Anda di halaman 1dari 5

Moralitas Islam

Halaman
MORALITAS ISLAM; MORALITAS ALTERNATIF DI ANTARA
PLURALISME AJARAN MORAL
Oleh: Abid Rohmanu

Pendahuluan
Manusia tidak pernah netral secara moral, itulah sebabnya mengapa
manusia selalu dalam posisi benar atau salah secara moral. Sesuatu yang
ingin ditandaskan dari pernyataan di atas adalah bahwa manusia, siapapun
itu, tidak bisa lepas dari aspek moralitas. Secara ontologis, moral dapat
dipandang sebagai suatu kelengkapan nilai mungkin lebih tepat disebut
potensi yang merupakan bekal setiap manusia dalam meniti peran
kehidupannya.
Ada banyak ajaran moral yang sering kali saling bertentangan satu
sama lain dan masing-masing mengajukan klaimnya pada khalayak. Karena
memang ajaran moral bukanlah monopoli agama saja. Di tengah
kegamangan dalam menentukan pilihan terhadap pandangan moral yang
begitu beragam, sangatlah bijak jikalau kita mau kembali pada moralitas
Islam sebagai sebuah moralitas alternatif di antara pluralisme pandangan
moral yang ada.
Menurut Muslehuddin, pluralisme ajaran moral yang ada belum
memberikan pilihan ajaran moral standar yang dapat dijadikan acuan. Sering
kali ajaran moral hanyalah merupakan rasioalisasi dari keinginan,
kepentingan individu maupun masyarakat tempat individu berafiliasi
(Mohammad Muslehuddin, Morality; Its Concept and Role in Islamic Order,
1984: v). Karena keinginan, kepentingan manusia begitu bervariasi maka
beragam pula ajaran moral yang merasionalisasikannya.. Kesimpulannya
adalah bahwa moralitas tidak lagi bersifat otonom, tapi telah dimanipulasi
oleh kepentingan-kepetingan manusia yang bersifat temporer.
Di antara contoh dalam hal ini adalah Nietzsche, Penganut relativisme
moral, baginya kebaikan adalah segala hal yang mengarah pada kehendak
untuk berkuasa. Karena kekuasaan bisa diperoleh lantaran pranata-pranata
moral yang tidak tunggal, pada akhirnya ia tidak melihat adanya
seperangkat aturan moral yang bersifat universal. Sementara Hedonists
beranggapan bahwa kenikmatan adalah kebaikan itu sendiri dan merupakan
tujuan final (H. Devos, Pengantar Etika, t.t. : 161).

Keadilan-pun yang pada awalnya dianggap sebagai subjek yang tidak


berubah, ternyata tidak demikian halnya. Herbert Spencer misalnya
mengidentikkan keadilan sebagai hasil dari proses sebab akibat dalam artian
biologis. Ia mengatakan bahwa seorang yang lemah sudah sewajarnya
menerima konsekuensi dari kelemahannya, sebaliknya orang yang kuat
sudah selayaknya menerima reward atas superioritasnya. Sedang Nietzsche
beranggapan bahwa keadilan adalah hak mereka yang kuat.
Hal-hal di atas tidak secara langsung merupakan koreksi bagi
kepercayaan umum yang mengatakan bahwa keadilan mempunyai
maknanya yang terbatas dan adanya kesepakatan tentang adanya ajaran
moral yang fundamental. Semua itu adalah non sense (paling tidak dalam
dataran praktis), karena yang ada hanyalah relativisme dan subjektivisme
moral. Dengan relativitas dan subjektivitas tersebut sudah cukup alasan
untuk mengatakan bahwa moralitas adalah subjek yang incomplete dan
unfinished.
Berdasar permasalahan di atas timbul tanda tanya besar seputar
moralitas, menyangkut apa dan bagaimana kebenaran objektif itu? Adakah
standar tertentu untuk mengukur suatu keputusan moral? Pertanyaanpertanyaan tersebut akan dijawab dalam tulisan ini dengan kerangka Islam,
dengan asumsi bahwa Islam adalah agama yang suci, sempurna, universal,
maka tentu demikian juga moralitasnya.
Memang bagaimanapun moralitas Islam tidak bisa diperbandingkan
dengan moralitas-moralitas lain, apalagi itu rumusan manusia, akan tetapi
bila hal tersebut akan membuat kita lebih obyektif dalam memandang
moralitas Islam dan tidak terjebak pada argumen-argumen apologetis,
kenapa tidak?
Moralitas Islam; Pedoman Moral Standar dalam Meniti Kehidupan
Moralitas lazim didefinisikan sebagai sekumpulaan norma yang
dijadikan acuan manusia dalam meniti kehidupan di dunia. Karenanya secara
teoritis, studi terhadapnya berkisar pada pertanyaan bagaimanakah
kehidupan yang baik itu dan bagaimana seharusnya manusia bertingkah laku
dan bertindak.
Merujuk pada G. E. Moore, Muslehuddin mengatakan bahwa teori-teori
klasik moralitas hanya mengabdi pada tipe-tipe logika tertentu untuk
menjustifikasi teorinya dan ketika dihadapkan pada tipe penalaran yang lain
akan mati kutu. Di sisi yang lain teori-teori klasik hanya memberikan
semacam nasehat, petuah bukan mendefinisikan konsep-konsep moral
seperti kebenaran, kejahatan dan semisalnya (Muslehuddin, Morality, hlm.
18). Hedonisme misalnya hanya memberi nasehat bahwa kehidupan yang
baik adalah kehidupan yang terdiri dari kenyamanan dan kenikmatan, dan
konsekuensinya manusia harus mengusahakannya dalam bentuk tindakan
nyata. Tidak pernah ada usaha untuk mendefinisikan kata baik, benar,
seandainya ada pendefinisian hanya bersifat deskriptif belaka.
Berdasar permasalahan di atas perlu adanya pendekatan yang objektif
terhadap moralitas, yaitu keputusan moral yang tidak hanya didasarkan

pada pikiran, emosi, hasrat dan kepentingan manusia yang bersifat labil dan
tidak pasti. Pemikiran manusia sangat sulit (kalau malah tidak mungkin) bisa
mencapai derajat obyektif. Hal tersebut karena pikiran manusia selalu
dipengaruhi oleh sikap dan emosi personal, pada level pertama, afiliasi kelas
(kelas yang beroposisi terhadap kelas lain biasanya sekaligus beroposisi
terhadap sistem nilainya) dan internalisasi budaya sekitar pada level kedua
dan ketiga. Manusia tidak bisa lepas dari ketiga level tersebut, seandainya ia
bebas dari level pertama, ia tak akan bebas dari level kedua atau ketiga
(Fuad Baali dan Ali Wardi, Ibn Khaldun and Islamic Thought-Style; a Social
Perspective, 1981: viii).
Karenanya diperlukan adanya instrumen parameter moralitas yang
independen dan bersifat eksternal terhadap manunsia, parameter tersebut
adalah agama. Hal ini didasarkan pada asumsi bahwa ada dunia lain, norma
lain selain yang bisa kita indera, yang bersifat transenden dan berisi nilainilai moralitas.
Dalam konteks agama Islam kebenaran yang objektif hanya
merupakan pengetahuan Tuhan. Karenanya untuk bisa meniti kehidupan
dengan benar, menjadikan hukum Tuhan sebagai pedoman adalah
keharusan. Dalam al-Quran, al-Baqarah, (2): 177, Allah memberikan rincianrincian kebaikan. Yang perlu digarisbawahi adalah rincian pertama, yaitu
keimanan kepada keesaan Tuhan (unity of God / tawhid), konsep sentral
dalam Islam. Konsep ini mempunyai implikasi-implikasi sosial-etis,
diantaranya adalah bahwa Konsep ini pada saat yang sama juga
mengekpresikan akan kesatuan dan kebersamaan manusia (unity of man).
Karenanya pada ayat yang lain, al-Hujurat (49): 10, Allah menegaskan bahwa
semua mumin adalah bersaudara.
Pada sisi yang lain, Allah sama sekali tidak menerima keimanan
seseorang tanpa dibuktikan oleh amal nyata, sebaliknya amal nyata tanpa
dilandasi keimanan juga akan sia-sia. Karenanya sering kali dalam al-Quran
perintah keimanan dipersandingkan dengan berbuat kebajikan, berimanlah
dan berbuatlah kebajikan, berbuat kebajikan terhadap sesama baik dalam
bentuk materi atau immateri. Statemen seperti ini menurut Izatbegovic
diulang-ulang dalam al-Quran lebih dari 50 kali (Alija Ali Izetbegovic,
Membangun Jalan Tengah, terj. Nurul Agustina dan Farid Gaban, 1992: 141).
Hal urgen lain berkaitan dengan moralitas Islam adalah bahwa
moralitas ini lebih didasarkan pada aspek kewajiban. Memang Islam
mengakui bahwa kewajiban mempunyai korespondensi dengan hak, akan
tetapi dalam wacana moralitas aksentuasinya akan berlainan. Dalam hal ini
Muslehuddin pernah mengatakan: Rights have corresponding duties but in
Islamic law duties are more than rights (Muslehuddin, Morality, hlm. 41).
Penekanan hanya pada hak pada gilirannya juga hanya menekankan pada
kekuatan dan otoritas seseorang terhadap yang lain, seringkali hal ini
mengancam perdamaian yang telah terajut dalam masyarakat. Sebaliknya
penekanan pada kewajiban (the sense of duty), akan mengingatkan kita
pada tanggung jawab terhadap sesama. Perasaan seperti inilah (perasaan

akan kewajiban kepada Tuhan dan sesama) yang akan mengontrol tingkah
laku manusia dan menjauhkannya dari perbuatan jahat
Cukup beralasan jika Izetbegovic mengatakan bahwa kewajiban
merupakan tema sentral moralitas, sedang hak, kepentingan adalah
tema sentral politik. Kewajiban dan kepentingan adalah dua daya penggerak
aktivitas manusia, akan tetapi kewjiban selalu lebih tinggi dari pada
kepentingan, dan kepentingan tidak mempunyai kaitan dengan moralitas.
Seseorang yang mempertaruhkan nyawanya dengan memasuki rumah
terbakar untuk menyelematkan anak tetangga, akan tetapi hanya keluar
dengan membopong mayat si-anak, agaknya sulit untuk menilainya sebagai
tindakan moral bila dilihat dari sudut motif kepentingan (Izetbegovic,
Membangun, hlm., 125).
Merujuk kepada Aristoteles, suatu tindakan hanya akan bernilai moral
bila dipenuhi beberapa persyaratan, pertama; pelaku mengetahui dan sadar
akan tindakannya, kedua; tindakannya merupakan pilihannya secara
otonom, ketiga; tindakan tersebut merupakan ekspresi dari karakter yang
sudah mapan dan stabil. Dengan kata lain tindakan harus dilakukan secara
bebas (voluntary), merupakan pilihan dan merupakan ekspresi dari cita-cita
tertentu dari seseorang yang secara personality sudah masak
Kebebasan adalah pra-kondisi dari moralitas, adanya moralitas hanya
masuk akal karena manunsia mempunyai kebebasan. Binatang tidak
mengenal faham kewajiban dan tidak dapat dianggap bertanggung jawab,
karena tidak memiliki kebebasan, semuanya ditentukan oleh dorongan
instingnya (Franz Magnis Suseno, Etika Dasar; Masalah-Masalah Pokok
Filsafat Moral , 1987: 21). Agar tindakan bernilai moral, tindakan juga harus
didasarkan pada karakter yang matang dan stabil, akan tetapi persoalannya
tak seorangpun dapat mengklaim mempunyai stabilitas karakter yang
absolut, kecuali ia telah mendapatkan pendidikan. Pendidikan tersebut hanya
dapat didapatkan secara sempurna dari Islam, dengan panduan petunjuk alQuran dan contoh ideal kehidupan Nabi Saw., karenanya tindakan moral
hanya akan bermakna bila disandarkan pada wahyu ketuhanan.
Prasarat yang lain adalah niat (motive) suatu tindakan. Tidak
sebagaimana Bentham yang mengatakan bahwa kebaikan suatu tindakan
diukur berdasar konsekuensinya (akibat) yang seringkali sulit untuk dikontrol,
Islam menjadikan niat sebagai suatu yang subtantif dalam tindakan, karena
ia merupakan sumber inspirasi suatu tindakan (Izetbegovic, Membangun,
hlm. 128). Dalam konsep agama dalam setiap diri manusia ada suatu pusat
batin. Setiap tindakan diambil, dipilah dan dikonfirmasi secara batin. Tanpa
konsultasi dengan dirinya sendiri (batin), tindakan manusia tak lebih dari
sebuah aksi mekanis saja. Niat membantu menentukan ganjaran dan
balasan suatu tindakan, hal ini sesuai dengan ajaran Nabi saw. Bahwa suatu
tindakan hanya bisa dinilai dari motivasinya yang merupakan inspirator bagi
tindakan tersebut .
Dari uraian-uraian di atas dapat disimpulkan bahwa keberimanan dan
perasaan akan kewajiban adalah komponen yang signifikan dalam moralitas
Islam. Tuntutan untuk memenuhi kewajiban tanpa mempertimbangkan

kesulitan dan resiko yang yang mungkin dihadapi hanya memperoleh


pembenaran jika ada unsur keimanan, keimanan akan Tuhan, akan adanya
alam dan kehidupan lain selain alam dan kehidupan di dunia ini.
Penutup
Dewasa ini mengangkat wacana moralitas adalah sesuatu yang urgen
di tengah kondisi sosial budaya yang dekaden seiring semakin tak
terbendungnya arus modernisasi. Modernisasi selalu bersifat dialektik, dalam
artian modernisasi selain menawarkan kemudahan-kemudahan, juga
mengandung implikasi-implikasi negatif, antara lain modernisasi juga
menawarkan paket-paket moralitas yang bersifat sekuler. Seringkali tanpa
kita sadari, kemajuan tekhnologi, perkembagan media baik cetak maupun
elektronik telah menyuapi kita dengan ajaran-ajaran moral, seperti
hedonisme, anarkisme, watak konsumtif dan yang lainnya.
Pluralisme ajaran moral yang bersifat sekuler bukanlah moralitas
standar, karenanya tidak dapat dipakai untuk bekal meniti kehidupan.
Moralitas-moralitas tersebut hanya bersifat nisbi dan temporer. Seringkali
moralitas-moralitas tersebut merupakan rasionalisasi dari kepentingankepentingan sesaat manusia yang bersifat materialistis. Berbeda dengan
moralitas Islam yang mempunyai perspektif yang lebih komprehensif, karena
selain mengakui manusia sebagai makhluk yang berdimensi material juga
menekankan arti pentingnya sisi ruhaniah manusia. Karena itulah kebenaran
obyektif dalam konteks etika Islam tidak semata didasarkan pada penalaran
manusia akan tetapi juga melibatkan spirit ketuhanan dan parameterparameter yang yang disepakati seperti niat (motif), bebas (voluntary) dan
karakter yang stabil. Kesemuanya itu untuk menghindarkan manusia dari
keterjebakan pada paham materialisme.

Anda mungkin juga menyukai