Anda di halaman 1dari 17

PELIMPAHAN WEWENANG DALAM RANCANGAN

UNDANG-UNDANG TENTANG KEPERAWATAN


POSTED BY SHANTI DWI KARTIKA AGUSTUS 29, 2013 2 KOMENTAR

I.

Pendahuluan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) mengakui dan melindungi kesehatan
sebagai hak asasi manusia. Berdasarkan Pasal 28H dan Pasal 34 ayat (3) UUD 1945, kesehatan merupakan hak
konstitusional warga negara dan tanggung jawab bagi negara untuk menyediakan pelayanan kesehatan.
Pembangunan kesehatan sebagai upaya negara untuk memberikan pelayanan kesehatan didukung oleh sumber
daya kesehatan, baik tenaga kesehatan dan tenaga non-kesehatan.
Pelayanan kesehatan oleh sumber daya kesehatan sangat dipengaruhi oleh ketersediaan tenaga kesehatan yang
saat ini kondisinya masih sangat timpang antara tenaga medis dengan tenaga non-paramedis. Berdasarkan data dari
Badan Pengembangan dan Pemberdayaan Sumber Daya Manusia Kesehatan (BPPSDMK) Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia, jumlah tenaga kesehatan di Indonesia pada tahun 2011 secara keseluruhan sebanyak 545.367
orang, terdiri dari perawat sebanyak 220.575 orang dari 234.176 tenaga keperawatan, 59.492 orang tenaga medis
(dokter spesialis, dokter umum, dan dokter gigi), dan tenaga kesehatan lainnya sebanyak 251.699 orang.
Sebagai salah satu unsur tenaga kesehatan, tenaga keperawatan yang terdiri dari perawat dan perawat gigi
merupakan tenaga non-paramedis yang memiliki peran penting terkait langsung dengan mutu pelayanan kesehatan
sesuai dengan kompetensi dan pendidikan yang dimilikinya. Perawat sebagai tenaga keperawatan merupakan tenaga
kesehatan terbesar di Indonesia dengan jumlah 60% dari seluruh tenaga kesehatan yang ada.
Keterbatasan tenaga medis (dokter) menimbulkan situasi yang mengharuskan perawat melakukan tindakan
pengobatan atau melakukan tindakan medis yang bukan wewenangnya. Tindakan tersebut dilakukan dengan atau
tanpa adanya pelimpahan wewenang dari tenaga kesehatan lain termasuk dokter, sehingga dapat menimbulkan
permasalahan hukum terkait dengan tanggung jawab yang dibebankan sepihak dan bisa merugikan perawat. Hal ini
berarti bahwa pelayanan kesehatan oleh tenaga kesehatan mengenal adanya pelimpahan wewenang, yang biasa
dikenal dengan delegasi wewenang. Praktik pelimpahan wewenang (delegasi wewenang) tersebut melibatkan
komunitas perawat, yang terjadi baik pada pelayanan keperawatan maupun praktik pelayanan kesehatan. Delegasi
wewenang tersebut dipahami sebagai pelimpahan dari dokter kepada perawat untuk melaksanakan tugas medis
tertentu.

Belum tersedianya petunjuk atau peraturan mengenai jenis-jenis tindakan medis tertentu yang dapat dilakukan oleh
perawat menyebabkan seringnya terjadi tumpang tindih antara tugas asuhan keperawatan dengan tugas yang
merupakan pelimpahan wewenang dari dokter. Cara pelimpahan wewenang tugas dokter kepada perawat dalam
tindakan medis di ruang rawat inap selama ini dilakukan secara tertulis dan secara lisan melalui telepon. Pihak yang
ikut bertanggung jawab dalam proses pelimpahan wewenang adalah rumah sakit, dokter selaku pihak yang
memberikan pelimpahan wewenang dan perawat selaku pelaksana yang dilimpahi wewenang.
Berdasarkan hasil penelitian Reny Suryanti, tindakan medis yang dilimpahkan dokter kepada perawat di ruang rawat
inap meliputi injeksi (41,7%), pemasangan infus (33,3%), pemasangan kateter (25%), serta pemasangan NGT
(nasogastric tubes), kumbah lambung, dan pemasangan skin traksi (18,7%). Hasil penelitian tersebut didukung pula
oleh hasil tesis yang pernah dilakukan oleh Handayaningsih Isti yang menunjukkan kebijakan pelimpahan wewenang
dokter kepada perawat di puskesmas Kabupaten Sleman belum memiliki dasar hukum yang memadai dan perangkat
administrasi yang lemah sehingga masih membebankan pertanggungjawaban penuh kepada pelaksananya. Hasil
penelitian tersebut menunjukkan bahwa pelimpahan wewenang dalam keperawatan seringkali menimbulkan keadaan
tumpang tindih kewenangan dan ini merupakan permasalahan yang dihadapi perawat dalam grey area.
Grey area antara dokter dengan perawat terjadi akibat belum adanya memorandum of understanding antara dokter
dengan perawat terkait dengan kewenangan, hak, dan kewajiban yang dibuat oleh organisasi profesi ikatan dokter
dengan organisasi profesi perawat. Belum adanya pembagian wewenang yang tegas dan jelas tersebut menimbulkan
permasalahan hukum, yang dapat dikategorikan sebagai malpraktik etika perawat. Permasalahan hukum tersebut
ditunjukkan dengan semakin banyaknya kasus yang terjadi terkait dengan wewenang perawat.
Fenomena dan data tersebut menunjukkan bahwa perawat mempunyai kedudukan yang sangat penting di garda
depan kesehatan Indonesia, namun profesi perawat masih kurang diakui dan kurang mendapat perhatian dalam
dunia kesehatan. Eksistensi perawat juga belum didukung oleh peraturan perundang-undangan yang memadai.
Selama ini pengaturan mengenai perawat belum komprehensif dan masih tersebar dalam beberapa peraturan
perundang-undangan, antara lain Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (UU Kesehatan),
Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran (UU Praktik Kedokteran), Undang-Undang Nomor
44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit (UU Rumah Sakit), Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1996 tentang
Tenaga Kesehatan (PP Nakes), serta Peraturan/Keputusan Menteri Kesehatan, dan Peraturan Daerah.
Pengaturan perawat secara spesifik baru ada di tingkat Peraturan Daerah, namun peraturan perundang-undangan
yang berada di tingkat yang lebih tinggi dari peraturan daerah belum mengatur perawat secara khusus dan tersendiri,
meskipun perawat sebagai tenaga kesehatan menjadi salah satu materi muatan dalam UU Kesehatan dan PP Nakes.
Pasal 21 ayat (3) UU Kesehatan mengamanatkan agar tenaga kesehatan diatur dengan undang-undang. Ini berarti

bahwa UU Kesehatan mengamanatkan dibentuknya undang-undang tenaga kesehatan termasuk perawat. Amanat ini
dilaksanakan oleh Pemerintah melalui PP Nakes, namun peraturan pemerintah tersebut sampai saat ini belum
disesuaikan dengan UU Kesehatan. Selain itu, perintah UU Kesehatan untuk membentuk undang-undang yang
mengatur tenaga kesehatan juga belum dilaksanakan. Oleh karena itu, Pemerintah dan DPR RI memasukkan
Rancangan Undang-Undang tentang Keperawatan (RUU Keperawatan) dalam prioritas Program Legislasi Nasional
Tahun 2012 melalui usul inisiatif DPR. Pembentukan RUU Keperawatan tersebut dimaksudkan untuk memberikan
perlindungan dan kepastian hukum kepada perawat sebagai tenaga kesehatan. Salah satu materi muatan dalam
RUU Keperawatan adalah masalah pelimpahan wewenang. Pelimpahan wewenang sebagai materi muatan RUU
Keperawatan mengatur hal-hal yang terkait dengan tugas limpah perawat.
II.

Permasalahan

Permasalahan hukum yang sering dihadapi oleh perawat terjadi karena perawat mempunyai kedudukan yang sangat
penting dalam pelayanan kesehatan namun perawat berada pada grey area. Wilayah tersebut tercipta sebagai akibat
masih tumpang tindihnya kewenangan yang dimiliki perawat dan tenaga kesehatan lainnya. Tumpang tindihnya
kewenangan merupakan dampak yang ditimbulkan dari adanya tugas pelimpahan yang diterima perawat melalui
pelimpahan wewenang. Ini disebabkan belum adanya undang-undang yang mengatur secara khusus dan spesifik
mengenai perawat. Selain itu, juga dipengaruhi oleh belum adanya pembagian yang tegas hal-hal yang menjadi
kewenangan perawat yang didapat melalui pelimpahan wewenang. Pelimpahan wewenang tersebut merupakan salah
satu materi muatan yang diatur dalam RUU Keperawatan yang dibentuk berdasarkan amanat UU Kesehatan.
Berdasarkan hal tersebut dilakukan pengkajian mengenai pelimpahan wewenang dalam keperawatan, yaitu:
a. Apakah yang dimaksud dengan pelimpahan wewenang dalam keperawatan dan bagaimanakah pelimpahan
wewenang

tersebut

diberikan

kepada

perawat

dalam

pelayanan

kesehatan?

b. Apa saja aspek hukum yang terkandung dalam pelimpahan wewenang dalam keperawatan?
III.
a.

Kerangka
Perawat

sebagai

Pemikiran
Tenaga

Kesehatan

Perawat sebagai sumber daya kesehatan merupakan aspek penting dalam pembangunan kesehatan. Kedudukan
perawat merupakan suatu profesi sebagai mitra dokter bukan sebagai pembantu dokter. Kedudukan perawat ini
dipengaruhi oleh eksistensi, kredibilitas, dan kompetensi perawat yang diakui sebagai profesional. Perawat sebagai
suatu profesi dan tenaga kesehatan dalam praktik keperawatan mempunyai fungsi independent, interdependent, dan
dependent.
Menurut Patricia W. Iyer, fungsi independent is those activities that are considered to be within nursings scope of
diagnosos and treatment. Dalam fungsi ini tindakan perawat tidak membutuhkan perintah dokter. Perawat

melaksanakan peran perawatan (caring role/independent) berdasarkan ilmu dan kiat keperawatan secara mandiri dan
bertanggung jawab terhadap akibat yang timbul. Fungsi interdependent, yaitu carried out in conjunction with other
health team members. Tindakan perawat dalam melaksanakan fungsi interdependent berdasarkan kerja sama
dengan tim perawatan atau tim kesehatan atau tenaga kesehatan lainnya. Kewenangan yang dimiliki dalam
menjalankan fungsi ini disebut sebagai kewenangan delegasi karena diperoleh karena adanya suatu pendelegasian
tugas dari dokter kepada perawat. Fungsi interdependent ini berarti bahwa perawat melaksanakan peran koordinatif
(coordinative role/interdependent). Adapun fungsi dependent adalah the activities performed based on the physicians
order. Perawat dalam fungsi dependent bertindak membantu dokter/tenaga kesehatan lain/perawat lain dalam
memberikan pelayanan medis dan tindakan keperawatan, memberikan pelayanan pengobatan, dan tindakan khusus
yang menjadi wewenang dokter yang seharusnya dilakukan oleh dokter seperti pemasangan infus, pemberian obat,
melakukan suntikan dan sebagainya. Hal ini berarti bahwa perawat dalam fungsi dependent melaksanakan peran
terapeutik (therapeutic role/dependent).
Ketiga fungsi tersebut melekat pada diri perawat sebagai suatu profesi mandiri. Eksistensi perawat sebagai profesi ini
diakui dalam Lokakarya Keperawatan Nasional Tahun 1983, karena keperawatan yang dilakukan oleh perawat telah
memenuhi empat syarat pokok profesi, yaitu body of knowledge, educational system, code of ethics, and altruism.
Selain itu, pelaksanaan fungsi perawat berkaitan dengan peran perawat sebagai pelaksana asuhan keperawatan,
perawat sebagai pendidik, perawat sebagai pengelola, dan perawat sebagai peneliti.
b.

Pelimpahan

Wewenang

Pelayanan kesehatan sebagai perbuatan hukum menimbulkan akibat hukum, baik bagi pemberi maupun penerima
jasa layanan kesehatan. Akibat hukum timbul karena adanya perbuatan hukum terkait dengan pelaksanaan tugas,
fungsi, dan wewenang dari tenaga kesehatan. Setidaknya terdapat dua standar umum wewenang, yaitu: (1)
penggunaan wewenang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku; dan (2) penggunaan wewenang
tidak boleh merugikan pihak/orang lain.
Perbuatan hukum dalam pelayanan kesehatan dapat dilakukan melalui pelimpahan wewenang dalam memberikan
pelayanan kesehatan, baik antara sesama tenaga kesehatan maupun dengan tenaga kesehatan lainnya. Pelimpahan
wewenang sering diartikan dengan delegasi wewenang, yang di dalamnya mengandung unsur pelimpahan/delegasi
dan wewenang.
Pelimpahan wewenang mengandung dua kata, yaitu pelimpahan (delegasi) dan wewenang. Ada beberapa definisi
delegasi

secara

umum,

antara

lain:

a. Encarta dictionary: delegation is giving of responbility to somebody else or condition of being given responbility
(delegasi

adalah

pemberian

tanggung

jawab

kepada

pihak

lain/orang

lain

atau

kondisi

atas

tanggung

jawab

tersebut

diberikan);

b. Oxford dictionary: entrust a task or responbility to other person (mempercayakan tugas atau tanggung jawab
kepada

orang

lain/pihak

lain);

c. Kamus Besar Bahasa Indonesia: delegasi diartikan pelimpahan wewenang.


Wewenang mempunyai hubungan sejajar dengan hak. Wewenang digunakan untuk lingkup hukum publik yang
berkaitan dengan kekuasaan, sedangkan hak digunakan dalam lingkungan hukum privat, namun keduanya
mempunyai makna kebebasan untuk melakukan perbuatan hukum secara sah. Menurut Henc van Maarseveen
dalam buku Philipus M. Hadjon, sebagai konsep hukum publik, wewenang terdiri atas sekurang-kurangnya tiga
komponen, yaitu pengaruh, dasar hukum, dan konformitas hukum. Wewenang digunakan untuk mengendalikan
perilaku subjek hukum, yang harus selalu dapat ditunjukkan dasar hukum dari wewenang tersebut. Konformitas
hukum dalam wewenang berarti adanya standar wewenang, baik standar umum untuk semua jenis wewenang
maupun standar khusus untuk jenis wewenang tertentu.
Selain ketiga komponen tersebut, pelimpahan wewenang mengandung makna tanggung jawab sebagai rasa
tanggung jawab terhadap penerimaan tugas, akuntabilitas sebagai kemampuan seseorang dalam melaksanakan
tugas limpah, dan wewenang sebagai pemberian hak dan kekuasaan penerima tugas limpah untuk mengambil suatu
keputusan terhadap tugas yang dilimpahkan. Tugas limpah lahir akibat adanya pelimpahan wewenang. Pelimpahan
wewenang adalah proses pengalihan tugas kepada orang lain yang sah atau terlegitimasi (menurut mekanisme
tertentu dalam organisasi) dalam melakukan berbagai aktivitas yang ditujukan untuk pencapaian tujuan organisasi
yang jika tidak dilimpahkan akan menghambat proses pencapaian tujuan tersebut. Pelimpahan wewenang dari pihak
yang berhak kepada pihak yang tidak berhak dilakukan berdasarkan kesepakatan kedua pihak secara tertulis.
Cara memperoleh wewenang dalam bidang pemerintahan didapatkan melalui tiga cara, yaitu atribusi, delegasi, dan
mandat, namun mandat bukan pelimpahan wewenang seperti delegasi. Atribusi adalah pemberian wewenang
pemerintahan oleh pembuat undang-undang kepada organ pemerintahan. Pelimpahan wewenang dengan cara
atribusi
a.

mempunyai
wewenang

berasal

kriteria
dari

sebagai
peraturan

berikut:
perundang-undangan;

b. wewenang tetap melekat sampai dengan peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar wewenangnya
berubah;
c. penerima wewenang bertanggung jawab mutlak atas akibat yang timbul dari wewenang tersebut.
Adanya wewenang atribusi menyebabkan organ pemerintahan sebagai penerima wewenang menjadi berwenang
untuk membuat keputusan (besluit) yang langsung bersumber kepada undang-undang dalam arti materiil. Sumber
utama pembentukan dan distribusi wewenang atribusi adalah UUD 1945, yang ditetapkan lebih lanjut oleh peraturan

perundang-undangan. Pemberian wewenang melalui atribusi dapat dilakukan pembentukan wewenang tertentu oleh
pembuat peraturan perundang-undangan dan diberikan kepada organ-organ tertentu sebagai bagian dari organ
pemerintahan. Organ yang berwenang membentuk wewenang adalah organ yang ditentukan oleh peraturan
perundang-undangan sebagai badan yang mempunyai wewenang.
Delegasi merupakan pelimpahan wewenang pemerintahan dari satu organ pemerintah kepada organ pemerintahan
lainnya. Dalam konteks pelayanan kesehatan, wewenang melakukan tugas medis dari dokter dilimpahkan kepada
perawat. Pelimpahan wewenang dengan cara delegasi merupakan pelimpahan wewenang yang berasal dari
pelimpahan

satu

orang/organ/badan

kepada

orang/organ/badan

lain,

dengan

syarat:

a. harus definitif, pemberi wewenang tidak dapat menggunakan lagi wewenang/tugas yang telah dilimpahkan;
b. harus berdasarkan peraturan perundang-undangan, wewenang/tugas hanya mungkin dilimpahkan jika ada
ketentuan

dalam

peraturan

perundang-undangan;

c. delegasi tidak kepada bawahan sehingga dalam hubungan kepegawaian tidak diperlukan lagi adanya delegasi;
d. pemberi wewenang wajib untuk memberikan penjelasan/keterangan dan penerima wewenang berwenang untuk
meminta

penjelasan

tentang

pelaksanaan

wewenang

tersebut;

dan

e. peraturan kebijaksanaan (beleidsregel), pemberi wewenang memberi instruksi/petunjuk tentang penggunaan


wewenang
Delegasi bukanlah suatu sistem untuk mengurangi tanggung jawab, melainkan cara membuat tanggung jawab
tersebut menjadi bermakna. Wewenang yang diberikan secara delegasi dapat dicabut atau ditarik kembali jika terjadi
pertentangan atau penyimpangan (contrarzus actus) dalam menjalankan wewenang. Pemberi wewenang (delegens)
melimpahkan tanggung jawab dan tanggung gugat kepada penerima wewenang (delegaris). Hubungan hukum antara
delegens dengan delegaris berdasarkan atas wewenang atribusi yang dilimpahkan kepada delegaris.
Mandat merupakan wewenang yang berasal dari pelimpahan secara vertikal dari orang yang berkedudukan lebih
tinggi kepada orang yang berkedudukan lebih rendah (atasan kepada bawahan/manager kepada staf). Pelimpahan
wewenang secara mandat dapat diartikan bahwa pemilik wewenang, baik berdasarkan atribusi maupun delegasi
mengijinkan wewenangnya dijalankan oleh orang lain/pihak lain. Wewenang tersebut dapat ditarik atau digunakan
kembali sewaktu-waktu oleh pemberi wewenang (mandans). Pelimpahan wewenang ini mempunyai tanggung jawab
dan tanggung gugat yang berada pada pemberi mandat. Cara pelimpahan wewenang ini menciptakan hubungan
hukum yang bersifat hubungan intern-hierarkis antara atasan dengan bawahan dan tunduk pada norma hukum
tertulis maupun tidak tertulis, sehingga tidak perlu diatur dengan peraturan perundang-undangan.
IV.
a.

Analisis
Pelimpahan

Wewenang

Keperawatan

Pelimpahan wewenang dalam keperawatan merupakan salah satu materi muatan yang diatur dalam RUU
Keperawatan. Pengaturan ini terdapat dalam draft RUU Keperawatan, yaitu Pasal 30 mengenai pelaksanaan peran
perawat, Pasal 31 dan Pasal 32 mengenai wewenang perawat, serta Pasal 38 mengenai kewajiban perawat.
Pengaturan mengenai pelimpahan wewenang/tugas pelimpahan dalam keperawatan berhubungan dengan jalannya
pemerintahan oleh sumber daya kesehatan. Pelimpahan wewenang ini didasarkan pada hubungan hukum antara
perawat dengan dokter/tenaga kesehatan lain/sesama perawat yang terjadi karena rujukan/pendelegasian/tugas
pelimpahan/pelimpahan wewenang baik secara atribusi, delegasi, maupun mandat, sehingga perlu diatur dalam
undang-undang terkait dengan fungsi, peran, dan wewenang perawat. Pelimpahan wewenang (delegation of
authority) menyebabkan perubahan tanggung jawab dari tanggung jawab pemberi wewenang, sebagai contoh dokter,
(vicarious liability) menjadi tanggung jawab perawat (personal liability).
Pelayanan kesehatan merupakan bagian dari jalannya pemerintahan di bidang kesehatan. Penggunaan wewenang
dan/atau pemberian layanan kesehatan mengacu pada standar umum wewenang (pemerintahan) yang menyangkut
penggunaan wewenang pemerintahan. Tenaga kesehatan sebagai sumber daya kesehatan merupakan bagian dari
organ pemerintahan yang menjalankan fungsi pemerintahan dalam bidang layanan kesehatan. Oleh karena itu,
tenaga kesehatan sebagai bagian dari pengemban fungsi pemerintahan diberi wewenang agar fungsinya di bidang
kesehatan/pelayanan kesehatan dapat berjalan. Untuk berjalannya fungsi pemerintahan di bidang pelayanan
kesehatan, pelimpahan wewenang dilakukan oleh tenaga kesehatan sebagai sumber daya kesehatan, termasuk
perawat. Perawat mempunyai tugas pokok memberikan pelayanan berbagai perawatan paripurna, baik ketika bekerja
pada sarana pelayanan kesehatan maupun bekerja mandiri. Oleh karena itu tanggung jawab perawat harus dilihat
dari peran perawat. Peran dan fungsi perawat tersebut dapat dijalankan melalui pelimpahan wewenang. Pelimpahan
wewenang kepada perawat dalam pelayanan kesehatan terdiri dari dua macam tindakan, yaitu tindakan keperawatan
dan tindakan medis. Pelimpahan wewenang dalam keperawatan terjadi antara pemberi dengan penerima wewenang
yang

terdiri

a.
b.

Perintah
Profesi

kesehatan

c.

Kepala

d.

Pimpinan

lain

(dokter,

institusi
unit

kerja

atas:

peraturan
dokter

gigi,

sarana
keperawatan

tenaga
pelayanan
pada

perundang-undangan;

kefarmasian,

dan

lain-lain)

kesehatan
sarana

pelayanan

pada

tempat
kesehatan;

perawat;
bekerja;
atau

e. Perawat kepada perawat lain yang mempunyai kedudukan lebih tinggi (perawat spesialis dengan perawat umum,
perawat primer kepada perawat pelaksana).
Perawat sebagai bagian organ pemerintahan dalam layanan kesehatan mempunyai tugas dan fungsi pokok untuk
melakukan asuhan keperawatan. Pelaksanaan ketiga fungsi dan peran perawat tersebut memerlukan pendelegasian

wewenang/pelimpahan tugas. Dalam Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1239 Tahun 2001 (Kemenkes Nomor
1239)

dinyatakan

bahwa:

a. kewenangan perawat adalah hak dan otonomi untuk melaksanakan asuhan keperawatan berdasarkan
kemampuan,

tingkat

pendidikan,

dan

posisi

sarana

kesehatan;

b. perawat melaksanakan tindakan medis sebagai pendelegasian wewenang/tugas limpah berdasarkan


kemampuannya;
c. perawat boleh melakukan tindakan di luar wewenangnya dalam kondisi gawat darurat yang mengancam nyawa
sesuai

ketentuan

yang

berlaku;

d. dalam kondisi tidak ada tenaga yang kompeten, perawat berwenang melaksanakan tindakan di luar wewenangnya.
Pelimpahan wewenang juga diatur dalam Keputusan Menteri Kesehatan No. 1280/Menkes/SK/X/2002 tentang
Petunjuk Teknis Jabatan Fungsional Perawat (Kemenkes Nomor 1280), terkait dengan tugas limpah. Berdasarkan
Ketentuan Umum Kemenkes Nomor 1280, yang dimaksud dengan melaksanakan tugas limpah adalah melaksanakan
kegiatan atau tindakan di luar kewenangan perawat sesuai dengan standard operational procedure.
Adanya pengaturan tersebut berarti bahwa kewenangan perawat dalam melaksanakan praktik keperawatan memiliki
dua aspek, yaitu aspek formil dan aspek materiil. Perawat secara formil berwenang untuk melakukan praktik
keperawatan ketika seorang perawat telah terdaftar sebagai registered nurse dan mendapatkan surat ijin praktik
keperawatan. Sedangkan secara materiil diperoleh oleh seorang perawat dalam melaksanakan asuhan keperawatan
dan kewenangan berdasarkan pelimpahan wewenang, baik untuk melaksanakan tindakan medis dari tenaga medis,
tenaga kesehatan lainnya, maupun dari sesama perawat. Namun, Pasal 20 Kemenkes Nomor 1239 memberikan
kewenangan kepada perawat untuk melakukan tindakan di luar kewenangan yang telah ada untuk melakukan
tindakan yang bersifat pertolongan atas itikad baik (good Samaritan law).
Pelimpahan wewenang tersebut tidak dapat dipisahkan dari fungsi perawat. Perawat dalam peran perawatan
(independent) mempunyai tanggung jawab yang mandiri berdasarkan wewenang yang melekat pada dirinya. Hal ini
berbeda dengan ketika perawat melaksanakan peran koordinatif (interdependent). Fungsi interdependent dilakukan
dalam hal pelayanan kesehatan memerlukan kerjasama dengan tenaga kesehatan lain. Untuk terlaksananya fungsi
interdependent, perawat memerlukan adanya pelimpahan tugas/wewenang dari tenaga kesehatan yang tergabung
dalam kerja sama tersebut. Pelimpahan dilakukan berdasarkan surat keputusan mengenai pembentukan tim
kesehatan dalam pemberian pelayanan kesehatan. Peran terapeutik (dependent) dilaksanakan perawat ketika dalam
keadaan tertentu memerlukan beberapa kegiatan diagnostik dan tindakan medik yang dapat dilimpahkan untuk
dilaksanakan oleh perawat. Pelimpahan tugas dalam peran dependent diberikan berdasarkan permintaan, pesan,
atau instruksi tertulis dari dokter atau perawat lain sebagai tindakan pelimpahan tugas yang diberikan. Dalam

pelimpahan wewenang ini berlaku doktrin perpanjangan tangan dokter (verlengle arm van de arts/prolonge
arm/extended role doctrine) dan perawat tidak diperbolehkan mengambil inisiatif sendiri tanpa delegasi atau
pelimpahan.
Atas dasar itu, upaya pelayanan kesehatan yang dilakukan oleh perawat dilakukan secara mandiri maupun melalui
pelimpahan wewenang terkait dengan tindakan medis, baik di rumah sakit, di sarana pelayanan kesehatan lain (pusat
kesehatan masyarakat/pukesmas), maupun praktek pelayanan kesehatan di rumah (praktik mandiri). Secara
normatif, tindakan medis merupakan wewenang dokter, namun secara empiris perawat sebagai tenaga keperawatan
juga melakukannya dan tindakan medis oleh perawat tersebut mengandung aspek hukum yang berbeda.
Berdasarkan teori wewenang dalam ilmu hukum, tindakan medis oleh perawat pada pelayanan kesehatan di rumah
sakit bukan termasuk wewenang yang diperoleh karena delegasi. Hal ini disebabkan pertama, apabila perawat
melakukan tindakan medis seperti yang dikehendaki dokter, maka perawat tidak dapat tidak memikul beban tanggung
jawab dan tanggung gugat atas segala akibat yang merugikan yang muncul kemudian. Kedua, perawat sebagai
tenaga profesional mempunyai tingkat pendidikan sehingga wewenang yang dimilikinya mempunyai kedudukan yang
setara dengan tenaga medis karena wewenang tersebut didapatkan sesuai bidang keilmuan dan kompetensinya.
Ketiga, tindakan medis yang dilakukan oleh perawat bersifat incidental, hanya dilakukan ketika dokter menghendaki
dan apabila tidak dikehendaki maka dokter akan melakukannya sendiri. Keempat, belum ditemukan ketentuan
peraturan perundangan produk legislatif yang memberikan wewenang kepada perawat untuk melakukan tindakan
medis tertentu, kecuali dalam keadaan darurat.
Tindakan medis bagi perawat yang menjalankan praktik mandiri atau tindakan mandiri perawat dalam sarana
pelayanan kesehatan dilakukan secara normatif berdasarkan peraturan perundang-undangan di bidang kesehatan,
yaitu UU Kesehatan, UU Praktik Kedokteran, UU Rumah Sakit, PP Nakes, Permenkes/Kemenkes, dan Peraturan
Daerah. Kewenangan perawat secara mandiri tersebut merupakan wewenang atributif yang dimiliki perawat melalui
pelimpahan wewenang yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan. Contoh kewenangan atributif perawat
terdapat dalam Pasal 9 Permenkes Nomor 148 Tahun 2010 dan Pasal 14 Peraturan Daerah Lampung Nomor 4
Tahun 2011. Berdasarkan wewenang tersebut, penggunaan wewenang dalam pemberian layanan kesehatan yaitu:
a.

penggunaan

wewenang

berdasarkan

peraturan

perundang-undangan

yang

berlaku;

b. penggunaan wewenang tidak boleh merugikan pihak lain/orang lain.


Pelimpahan wewenang dalam keperawatan terjadi ketika perawat melaksanakan peran dan fungsi koordinatif dan
terapeuik berupa tindakan keperawatan kolaboratif yang menempatkan perawat sebagai mitra dan bekerja sama
dengan dokter, tenaga kesehatan lainnya termasuk sesama perawat. Hal ini berarti dalam kedua fungsi tersebut
perawat melaksanakan tindakan medik pelimpahan.

Selama ini mengenai tindakan medik pelimpahan yang diberikan kepada perawat telah diatur dalam beberapa
peraturan daerah. Berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Sidoarjo Nomor 10 Tahun 2012 tentang Retribusi
Pelayanan Kesehatan, yang dimaksud dengan tindakan medik pelimpahan adalah tindakan medik tertentu yang
kewenangan melakukannya dilimpahkan kepada tenaga keperawatan, namun tanggung jawabnya tetap pada tenaga
medik yang memberikan tugas limpah. Sedangkan berdasarkan Pasal 14 Peraturan Daerah Provinsi Lampung
Nomor 4 Tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Praktik Keperawatan, tindakan keperawatan kolaboratif meliputi:
a. Melaksanakan program pengobatan dan/atau tindakan medik secara tertulis pada fasilitas pelayanan kesehatan
tingkat

kedua

dan

fasilitas

pelayanan

tingkat

ketiga;

b. Melaksanakan upaya penyembuhan dan pemulihan kesehatan klien bersama dengan tenaga kesehatan lainnya.
Tindakan medik pelimpahan tersebut dapat dilakukan oleh dokter. Dokter dapat memberikan kewenangan kepada
perawat atau tenaga kesehatan tertentu secara tertulis dalam melaksanakan tindakan kedokteran, sesuai dengan
kemampuan dan kompetensi yang dimiliki oleh perawat/tenaga kesehatan lainnya (Pasal 14 Peraturan Daerah Kota
Palembang Nomor 22 Tahun 2011 tentang Ijin Praktik dan Ijin Kerja Tenaga Kesehatan). Hal ini berarti bahwa
tindakan medis oleh perawat dalam upaya pelayanan kesehatan secara normatif, tindakan tersebut merupakan
wewenang dokter, namun secara empiris perawat sebagai tenaga keperawatan juga melakukannya.
Selama ini terjadi kekeliruan pemahaman mengenai pelimpahan wewenang dalam memberikan pelayanan
kesehatan. Pelimpahan wewenang dipahami sebagai pelimpahan dari dokter kepada perawat dalam upaya
pelayanan kesehatan dan perawat mengerjakan tugas dokter untuk melakukan tindakan medis tertentu dan perawat
tidak memikul beban tanggung jawab dan tanggung gugat atas kerugian yang timbul dalam pelayanan kesehatan
tersebut. Selain itu pemahaman yang keliru juga terjadi terhadap wewenang yang diberikan dengan cara delegasi
dan mandat. Tindakan medis oleh perawat bukan termasuk dalam wewenang yang diperoleh secara delegasi
melainkan

mandat

karena:

a. apabila perawat melakukan tindakan sama seperti yang dikehendaki oleh dokter, maka perawat tidak memikul
beban

tanggung

akibat

jawab

dan

tanggung

gugat

tindakan

atas

segala

medis

akibat

yang

timbul
tersebut;

b. selama ini perawat belum sepenuhnya dan belum disadari posisinya sebagai tenaga professional dan keperawatan
sebagai

sebuah

profesi;

c. tindakan medis yang dilakukan oleh perawat bersifat incidental, yaitu hanya dilakukan apabila dokter
menghendakinya;
d. belum ada ketentuan peraturan perundang-undangan yang memberikan wewenang kepada perawat untuk
melakukan tindakan medis tertentu kecuali dalam keadaan darurat.

Pelimpahan wewenang dari dokter kepada perawat terjadi bila seorang perawat melakukan tindakan yang bukan
merupakan kompetensi di pelayanan kesehatan. Pelimpahan wewenang yang dijalankan perawat tidak boleh
dilakukan secara lisan oleh dokter, tetapi harus ada permintaan tertulis dari dokter. Hal ini didasarkan pada Pasal 15
huruf d Kemenkes Nomor 1239 Tahun 2001 tentang Registrasi dan Praktek Perawat, yang menyatakan bahwa
perawat dalam melaksanakan praktek keperawatan berwenang untuk pelayanan tindakan medik hanya dapat
dilakukan berdasarkan permintaan tertulis dari dokter. Ini berarti bahwa perawat hanya dapat melakukan pelayanan
tindakan medik ketika ada permintaan tertulis dari dokter. Adapun hal yang perlu diperhatikan dalam pelimpahan
tugas
a.

dari
tanggung

b.

jawab

perawat

dokter
utama

kepada

tetap

berada

mempunyai

pada

perawat
dokter

yang

tanggung

yaitu:

memberikan

jawab

tugas.

pelaksana.

c. Pelimpahan hanya dapat dilaksanakan setelah perawat tersebut mendapat pendidikan dan kompetensi yang cukup
untuk

menerima

pelimpahan.

d. Pelimpahan untuk jangka panjang atau terus menerus dapat diberikan kepada perawat kesehatan dengan
kemahiran

khusus

(perawat

spesialis),

yang

diatur

dengan

peraturan

tersendiri (standing order).


Pelimpahan wewenang dari dokter kepada perawat tersebut dapat diberikan kepada yang telah bergelar Ners
spesialis atau Ners apabila dilihat mampu melakukannya.Pelimpahan wewenang dalam keperawatan juga bisa terjadi
pada sarana pelayanan kesehatan lain, yaitu puskesmas. Perawat yang memberikan layanan kesehatan pada
puskesmas melakukan tindakan medis tertentu. Perawat yang berdinas di puskesmas menjalankan profesi sekaligus
kepanjangan tangan pemerintah dalam menjalankan fungsi pemerintahan dalam hal penyediaan fasilitas dan
pelayanan kesehatan yang layak/memadai.
Perawat yang bertugas di puskesmas yang mempunyai tenaga kompeten (dokter) hanya dapat melakukan tindakan
medis/pengobatan atas persetujuan dokter penanggung jawab. Namun, perawat seringkali tidak menunggu adanya
pelimpahan wewenang (perintah) dari dokter untuk melakukan pelayanan medis di puskesmas, tetapi dilakukan
berdasarkan pertimbangan pribadi, kelaziman, nilai kemanusiaan, dan kompetensinya. Pelayanan kesehatan berupa
tindakan medis seharusnya memerlukan pelimpahan dari dokter.
Pendelegasian wewenang/pemberian tugas limpah bagi perawat di puskesmas berbeda dengan di rumah sakit,
karena puskesmas mempunyai dua unit upaya pelayanan, yaitu upaya kesehatan perorangan (UKP) dan upaya
kesehatan masyarakat (UKM). Pendelegasian wewenang/tugas limpah bagi perawat di puskesmas terjadi melalui:
a. Pendelegasian wewenang upaya kesehatan perorangan (UKP) diberikan oleh dokter sebagai tenaga medis;
b. Pendelegasian wewenang upaya kesehatan masyarakat (UKM) diberikan oleh kepala puskesmas sebagai

penanggung

jawab

institusi

puskesmas

berdasarkan

Surat

Keputusan

Kepala

Dinas

Kesehatan/bupati/walikota.
Pelimpahan wewenang/tugas juga dapat terjadi antar-perawat. Perawat dalam melaksanakan fungsi dependent
memiliki kompetensi delegasi, yaitu mendelegasikan kemampuan dari perawat profesional kepada perawat
vokasional, dan kemampuan yang didelegasikan dari tenaga medis kepada perawat, sesuai dengan kompetensi dan
kemampuan

perawat

yang

menerima

delegasi.

Pelimpahan

wewenang

antar-perawat

terjadi

ketika:

a. Perawat yang mempunyai kewenangan penuh adalah Ners untuk asuhan keperawatan yang bersifat umum;
b. Untuk asuhan keperawatan yang bersifat khusus (jiwa, anak, maternitas, medikal bedah, dan komunitas),
wewenang

berada

pada

Ners

spesialis;

c. Perawat lulusan Diploma III Keperawatan tidak mempunyai wewenang untuk membuat asuhan keperawatan, hanya
melakukan

atas

instruksi

Ners;

d. Pelimpahan wewenang dapat diberikan oleh Ners spesialis kepada Ners berdasarkan kondisi darurat dan bila
dilihat

Ners

mampu

melakukannya;

dan

e. Pelimpahan wewenang dapat diberikan oleh Ners kepada perawat D3 berdasarkan kondisi darurat dan bila dilihat
oleh Ners, perawat D3 mampu melakukannya.
Selain itu, pelimpahan wewenang merupakan salah satu elemen penting dalam fungsi pembinaan. Pelimpahan tugas
(pendelegasian) dimaksudkan agar perawat menjadi lebih produktif dalam melakukan fungsi-fungsi manajemen
lainnya, sehingga diperlukan proses pengalokasian wewenang dari manager perawat kepada staf perawat sebagai
bawahannya. Pelimpahan tugas keperawatan dari pimpinan unit kerja keperawatan kepada perawat terjadi apabila
pada suatu unit kerja tidak terdapat perawat yang sesuai dengan jenjang jabatannya untuk melaksanakan kegiatan
keperawatan. Kondisi tersebut menyebabkan perawat lain yang berada satu tingkat di atas atau satu tingkat di bawah
jenjang jabatannya dapat melakukan kegiatan tersebut berdasarkan penugasan secara tertulis dari pimpinan unit
kerja yang bersangkutan. Ada empat kegiatan delegasi wewenang dalam unit kerja keperawatan, yaitu:
a. Manager perawat/bidan menetapkan dan memberikan tugas dan tujuannya kepada orang yang diberi pelimpahan;
b.

Manajer

melimpahkan

wewenang

yang

diperlukan

untuk

mencapai

tujuan;

c. Perawat/bidan yang menerima delegasi, baik eksplisit maupun implisit menimbulkan kewajiban dan tanggung
jawab;
d. Manajer perawat/bidan menerima pertanggungjawaban (akuntabilitas) atas hasil yang telah dicapai.
Pelimpahan wewenang dalam keperawatan tersebut harus dilakukan secara tertulis dengan pertimbangan berikut:
a. Mempunyai kekuatan hukum yang kuat dan kekuatan pembuktian karena dilindungi oleh peraturan yang berlaku;
b. Dapat berfungsi sebagai alat bukti tertulis mengenai kewenangan yang dilimpahkan sehingga apabila terjadi

perbuatan
penerima

di

luar

wewenang,

kewenangan
bukan

hal

tersebut

tanggung

menjadi

jawab

tanggung
pemberi

jawab
wewenang;

c. Pelimpahan wewenang dalam keperawatan disesuaikan dengan kemampuan profesional dan kompetensi perawat
sebagai penerima wewenang.
b.

Aspek

Hukum

Pelimpahan

Wewenang

Keperawatan

Pelimpahan wewenang kepada perawat di dalamnya mengandung beberapa aspek hukum karena terjadi akibat
adanya hubungan hukum dan perbuatan hukum yang dilakukan oleh perawat. Pelimpahan wewenang dalam
keperawatan dapat ditinjau dari aspek hukum administrasi negara, hukum perdata, dan hukum pidana.
Pelimpahan wewenang ini mengandung aspek hukum administrasi negara, karena perawat merupakan organ
pemerintahan dalam melaksanakan pembangunan kesehatan melalui sumber daya kesehatan. Hukum administrasi
negara mengatur wewenang perawat secara mandiri maupun wewenang yang tercipta dari hubungan hukum antara
perawat dengan stakeholders, termasuk sesama perawat.
Pelimpahan wewenang dalam keperawatan, baik berupa tindakan keperawatan maupun tindakan medis secara
delegasi maupun mandat harus dilakukan secara tertulis yang didahului dengan kesepakatan antara pemberi
wewenang (stakeholders) dengan perawat yang tertuang dalam surat pelimpahan dan dijalankan sesuai dengan
standard operation procedure. Namun, fakta yang terjadi dalam praktik rujukan, perintah, ataupun surat limpah
tersebut tidak pernah ada. Hal ini menunjukkan bahwa secara hukum administrasi negara pelimpahan wewenang
yang sudah berjalan mempunyai kedudukan yang sangat lemah.
Tinjauan aspek hukum perdata dalam pelimpahan wewenang ini didasarkan pada ketentuan Pasal 1233, Pasal 1234,
Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata). Pelimpahan wewenang dalam keperawatan untuk
melakukan tindakan keperawatan maupun tindakan medis mengandung perikatan yang menimbulkan hubungan
hukum antara penerima wewenang dengan pemberi wewenang. Berdasarkan Pasal 1233 KUHPerdata, perikatan
lahir karena persetujuan dan karena undang-undang. Pelimpahan wewenang dengan cara atribusi berarti bahwa
perawat menerima wewenang karena perikatan yang lahir dari undang-undang, sedangkan perawat dalam
pelimpahan wewenang melalui delegasi ataupun mandat merupakan perikatan yang lahir karena persetujuan antara
perawat sebagai penerima wewenang dengan stakeholders sebagai pemberi wewenang.
Pelimpahan wewenang yang lahir karena persetujuan/perjanjian didasarkan pada Pasal 1234 dan Pasal 1320
KUHPerdata. Pelimpahan wewenang ini dilakukan melalui delegasi atau mandat. Pasal 1234 KUHPerdata
menyatakan bahwa tiap-tiap perikatan adalah untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau tidak berbuat
sesuatu. Pelimpahan wewenang ini merupakan suatu perjanjian dan harus memenuhi unsur sahnya perjanjian dalam

Pasal 1320 KUHPerdata, yaitu kesepakatan, kecakapan, suatu hal tertentu, dan suatu sebab yang halal. Pelimpahan
wewenang batal demi hukum apabila syarat kata sepakat dan kecakapan tidak terpenuhi, sedangkan apabila syarat
suatu hal tertentu dan sebab yang halal tidak terpenuhi maka pelimpahan wewenang dapat dibatalkan. Dalam
pelimpahan wewenang sebagai suatu perjanjian minimal harus ada dua subjek hukum, yaitu perawat dan
stakeholders terkait seperti dokter/perawat lain yang menyatakan kehendak untuk mengikatkan diri.
Pelimpahan wewenang dalam tindakan medis dilakukan oleh dokter dengan perawat. Dalam pelimpahan wewenang
ini, dokter sepakat memberikan wewenang tindakan medis dan perawat sepakat menerima wewenang tindakan
medis tersebut. Kedua subjek hukum tersebut harus mempunyai kecakapan bertindak dan kewenangan hukum.
Perawat selaku penerima pelimpahan wewenang harus cakap menurut hukum. Objek hukum dalam pelimpahan
wewenang untuk melaksanakan tindakan medis atau tindakan keperawatan oleh perawat harus dapat dijelaskan dan
dapat dilaksanakan. Selain itu, objek dalam pelimpahan wewenang harus sebab yang halal, yaitu tidak dilarang oleh
peraturan perundang-undangan, dan tidak bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum, sebagaimana
diatur dalam Pasal 1337 KUH Perdata.
Pelimpahan wewenang dengan cara delegasi atau mandat dilakukan secara tertulis melalui surat pelimpahan
wewenang. Hal ini menunjukkan bahwa ada hubungan hukum yang lahir dari perikatan yang menimbulkan hak dan
kewajiban bagi perawat dan stakeholders pemberi wewenang. Penggunaan wewenang ini tidak boleh merugikan
pihak lain, dan apabila timbul kerugian dalam pelimpahan wewenang melalui mandat, maka dokter yang bertanggung
jawab terhadap kerugian dan kelalaian yang ditimbulkan oleh perawat yang diberikan wewenang olehnya. Hal ini
disebabkan dalam pelimpahan wewenang tindakan medis tanggung jawab utama tetap ada pada dokter yang
memberi perintah, sedangkan perawat hanya bertanggung jawab sebagai pelaksana. Berbeda dengan pelimpahan
wewenang melalui delegasi, tanggung jawab terhadap kerugian dan kerugian yang timbul akibat pemberian delagasi
ditanggung oleh perawat penerima pelimpahan wewenang.
Pelimpahan wewenang dari aspek hukum pidana dilihat dari implementasi ketentuan pidana yang diatur oleh undangundang terkait. Karena belum ada undang-undang keperawatan, maka aspek pidana dalam pelimpahan wewenang
didasarkan pada UU Kesehatan, UU Praktik Kedokteran, dan UU Rumah Sakit. Hubungan hukum yang muncul
dalam pelimpahan wewenang dari aspek hukum pidana terjadi sebagai implikasi dari konsekuensi pelanggaran
ketentuan dalam undang-undang bidang kesehatan. Apabila terjadi kegagalan yang dilakukan oleh perawat dalam
melaksanakan tugas pelimpahan wewenang dalam tindakan medis dan batas kewenangan yang diberikan, tanggung
jawab dibebankan kepada dokter sebagai pemberi wewenang atau dibebankan secara berjenjang pada pengambil
kebijakan di atasnya.

V.

Penutup

Peran perawat dalam pelayanan kesehatan dan pelayanan keperawatan dapat dijalankan melalui pelimpahan
wewenang dari stakeholders, seperti dokter, tenaga kesehatan lain, sesama perawat, kepala institusi tempat perawat
bekerja. Pelimpahan wewenang kepada perawat terjadi dengan tiga cara yaitu (1) secara atribusi diberikan oleh
peraturan perundang-undangan, (2) secara delegasi, dan (3) mandat. Pelimpahan wewenang dengan cara mandat
dan delegasi harus dilakukan sesuai dengan kesepakatan antar-profesi dan/atau pihak terkait, diberikan secara
tertulis, dikembangkan sesuai dengan perkembangan keilmuan dan kebutuhan pelayanan kesehatan, serta harus
dijalankan sesuai dengan kompetensi yang dimiliki seorang perawat. Pelimpahan wewenang ini terjadi ketika perawat
melaksanakan fungsi interdependent dan dependent. Pelimpahan wewenang tersebut harus dilakukan secara tertulis
baik berupa permintaan, pesan, instruksi, surat keputusan, surat pendelegasian/pelimpahan dari tenaga medis,
kepala instansi, pimpinan unit kerja keperawatan, tenaga kesehatan lain, maupun perawat profesi (Ners). Perihal
tentang pelimpahan wewenang tersebut ditembuskan kepada perawat selaku penerima wewenang, pemberi
wewenang, serta dinas/instansi terkait seperti dinas kesehatan setempat, Ikatan Dokter Indonesia, Persatuan
Perawat Nasional Indonesia, dan instansi lain yang mungkin terkait dengan adanya pelimpahan itu.
Pelimpahan wewenang dalam keperawatan mengandung aspek hukum administrasi negara, hukum perdata, dan
hukum pidana. pelimpahan wewenang dari aspek hukum administrasi negara, perawat merupakan salah satu organ
pemerintahan dalam bidang kesehatan dan menjadi subjek hukum pelimpahan wewenang upaya pelayanan
kesehatan. Pelimpahan wewenang dari aspek hukum perdata ditinjau dari pelimpahan wewenang sebagai perikatan
yang lahir dari undang-undang dan dari perjanjian antar-subjek hukum.
Pelimpahan wewenang tindakan keperawatan dan tindakan medis kepada perawat melalui delegasi atau mandat
harus memenuhi unsur sahnya perjanjian yang diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata. Pelimpahan wewenang
ditinjau dari aspek hukum pidana merupakan implementasi dan implikasi dari ketentuan pidana dalam UU Kesehatan,
UU Praktik Kedokteran, dan UU Rumah Sakit. Apabila terjadi pelanggaran ketentuan pidana dalam undang-undang
tersebut akibat pelimpahan wewenang maka tanggung jawab dibebankan kepada pemberi wewenang atau
dibebankan secara berjenjang.
Pelimpahan wewenang kepada perawat perlu diatur dalam RUU Keperawatan karena (1) pelimpahan wewenang
melahirkan hubungan hukum dengan stakeholders dalam tindakan keperawatan dan tindakan medis dan perbuatan
hukum bagi perawat; (2) pelimpahan wewenang yang sudah dijalankan selama ini belum mempunyai kekuatan
hukum dan peraturan yang ada belum mampu memberikan jaminan kepastian dan perlindungan hukum bagi
perawat, sehingga perawat seringkali terjebak dalam grey area; dan (3) tindakan dalam keperawatan yang dilakukan
tidak sesuai dengan wewenangnya dapat menyebabkan terjadinya malpraktik. Oleh karena itu perlu adanya

pengaturan tentang pelimpahan wewenang yang sesuai dengan cara pelimpahannya (atribusi, delegasi, mandat) dan
kompetensi perawat.
DAFTAR PUSTAKA
Aspek Hukum dalam Pelayanan Keperawatan, diakses melalui http://praktekperawat.blogspot.com/2010/09/aspekhukum-dalam-pelayanan-keperawatan.html,

tanggal

November

2012.

Pendelegasian Wewenang, http://luluk.staff.gunadarma.ac.id/Downloads/files/9027/Pertemuan+ketujuh.ppt, diakses


tanggal

Maret

2011.

Azwar, Azrul, 2011, Beberapa Catatan Tentang Ruu Keperawatan, disampaikan pada Diskusi Tim Kerja RUU
Keperawatan dengan Tokoh Masyarakat dan Pemerhati Keperawatan, Jakarta, 16 Juni 2011: Setjen DPR RI.
Fadhillah, Harif, Urgensi Percepatan Pengesahan RUU Keperawatan di Indonesia, disampaikan pada Diskusi Tim
Kerja RUU Keperawatan dengan PP Persatuan Perawat Nasional Indonesia, Jakarta, 23 Juni 2011: Setjen DPR RI.
Hadjon, Philipus M.. Kisi-kisi Hukum Admistrasi dalam Konteks Tindak Pidana Korupsi, dalam buku Hukum
Administrasi dan Tindak Pidana Korupsi, Philipus M. Hadjon et.al, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2011.
Hasil pengumpulan data untuk Rancangan Undang-Undang Keperawatan, Makassar, 20 s.d. 24 Juni 2011.
Isti, Handayaningsih, Evaluasi Pelimpahan Wewenang Dokter kepada Perawat: Tinjauan Aspek Hukum, Tesis
Universitas

Gadjah

Mada,

2012.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, Profil Data Kesehatan Indonesia Tahun 2011, Jakarta: Pusat Data dan
Informasi

Kementerian

Naskah

Akademik

Praptiningsih,

Sri,

Delegasi

Kesehatan
Rancangan
Wewenang

Republik
Undang-Undang

dalam

Pelayanan

Kesehatan,

Indonesia,

2012.

Keperawatan,

2012.

diakses

melalui

http://sri-

praptianingsih.blogspot.com/2010/08/delegasi-wewenang-dalam-pelayanan.html?zx=c2b908c5e2bf964a, tanggal 20
Oktober
Sinamo,

2012.
Nomensen,

Hukum

Administrasi

Negara,

Jakarta:

Jala

Permata

Aksara,

2010.

Suryanti, Reny, Pelimpahan Wewenang Dokter Kepada Perawat Dalam Tindakan Medis Diruang Rawat Inap Rsud
Kabupaten Badung Sebagai Upaya Pencegahan Terjadinya Kelalaian, Tesis, Universitas Gadjah Mada, 2011.
Triwibowo, Cecep, dan Yulia Fauziyah, Malpraktik Etika Perawat: Penyelesaian Sengketa Melalui Mediasi,
Yogyakarta:

Nuha

Medika,

2012.

Triwibowo, Cecep, Hukum Keperawatan Panduan Hukum dan Etika bagi Perawat, Yogyakarta: Pustaka Book
Publisher,

2010.

Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, Lembaran Negara Nomor 116 dan Tambahan
Lembaran

Negara

Nomor

4431.

Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, Lembaran Negara Nomor 144 dan Tambahan Lembaran

Negara

Nomor

5063.

Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit, Lembaran Negara Nomor 153 dan Tambahan
Lembaran

Negara

Nomor

5072.

Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan, Lembaran Negara Nomor 49 dan
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3637.
*) Tulisan dimuat dalam Buku Legislasi DPR Tinjauan Undang-Undang dan Rancangan Undang-Undang dalam
Perspektif Hukum, Sosial, dan Ekonomi

Sukai ini:
Suka Memuat...

Anda mungkin juga menyukai