasi yang kuat dapat pula menyebabkan dua variabel yang tidak
berhubungan menjadi berhubungan. Biasa disebut spourious regression.
C. Cara Mendeteksi Autokorelasi
Ada beberapa metode untuk mendeteksi masalah Autokorelasi dalam suatu
regresi. Berikut beberapa metode tersebut :
1. Metode Grafik
Berdasarkan model sederhana seperti persamaan berikut:
Y t = 0+ 1 X t +et
Atau dalam bentuk defiasinya
y t =1 x t + ( e t e )
y t =Y tY
Dengan ketentuan :
x t= X t X
e E(et )
e t= yt b 1 x t
e t= 1 xt + ( e te ) b1 x t
( 1b 1) x t + ( e t e )
et =
Selanjutnya diketahui bahwa,
b1= 1 +
xt et
x 2t
Maka,
e t=
x t et
x 2t
x t + ( e te )
et
dengan
yang menunjukan pola yang beraturan, yaitu semakin naik atau semakin turun ini
berarti terjadi gejala autokorelasi.
2. Metode Durbin-Watson (DW)
Prosedur uji yang dikembangkan oleh Durbin-Watson dijelaskan dengan
model sederhana seperti persamaan berikut:
Y t = 0+ 1 X 1 t +e t
et
Jika
maka
e t=v t
-1 <1 .
sehingga variable gangguan di dalam
persamaan tersebut tidak saling berhubungan atau tidak ada autokorelasi. Oleh
karena itu hipotesis nol tidak adanya autokorelasi dapat ditulis
>0 atau
<0 atau
H0 :
=0
0.
dan kemudian
( t t1 )2
d= t=2
t =2
t2
t =1
dimana
erat dengan
t=n
t =n
t + t 12 t t 1
d= t=2
t=2
t =2
t =n
t2
t =1
Karena
t2
dan
2t 1
dimana
(2)
t t 1
t2
(3)
Persamaan (3) merupakan koefisien autokorelasi orde pertama sebagai proksi
. Persamaan (2) dapat ditulis kembali menjadi
dari
d 2(1)
(4)
(5)
=0
maka nilai
d=2
yang berarti
tidak adanya masalah autokorelasi (pada order pertama). Oleh karna itu sebagai
aturan kasar (rule of thumb) jika nilai d adalah 2, maka kita bisa mengatakan
bahwa tidak ada autokorelasi baik positif maupun negative. Jika
d 0,
=+1,
nilai
=1 , nilai
d 4
Dengan demikian nilai d yang semakin besar mendekati 4 maka semakin besar
terjadinya masalah autokorelasi negative.
Durbin-Watson telah berhasil mengembangkan uji statistic berdasarkan
persamaan (1) yang disebut uji statistic d. durbin-Watson berhasil menurunkan
nilai kritis batas bawah ( d l ) dan batas bawah ( d u ) sehinggaa jika nilai d
hitung dari persamaan (1) terletak diluar nilai kritis ini maka ada tidaknya
Hasil
0 < d < d0
d0 d d0
d0 d 4 d0
4 d0 d 4 d0
4 d0 d 4
Salah satu keuntungan dari uji DW yang didasarkan pada residual adalah
bahwa setiap program komputer untuk regresi selalu memberi informasi statistik
d. Adapun prosedur dari uji DW adalah sebagai berikut:
a. Melakukan regrsi model OLS dan kemudian mendapatkan nilai
residualnya
b. Menghitung nilai d (kebanyakan program komputer secara otomatis
menghitung nilai d)
c. Dengan jumlah observasi (n) dan jumlah variabel independen tertentu
tidak termasuk konstanta (k), kita cari nilai kritis d 0 dan d0 di statistik
Dirbin Watson
d. Keputusan ada tidaknya autokorelasi didasarkan tabel 1 atau gambar 2
3. Metode Breusch-Godfrey
Dimana :
n = jumlah individu
T = jumlah periode waktu
e = residual metode Common Effect (OLS)
Hipotesis yang digunakan adalah :
H0 : Common Effect Model
H1 : Random Effect Model
Uji LM ini didasarkan pada distribusi chi-squares dengan degree of freedom
sebesar jumlah variabel independen. Jika nilai LM statistik lebih besar dari nilai
kritis statistikchi-squares maka kita menolak hipotesis nul, yang artinya estimasi
yang tepat untuk model regresi data panel adalah metode Random Effect dari
pada metode Common Effect. Sebaliknya jika nilai LM statistik lebih kecil dari
nilai statistik chi-squaressebagai nilai kritis, maka kita menerima hipotesis nul,
yang artinya estimasi yang digunakan dalam regresi data panel adalah metode
Common Effect bukan metodeRandom Effect .
Pada kesempatan ini uji LM tidak digunakan karena pada uji Chow dan uji
Hausman menunjukan model yang paling tepat adalah Fixed Effct Model. Uji
LM dipakai manakala pada uji Chow menunjukan model yang dipakai adalah
Common Effect Model, sedangkan pada uji Hausman menunjukan model yang
paling tepat adalah Random Effect Model. Maka diperlukan uji LM sebagai
tahap akhir untuk menentukan model Common Effect atau Random Effect yang
paling tepat.
Uji Lagrange Multiplier (LM test) Uji autokorelasi dengan LM test terutama
digunakan unutk sample besar di atas 100 observasi. Uji ini lebih tepat
digunakan dibandingkan DW test terutama bila sample yang akan digunakan
relatif besar dan derajat autokorelasi lebih dari satu. Uji LM akan menghasilkan
statistik Breusch-Godfrey. Pengujian Breusch-Godfrey ( BG test ) dilakukan
dengan meregresi residual menggunakan autoregresive model dengan orde p :
Dalam penelitian ini uji autokorelasi menggunakan uji BreuschGodfrey Serial Correlation LM Test. Metode pengujian dengan uji BreuschGodfrey Serial Correlation LM Test didasarkan pada nilai F dan Obs*RSquared,
dimana jika
nilai
probabilitas
( p-
value)
danObs*R-
(1)
Se bagaimana sebelumnya, diasumsikan bahwa residual mengikuti model
1< <1
(2)
Penyembuhan masalah autokorelasi dalam model ini tergantung dua hal: (1) jika
atau koefisien model AR(1) diketahui; (2) jika tidak diketahui tetapi bsa dicari
melalu estimasi.
1.1.
(1)
e1= et-1+vt 1< <1
(2)
(3)
(4)
(5)
Dimana vt= et et-1 dan memenuhi asumsi OLS seperti persamaan (2)
Persamaan (5) tersebut dapat kita tulis menjadi:
Yt=0+tXt+vt
(6)
(1)
Diferensi tingkat pertama persamaan (8.3) tersebut sebagaimana dalam
persamaan
YtYt-1=0(1 ) + 1X11Xt-1+vt
(5)
(7)
(8)
v 2t
g=
2
n
e tt
1
Dimana et adalah residual dari regresi model asli dan v t merupakan residual
dari regresi model first difference. Dalam menguji signifikansi statistic g
diasumsikan model asli mempunyai kostanta. Kemudian kita dapat menggunakan
table Durbin-Waston dengan hipotesis nol = 1 ditentukan dengan
membandingkan nilai hitungg dengan nilai kritis statistic d. Jika g dibawah nilai
batas minimal dL maka tidak menerima hipotesis nol sehingga kita bisa
mengatakan bahwa = 1 atau ada korelasi positif antara residual.
d
2
metode
Corchrane-Orcutt
sebagaimana
metode
yang
lain
(8.40)
Diasumsikan bahwa residual (et) mengikuti pola autoregresif (AR1) sbb:
e t=et-+vt
Yt ^ Yt-1=0(1
E. Contoh
Berikut contoh
pendeteksian
^ e^
^ ) + 1(Xt ^ Xt-1+vt
autokorelasi
pada
suatu
model
regresi
Impor
PDB
IHK
1987
1988
1989
1990
1991
1992
1993
1994
28.4
32.0
37.7
40.6
47.7
52.9
54.5
64.0
635.7
688.1
753.0
796.3
868.5
935.5
982.4
1063.4
92.9
94.5
97.2
100.0
104.2
109.8
116.3
121.3
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
Dimana :
Y = Impor
X1 = PDB
X2 = IHK
79.5
94.4
131.9
126.9
155.4
185.8
217.5
260.9
1171.1
1306.6
1412.9
1528.8
1702.2
1899.5
2127.6
2368.5
125.3
133.1
147.7
161.2
170.5
181.5
195.4
217.4
Durbin-Watson, estimasi