Causes
Disorders associated with OBS include:
Breathing conditions
o Low oxygen in the body (hypoxia)
o High carbon dioxide levels in the body (hypercapnia)
Cardiovascular disorders
o Abnormal heart rhythm (arrhythmias)
o Brain injury due to high blood pressure (hypertensive brain injury)
o Dementia due to many strokes (multi-infarct dementia)
o Heart infections (endocarditis, myocarditis)
o Stroke
o Transient ischemic attack (TIA)
Degenerative disorders
Infections
o Any sudden onset (acute) or long-term (chronic) infection
o Blood poisoning (septicemia)
o Brain infection (encephalitis)
o Meningitis (infection of the lining of the brain and spinal cord)
o Prion infections such as mad cow disease
o Late-stage syphillis
o Cancer
o Kidney disease
o Liver disease
o Thyroid disease (high or low)
o Vitamin deficiency (B1, B12, or folate)
Other conditions that may mimic organic brain syndrome include:
Depression
Neurosis
Psychosis
Symptoms
Symptoms can differ based on the disease. In general, organic brain syndromes
cause:
Agitation
Confusion
Blood tests
Electroencephalogram (EEG)
Head CT scan
Head MRI
Treatment
Treatment depends on the disorder. Many of the disorders are treated mainly with
rehabilitation and supportive care to assist the person in areas where brain
function is lost.
Medications may be needed to reduce aggressive behaviors that can occur with
some of the conditions.
Outlook (Prognosis)
See the specific disorder. Some disorders are short-term and treatable, but many
are long-term or get worse over time.
Possible Complications
People with OBS often lose the ability to interact with others or function on their
own.
You have been diagnosed with organic brain syndrome and you are
uncertain about the exact disorder.
You have been diagnosed with OBS and your symptoms become worse.
Alternative Names
OBS; Organic mental disorder (OMS); Chronic organic brain syndrome
References
Knopman DS. Alzheimer's disease and other dementias. In: Goldman L, Ausiello
D, eds. Cecil Medicine. 23rd ed. Philadelphia, Pa: Saunders Elsevier; 2007:chap
425.
dengan timbulnya skizofrenia pada lanjut usia (lansia). Hal itu bersumber dari
kenyataan yang terjadi pada lansia bahwa terdapat hubungan yang erat antara
gangguan parafrenia, paranoid dan skizofrenia. Parafrenia lambat (late
paraphrenia) digunakan oleh para ahli di Eropa untuk pasien-pasien yang
memiliki gejala paranoid tanpa gejala demensia atau delirium serta terdapat gejala
waham dan halusinasi yang berbeda dari gangguan afektif.
Skizofrenia terjadi dengan frekuensi yang sangat mirip di seluruh dunia.
Skizofrenia terjadi pada pria dan wanita dengan frekuensi yang sama. Gejalagejala awal biasanya terjadi pada masa remaja atau awal dua puluhan. Pria sering
mengalami awitan yang lebih awal daripada wanita.
Gangguan skizofrenia sebenarnya dapat dibagi menjadi beberapa tipe, yaitu:
a) Skizofrenia paranoid (curiga, bermusuhan, garang dsb)
b) Skizofrenia katatonik (seperti patung, tidak mau makan, tidak mau minum, dsb)
c) Skizofrenia hebefrenik (seperti anak kecil, merengek-rengek, minta-minta, dsb)
d) Skizofrenia simplek (seperti gelandangan, jalan terus, kluyuran)
e) Skizofrenia Latent (autustik, seperti gembel)
Pada umumya, gangguan skizofrenia yang terjadi pada lansia adalah skizofrenia
paranoid, simplek dan latent. Sulitnya dalam pelayanan keluarga, para lansia
dengan gangguan kejiwaan tersebut menjadi kurang terurus karena perangainya
dan tingkahlakunya yang tidak menyenangkan orang lain, seperti curiga
berlebihan, galak, bersikap bermusuhan, dan kadang-kadang baik pria maupun
wanita perilaku seksualnya sangat menonjol walaupun dalam bentuk perkataan
yang konotasinya jorok dan porno (walaupun tidak selalu).
Gangguan Jiwa Afektif
Gangguan jiwa afektif adalah gangguan jiwa yang ditandai dengan adanya
gangguan emosi (afektif) sehingga segala perilaku diwarnai oleh ketergangguan
keadan emosi. Gangguan afektif ini antara lain:
a. Gangguan Afektif tipe Depresif Gangguan ini terjadi relatif cepat dalam
beberapa bulan. Faktor penyebabnya dapat disebabkan oleh kehilangan atau
kematian pasangan hidup atau seseorang yang sangat dekat atau oleh sebab
penyakit fisik yang berat atau lama mengalami penderitaan.Gangguan ini paling
banyak dijumpai pada usia pertengahan, pada umur 40 50 tahun dan kondisinya
makin buruk pada lanjut usia (lansia). Pada usia pertengahan tersebut prosentase
wanita lebih banyak dari laki-laki, akan tetapi diatas umur 60 tahun keadaan
menjadi seimbang. Pada wanita mungkin ada kaitannya dengan masa menopause,
yang berarti fungsi seksual mengalami penurunan karena sudah tidak produktif
lagi, walaupun sebenarnya tidak harus begitu, karena kebutuhan biologis
sebenarnya selama orang masih sehat dan masih memerlukan tidak ada salahnya
bila dijalankan terus secara wajar dan teratur tanpa menggangu kesehatannya.
Gejala gangguan afektif tipe depresif adalah: sedih, sukar tidur, sulit
berkonsentrasi, merasa dirinya tak berharga, bosan hidup dan kadang-kadang
ingin bunuh diri. Beberapa pandangan menganggap bahwa terdapat 2 jenis depresi
yaitu Depresi tipe Neurotik dan Psikotik. Pada tipe neurotik kesadaran pasien
tetap baik, namun memiliki dorongan yang kuat untuk sedih dan tersisih. Pada
depresi psikotik, kesadarannya terganggu sehingga kemampuan uji realitas (reality
testing ability) ikut terganggu dan berakibat bahwa kadang-kadang pasien tidak
dapat mengenali orang, tempat, maupun waktu atau menjadi seseorang yang tak
tahu malu, tak ada rasa takut, dsb.
b. Gangguan Afektif tipe Manik Gangguan ini sering timbul secara bergantian
pada pasien yang mengalami gangguan afektif tipe depresi sehingga terjadi suatu
siklus yang disebut gangguan afektif tipe Manik Depresif. Dalam keadaan Manik,
pasien menunjukkan keadaan gembira yang tinggi, cenderung berlebihan sehingga
mendorong pasien berbuat sesuatu yang melampaui batas kemampuannya,
pembicaraan menjadi tidak sopan dan membuat orang lain menjadi tidak enak.
Kondisi ini lebih jarang terjadi dari pada tipe depresi. Kondisi semacam ini
kadang-kadang silih berganti, suatu ketika pasien menjadi eforia, aktif, riang
gembira, pidato berapi-api, marah-marah, namun tak lama kemudia menjadi sedih,
murung, menangis tersedu-sedu yang sulit dimengerti.
c. Neurosis Gangguan neurosis dialami sekitar 10-20% kelompok lanjut usia
(lansia). Sering sukar untuk mengenali gangguan ini pada lanjut usia (lansia)
karena disangka sebagai gejala ketuaan. Hampir separuhnya merupakan gangguan
yang ada sejak masa mudanya, sedangkan separuhnya lagi adalah gangguan yang
didapatkannya pada masa memasuki lanjut usia (lansia). Gangguan neurosis pada
lanjut usia (lansia) berhubungan erat dengan masalah psikososial dalam memasuki
tahap lanjut usia (lansia). Gangguan ini ditandai oleh kecemasan sebagai gejala
utama dengan daya tilikan (insight) serta daya menilai realitasnya yang baik.
Kepribadiannya tetap utuh, secara kualitas perilaku orang neurosis tetap baik,
namun secara kuantitas perilakunya menjadi irrasional. Sebagai contoh : mandi
adalah hal yang biasa dilakukan oleh orang normal sehari 2 kali, namun bagi
orang neurosis obsesive untuk mandi, ia akan mandi berkali-kali dalam satu hari
dengan alasan tidak puas-puas untuk mandi. Secara umum gangguan neurosis
dapat dikategorikan sebagai berikut:
Neurosis cemas dan panic
Neurosis obsesif kompulsif
Neurosis fobik
Neurosis histerik (konversi)
Gangguan somatoform
Faktor resiko penyakit ini termasuk:
1. Riwayat skizofrenia dalam keluarga
2. Perilaku premorbid yang ditandai dengan kecurigaan, eksentrik, penarikan diri,
dan/atau impulsivitas.
3. Stress lingkungan
4. Kelahiran pada musim dingin. Faktor ini hanya memiliki nilai prediktif yang
sangat kecil.
5. Status sosial ekonomi yang rendah sekurang-kurangnya sebagian adalah karena
dideritanya gangguan ini
Tidak ada jalur etiologi tunggal yang telah diketahui menjadi penyebab
skizofrenia. Penyakit ini mungkin mewakili sekelompok heterogen gangguan
yang mempunyai gejala-gejala serupa. Secara genetik, sekurang-kurangnya
beberapa individu penderita skizofrenia mempunyai kerentanan genetic herediter.
Kemungkinan menderita gangguan ini meningkat dengan adanya kedekatan
genetic dengan, dan beratnya penyakit, probandnya. Penelitian Computed
Tomography (CT) otak dan penelitian post mortem mengungkapkan perbedaanperbedaan otak penderita skizofrenia dari otak normal walau pun belum
ditemukan pola yang konsisten. Penelitian aliran darah, glukografi, dan Brain
Electrical Activity Mapping (BEAM) mengungkapkan turunnya aktivitas lobus
frontal pada beberapa individu penderita skizofrenia. Status hiperdopaminergik
yang khas untuk traktus mesolimbik (area tegmentalis ventralis di otak tengah ke
berbagai struktur limbic) menjadi penjelasan patofisiologis yang paling luas
diterima untuk skizofrenia.
Semua tanda dan gejala skizofrenia telah ditemukan pada orang-orang bukan
penderita skizofrenia akibat lesi system syaraf pusat atau akibat gangguan fisik
lainnya. Gejala dan tanda psikotik tidak satu pun khas pada semua penderita
skizofrenia. Hal ini menyebabkan sulitnya menegakkan diagnosis pasti untuk
gangguan skizofrenia. Keputusan klinis diambil berdasarkan sebagian pada:
1. Tanda dan gejala yang ada
2. Rriwayat psikiatri
3. Setelah menyingkirkan semua etiologi organic yang nyata seperti keracunan
dan putus obat akut.
Gejala Gejala
Indikator premorbid (pra-sakit) pre-skizofrenia antara lain ketidakmampuan
seseorang mengekspresikan emosi: wajah dingin, jarang tersenyum, acuh tak
acuh. Penyimpangan komunikasi: pasien sulit melakukan pembicaraan terarah,
kadang menyimpang (tanjential) atau berputar-putar (sirkumstantial). Gangguan
atensi: penderita tidak mampu memfokuskan, mempertahankan, atau
memindahkan atensi. Gangguan perilaku: menjadi pemalu, tertutup, menarik diri
secara sosial, tidak bisa menikmati rasa senang, menantang tanpa alasan jelas,
mengganggu dan tak disiplin.
Secara umum, gejala-gejala yang muncul pada penderita skizofrenia adalah
sebagai berikut:
muncul delusi dan halusinasi. Delusi adalah keyakinan/pemikiran yang salah
dan tidak sesuai kenyataan, namun tetap dipertahankan sekalipun dihadapkan
pada cukup banyak bukti mengenai pemikirannya yang salah tersebut. Delusi
yang biasanya muncul adalah bahwa penderita skizofrenia meyakini dirinya
adalah Tuhan, dewa, nabi, atau orang besar dan penting. Sementara halusinasi
adalah persepsi panca indera yang tidak sesuai dengan kenyataan. Misalnya
penderita tampak berbicara sendiri tetapi ia mempersepsikan ada orang lain yang
sedang ia ajak berbicara.
kehilangan energi dan minat untuk menjalani aktivitas sehari-hari, bersenangsenang, maupun aktivitas seksual, berbicara hanya sedikit, gagal menjalin
hubungan yang dekat dengan orang lain, tidak mampu memikirkan konsekuensi
dari tindakannya, menampilkan ekspresi emosi yang datar, atau bahkan ekspresi
emosi yang tidak sesuai konteks (misalkan tiba-tiba tertawa atau marah-marah
tanpa sebab yang jelas).
yang bermakna terjadi pada sekitar dua per tiga kasus. Banyak penderita
skizofrenia mengalami eksaserbasi intermitten, terutama sebagai respon terhadap
situasi lingkungan yang penuh stress. Pria biasanya mengalami perjalanan
gangguan yang lebih berat dibanding wanita. Sepuluh persen penderita
skizofrenia meninggal karena bunuh diri.
Prognosis baik berhubungan dengan tidak adanya gangguan perilaku prodromal,
pencetus lingkungan yang jelas, awitan mendadak, awitan pada usia pertengahan,
adanya konfusi, riwayat untuk gangguan afek, dan system dukungan yang tidak
kritis dan tidak terlalu intrusive. Skizofrenia Tipe I tidak selalu mempunyai
prognosis yang lebih baik disbanding Skizofrenia Tipe II. Sekitar 70% penderita
skizofrenia yang berada dalam remisi mengalami relaps dalam satu tahun. Untuk
itu, terapi selamanya diwajibkan pada kebanyakan kasus.
adanya perubahan perilaku yang jelas tidak wajar. Pasien tak mau
minum obat atau tak mau diajak berobat, atau bila ada waham
dianggap mau diracuni. Keadaan merasa tidak sakit ini yang
mempersulit pengobatan, apalagi keluarga juga mengiyakan karena
merasa tak sakit ia tak mau mencari pengobatan.
Tilikan yang buruk ini merupakan ciri khas pasien psikotik. Di sini peran
keluarga penting, kalau memang menemukan gejala tersebut seperti
waham, halusinasi dan illusi, segera berkonsultasi kepada tenaga
kesehatan jiwa.
7. Psikosis di Masyarakat
Menurut penelitian WHO prevalensi gangguan jiwa dalam masyarakat
berkisar satu sampai tiga permil penduduk. Misalnya Jawa Tengah
dengan penduduk lebih kurang 30 juta, maka akan ada sebanyak
30.000-90.000 penderita psikotik. Bila 10% dari penderita perlu
pelayanan perawatan psikiatrik ada 3.000-9.000 yang harus dirawat.
Tetapi tidak semua bisa dirawat karena kapasitas pelayanan perawatan
psikiatrik di Jateng masih di bawah 1.000 tempat tidur. Sisa yang tidak
terawat berada dalam masyarakat dan pasien ini seharusnya perlu
pengawasan yang seksama. Pasien psikotik yang mungkin tenang
terkadang tak terduga akan menjadi agresif tanpa stressor psikososial
yang jelas.
Pada zaman pemerintahan kolonial Belanda semua pasien psikotik
(skizofrenia) dirawat di Rumah Sakit Jiwa seumur hidup (dibuat koloni).
Hal ini sekarang menjadi stigma masyarakat, bahwa RSJ identik dengan
gila. Tetapi sekarang situasi sudah berbeda, tidak semua pasien dapat
dirawat di RSJ. Mereka yang fase aktif gangguan psikotiknya dirawat,
sedang yang tenang dipulangkan namun masih dalam pengawasan
dalam bentuk perawatan jalan. Fase aktif adalah pasien-pasien yang
menunjukkan perilaku yang membahayakan diri atau membahayakan
lingkungannya, dan mudah dikenali gejalanya. Pada fase tenang pasien
dapat beradaptasi dengan lingkungannya, meskipun terbatas.
Perjalanan psikiatrik tidak terbatas pada Rumah Sakit Jiwa yang ada,
tetapi di Rumah Sakit Umum pun ada pelayanan psikiatrik yang
dilakukan oleh psikiater. Yakni pelayanan integrasi dan konsultasi
psikiatri di RSU, mengingat jumlah psikiater yang ada belum memadai
sesuai kebutuhan.
Ciri-ciri penderita psikotik antara lain:
1. Penarikan diri dari pergaulan sosial, banyak di dalam rumah, malu
keluar rumah.
2. Tak mampu bekerja sesuai dengan fungsinya. Di rumah tak mau
bekerja, atau bekerja sekedarnya saja karena diperintah, setelah itu
tak mau mengerjakan tugas yang diberikan.
3. Berpikir aneh, dangkal, berbicara tak sesuai dengan keadaan situasi
keseharian, bicara ngelantur.
4. Dalam pergaulan ada riwayat gejala waham atau halusinasi dan
illusi.
5. Perubahan perilaku yang nyata, misalnya tadinya ceria menjadi
melamun, perilaku aneh-aneh yang sebelumnya tidak pernah dijalani.
6. Kelihatan menjadi murung dan merasa tak berdaya.
7. Sulit tidur dalam beberapa hari, atau bisa tidur yang terlihat oleh
keluarganya, tetapi pasien merasa sulit atau tidak bisa tidur.
BAB II
KASUS
Epilepsi Perlu Pengobatan Intensif
Sewaktu kecil Sadid adalah seorang anak yang aktif, banyak bicara,
mudah marah, dan suka berkelahi. Demikian pula di sekolah, Sadid
sering bolos dan bila marah merusak barang-barang yang ada di
dekatnya seperti membanting gelas atau piring.
Sejak usia 10 tahun Sadid sering mengalami pengalaman yang aneh,
seperti bermaksud ke rumah Hafidz, tetapi tanpa disadari ke rumah
Seno. Ketika sadar di rumah Seno, ia segera kembali ke rumah Hafidz.
Ia sering merasa asing di kamarnya sendiri dan ketika berada di rumah
orang yang dikenalinya dengan baik. Ketika bersepeda ia sering jatuh
tanpa disadarinya.
Keluhan yang disampaikan Sadid adalah sakit kepala. Semasa remaja,
Sadid juga masih sering melakukan perbuatan tanpa disadarinya,
misalnya naik pohon kemudian kebingungan tidak bisa turun atau
nyemplung ke dalam kolam tanpa tujuan yang jelas. Meskipun semasa
kecilnya terkenal nakal, namun untuk mengaji dan shalat cukup rajin.
Menjelang dewasa, Sadid mulai berubah menjadi pendiam dan sulit
bergaul. Sejak dua tahun lalu, tingkah laku Sadid semakin aneh seperti
mengurung diri di kamar, bicara mulai kacau dan sulit dimengerti.
Suatu hari, Sadid pernah mencoba untuk terjun ke dalam sumur, dan
ketika ditanya takut karena ada yang akan membunuhnya. Sadid
mengatakan ia sering bermimpi merasa dikepung, ada orang yang
mengejar dan akan membunuhnya. Kakek Sadid juga menderita
gangguan jiwa dan pernah dirawat di rumah sakit jiwa sebanyak lima
kali.
BAB III
ANALISA KASUS
Psikotik adalah gangguan jiwa yang dapat diturunkan. Menurut statistik
yang dibuat oleh Kalman, jika salah seorang orang tua menderita
psikotik (misal skizofrenia), kemungkinan anak-anaknya menderita
psikotik adalah sebesar 12%. Anak-anak lain yang tidak menderita
psikotik tetap mengandung bibit penyakit tersebut dan mempunyai
risiko untuk mengalami gangguan yang lebih besar. Bibit itu akan
berupa gangguan asosiasi, merasa curiga ada yang mengejar dan akan
membunuhnya (waham) dan adanya penarikan diri dari lingkungan
sosial (social withdrawl). Sehingga dapat disimpulkan subjek adalah
seorang penderita eplepsi psikomotor dengan disertai gejala-gejala
psikotik. Gangguan ini telah dideritanya sejak kecil, sering mengalami
brown out (lebih ringan dari black out) dan sering pula mengalami
"keadaan mimpi" atau "kedaaan dini". Dalam keadaan mimpi, pasien
dapat melakukan tindakan yang merusak atau gejala-gejala aneh
lainnya. Sesudah melakukan perbuatan, pasien mengalami "amnesia
sempurna".
DAFTAR PUSTAKA
Arif Setiadi Imam. (2006). Skizofrenia Memahami Dinamika Keluarga
Pasien. Bandung: Aditama.
Firdaus Jimmi, Muhammad Syukri, dkk. (2005). SCHIZOPHRENIA,
sebuah panduan bagi keluarga skizofrenia. Yogyakarta: Dozz.
http://www.suaramerdeka.com/harian/0509/05/ragam1.htm
http://chikastuff.wordpress.com/2007/03/26/skizofrenia-penyakitspliting-personality/
http://klinis.wordpress.com/
GANGGUAN AFEKTIF
Merupakan gangguan pada afeksi (emosi) atau mood (suasana hati)
seseorang. Dan penderita dapat mengalami depresi atau manik
(kegirangan yang tidak wajar) atau dapat bergantian antara manik dan
depresif (Atkinson dkk, 1992).
1. Depresi
Penyebab depresi adalah kegagalan di sekolah, di tempat kerja, atau
kegagalan dalam hal cinta.Dan depresi dianggap abnormal ketika
depresi tersebut di luar kewajaran dan berlanjut sampai saat di mana
kebanyakan orang sudah dapat pulih kembali (Atkinson dkk,1992).
Depresi pada orang normal seperti keadaan murung (kesedihan,patah
hati, dan patah semangat) ditandai dengan tidak puas, menurunnya
aktivitas, dan pesimisme. Sedangkan depresi abnormal seperti
ketidakmauan yang ekstrim untuk merespon stimulus dan disertai
menurunnya nilai diri, ketidakmampuan, delusi, dan putus asa.
(Chaplin,1995).
Dan penderita depresi tidak mampu mengambil keputusan untuk
memulai suatu kegiatan ataua memusatkan perhatiannnya.dan
ekstrimnya penderita dapat disertai adanya kecemasan dan bisa
mencoba bunuh diri. (Atkison dkk,1992).
2. Episode Manik
Manik dapat diartikan sebagai tingkah laku
berang,keras,bangis,kasar,tidak terkontrol,yang disertai tindakan
motorik yang berlebihan dan perilaku impulsif. Dan dikategorikan
menjadi episode manik ringan (Hipomania) dan episode parah (Mania).
Pada episode ringan, penderita penuh dengan energi,antusias, dan
percaya diri.dan perilaku manik dibandingkan dengan orang normal
seringkali lebih mengekspresikan kebencian daripada kegembiraan.
Dan pada episode parah (mania), penderita amat bersemangat dan
harus selalu aktif. Jika orang lain menggangunya aktivitasnya,maka ia
akan marah dan akan menjadi ganas.Penderita ini selain mengalami
disorientasi,juga sering mengalami delusi.
3. Gangguan Manik-Depresif
Gangguan Manik-Depresif seringkali disebut dengan istilah gangguan