Oleh :
13508005
RYAN RHEINADI
17209031
ANDHIEZA TSALASHRA
10208079
10209074
RENADI PERMANA K.
FAZIL ICHWANUDIN
PROGRAM STUDI
FAKULTAS SENI RUPA DAN DESAIN
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah memberikan rahmat
serta karunia-Nya kepada kami untuk menyelesaikan laporan Kontroversi Isu Sosial yang
berjudul, Pro-Kontra Pernikahan Dini di Masyarakat ini tepat pada waktunya.
Laporan mata kuliah Kontroversi Isu Sosial yang berjudul, Pro Kontra Pernikahan Dini di
Masyarakat ini terkait dengan kontroversi pendapat masyarakat mengenai pernikahan dini
yang terjadi di bawah usia 21 tahun. Pembuatan laporan ini menggunakan metoda kualitatif,
yakni dengan pengumpulan data di lapangan langsung melalui wawancara ke berbagai
narasumber yang melakukan pernikahan dini di bawah usia 21 tahun serta golongan
masyarakat. Laporan yang kami buat masih jauh dari sempurna, maka kami menerima saran
dan kritik, dan mohon maaf apabila masih ada kekurangan.
Kami berharap dengan laporan Kontroversi Isu Sosial yang berjudul, Pro Kontra Pernikahan
Dini di Masyarakat dapat mendatangkan manfaat ke berbagai pihak, terutama masyarakat
secara umum. Kami ucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang telah membantu kami
dalam pembuatan laporan ini, baik dari segi transportasi hingga informasi terkait judul ini.
Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
1.1.3 Pernikahan Dini Masih Menjadi Isu Kontroversial di Kalangan Masyarakat, terutama
di Indonesia
Pro dan kontra mengenai masalah pernikahan dini tidak hanya terjadi di kalangan
masyarakat umum. Pemerintah dan media seringkali mengangkat isu ini. KUA sendiri
juga menghimbau bahwa pasangan yang menikah di bawah usia 21 tahun,
memerlukan surat perizinan dari orang tua atau wali. Media juga memberitakan
bahwa pernikahan dini menjadi salah satu aspek yang pertumbuhannya cepat di
masyarakat Indonesia.
Pernikahan dini merupakan satu di antara beberapa indikator terhadap laju
pertumbuhan penduduk (LPP), contohnya di Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, selama
tahun 2012. Hal itu memicu naiknya angka kematian ibu (AKI) maupun angka
kematian bayi (AKB). Kepala Sub-bidang Evaluasi dan Informasi dan Data Badan
Keluarga Berencana dan Pemberdayaan Perempuan (BKBPP) Kabupaten Cianjur,
Rudi Wibowo, tidak memungkiri bahwa pernikahan yang dilakukan di usia dini
memicu naiknya laju pertumbuhan penduduk, baik migrasi maupun urbanisasi.
Fenomena pernikahan di usia dini menjadi kultur beberapa masyarakat yang masih
memposisikan anak perempuan sebagai warga kelas 2, yakni mempercepat
perkawinan dengan berbagai alasan, seperti ekonomi; sosial; maupun anggapan tidak
penting mencakup stigma negatif terhadap status perawan tua.[1]
1.2
Identifikasi Masalah
Kami mengidentifikasi masalah tersebut ke dalam beberapa hal, yaitu:
a.
b.
Adanya variasi dari dampak yang ditimbulkan setelah terjadi pernikahan, baik
positif maupun negatif.
c.
1.3
Rumusan Masalah
Dari identifikasi masalah tersebut, kami menyusun beberapa rumusan masalah yang
menjadi topik tugas ini.
a.
1.4
b.
c.
Metoda Penelitian
Metoda penelitian yang kami lakukan adalah secara kualitatif, yaitu dengan melakukan
wawancara ke berbagai pihak, baik pihak yang melakukan pernikahan di bawah usia 21
tahun maupun dari golongan masyarakat.
1.5
Tujuan Laporan
Dari rumusan masalah tersebut, tujuan kami mengangkat topik ini adalah:
a.
b.
c.
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1
2.2
2.3
Teori Fungsionalis
Konsep yang berkembang dari teori ini adalah cultural lag (kesenjangan
budaya). Konsep ini mendukung Teori Fungsionalis untuk menjelaskan bahwa
perubahan sosial tidak lepas dari hubungan antara unsur-unsur kebudayaan dalam
masyarakat. Menurut teori ini, beberapa unsur kebudayaan bisa saja berubah dengan
sangat cepat sementara unsur yang lainnya tidak dapat mengikuti kecepatan perubahan
unsur tersebut. Maka, yang terjadi adalah ketertinggalan unsur yang berubah secara
perlahan tersebut. Ketertinggalan ini menyebabkan kesenjangan sosial atau cultural
lag.[4]
Para penganut Teori Fungsionalis lebih menerima perubahan sosial sebagai
sesuatu yang konstan dan tidak memerlukan penjelasan. Perubahan dianggap sebagai
suatu hal yang mengacaukan keseimbangan masyarakat. Proses pengacauan ini berhenti
pada saat perubahan itu telah diintegrasikan dalam kebudayaan. Apabila perubahan itu
ternyata bermanfaat, maka perubahan itu bersifat fungsional dan akhirnya diterima oleh
masyarakat, tetapi apabila terbukti disfungsional atau tidak bermanfaat, perubahan akan
ditolak. Tokoh dari teori ini adalah William Ogburn.
2.
3.
4.
Penggunaan teori ini berkaitan dengan istilah ketinggalan jaman yang beredar
di masyarakat. Fokus penggunaan teori ini adalah membahas mengenai budaya lama
yang masih bertahan hingga sekarang serta pandangan terhadap hal tersebut dari
masyarakat modern, serta masyarakat desa.
Budaya pernikahan dini masih lekat di daerah pedesaan, menurut teori ini
beberapa unsur kebudayaan dapat berubah cepat sementara yang lainnya tidak dapat
mengikuti kecepatan perubahannya. Hal tersebut dapat dilihat dari bagian-bagian
masyarakat yang tidak siap dengan modernisasi atau menolak modernisasi dengan
berbagai alasan, sehingga terbentuklah culturallag dalam hal pernikahan dini ini.
2.4
Teori Kognitif
Menurut Ratna Willis Dahar, konsep kognitif dapat di artikan sebagai suatu
proses yang mementingkan cara berpikir insight, reasoning, menggunakan logika
induktif dan deduktif. Dengan demikian menurut pandangan teori kognitif, manusia
adalah makhluk rasional, demikianlah pandangan dasar para penganut teori ini.
Berdasarkan rasionya manusia bebas memilih dan menentukan apa yang akan dia
perbuat. Tingkah laku manusia semata-mata ditentukan oleh kemampuan berpikirnya.
Semakin inteligen dan berpendidikan, otomatis seseorang akan semakin baik
perbuatan-perbuatannya, dan secara sadar pula akan melakukan perbuatan-perbuatan
untuk memenuhi keinginan atau kebutuhan tersebut.
Menurut teori kognitif, tingkah laku tidak di gerakan oleh apa yang disebut
motivasi, melainkan oleh rasio.[5] Setiap perbuatan yang akan dilakukannya sudah
dipikirkan alasan-alasannya. Oleh karena itu setiap orang sungguh-sungguh
bertanggung jawab atas segala perbuatannya. Disini tidak dikenal perbuatan-perbuatan
yang berbeda diluar kontrol rasio. Pandangan di atas adalah pandangan para filsuf kuno
seperti Sokrates, Plato, dan Thomas Aquinas. Bahkan pandangan ini pada masa yang
silam hampir menjadi pandangan umum dikalangan masyarakat.
Dalam teori ini juga juga diletakkan pentingnya fungsi kehendak. Bahkan
fungsi kehendak disejajarkan dengan fungsi berpikir dan fungsi perasaan, sejauh fungsi
berpikir dapat dipertanggungjawabkan. Teori ini tidak menyadari bahwa kadangkadang tindakan manusia itu berada diluar control rasio, sehingga sukar
mempertanggungjawabkannya. Disinilah justru letak kelemahan teori ini, yaitu tidak
dapat menerangkan tindakan-tindakan yang berada diluar control rasio. Hal ini akan
terjawab bila konsep motivasi mendapat tempat dibelakang setiap tingkah laku, baik
yang disadari maupun yang tidak disadari.
Insight merupakan wawasan, sedangkan reasoning adalah alasan seseorang
terhadap suatu kasus. Dalam laporan ini, insight berbuhubungan dengan pengetahuan
masyarakat mengenai pernikahan dini, sedangkan reasoning berhubungan dengan
alasan atau penjelasan masyarakat mengenai keputusan pro dan kontra mereka. Sesuai
dengan yang dipaparkan teori ini, semakin tinggi insight seseorang, maka
pandangannya mengenai pernikahan dini lebih luas dan terbuka.
Teori ini menegaskan, bahwa pasangan yang menikah dini telah memikirkan
alasan-alasan dari keputusan mereka. Di dalam teori ini juga disinggung mengenai
tanggung jawab perbuatan, dalam hal ini, pihak suami yang bertanggung jawab
menghidupi keluarganya semenjak pernikahan. Selain itu juga menyinggung mengenai
kehendak, fungsi berpikir, dan perasaan. Dalam kasus pernikahan dini, fungsi berpikir
dan perasaan merupakan faktor besar dalam keputusan yang diambil. Apabila pasangan
sudah berpikir dan merasa siap dalam melangsungkan pernikahan maka kehendak
mereka akan terlaksana dengan dukungan dari berbagai pihak (yang dekat dengan
pasangan).
2.5
Teori Dorongan
Teori dorongan menekankan pada hal yang mendorong terjadinya tingkah
laku. Bahkan sebenarnya teori keseimbangan dasarnya adalah teori dorongan ini, dan
teori keseimbangan memperkuat kebenaran teori dorongan ini.Teori dorongan
diperkenalkan oleh Robert Woodworth pada tahun 1918. Pada waktu itu Woodworth
mengartikan dorongan sebagai suatu tenaga dari dalam diri kita yang menyebabkan kita
berbuat sesuatu. Oleh karena itu kata motif juga diberi arti dorongan yang
menimbulkan dan mengarahkan tingkah laku manusia.
Dalam arti tertentu dorongan disini mirip dengan insting, misalnya saja
dorongan seksual, dorongan mencari makan karena lapar dan seterusnya. Dorongandorongan seperti ini sifatnya asli, tidak perlu dipelajari, instingtif. Perbedaan pokok
antara dorongan dan insting sering kali memang tidak jelas, namun teori dorongan ini
lebih
didasari
oleh
eksperimen-eksperimen
yang
teliti
dan
dapat
kuat dorongan seseorang untuk makan dapat diketahui dari tekanan darahnya, kuatnya
dorongan seksual, dapat diketahui dari jumlah hormone seksual yang beredar dalam
darah dan seterusnya.
Teori
dorongan
ini
semakin
banyak
diakui
setelah
muncul
teori
2.6
Teori Kultivasi
Teori Kultivasi memusatkan perhatiannya pada pengaruh media komunikasi,
khususnya televisi, terhadap khalayak. Televisi merupakan sarana utama masyarakat
untuk belajar tentang dunia, orang-orangnya, nilai-nilainya serta adapt kebiasaannya.[6]
Teori kultivasi berasumsi bahwa pecandu berat televisi membentuk suatu citra
realitas yang tidak konsisten dengan kenyataan. Misalnya, pecandu berat televisi
menganggap kemungkinan seseorang untuk menjadi korban kejahatan adalah 1
berbanding 10. Dalam kenyataannya, angkanya adalah 1 berbanding 50. Pecandu berat
mengira bahwa 20% dari total penduduk dunia berdiam di Amerika Serikat.
Kenyataannya hanya 6%. Pecandu berat percaya bahwa persentase karyawan dalam
posisi manajerial atau professional adalah 25%, kenyataannya hanya 5%.Williams
mengomentari hal yang sama, Orang yang merupakan pecandu berat televisi seringkali
mempunyai sikap stereotip tentang peran jenis kelamin, dokter, bandit atau tokoh-tokoh
lain yang biasa muncul dalam serial televisi. Dalam dunia mereka, pembantu rumah
tangga mungkin digambarkan sebagai wanita yang hidup palimg menderita. Perwira
polisi menjalani hari-hari yang menyenangkan. Pejabat-pejabat pemerintahan adalah
orang yang munafik.
Tentu saja, tidak semua pecandu berat televisi terkultivasi secara sama.
Beberapa lebih mudah dipengaruhi televisi daripada yang lain (Hirsch, 1980). Sebagai
contoh, pengaruh ini bergantung bukan saja pada seberapa banyak seseorang menenton
televisi melainkan juga pada tingkat pendidikan, penghasilan, dan jenis kelamin
pemirsa. Misalnya, pemirsa ringan berpenghasilan rendah melihat kejahatan sebagai
masalah yang serius sedangkan pemirsa ringan berpenghasilan tinggi tidak demikian.
Wanita pecandu berat melihat kejahatan sebagai masalah yang lebih serius ketimbang
pria pecandu berat. Artinya, ada faktor-faktor lain di luar intensitas menonton televisi
yang mempengaruhi persepsi kita untuk menerima gambaran dunia yang sebenarnya.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa televisi adalah media yang paling mempengaruhi
persepsi seseorang terhadap kehidupan.
Dalam teori ini, kami menghubungkan definisi dengan pengaruh pendapat
masyarakat mengenai pernikahan dini yang mereka lihat di media massa. Media massa
merupakan subjek yang berpengaruh besar dalam pembentukan opini dan pandangan
masyarakat terhadap suatu kasus, apalagi jaman sekarang, dimana komunikasi
merupakan hal yang tidak sulit didapat.
BAB III
METODA PENELITIAN
Untuk mengkaji topik ini, kami menggunakan metoda kualitatif, yaitu dengan wawancara
langsung ke berbagai pihak yang menyangkut perihal pernikahan, baik pihak yang melakukan
pernikahan di bawah usia 21 tahun maupun tokoh masyarakat, seperti dokter; psikolog;
ulama; KUA; masyarakat umum.
Untuk itu kami menggunakan matriks sebagai pedoman wawancara untuk dihubungkan
dengan rumusan masalah dan teori sehingga menghasilkan data yang diinginkan.
No
Rumusan Masalah
Teori
Pedoman Wawancara
Apakah budaya pernikahan dini
merusak tatanan masyarakat?
Apakah pernikahan dini merusak
pribadi seseorang yang menikah di usia
dini?
Fungsionalis
pernikahan dini?
tahun
Kultivasi
menyebabkan terjadinya
pernikahan dini?
Kognitif
3.
pernikahan dini?
Werden
BAB IV
HASIL PENELITIAN
Hasil penelitian ini, terdapat dua pihak yang di wawancara secara langsung, yaitu
pelaku pernikahan dini dan masyarakat modern. Untuk pelaku pernikahan dini, diberi
pertanyaan dari pedoman wawancara secara lengkap, sedangkan untuk masyarakat dari
berbagai golongan dipilih beberapa pertanyaan guna menyimpulkan dan menganalisis
pandangan masyarakat secara umum mengenai pernikahan dini.
Respon pelaku A mengenai pernikahan yang dilakukan di bawah usia 21 tahun tidak
menentang perihal pernikahan dini tersebut. Menikah di usia dini tidak merusak tatanan
masyarakat dan merupakan pilihan baik. Pernikahan adalah sesuatu yang didasari atas
rasa saling suka dan niat awal adalah untuk berkeluarga serta merasa siap untuk
menikah, sehingga tidak mungkin ada keterpaksaan. Selain itu, untuk menghindari seks
bebas dan MBA (Married By Accident) juga menjadi alasan utama terjadinya
pernikahan di usia dini. Dampak setelah menikah adalah menjadi tenang, walaupun
mendapat kesulitan secara finansial.
b.
Respon pelaku B yang menikah di usia 18 tahun tidak menentang perihal pernikahan
dini tersebut. Walaupun secara finansial belum siap, tetapi alasan untuk menghindari
hal-hal yang tidak diinginkan menjadi faktor utama untuk menikah di usia 18 tahun.
Alasan lainnya adalah karena tidak ingin jarak antara usia anak dengan orang tua
terpantau jauh, sehingga ketika anaknya tumbuh besar, orang tua masih produktif
bekerja untuk membiayai kehidupan anaknya yang lebih baik. Pandangan untuk
menikah di usia dini berada pada kesiapan mental dan bukan menjadi alasan
ketinggalan jaman. Pernikahan dini tidak merusak tatanan masyarakat, karena
pernikahan itu dilakukan setelah mendapat persetujuan dari keluarga dan kerabat. Yang
menjadi tatanan masyarakat adalah bagaimana pasangan yang setelah menikah, tidak
menjaga ikatan pernikahan tersebut, sehingga berujung pada pertengkaran bahkan
sampai perceraian.
c.
Respon perilaku C yang menikah di usia 20 tahun tidak menentang perihal pernikahan
dini, walaupun pernikahan itu terjadi akibat hamil diluar nikah. Walaupun secara
finansial dan mental belum siap, tetapi dengan alasan yang mendesak akibat hamil
diluar nikah dan melihat kondisi perempuan yang tidak memungkinkan untuk
melakukan tindakan aborsi, pihak laki-laki harus berani bertanggung-jawab. Manfaat
setelah menikah adalah belajar bertanggung-jawab atas hal yang telah dilakukan dan
mendewasakan diri.
d.
Respon perilaku D yang menikah di usia 18 tahun menentang adanya pernikahan dini,
karena banyak efek negatif untuk kedepannya. Pernikahan yang dilakukan di usia dini
tidak menganggap bahwa budaya dan pergaulan sekitar bukan penyebab utama, karena
keputusan untuk menikah berada di tangan pihak perempuan dan laki-laki. Awalnya,
pihak keluarga menentang dilihat dari ketidakhadiran ayah mempelai perempuan dan
ketidakhadiran orang-tua dari pihak laki-laki, namun respon kerabat yang positif
menjadi keyakinan untuk menikah. Faktor yang mendukung pernikahan di usia dini ada
pada kesiapan mental. Hal tersebut mendapat hasil bahwa pihak perempuan menjadi
korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Kesiapan fisik tidak terlihat untuk
kasus pernikahan dini, karena ketika anaknya lahir mengalami kompilasi jantung.
Meskipun ada juga yang tidak terjadi hal tersebut.
Pandangan Masyarakat
a.
b.
Ustad
Adanya pernikahan di usia dini sangat baik dibandingkan zina, seperti seks bebas atau
kumpul kebo yang dapat merusak tatanan masyarakat. Pernikahan dilakukan
berdasarkan niat, apabila niatnya tidak baik meskipun usianya tidak dini maka akan
bersifat merusak. Keuntungan dari menikah adalah akan mendatangkan banyak rezeki.
Namun, kebanyakan pernikahan yang dilakukan di usia dini awal niatnya adalah karena
nafsu, setelah itu baru ingin menikah. Menurut Ustad, daripada mengikuti budaya
modern yang sudah terpengaruh oleh budaya luar, lebih baik menikah dini yang
mengikuti budaya leluhur. Teknologi saat ini lebih memudahkan untuk menjalin suatu
hubungan dan akan rusak jika tidak dikendalikan.
c.
Dokter
Secara biologis, alat reproduksi manusia di bawah usia 21 tahun masih dalam proses
menuju kematangan, sehingga belum siap untuk melakukan hubungan seks dengan
lawan jenis, apalagi pada pihak perempuan jika sampai hamil dan melahirkan. Jika
dipaksakan akan menjadi trauma, perobekan yang luas pada alat reproduksi wanita,
bahkan sampai terjadinya infeksi yang akan membahayakan fisik dan jiwa perempuan.
Ada beberapa kasus yang memang diharuskan untuk menikah di usia dini, seperti anakanak yang telah melakukan hubungan biologis layaknya suami-istri. Apabila anak
tersebut tidak dinikahkan, maka akan menjadi aib. Tanpa mempedulikan perasaan dan
kegundahan orang-tua, menikah di usia dini merupakan sebuah solusi bagi orang-tua
yang akibatnya akan menyesatkan kehidupan anak-anak. Karena sangat besar
munculnya konflik di kehidupan pernikahan tersebut. Faktor-faktor terjadinya
pernikahan dini adalah pada pemahaman agama, selain itu ada faktor ekonomi dan
faktor adat-budaya. Menurut ilmu kesehatan, usia yang kecil risiko dalam melahirkan
adalah antara usia 20-35 tahun, artinya melahirkan di bawah 20 tahun dan di atas 35
tahun mengalami prematuritas, bahkan cacat bawaan fisik maupun mental.
d.
Psikolog
Secara psikologis, menikah di bawah usia 21 tahun kurang baik, baik dari pihak lakilaki maupun perempuan. Ego masing-masing masih belum stabil dan baru memasuki
fase dewasa awal, karena baru mengakhiri masa remaja. Seseorang menikah di usia dini
tergantung pada alasan menikah. Jika dijodohkan maka memang ketinggalan jaman,
karena masyarakat saat ini memiliki pikiran modern yang tidak lagi mengikuti kisah siti
nurbaya. Jika pernikahan menyebabkan pertengkaran dan perselisihan, apalagi sampai
fase perceraian, maka akan merusak tatanan masyarakat. Budaya modern bukan faktor
utama menikah dini, karena budaya modern saat ini lebih mengarah pada pergaulan
bebas dibanding pernikahan. Faktor utama seseorang menikah di usia dini adalah
karena suatu alasan yang mendesak dan menekan, sehingga seseorang mengharuskan
untuk menikah. Sebagai contoh hamil diluar nikah yang tidak memungkinkan untuk
melakukan aborsi, atau tidak sanggup membiayai anak perempuan sehingga dinikahkan
untuk menjadi tanggung jawab pihak laki-laki. Namun, faktor sekunder yang menjadi
alasan menikah di usia dini adalah karena ego yang sebenarnya belum siap untuk
menikah; baik secara fisik, finansial, maupun mental. Sehingga ketika terjadi
perselisihan atau pertengkaran, emosi individu memuncak, dan fatalnya bisa
menyebabkan perceraian yang efeknya lebih panjang ke jiwa perempuan. Kualitas
pasangan yang menikah di usia dini dibandingkan dengan kondisi masyarakat saat ini
masih rendah. Pada jaman sekarang, tingkat intelektualitas berpengaruh besar pada
masa depan seseorang, intelektual ini bisa diartikan dengan pendidikan. Makin tinggi
pendidikan, makin besar kesempatan kerja dengan gaji yang layak. Secara tidak
langsung menyinggung masalah ekonomi, karena apabila menyinggung pendidikan,
disana ada pekerjaan yang layak, dan disana ada masalah uang yang akan diterima
setiap bulan yang menentukan kadar kesuksesan seseorang atau keluarga.
e.
Masyarakat Umum
Pro Terhadap Pernikahan Dini
Menikah di usia dini tidak merusak diri sendiri, kecuali hamil di luar nikah. Karena
menikah itu selama fisik sudah matang dan mapan, tidak ada hubungannya dengan
merusak diri sendiri. Sedangkan hamil diluar nikah, walaupun fisik mampu dan mental
belum siap, bisa berpengaruh terhadap kelanggengan pernikahan. Menikah di usia dini
bukan masalah ketinggalan jaman, tetapi tahu alasan dan essensi dari pernikahan.
Pandangan masyarakat sudah berfikir negatif tanpa mencari alasan yang sesungguhnya.
Dampak negatif dari pernikahan dini ada pada jenjang pendidikan yang sedang dijalani,
pendidikan jadi terganggu dan emosi masih belum stabil. Namun dampak positif adalah
belajar bertanggung-jawab serta terhindar dari seks bebas.
BAB V
ANALISIS
Masih banyak pandangan pro dan kontra masyarakat mengenai pernikahan di bawah
21 tahun. Apabila dihubungkan antara teori-teori menurut ahli dengan hasil wawancara
berdasarkan rumusan masalah yang diambil, maka keduanya berhubungan dan menghasilkan
hasil yang sama sesuai teori.
Rumusan masalah kedua: Apa faktor yang menyebabkan terjadinya pernikahan di usia dini?
Berdasarkan rumusan masalah di atas, teori yang digunakan adalah teori Fungsionalis, teori
die Art des Werden, teori keseimbangan objektif, teori Dorongan dan teori kognitif. Hasil
yang diperoleh menyatakan bahwa sebab niat seseorang menikah di usia dini adalah karena
ada suatu hal yang mendesak, seperti nafsu, baru timbul niat ingin menikah. Salah satu faktor
yang menyebabkan terjadinya pernikahan di usia dini adalah budaya modern yang ada di
Indonesia, kemajuan teknologi yang pesat memudahkan seseorang untuk menjalin
komunikasi langsung atau tidak langsung. Dengan kemudahan teknologi, maka
keingintahuan seseorang semakin meningkat. Faktor sosial, ekonomi, budaya menjadi faktor
pendukung penyebab terjadinya pernikahan di usia dini, baik secara positif maupun negatif.
secara positif maupun negatif. Dampak positifnya adalah untuk menghindari zina akibat
banyaknya seks bebas dan MBA (Married By Accident) yang terjadi di masyarakat. Selain
itu, jiwa menjadi tenang dan mendewasakan diri seseorang. Namun, ada juga dampak negatif
akibat pernikahan dini tersebut. Diantaranya adalah belum adanya kesiapan fisik maupun
mental, serta risiko cacat lebih besar bagi jiwa perempuan maupun anak, yang efeknya akan
panjang.
Dampak dari pernikahan di usia dini tergantung dari individu yang menjalani
pernikahan. Jika niat awal menikah baik, maka kehidupan pernikahan menjadi positif, jika
niat awal tidak baik, maka akan berujung perselisihan bahkan perceraian.
BAB VI
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Berdasarkan teori dan hasil wawancara yang diperoleh, kami dapat menyimpulkan bahwa:
a.
Masyarakat yang setuju dengan pernikahan di usia dini cenderung ingin terhindar dari
zina, walaupun belum memiliki kesiapan fisik ataupun mental.
b.
Masyarakat yang kurang setuju dengan pernikahan di usia dini beranggapan bahwa di
bawah usia 21 tahun akan mendatangkan bahaya bagi anak, khususnya perempuan.
c.
Faktor yang menyebabkan terjadinya pernikahan di usia dini terletak pada suatu hal
yang mendorong dan mendesak seseorang untuk menikah, seperti nafsu ingin menikah
atau hamil diluar nikah.
d.
Dampak dari pernikahan di usia dini tergantung dari individu yang menjalani
pernikahan. Jika niat awal menikah baik, maka kehidupan pernikahan menjadi positif,
jika niat awal tidak baik, maka akan berujung perselisihan bahkan perceraian
Saran
a.
Perlu pemahaman lebih rinci mengenai bagaimana seseorang yang menikah dibawah
usia 16 tahun (untuk perempuan) dan 19 tahun (untuk laki-laki).
b.
c.
Perlu pemahaman untuk masyarakat terhadap UU no.1 tahun 1974 tentang perkawinan.
DAFTAR PUSTAKA
[1]
Dampak
Buruk
Pernikahan
Dini.
2011.
Wardah
Fazriyati.
Teori-Teori
Kasualitas.
2009.
Setia
Darma.
http://setia-
Teori-Teori
Perubahan
Sosial.
2010.
Achmad
Alfin.
http://alfinnitihardjo.ohlog.com/teori-teori-perubahan-sosial.oh112689.html.[27
April
2013]
[5]
TeoriTeori
Perkembangan
Manusia.
2011.
Yogoz.
Teori
Kultivasi
(Cultivation
Theory).
2008.
Denontarr.