Anda di halaman 1dari 30

1

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah
memberikan berkat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan kasus INI
GUNA MEMENUHI PERSYARATAN Kepaniteraan Klinik Senior di SMF Ilmu Penyakit
Dalam RSU dr. Pirngadi Medan dengan judul Sindroma Nefrotik
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada COW dan Dokter
Ruangan XIV dan semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan penulisan laporan
ini serta semua staf pengajar di SMF Ilmu Penyakit Dalam RSU Dr. Pirngadi Medan.
Kemudian teman-teman di kepaniteraan klinik.
Penulis menyadari bahwa penulisan laporan kasus ini masih jauh dari kesempurnaan.
Sehingga, penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca demi kebaikan penulisan
laporan kasus selanjutnya. Semoga makalah laporan kasus ini bermanfaat, akhir kata penulis
mengucapkan terima kasih.

Medan, 8 Mei 2015

Penulis

2
DAFTAR ISI

Kata Pengantar.................................................................................................................. 2
Daftar Isi............................................................................................................................. 3
Bab 1 Pendahuluan............................................................................................................ 4
Bab 2 Tinjauan Pustaka.................................................................................................... 6
2.1. Sindroma Nefrotik............................................................................................ 6
2.1.1. Definisi.............................................................................................. 6
2.1.2. Etiologi............................................................................................... 6
2.1.3. Epidemiologi...................................................................................... 8
2.1.4. Patogenesis......................................................................................... 8
2.1.5. Patofisiologi ....................................................................................... 10
2.1.6. Diagnosis............................................................................................ 12
2.1.7. Komplikasi......................................................................................... 12
2.1.8. Penatalaksanaan ................................................................................. 15
Bab 3 Laporan Kasus........................................................................................................ 17
Bab 3 Kesimpulan.............................................................................................................. 31
Daftar Pustaka................................................................................................................... 32

3
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1.

Latar belakang
Sindrom nefrotik adalah suatu sindrom (kumpulan gejala) yang terjadi akibat berbagai

penyakit yang menyerang ginjal. Hal ini menyebabkan proteinuria (protein di dalam air
kemih), menurunnya kadar albumin dalam darah, penimbunan garam dan air yang berlebihan,
serta meningkatnya kadar kolesterol dalam darah.4,3
Pada Sindrom Nefrotik terdapat klasifikasi berdasarkan klinis dan gambaran patologi
anatomi. Respon terhadap penggunaan steroid lebih sering digunakan untuk menentukan
prognosis. Apabila setelah 4 minggu pengobatan steroid dosis penuh tidak terjadi remisi,
pasien dinyatakan sebagai sindrom nefrotik resisten steroid.4,2
Glomeruli adalah bagian dari ginjal yang berfungsi untuk menyaring darah. Pada
nefrotik sindrom, glomeruli mengalami kerusakan karena inflamasi dan hialinisasi sehingga
protein-protein yang berukuran kecil seperti albumin, imunoglobulin dan anti-trombin dapat
melewati ginjal dan keluar bersama urin. Albumin adalah protein didalam darah yang
berfungsi mempertahankan tekanan osmotik koloid. Albumin berfungsi mencegah bocornya
darah dari pembuluh darah kedalam jaringan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
pembentukan edema pada nephrotic syndrome adalah dikarenakan kerusakan mikrovaskuler
dan retensi natrium dan air oleh karena kerusakan ginjal (akibat peningkatan sekresi
angiotensin). 4,9
Gejala awal sindrom nefrotik bisa berupa berkurangnya nafsu makan, pembengkakan
kelopak mata, nyeri perut, pengerutan otot, pembengkakan jaringan akibat penimbunan
garam dan air, serta air kemih berbusa. Selain itu, perut dapat membengkak karena terjadi
penimbunan cairan dan sesak nafas, serta timbul cairan di rongga sekitar paru-paru (efusi
pleura). Sementara itu, gejala lainnya adalah pembengkakan lutut dan kantong zakar (pada
laki-laki). Biasanya, pembengkakan yang terjadi sering kali berpindah-pindah; pada pagi hari,
cairan tertimbun di kelopak mata, dan setelah berjalan, cairan akan tertimbun di pergelangan
kaki. Pengkisutan otot bisa tertutupi oleh pembengkakan.4,7,13
Pada anak, dapat terjadi penurunan tekanan darah saat penderita berdiri yang
menyebabkan shock. Selain itu, produksi air kemih dapat berkurang dan bisa terjadi gagal
ginjal karena rendahnya volume darah dan berkurangnya aliran darah ke ginjal. Terkadang,
gagal ginjal disertai penurunan pembentukan air kemih secara tiba-tiba.4,1,7

4
Insidensi sindrom nefrotik pada anak di Amerika serikat dan Inggris yaitu 2 - 4 kasus
baru per 100.000 anak tiap tahun. Prevalensi Sindrom Nefrotik Kelainan Minimal (SNKM) di
negara barat sekitar 2 - 3 kasus per 100.000 anak < 16 tahun, di Asia 16 kasus per 100.000
anak Insiden sindrom nefrotik pada anak di Indonesia sekitar 6 kasus per 100.000 anak < 14
tahun. Anak laki-laki lebih sering terjangkit daripada anak perempuan dengan perbandingan
2:1. Anak dengan SNKM biasanya berumur 1 < 10 tahun, sekitar 90% kasus berumur < 7
tahun dengan usia rerata 2 - 5 tahun. 6,12
Sindrom nefrotik idiopatik pada anak, sebagian besar (80-90%) mempunyai gambaran
patologi anatomi berupa kelainan minimal (SNKM). Gambaran patologi anatomi lainnya
adalah glomerulosklerosis fokal segmental (GSFS) 7-8%, mesangial proliferatif difus (MPD)
1,9 2,3%, glomerulonefritis membranoproliferatif (GNMP) 6,2%, dan nefropati
membranosa (GNM) 1,3%. Pada pengobatan kortikosteroid inisial, sebagian besar SNKM
(94%) mengalami remisi total (responsif), sedangkan pada GSFS 80-85% tidak responsif
(resisten steroid).8,10
Pada penelitian Irda, dkk, 2006 di Rumah Sakit Wahidin Sudirohusodo Makassar,
pasien SN sebanyak 56 orang yang terdiri dari anak lakilaki 36 orang dan anak perempuan 20
orang dengan frekuensi anak laki-laki (64,3%) dibandingkan dengan anak perempuan
(35,7%). Hal ini sesuai dengan pernyataan dalam kepustakaan, bahwa SN lebih banyak
diderita oleh anak laki-laki daripada anak perempuan dengan perbandingan 2 : 1.5
Berdasarkan rekapitulasi medical record RSUD Kota Makassar, didapatkan jumlah
penderita pada tahun 2010 berkisar 12 kasus, pada tahun 2011 berkisar 24 kasus, tahun 2012
berkisar 25 kasus. Melihat dari jumlah kasus, penderita sindrom nefrotik cenderung
mengalami peningkatan setiap tahunnya.11

5
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Sindrom Nefrotik


2.1.1. Definisi19,15
Sindrom yang terdiri dari kumpulan tanda dan gejala berupa:
Proteinuria masif >3,5 g/1,73 m2/24 jam
Hiperlipidemia >200 mg/dl
Edema anasarka
Hipoalbuminemia <3,5 gr/dl

a.
b.
c.
d.

2.1.2. Etiologi
Sindrom nefrotik (SN) merupakan diagnosis klinis, yang memiliki etiologi primer
(dari ginjal) maupun sekunder (di luar ginjal, biasanya sistemik).14
Tabel 2.1 Klasifikasi dan Penyebab Sindroma Nefrotik 9

a. Glomerulonefritis Lesi Minimal

6
Glomerulonefritis lesi minimal ditemukan sekitar 90% pada anak dengan SN usia
dibawah 10 tahun, dan lebih dari 50% pada anak yang lebih tua. Sebanyak 10-15%
terjadi pada SN dewasa. Pada dewasa terjadi sebagai suatu kondisi yang idiopatik,
berhubungan dengan pemakaian obat antiinflamasi non-steroid (OAINS), atau efek
paraneoplastik dari suatu keganasan (paling sering Limfoma Hodgkin). Temuan
histologis khas dari lesi minimal adalah adanya effacement difus dari foot process
(FP) sel epitel pada ikroskop elektron.9
b. Glomerulosklerosis fokal segmental
Glomerulosklerosis fokal segmental (GSFS) merupakan lesi tersering yang ditemukan
pada SN dewasa yang idiopatik. Di Amerika Serikat sebanyak 35% dari seluruh kasus
dan 50% diantaranya adalah kulit hitam. Pada pemeriksaan mikroskop cahaya GSFS
ditandai dengan adanya beberapa glomeruli (fokal) di area segmental dari mesangial
yang mengalami kolaps dan sklerosis. GSFS dapat muncul sebagai sindrom idioptik
(GSFS primer) atau berkaitan dengan infeksi HIV, nefropati refluks, bekas injuri
glomerulus sebelumnya atau obesitas berat.9
c. Nefropati Membranosa
Nefropati membranosa merupakan penyebab SN primer tersering pada dewasa.
Insiden tertinggi terjadi pada umur 30 dan 50 tahun serta rasio antara laki-perempuan
adalah 2:1. Lesi khas adalah adanya penebalan membran basal dengan sedikit atau
tidak ditemukannya proliferasi atau infiltrasi selular, dan adanya deposit di sepanjang
membran basal glomerulus pada mikroskop elektron. Nefropati membranosa juga
dapat terjadi akibat hepatitis B antigenemia, penyakit autoimun, tiroiditis, keganasan
dan pemakaian beberapa obat-obatan seperti penisilamin, kaptopril, dan OAINS.9
d. Amiloidosis
Amiloidosis terjadi pada 4-17% kasus dengan SN idiopatik, dan kejadiannya
meningkat pada populasi usia lanjut. Ada dua jenis utama amiloidosis renal ; Al atau
amiloid primer, terjadi diskrasia light chain dimana fragmen dari light chain
monoklonal membentuk fibril amiloid ;
AA atau amiloidosis sekunder, dimana plasma amiloid A pada reaksi fase akut
membentuk fibril amiloid. AA amiloid dihubungkan dengan penyakit inflamasi kronik
seperti artritis rheumatoid atau osteomielitis.9

2.1.3. Epidemiologi15

7
Sindrom nefrotik (SN) pada anak merupakan penyakit ginjal anak yang paling sering
ditemukan. Insidens SN pada anak dalam kepustakaan di Amerika Serikat dan Inggris adalah
2-7 kasus baru per 100.000 anak per tahun, dengan prevalensi berkisar 12-16 kasus per
100.000 anak. Di negara berkembang insidensnya lebih tinggi. Di Indonesia dilaporkan 6 per
100.000 per tahun pada anak berusia kurang dari 14 tahun.Perbandingan anak laki-laki dan
perempuan 2:1.
Dalam laporan ISKDC (International Study for Kidney Diseases in Children), pada anak
sebagian besar (80%) SN idiopatik mempunyai gambaran patologi anatomi kelainan minimal
(Glomerulonefritis

lesi

minimal).

Gambaran

patologi

anatomi

lainnya

adalah

glomerulosklerosis fokal segmental (GSFS) 7-8%, mesangial proliferatif difus (MPD) 2-5%,
glomerulonefritis membranoproliferatif (GNMP) 4-6%, dan nefropati membranosa (GNM)
1,5%.
2.1.4. Patogenesis9,14
Keruskan yang terjadi pada glomerulus tidak hanya tergantung respon imunologik
awal tetapi juga ditentukan oleh seberapa besar pengaruhnya terhadap timbulnya kelainan.
Inflamasi juga berpengaruh terhadap terjadinya kelainan pada glomerulus. Proses
imunopatogenesis

pada glomerulus terjadi kaibat respon imunologik yang diatur oleh

berbagai faktor imunogenetik yang menentuksan bagaimana individu merespon terhadap


suatu kejadian. Secara garis besar dua mekanisme yang dapat terjadi, yaitu:
1. Circulating Immune Complex (CIC)
Pada CIC, antigen (Ag) eksogen memicu terbentuknya antibodi (Ab) spesifik, kemudian
membentuk komplek imun (Ag-Ab) dalam sirkulasi. Komplek imun akan mengaktivasi
sistem komplemen dan selanjutnya komplemen berikatan dengan Ag-Ab. Dalam keadaan
normal ikatan komplemen dengan Ag-Ab bertujuan untuk memebersihkan komplek imun
dari sirkulasi melalui reseptor C3b yang terdapat pada eritrosit. Komplek imun akan
mengalami degradsi dan dibersihkan dari sirkulasi pada saat eritrosit melewati hati dan
limpa. Apabila antigenemia menetap dan bersihan komplek imun terganggu, maka
komplek imun akan menetap dalam sirkulasi. Komplek imun kemudian akan terjebak
pada glomerulus melalui ikatannya dengan reseptor-Fc yang terdapat pada sel mesangial
atau mengendap secara pasif di daerah mesangium atau ruang sub-endotel. Aktivasi
sistem komplemen akan terus berjalan setelah terjadi pengendapan komplek imun pada
glomerulus.
2. Deposit komplek imun in-situ

8
Terjadi secara in-situ apabila Ab secara langsung berikatan dengan Ag yang merupakan
komponen dari membran basal glomerulus (fixed-Ag) atau Ag dari luar yang terjebak
pada glomerulus (planted-antigen). Alternatif lain apabila Ag non-glomerulus yang
bersifat kation terjebak pada bagian anion glomerulus, diikuti pengendapan Ab dan
aktifasi komplemen secara lokal.
Selain kedua mekanisme tersebut, kerusakan glomerulus dapat dimediasi oleh imunitas
selular (cell-mediated immunity). Studi eksperimental membuktikan bahwa sel T dapat
berperan langsung terhadap timbulnya proteinuria. Sel T yang tersensitisasi oleh Ag eksogen
dan Ag endogen yang terdapat pada glomerulus akan mengaktivasi makrofag dan
menghasilkan reaksi lokal hipersensitivitas tipe lambat (delayed type).
Kerusakan pada glomerulus tidak hanya secara langsung disebabkan oleh endapan komplek
imun. Berbagai faktor seperti proses inflamasi, sel inflamasi, mediator inflamasi, dan
komplemen berperan pada kerusakan glomerulus. Pada sebagian glomerulonefritis, endapan
komplek imun akan memicu proses inflamasi dalam glomerulus dan menyebabkan proliferasi
sel. Pada glomerulonrefritis non-proliferatif dan tipe sklerosing seperti GN membranosa
(GNMN) atau glomerulosklerosis fokal segmental (GSFS) tidak melibatkan sel inflamasi.
Faktor lain seperti imunologik yang mendasari terbentuknya Ag-Ab, lokasi endapan,
komposisi dan jumlah endapan, serta jenis Ab berpengaruh terhadap kerusakan glomerulus.

2.1.5. Patofisiologi9,14
1. Proteinuria
Proteinuria disebabkan oleh peningkatan permeabilitas kapiler terhadap
protein akibat kerusakan glomerulus. Dalam keadaan normal, membran basal
glomerulus (MBG) mempunyai mekanisme penghalang untuk mencegah kebocoran
protein. Mekanisme penghalang pertama berdasarkan ukuran molekul (size barrier)
dan yang kedua berdasarkan muatan listrik (charge barrier). Pada SN, kedua

9
mekanisme penghalang tersebut ikut terganggu. Selain itu, konfigurasi molekul
protein juga menentukan lolos tidaknya protein melalui MBG.
Dua faktor utama yang menyebabkan filtrasi glomerulus protein plasma meningkat:
a. Ketika barier filtrasi diubah oleh penyakit yang mempengaruhi glomerulus. Protein
plasma, terutama albumin, dapat melalui glomerulus.
b. Faktor-faktor hemodinamik seperti peningkatan tekanan kapiler glomerulus/fraksi
filtrasi mungkin juga menyebabkan proteinuria glomerulus oleh tekanan difus yang
meningkat tanpa perubahan apapun pada permeabilitas intrinsik dinding kapiler
glomerulus.
Proteinuria dibedakan menjadi selektif dan non-selektif berdasarkan ukuran
molekul protein yang keluar melalui urin. Proteinuria selektif apabila protein yang
keluar terdiri dari molekul kecil, misalnya albumin sedangkan non-selektif apabila
protein yang keluar terdiri dari molekul besar seperti immunoglobulin.
Pada SN yang disebabkan oleh GNLM ditemukan proteinuria selektif. Pemeriksaan
mikroskop elektron memperlihatkan fusi dari foot processus sel epitel viseral
glomerulus dan terlepasnya sel dari struktur MBG. Berkurangnya kandungan heparin
sulfat proteoglikan pada GNLM menyebabkan muatan negative MBG menurun dan
albumin dapat lolos ke dalam urin.
2. Hipoalbuminemia
Konsentrasi albumin plasma ditentukan oleh asupan protein, sintesis albumin
hati dan kehilangan protein melalui urin. Pada SN, hipoalbuminemia disebabkan oleh
proteinuria massif dengan akibat penurunan tekanan onkotik plasma. Untuk
mempertahankan tekanan onkotik plasma maka hati berusaha meningkatkan sintesis
albumin. Peningkatan sintesis albumin hati tidak berhasil menghalangi timbulnya
hipoalbuminemia. Diet tinggi protein dapat meningkatkan sintesis albumin hati akan
tetapi dapat mendorong peningkatan ekskresi albumin melalui urin. Hipoalbuminemia
dapat pula terjadi akibat peningkatan reabsorbsi dan katabolisme albumin oleh tubulus
proksimal.
3. Edema
Edema pada SN dapat diterangkan dengan teori underfill dan overfill. Teori
underfill menjelaskan bahwa hipoalbuminemia merupakan faktor kunci terjadinya
edema pada SN. Hipoalbuminemia menyebabkan penurunan tekanan onkotik plasma
sehingga cairan bergeser dari intravaskular ke jaringan interstitium mengikuti hukum
Starling dan terjadi edema. Akibat penurunan tekanan onkotik plasma dan
bergesernya cairan plasma terjadi hipovolemia, dan ginjal melakukan kompensasi

10
dengan merangsang sistem renin-angiotensin sehingga terjadi retensi natrium dan air
di tubulus distal. Mekanisme kompensasi ini akan memperbaiki volume intravaskular
dan akan mengeksaserbasi terjadinya hipoalbuminemia sehingga edema semakin
berlanjut.
Teori overfill menjelaskan bahwa retensi natrium adalah defek utama renal.
Terjadi defek primer pada kemampuan nefron distal untuk mengekskresikan natrium,
hal ini dapat disebabkan oleh aktivasi kanal natrium epitel oleh enzim proteolitik yang
memasuki lumen tubulus pada keadaan proteinuria masif. Akibatnya terjadi
peningkatan volume darah, penekanan renin-angiotensin dan vasopressin, dan
kecenderungan untuk terjadinya hipertensi dibandingkan hipotensi; ginjal juga relatif
resisten terhadap efek natriuretic peptide. Meningkatnya volume darah, akibat
tekanan onkotik yang rendah, memicu transudasi cairan ke ruang ekstraselular dan
edema. Penurunan laju filtrasi glomerulus akibat kerusakan ginjal akan menambah
retensi natrium dan edema. Kedua mekanisme tersebut ditemukan secara bersamaan
pada pasien SN. Faktor seperti asupan natrium, efek diuretik atau terapi steroid,
derajat gangguan fungsi ginjal, jenis lesi glomerulus, dan keterkaitan dengan penyakit
jantung atau hati akan menentukan mekanisme mana yang lebih berperan.

Gambar 2.1. Mekanisme Edema pada Sindrom Nefrotik9


2.1.6. Diagnosis9,14
Berdasarkan pemikiran bahwa penyebab SN sangat luas, maka anamnesis dan
pemeriksaan fisik, serta pemeriksaan urin termasuk pemeriksaan sedimen perlu
dilakukan dengan cermat. Pemeriksaan kadar albumin dalam serum, kolesterol, dan

11
trigliserid juga membantu penilaian terhadap SN. Anamnesis penggunaan obat,
kemungkinan berbagai infeksi, dan riwayat penyakit sistemik lain perlu diperhatikan.
Pemeriksaan serologik dan biopsi ginjal sering diperlukan untuk menegakkan
diagnosis dan menyingkirkan kemungkinan penyebab GN sekunder. Pemeriksaan
serologik sering tidak banyak memberikan informasi dan biayanya mahal. Oleh
karena itu, sebaiknya pemeriksaan serologik hanya dilakukan berdasarkan indikasi
yang kuat.
2.1.7. Komplikasi
1. Keseimbangan nitrogen negatif
Proteinuria massif akan menyebabkan keseimbangan nitrogen menjadi negatif, secara
klinis biasanya diukur dengan menggunakan kadar albumin plasma. Sindrom nefrotik
adalah suatu wasting illness, namun kehilangan derajat massa otot tertutupi oleh
gejala edema anasrka dan baru tampak setelah edema menghilang. Kehilangan massa
otot sebesar 10-20% dari massa tubuh tanpa lemak (lean body mass) tidak jarang
dijumpai pada SN. Turnover albumin meningkat bukan hanya sebagai repon terhadap
kehilangan protein dalam urin namun juga akibat katabolisme protein terfiltrasi di
tubulus.
2. Hiperkoagulasi
Komplikasi tromboemboli sering ditemukan pada SN akibat peningkatan koagulasi
intravaskular. Kadar berbagai protein yang terlibat dalam kaskade koagulasi
terganggu pada SN, serta agregasi platelet turut meningkat. Selain itu juga terjadi
peningkatan fibrinogen dan penurunan fibrinolisis. Gangguan koagulasi yang terjadi
disebabkan oleh peningkatan sintesis protein oleh hati dan kehilangan protein melalui
urin. Hasil akhirnya adalah kondisi hiperkoagulasi yang diperberat dengan adanya
imobilisasi, koinsidensi infeksi, dan hemokonsentrasi.
Pada SN akibat nefropati membranosa kecenderungan terjadinya thrombosis vena
renalis cukup tinggi terutama pada pasien dengan ekskresi protein dalam urin
melebihi 10 gram per hari, sedangkan SN pada lesi minimal dan membranoproliferatif
frekuensinya kecil. Emboli paru dan thrombosis vena dalam (deep vein thrombosis)
sering dijumpai pada SN. Kelainan tersebut disebabkan oleh perubahan tingkat dan
aktivitas berbagai faktor koagulasi intrinsik dan ekstrinsik.
3. Hiperlipidemia dan lipiduria
Hiperlipidemia merupakan keadaan yang sering menyertai SN. Respon hiperlipidemia
sebagian dicetuskan oleh menurunnya tekanan onkotik plasma, serta derajat
hiperlipidemia berbanding terbalik dan berhubungan erat dengan menurunnya tekanan

12
onkotik. Kondisi hiperlipidemia dapat reversibel seiring dengan resolusi dari SN yang
terjadi, baik secara spontan maupun diinduksi dengan obat.
Kadar kolesterol umumnya meningkat sedangkan trigliserid bervariasi dari normal
sampai sedikit meninggi. Peningkatan kadar kolesterol disebabkan meningkatnya
LDL (low density lipoprotein), lipoprotein utama pengangkut kolesterol. Kadar
trigliserid yang tinggi dikaitkan dengan peningkatan VLDL (very low density
lipoprotein). Mekanisme hiperlipidemia pada SN dihubungkan dengan peningkatan
sintesis lipid dan lipoprotein hati, dan menurunnya katabolisme.
Hiperlipidemia dapat ditemukan pada SN dengan kadar albumin mendekati normal
dan sebaliknya pada pasien dengan hipoalbuminemia kadar kolesterol dapat normal.
Tingginya kadar LDL pada SN disebabkan peningkatan sintesis hati tanpa gangguan
katabolisme. peningkatan sintesis hati dan gangguan konversi VLDL dan IDL menjadi
LDL menyebabkan kadar VLDL tinggi pada SN. Lipiduria sering ditemukan pada SN
dan ditandai dengan akumulasi lipid pada debris sel dan cast seperti badan lemak
berbentuk oval (oval fat bodies) dan fatty cast. Lipiduria lebih dikaitkan dengan
proteinuria daripada dengan hiperlipidemia.
4. Metabolisme kalsium dan tulang
Vitamin D merupakan unsur penting dalam metabolisme kalsium dan tulang pada
manusia. Vitamin D yang terikat protein akan dieksresikan melalui urin sehingga
menyebabkan penurunan kadar plasma. Efek fisiologis perubahan tersebut pada
metabolisme vitamin D dalam homeostatis kalsium belum jelas diketahui.
Hipokalsemia sering ditemukan pada SN oleh karena berkurangnya kalsium yang
terikat albumin akibat hipoalbuminemia. Namun karena fungsi ginjal pada SN
umumnya normal maka osteomalasia atau hiperparatiroid yang tidak terkontrol jarang
dijumpai.
5. Efek metabolik lain
Pada SN juga terjadi kehilangan hormon tiroid yang terikat protein (thyroid-binding
protein) melalui urin dan penurunan kadar tiroksin plasma. Tiroksin yang bebas dan
hormone yang menstimulasi tiroksin (thyroxine-stimulating hormone) tetap normal
sehingga secara klinis tidak menimbulkan gangguan. Namun pada pasien dengan
penurunan fungsi ginjal maka dapat ditemukan kelainan fungsi tiroid yang lebih berat.
Anemia dapat terjadi pada SN dengan fungsi ginjal yang masih baik. Hal ini
disebabkan oleh defisiensi eritropoietin dan kehilangan protein dalam urin.
6. Infeksi
Infeksi pada SN terjadi akibat defek imunitas humoral, selular, dan gangguan sistem
komplemen. Penurunan IgG, IgA, dan gamma globulin sering ditemukan pada pasien
SN oleh karena sintesis yang menurun atau katabolisme yang meningkat dan

13
bertambah banyaknya yang terbuang melalui urin. Jumlah sel T dalam sirkulasi
berkurang yang menggambarkan gangguan imunitas selular. Hal ini dikaitkan dengan
keluarnya transferin dan zinc yang dibutuhkan oleh sel T agar dapat berfungsi dengan
normal. Faktor risiko lain yang dapat mempermudah terjadinya infeksi pada pasien
SN, yaitu akumulasi cairan dalam jumlah besar yang merupakan tempat pertumbuhan
yang baik untuk bakteri, kulit pasien SN yang rapuh akan mempermudah masuknya
bakteri, serta edema yang menyebabkan dilusi dari faktor imun humoral lokal.

7. Gangguan fungsi ginjal


- Gangguan ginjal akut
Pasien SN berpotensi untuk mengalami gangguan ginjal akut melalui berbagai
mekanisme. Penurunan volume plasma dan/atau sepsis sering menyebabkan
timbulnya gangguan ginjal akut prerenal atau nekrosis tubular akut. Mekanisme
lain yang diperkirakan menjadi penyebab gangguan ginjal akut adalah terjadinya
-

edema intrarenal yang menyebabkan kompresi pada tubulus ginjal.


Penyakit ginjal kronik
Sindrom nefrotik dapat progresif dan berkembang menjadi penyakit ginjal tahap
akhir (PGTA) dengan pengecualian pada GN lesi minimal. Progresivitas
kerusakan

glomerulus,

perkembangan

glomerulosklerosis,

dan

kerusakan

tubulointerstitium dikaitkan dengan proteinuria. Perkembangan progresivitas


penyakit jarang ditemukan pada proteinuria yang persisten kurang dari 2 g/hari.
Risiko akan meningkat sesuai dengan derajat proteinuria dengan peningkatan
risiko yang bermakna pada proteinuria lebih dari 5 g/hari. Hiperlipidemia juga
dihubungkan dengan mekanisme terjadinya glomerulosklerosis dan fibrosis
interstitum pada SN, walaupun peran terhadap progresivitas penyakitnya belum
diketahui dengan pasti.
2.1.8. Penatalaksanaan9
Pengobatan SN terdiri dari pengobatan spesifik yang ditujukan terhadap
penyakit dasar dan pengobatan non-spesifik untuk mengurangi proteinuria,
mengontrol edema dan mengobati komplikasi. Diuretik disertai diet rendah garam dan
tirah baring dapat membantu mengontrol edema. Furosemid oral dapat diberikan dan
bila resisten dapat dikombinasi dengan tiazid, metalazon, dan atau acetazolamid.
Kontrol proteinuria dapat memperbaiki hipoalbuminemia dan mengurangi
risiko komplikasi yang ditimbulkan. Pembatasan asupan protein 0,8-1,0 g/kg berat
badan/hari dapat mengurangi proteinuria. Obat penghambat enzim konversi

14
angiotensin (angiotensin converting enzyme inhibitors) dan antagonis reseptor
angiotensin II (angiotensin II receptor antagonist) dapat menurunkan tekanan darah
dan kombinasi keduanya mempunyai efek aditif dalam menurunkan proteinuria.
Risiko tromboemboli pada SN meningkat dan perlu mendapat penanganan.
Walaupun pemberian antikoagulan jangka panjang masih kontroversi, tetapi pada satu
studi terbukti memberikan keuntungan.
Dislipidemia pada SN belum secara meyakinkan meningkatkan risiko penyakit
kardiovaskular, tetapi bukti klinik dalam populasi menyokong pendapat perlunya
mengontrol keadaan ini. Obat penurun lemak golongan statin, seperti simvastatin,
pravastatin, dan lovastatin dapat menurunkan kolesterol LDL, trigliserid, dan
meningkatkan koelsterol HDL.

BAB 3
LAPORAN KASUS

15
No. Reg. RS : 961126
Nama Lengkap : Nurul Habibi
Tanggal Lahir : 06-11-1994

Umur : 20

Alamat : Jl Klambir V 66 Albandar Lk.II,


Medan
Pekerjaan : Mahasiswa

Jenis Kelamin : P

No./Telepon :Status: Belum Menikah

Pendidikan : Tamat SLTA

Jenis Suku : Melayu

Agama : Islam

Dokter Muda : Widya, Inggid


Dokter
: dr. Risna
Tanggal Masuk: 27-04-2015
ANAMNESIS
Autoanamnese

Alloanamnese

RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG


Keluhan Utama : Sesak nafas
Deskripsi

: Hal ini dirasakan os 2 minggu yang lalu dan memberat sejak 3 hari
SMRS. Sesak bertambah berat dengan posisi berbaring dan berkurang
jika os duduk. Riwayat terbangun tengah malam karena sesak dijumpai.
Sesak tidak berhubungan dengan aktivitas dan cuaca, nyeri dada (-).Os
juga turut mengeluh batuk-batuk sejak 3 minggu terakhir. Batuk
disertai dengan dahak berwarna putih. Riwayat batuk darah (-), riwayat
minum OAT (-), dan demam (-). Bengkak turut dirasakan os sejak 4
minggu SMRS. Bengkak pertama kali disadari os pada kedua kaki
kemudian pada kedua tangan, perut dan wajah. Wajah pucat disadari os
1 minggu ini dan rasa lemas serta mudah lelah. Os juga mengeluh
mengalami peningkatan berat badan sebanyak 5kg sejak 3 minggu
terakhir yaitu dari 45kg-50kg. BAK berwarna kuning keruh dijumpai
dengan frekuensi 2-3x/hari dengan volume 1 botol aqua sedang/ hari.
Tidak dijumpai nyeri saat BAK, BAK berdarah (-), BAK berpasir (-),
BAK tersendat-sendat (-). BAB (+) normal. Os sebelumnya dirawat 2
hari di rumah sakit luar dengan diagnosa sindroma nefrotik.

16
RPT

: Sindroma nefrotik

RPO

: Furosemid (dosis tidak jelas)

ANAMNESIS UMUM (Review of System)


Berilah Tanda Bila Abnormal dan Berikan Deskripsi
Umum :

Abdomen :

Sesak nafas
Kulit:

Tidak ada keluhan


Alat kelamin perempuan:

Tidak ada keluhan


Kepala dan leher:

Tidak ada keluhan


Ginjal dan saluran kencing :

Tidak ada keluhan


Mata:

Oliguria, BAK kuning keruh


Hematologi:

Pucat, Bengkak
Telinga:

Anemia
Endokrin/metabolik:

Tidak ada keluhan


Hidung:

Tidak ada keluhan


Muskuloskeletal :

Tidak ada keluhan


Mulut dan Tenggorokan:

Tidak ada keluhan


Sistem saraf:

Tidak ada keluhan


Pernapasan :

Tidak ada keluhan


Emosi :

Sesak nafas, batuk disertai dahak


Jantung :

Terkontrol
Vaskuler :

Tidak ada keluhan

Tidak ada keluhan

DISKRIPSI UMUM
Kesan Sakit

Ringan

Sedang

Gizi BB : 50 Kg, TB : 156 cm


IMT = 20,57 kg/m2 normoweight

Berat

17

TANDA VITAL
Deskripsi:

Kesadaran

CM

Nadi

Frekuensi 88 x/i
KIRI

Komunikasi Baik
Reguler, t/v: cukup
KANAN

Berbaring: 130/80 mmHg

Berbaring: 130/80 mmHg

Duduk: 140/90 mmHg

Duduk: 140/90 mmHg

Berdiri: 150/100 mmHg


36,9 C
Frekuensi: 36 x/menit, kesan: sesak

Berdiri: 150/100 mmHg

Tekanan darah

Temperatur
Pernafasan

Deskripsi: Torakoabdominal

Penilaian Nyeri :

Intensitas Nyeri

:0

Lokasi Nyeri

:-

KULIT

: Dalam batas normal

KEPALA DAN LEHER

: Bengkak, TVJ R-2 cmH2O, trakea medial, pembesaran KGB


(-), pembesaran tiroid (-)

TELINGA

: Dalam batas normal

HIDUNG

: Dalam batas normal

RONGGA MULUT DAN TENGGORAKAN : Dalam batas normal


MATA

: Conjunctiva palp. inf. pucat (+), sklera ikterik (-), edema


palpebra (+/+), pupil isokor, ki-ka, 3mm, refleks cahaya direk
(+)/indirek (+)

THORAX

18

Inspeksi
Palpasi

Depan
Belakang
Simetris
Simetris
SF ki>ka, melemah di lapangan SF ki>ka, melemah di lapangan

Perkusi

tengah paru kiri


tengah paru kiri
Sonor memendek di kedua lapangan Sonor memendek di kedua lapangan

paru
Auskultasi SP: Bronkial di kedua lapangan paru

paru
SP: Bronkial di kedua lapangan paru

ST: Ronki basah basal di kedua ST: Ronki basah basal di kedua
lapangan paru

lapangan paru

JANTUNG
Batas Jantung Relatif :

Atas

: ICR II LMCS

Kanan : LPSD
Jantung

Kiri

: ICR V 1cm medial LMCS

HR

: 88x/mnt, reguler, bunyi jantung normal

ABDOMEN
Inspeksi

: Simetris

Palpasi

: Soepel, H/R/L tidak teraba, undulasi (+)

Perkusi

: Shifting dullness (+)

Auskultasi

: Hipoperistaltik

PINGGANG
Tapping pain (-), ballotement (-)
INGUINAL
Tidak dilakukan pemeriksaan
EKSTREMITAS:
Superior: edema (+), palmar eritema (-), asterixis (-)

19
Inferior : edema (+), pucat (+)
GENITALIA:
Tidak dilakukan pemeriksaan
NEUROLOGI:
Refleks Fisiologis (+) Normal
Reflek Patologis (-)
BICARA
Komunikasi baik
Pemeriksaan Laboratorium Rutin
Darah
Hb: 3,80 g%
Eritrosit: 1,42x10 6/mm 3
Leukosit: 15,800/mm3
Trombosit: 240x10 3/mm3
Ht: 12,60%
MCV: 88,70 fL
MCH: 26,80 g
MCHC 30,20 g/dl

Kemih
Warna kuning keruh
Protein (+3)
Reduksi (-)
Bilirubin (-)
Urobilinogen (-)

Tinja
Warna: Coklat
Konsistensi: Encer
Eritrosit: Leukosit: Amoeba/kista: -

Sedimen:
Eritrosit 2-3/lpb
Leukosit 0-1/lpb
Epitel: 0-1/lpb
Cyst: Silinder: -

Telur cacing
Ascaris: Ancylostoma: T.trichiura: -

RESUME DATA DASAR


(Diisi dalam bahasa medis)

Keluhan Utama : Dyspnoe


Anamnesis
: Dyspnoe (+) 2minggu yang lalu dan memberat sejak 3 hari SMRS.
Ortopnoe (+). PND(+). Cough(+) 3 minggu disertai dengan sputum (+) berwarna putih.
Oedem (+) pada kedua ekstremitas superior dan inferior, abdomen dan wajah. Anemis(+) dan
malaise (+). Os mengalami peningkatan berat badan sebanyak 5kg sejak 3 minggu terakhir.

20
BAK (+) berwarna kuning jernih dengan frekuensi 2-3x/hari dengan volume sekitar
600cc/hari.
Pemeriksaan Fisik
Kepala : konjungtiva palbebra pucat (+)/(+), oedem palpebra (+)/(+)
Thoraks
Inspeksi : Simetris fusiformis
Palpasi : SF ki>ka, melemah di lapangan tengah paru kiri
Perkusi : Sonor memendek di kedua lapangan paru
Auskultasi : SP- bronchial di kedua lapangan paru
ST- Ronki basah basal di kedua lapangan paru
Edema ekstremitas superior/inferior (+/+)
Laboratorium Rutin
Darah
Hb: 3,80 g%
Eritrosit: 1,42x10 6/mm 3
Leukosit: 15,800/mm3
Trombosit: 240x10 3/mm3
Ht: 12,60%
MCV: 88,70 fL
MCH: 26,80 g
MCHC 30,20 g/dl
Kesan : Anemia normokrom normositer

RENCANA AWAL
1

NO. RM
9
6
1
2
6
Nama Penderita: Nurul Habibi
Rencana yang akan dilakukan masing-masing (meliputi rencana untuk diagnosis,
penatalaksanaan dan edukasi)
No.
Masalah
Rencana
Rencana terapi
Rencana
Rencana
Diagnosa
Monitoring
Edukasi
1 CKD st V ec Darah rutin
Menerangkan dan
Tirah baring
Vital sign
GN
Urin rutin
O2 1-2 l/i
Laboratorium menjelaskan

21

LFT
RFT
AGDA
Elektolit
Profile lipid
Viral marker
USG ginjal
dan saluran
kemih
CT-scan
ginjal
Biopsi ginjal
ANA test

Kultur
sputum
Kultur darah
Foto toraks
BTA 3 x

Pneumonia
dd TB paru

Diet ginjal

1000 kkal,
30gr protein

IVFD Nacl
0,9 % 10 gtt/I
Inj
furosemide 20
mg/8jam/iv
Captopril 3 x
25 mg
Amlodipin 1
x 10 mg

Tanda tanda
edem paru
Tanda tanda
infeksi

keadaan pasien,
penatalaksanaan
dan komplikasi
penyakit pasien
kepada keluarga.

Inj

ceftriaxone 2
gr/24jam/iv

Inj eritromisin
4 x 500mg

Klinis
Tanda vital
Laboratorium

Menerangkan dan
menjelaskan
keadaan,
penatalaksanaan
dan komplikasi
penyakit pada
pasien dan
keluarga.
Menerangkan dan
menjelaskan
keadaan,
penatalaksanaan
dan komplikasi
penyakit pada
pasien dan
keluarga.
Menerangkan dan
menjelaskan
keadaan,
penatalaksanaan
dan komplikasi
penyakit pada
pasien dan
keluarga

Edema paru

Foto toraks

Inj

furosemide 20
mg/8jam/iv

Klinis
Tanda vital
Laboratorium

Anemia

Profile
anemia
(SI,TIBC,SF)
Morfologi
darah tepi
Darah rutin

Tranfusi
darah 2 bag
@ 175cc

Klinis
Tanda vital
Laboratorium

Tanggal

P
Terapi

Diagnostik

22
27-4-15

Sesak (+)
Bengkak
pada
kaki,
tangan,
perut dan
wajah(+)
Pucat(+)

Tanda vital
Sens : CM
TD: 140/90mmHg
HR: 88x/mnt
RR: 36x/mnt
T: 36,9oC
PD
- Kepala :
konjungtiva
palbebra pucat (+)/
(+), oedem
palpebra (+)/(+)
-Thoraks
Inspeksi: Simetris
fusiformis
Palpasi: SF ki>ka,
melemah di
lapangan tengah
paru kiri
Perkusi: Sonor
memendek di
kedua lapangan
paru
Auskultasi :
SP- Bronchial di
kedua lapangan
paru
ST- Ronki basah
basal di kedua
lapangan paru
-Abdomen
Inspeksi: Simetris
Palpasi:Soepel,
undulasi (+)
Perkusi: Shifting
dullness (+)
Auskultasi:
Hipoperistaltik
-Edema ekstremitas
superior/inferior
(+/+)

Hasil lab
-Darah rutin
Hb: 3,80 g%

CKD st v
ec GN

Edema
paru
Asidosis
metabolik

Tirah baring
02 1-2l/i

Diet ginjal

1000kkal,

30gr protein
IVFD NaCl

0,9% 10tts/i
Inj cefriaxone
2gr/24jam/iv
Inj
furosemid
20mg/8jam
/iv
Eritromosi
n 4x
500mg
Captopril
3x 25mg
Amlodipin
1x 10mg
Substitusi
meylon
1/3 x 50 x
(-16,40)
=273,3(11
fls)
Pemberian
1/2x11 fls=5
fls
5fls meylon
+300 cc NaCl
0,9% drips
10gtts/i
HD
(CITO)
Transfusi
PRC 2 bag
@ 175 cc

Urinalisa
Lipid profile
Elektrolit
BTA 3X
Kultur sputum
Feses rutin
Pasang kateter
(monitor
UOP)

23
Eritrosit:1,42x10
6
/mm 3
Leukosit:15,800/m
m3
Trombosit:240x10
3
/mm3
Ht: 12,60%
MCV: 88,70 fL
MCH: 26,80 g
MCHC 30,20 g/dl
-LFT
SGOT : 19.00 u/l
SGPT : 11. 00 u/l
ALP : 38. 00 u/l
-RFT
Ureum: 215. 40
Kreatinin : 14. 37
Uric acid : 11. 70
Urinalisa :
Warna kuning
keruh
Protein (+3)
Reduksi (-)
Bilirubin (-)
Urobilinogen (-)
Elekrolit
Natrium : 126.00
mmol/l
Kalium : 5.6
mmol/l
Clodride : 110.00
mmol/l
AGDA
pH : 7.35
PCO2: 17.30mmhg
P02 : 107.90mmhg
HCO3 : 9.50
mmol/l
BE : -16.40mmol/l
Sa02: 98.10
Immunoserolog
i
HbsAg : -

28-4-15

Sesak (+)
Bengkak

Sens : CM

TD: 140/100mmHg
HR: 90x/mnt

CKD ec
GN
Edema

Tirah baring
02 1-2l/i
Diet ginjal

Susul hasil lab


Folket /4jam

24

29-4-15

30-4-15

(+)
Pucat (+)

RR: 32x/mnt
T: 36,5oC
PD: sama seperti
sebelumnya
Feses rutin
Warna : coklat
Konsistensi :
Lunak
Eritrosit : Leukosit : Kista : Telur cacing : Ascaris : T. trichuria : Ankylostoma : Sens : CM
Sesak
berkurang TD: 120/90mmHg
Pucat (+) HR: 84x/mnt
Bengkak RR: 28x/mnt
T: 36,5 oC
(+)
Batuk(+) Lipid profile
Kolesterol total :
80mg/dl
TG : 176.00mg/dl
HDL :18.00mg/dl
LDL : 26. 80mg/dl
AGDA
pH : 7.32
PCO2: 18.60mmhg
PO2 : 119.50mmhg
HCO3 : 9.70
mmol/l
BE : -16.60mmol/l
S02 : 95.00
Elektrolit
Natrium: 132
mmol/l
Kalium :
4.20mmol/l
Clorida :
114mmol/l

Sens : CM
Sesak
berkurang TD: 120/80mmHg
HR: 70x/mnt

paru
1000kkal,
30gr protein
Asidosis
metabolik IVFD NaCl
0,9% 10tts/i
Inj Cefriaxone
2gr/24jam
Inj Furosemid
20mg/8jam
Captopril 3x
25mg

CKD st v
ec GN

Edema

paru
Pneumonia
dd TB paru
Asidosis
metabolik

Tirah baring
02 1-2l/i
Diet ginjal
1000kkal,
30gr protein
IVFD NaCl
0,9% 10tts/i
Inj cefriaxone
2gr/24jam/iv
Inj
furosemid
20mg/8jam
/iv
Captopril
3x 25mg
Ambroxol 3 x
30mg

CKD st v Tirah baring


GN
02 1-2l/i

Susul hasil
lab
Kultur
sputum
Usg ginjal
dan saluran
kemih

Darah rutin
RFT

25

Pucat (+)
Bengkak
(+)
Batuk (+)

RR: 24x/mnt
T: 34,5oC
PD: sama seperti
sebelumnya

1-42015

2.5.2015

Sesak
berkurang
Pucat (+)
Batuk (+)
Bengkak
berkurang

Sens : CM
TD: 120/80mmHg
HR: 88x/mnt
RR: 22x/mnt
T: 36,5 oC
PD: sama seperti
sebelumnya

Sesak (-)
Pucat
Batuk (+)
Bengkak
berkurang

Sens : CM
TD: 120/80mmHg
HR: 80x/mnt
RR: 20x/mnt
T: 36,0 oC
PD: sama seperti
sebelumnya

Darah rutin

WBC:
12,56x103/mm3
RBC : 1.06x106
/mm6

Edema Diet ginjal

paru
1000kkal,

30gr protein
Pneumoni
a dd TB IVFD NaCl
paru
0,9% 10tts/i
Asidosis Inj cefriaxone
metabolik
2gr/24jam/iv
Inj
furosemid
20mg/8jam
/iv
Captopril
3x 25mg
Ambroxol 3 x
30mg
CKD st v Tirah baring
GN
02 1-2l/i
Edema Diet ginjal
paru
1000kkal,
Pneumoni
30gr protein
a dd TB IVFD NaCl
paru
0,9% 10tts/i
Inj cefriaxone
2gr/24jam/iv
Inj
furosemid
20mg/8jam
/iv
Captopril
3x 25mg
Ambroxol 3 x
30mg
CKD st v
GN
Edema
paru
Pneumonia
dd TB paru

Tirah baring
02 1-2l/i
Diet ginjal
1000kkal,
30gr protein
IVFD NaCl
0,9% 10tts/i
Inj cefriaxone
2gr/24jam/iv
Inj
furosemid
20mg/8jam
/iv
Captopril

AGDA
Elektrolit
Usg ginjal dan
saluran kemih
BTA 3x
Kultur sputum

CT Scan
thorax
Bronkoskopi

Usg ginjal
dan saluran
kemih
BTA 3X
Kultur
sputum

26
Hb : 2.9g/dl

3x 25mg
Ambroxol 3 x
30mg

MCV: 85. 2 fL
MCH : 26. 9 pg
MCHC : 31.5 g/dl
Plt : 282 X103/mm3

RFT

Ureum : 242. 00
mg/dl
Kreatinin : 14. 52
mg/dl
Asam urat : 10.00
mg/dl

3.5.2015

Pucat(+)
Batuk(+)
Bengkak
berkurang

Sens : CM
TD: 120/90mmHg
HR: 80x/mnt
RR: 28x/mnt
T: 36,0 oC
PD: sama seperti
sebelumnya

CKD st v
GN

Edema

paru
Pneumoni
a dd TB
paru

Tirah baring
02 1-2l/i
Diet ginjal
1000kkal,
30gr protein
IVFD NaCl
0,9% 10tts/i
Inj cefriaxone
2gr/24jam/iv
Inj
furosemid
20mg/8jam
/iv
Captopril
3x 25mg
Ambroxol 3 x
30mg

Usg ginjal
dan saluran
kemih
BTA 3X

Kultur sputum

27
4.5.2015

5.5.2015

Pucat (+)
Batuk(+)
Bengkak
berkurang

Sens : CM
TD: 120/90mmHg
HR: 80x/mnt
RR: 24x/mnt
T: 36,0 oC
PD: sama seperti
sebelumnya

Pucat (+)
Batuk (+)
Bengkak
berkurang

Sens : CM
TD: 120/90mmHg
HR: 80x/mnt
RR: 24x/mnt
T: 36,0 oC
PD: sama seperti
sebelumnya

CKD st v
GN

Edema

paru
Pneumoni
a dd TB
paru

CKD st v
GN

Edema

paru
Pneumoni
a dd TB
paru

Tirah baring
02 1-2l/i
Diet ginjal
1000kkal,
30gr protein
IVFD NaCl
0,9% 10tts/i
Inj cefriaxone
2gr/24jam/iv
Inj
furosemid
20mg/8jam
/iv
Captopril
3x 25mg
Ambroxol 3 x
30mg
Tirah baring
02 1-2l/i
Diet ginjal
1000kkal,
30gr protein
IVFD NaCl
0,9% 10tts/i
Inj cefriaxone
2gr/24jam/iv
Inj
furosemid
20mg/8jam
/iv
Captopril
3x 25mg
Ambroxol 3 x
30mg

Usg ginjal
dan saluran
kemih
BTA 3X
Kultur
sputum

Usg ginjal
dan saluran
kemih (hari
ini)
BTA 3X
Kultur
sputum
(belum ada
spesimen)
RFT
Darah rutin

28

BAB 4

4.1. Kesimpulan
Nurul Habibi, Perempuan usia 20 tahun menderita Sindroma Nefrotik ec.
Glomerulonefritis dan diterapi dengan Furosemide sebagai terapi simptomatik.

29

DAFTAR PUSTAKA

Cahyaningsih, D. S., 2011. Pertumbuhan Perkembangan Anak dan Remaja. Jakarta: Trans
Info Media.

Clark AG, Barrat TM., 1999. Steroid responsive nephrotic syndrome. Dalam: Barrat TM,
Avner ED, Harmon WE, penyunting. Pediatric Nephrology, Edisi 4. Baltimore:
Lippincott Williams & Wilkins 1999:731-47

Dorland, W.A., 2010. Kamus Kedokteran Dorland. Jakarta: EGC.

Fida, Maya., 2012. Pengantar Ilmu Kesehatan Anak. Jogjakarta: D-Medika.

Handayani, I., Rusli, Hardjoeno., 2007. Gambaran kadar kolesterol, albumin dan sedimen
urin Penderita anak sindroma nefrotik. Indonesian Journal of Clinical Pathology and
Medical Laboratory, Vol. 13, No. 2 : 49-52.

Haycock G. The child with idiopathic nephrotic syndrome. Dalam: Webb N, Postlethwaite
RJ. Clinical paediatric nephrology. Edisi.3. New York: Oxford United Press. 2003:34166.

Hidayat, A. A, 2005. Pengantar Ilmu Keperawatan Anak. Jakarta: Salemba Medika.

ISKDC. Nephrotic syndrome in children: prediction of histopathology from clinical and


laboratory characteristics at time of diagnosis. Kidney Int 1978;13:159-65

30
9

Lydia, A., dan Marbun, M., 2014. Sindrom Nefrotik. In :Buku Ajar IlmuPenyakit Dalam.
Edisi VI. Jakarta : Interna Publishing, 2080-2086.

10

Mary. W, Yakobus., 2009. Klien Gangguan Ginjal. : Buku Kedokteran EGC

11

Notoatmojo, S., 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: PT Rineka Cipta.

12

Raisania, I., Muryawan, M. H,. Radityo, A. N. 2012. Hubungan antara Terapi


Kortikosteroid dengan Kejadian Hipertensi Pada Anak dengan Sindrom Nefrotik.
Semarang: Fakultas Kedokteran Undip.

13

Sudoyo, A. W, Setiyohadi, B, Alwi, I, Simadibrata, M, Setiati, S. 2009. Buku Ajar Ilmu


Penyakit Dalam. Jilid II.: Jakarta: Interna Publishing

14

Tanto, C., Liwang, F., Hanifati, S., 2014. Sindroma Nefrotik. In :Kapita Selekta Kedokteran.
Edisi II. Jakarta :Media Aesculapius, 649-651.

15

Trihono, P., et al., 2012. Tata Laksana Sindrom Nefrotik Idiopatik pada Anak. In : Ikatan
Dokter Anak Indonesia. Edisi II. Jakarta : Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak
Indonesia, 1-20

Anda mungkin juga menyukai