Tolong Bayiku
Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit Kasih Ibu mendadak gaduh karena
seorang ibu berteriak-teriak minta tolong anaknya kejang. Ibu Nini meminta
tolong anaknya Didi usia 6 bulan kejang sejak 10 menit yang lalu. Ini adalah
kejang yang kedua kalinya . saat kejang Didi tidak sadar, kedua tangan dan kaki
kaku serta mata mendelik ke atas. Setelah kejang Didi menangis keras. Didi
adalah anak kedua dari 2 bersaudara, kakaknya tidak pernah mengalami kejang
seperti ini.
I.
KLARIFIKASI ISTILAH
1. Instalasi Gawat Darurat (IGD)
Adalah salah satu unit di rumah sakit yang harus dapat memberikan
pelayanan darurat kepada masyarakat yang memiliki kemampuan untuk
melakukan pemeriksaan awal kasus-kasus gawat darurat dan mampu
melakukan resusitasi dan stabilisasi (life saving) sesuai standar.
(Kepmenkes RI No.856, 2009)
2. Kejang (convultion)
- Kontraksi involunter atau serangkaian kontrasi otot-otot volunter.
-
II.
IDENTIFIKASI MASALAH
1.
Apa penyebab yang membuat Didi kejang mendadak ?
2.
Mengapa ketika kejang Didi tidak sadar, kedua tangan dan kaki kau
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
III.
ANALISIS MASALAH
1 Penyebab kejang mendadak pada Didi
Kejang yang terjadi mendadak pada Didi disebabkan oleh
adanya peningkatan aktifitas listrik yang berlebihan pada neuronneuron yang mampu secara berurutan merangsang sel neuron lain
secara bersama-sama melepaskan muatan listriknya. Peningkatan
aktifitas listrik yang berlebihan tersebut diduga terjadi akibat : (1)
kemampuan
membran
sel
sebagai
pacemaker
neuron
untuk
Penyebab ketika kejang Didi tidak sadar, kedua tangan dan kaki
kaku serta mata mendelik ke atas
Price & Wilson (2014) dan Isselbacher et al. (2014) menyatakan
bahwa manifestasi kejang dapat berupa kombinasi beragam dari
perubahan tingkat kesadaran serta gangguan fungsi motorik, sensorik
dan perilaku. Dengan demikian ketika kejang Didi tidak sadar, kedua
tangan dan kaki kaku serta mata mendelik keatas adalah merupakan
manifestasi dari kejang itu sendiri.
atas
berkembangnya
suatu
kejang.
Untuk
Rangsangan
yang
datangnya
mendadak,
misalnya
hiperkapnea,
hipoglikemia,
laktat
asidosis
menyebabkan
metabolisme
otot
meningkat
dengan
mudah
secara
spontan
dan
berlebihan
glikolisis
serebrospinalis
merupakan
jaringan.
selama
Asetilkolin
dan
neurotransmitter
setelah
muncul
di
kejang.
Asetilkolin
terpenting
yang
cairan
diketahui
Klasifikasi kejang
Price & Wilson (2014) dan Isselbacher et al. (2014) menyatakan
bahwa kejang dapat di klasifikasikan sebagai parsial dan generalisata
berdasarkan apakah kesadaran utuh atau lenyap. Adapun selengkapnya
sebagai berikut :
Tabel 1. Klasifikasi kejang
Klasifikasi
Parsial
Parsial Sederhana
Parsial kompleks
Karakteristik
Kesadaran utuh walaupun mungkin
berubah, fokus di satu bagian tetapi
dapat menyebar ke bagaian lain
Dapat bersifat motorik (gerakan
abnormal
unilateral),
sensorik
(merasakan, membaui, mendengar
sesuatu yang abnormal), autonomik
(takardia,
bradikardia,
takipnu,
kemerahan, rasa tidak enak di
epigastrium),
psikik
(disfagia,
gangguan daya ingat)
Biasanya berlangsung kurang dari 1
menit
Dimulai sebagai kejang parsial
sederhana, berkembang menjadi
perubahan kesadaran yang disertai
oleh :
Gejala motorik, sensorik, otomatisme
(mengecap-ngecapkan
bibir,
mengunyah, menarik-narik baju)
Generalisata
Tonik-Klonik
Absence
Mioklonik
Atonik
Klonik
fTonik
Awal ( 15 menit)
Berkepanjangan
( 1jam)
Hipotensi disertai
berkurangnya aliran
Disritmia
sehingga terjadi
darah
Edema paru nonjantung
Meningkatnya kadar
hipotensi serebrum
Gangguan
sawar darah
glukosa
Meningkatnya suhu pusat
otak yang
menyebabkan edema
tubuh
Meningkatnya sel darah
serebrum
putih
Kejang demam
Kejang demam merupakan bangkitan kejang yang terjadi pada
kenaikan suhu tubuh (suhu rektal di atas 38C) yang disebabkan
b
c
intrakranial,\
Idiopatik, merupakan kondisi medis yang belum dapat
terungkap jelas penyebabnya.
9.
Obat yang praktis dan dapat diberikan oleh orang tua atau di
rumah adalah diazepam rektal (level II-2, level II-3,
rekomendasi B). Dosis diazepam rektal adalah 0,5-0,75 mg/kg
atau diazepam rektal 5 mg untuk anak dengan berat badan
kurang dari 10 kg dan 10 mg untuk berat badan lebih dari 10 kg.
Atau diazepam rektal dengan dosis 5 mg untuk anak dibawah
usia 3 tahun atau dosis 7,5 mg untuk anak di atas usia 3 tahun.
Bila setelah 2 kali pemberian diazepam rektal masih tetap kejang, dianjurkan ke rumah sakit. Di rumah sakit dapat diberikan
diazepam intravena dengan dosis 0,3-0,5 mg/kg.
Bila kejang tetap belum berhenti diberikan fenitoin secara intravena dengan dosis awal 10-20 mg/kg/kali dengan kecepatan 1
mg/kg/menit atau kurang dari 50 mg/menit. Bila kejang berhenti
dosis selanjutnya adalah 4-8 mg/kg/hari, dimulai 12 jam setelah
dosis awal.
Bila kejang telah berhenti, pemberian obat selanjutnya tergantung dari jenis kejang demam apakah kejang demam sederhana
atau kompleks dan faktor risikonya.
10.
Anamnesis
a
b
c
d
e
f
Pemeriksaan
fisik
Interpretasi DD
Kejang Demam
Kejang
Tidak sadar
Kaki dan tangan
kaku
Mata mendelik
keatas
Kejang
generalisata
tonik-klonik
tanpa
disertai
demam,
IV.
KERANGKA KONSEP
V.
LEARNING OBJECTIVE
VII.
BERBAGI INFORMASI
Kejang Demam
a) Definisi
Kejang demam didefinisikan sebagai bangkitan kejang yang terjadi
pada suhu tubuh 38oC (rectal), biasanya terjadi pada bayi dan anak
mulai usia 6 bulan sampai 5 tahun yang disebabkan oleh suatu proses
ekstrakranium dan tidak terbukti adanya penyebab tertentu. (Ikatan
Dokter Anak Indonesia)
Kejang demam ialah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan
suhu tubuh (suhu rektal di atas 380C) yang disebabkan oleh suatu
proses ekstrakranium (Pusponegoro et al., 2006
b) Etiologi
Semua jenis infeksi yang bersumber di luar susunan saraf pusat
yang menimbulkan demam dapat menyebabkan kejang demam.
Penyakit yang paling sering menimbulkan kejang demam adalah infeksi
saluran pernapasan atas, otitis media akut, pneumonia, gastroenteritis
akut, bronchitis dan infeksi saluran kemih. (Soetomenggolo, 2000)
Kejang demam disebabkan oleh hipertemia yang muncul secara
cepat yang berkaitan dengan infeksi virus atau bakteri, yaitu semua
jenis infeksi yang bersumber di luar susunan saraf pusat yang
menimbulkan demam.
kejang demam adalah infeksi saluran pernapasan atas, otitis media akut,
pneumonia, gastroentritis akut, bronchitis dan infeksi saluran kemih
(Baram & Shimar, 2002; Price & Wilson, 2014).
c) Epidemiologi
Kejang demam merupakan gangguan saraf yang sering dijumpai
pada anak, dimana kejang demam terjadi pada 2-4% anak berumur 6
Beberapa
penelitian
mendapatkan
bahwa
62,2%
Guam
d) Patogenesis
Kejang merupakan manifestasi klimaks akibat terjadinya pelepasan
muatan listrik yang berlebihan pada sel neuron otak yang dikarenakan
adanya gangguan pada sel neuron tersebut (Price & Wilson, 2014;
Isselbacher et al., 2014). Unit dasar sel saraf adalah neuron. Neuron itu
terdiri dari badan sel, dendrit dan akson. Pada ujung akson terdapat
sejumlah kolateral yang berakhir dalam sinap terminal. Jika ada impuls
saraf yang melewati akson kemudian sampai di sinap terminal maka
akan memicu sekresi neurotransmitter, neurotransmitter inilah yang
akan menstimulasi neuron selanjutnya (Knudsen, 2000).
dan
inhibitor
(GABA,
glisin).
Pengaturan
fungsi
menyebabkan
peningkatan
cepat
konsentrasi
glutamat
menyatakan bahwa sel saraf seperti juga sel hidup lainnya mempunyai
potensial membran, dimana potensial membran merupakan selisih
potensial antara intrasel dan ekstra sel. Potensial intrasel lebih negatif
dibanding ekstrasel. Dalam keadaan istirahat potensial membran berkisar
antara 30-100 mV, nilai tersebut akan tetap sama selama sel tidak
mendapat rangsangan. Potensial membran ini terjadi akibat perbedaan
letak dan jumlah ion-ion terutama ion Na+ dan K+.
Bila sel membran mengalami stimulasi, maka akan menyebabkan
menurunnya potensial membran, dimana penurunan potensial membran
akan menyebabkan permeabilitas membran terhadap ion Na + meningkat,
sehingga ion tersebut akan lebih banyak masuk kedalam sel. Selama
stimulasi tersebut lemah, perubahan potensial membran masih dapat di
kompensasi oleh transport aktif ion Na+ dan K+, sehingga nilai potensial
membran akan kembali ke keadaan istirahat.
Menurut Ngastiyah (2005) dan Mardjono & Sidharta (2008) pada
keadaan demam, kenaikan suhu 1C akan mengakibatkan kenaikan
metabolisme basal 10 - 15 % , yang akan meningkatkan juga CBF
(Crebrial Blood Flow), meningkatkan kebutuhan O2 dan glukosa, yang
dapat mengakibatkan stimulasi yang kuat terhadap sel saraf, sehingga
permeabilitas ion Na+ akan meningkat secara besar-besaran yang akan
membentuk potensial aksi yang dapat mengubah keseimbangan membran
sel neuron dan dalam waktu singkat terjadi difusi dari ion Na + dan K+
melalui membran listrik dengan bantuan neurotransmitter, perubahan yang
asam
gama
amino
butirat
(GABA);
dan
(3)
e) Patofisiologi
Pada keadaan demam kenaikan suhu 1C akan mengakibatkan
kenaikan metabolisme basal 10%-15% dan kebutuhan oksigen akan
meningkat 20%. Pada seorang anak berumur 3 tahun sirkulasi otak
mencapai 65% dari seluruh tubuh, dibandingkan dengan orang dewasa
yang hanya 15%. Jadi pada kenaikan suhu tubuh tertentu dapat terjadi
perubahan keseimbangan dari membran sel neuron dan dalam waktu
yang singkat terjadi difusi dari ion Kalium maupun ion Natrium melalui
membran tadi, dengan akibat terjadinya lepas muatan listrik.
Lepas muatan listrik ini demikian besarnya sehingga dapat meluas
ke seluruh sel maupun ke membran sel tetangganya dengan bantuan
bahan yang disebut neurotransmitter dan terjadilah kejang. Tiap anak
mempunyai ambang kejang yang berbeda dan tergantung tinggi
rendahnya ambang kejang seeorang anak menderita kejang pada
kenaikan suhu tertentu. Pada anak dengan ambang kejang yang rendah,
kejang telah terjadi pada suhu 38C sedangkan pada anak dengan
ambang kejang yang tinggi, kejang baru terjadi pada suhu 40C atau
lebih. Dari kenyataan inilah dapatlah disimpulkan bahwa terulangnya
kejang demam lebih sering terjadi pada ambang kejang yang rendah
sehingga dalam penanggulangannya perlu diperhatikan pada tingkat
suhu berapa penderita kejang.
Kejang demam yang berlangsung singkat pada umumnya tidak
berbahaya dan tidak menimbulkan gejala sisa. Tetapi pada kejang yang
berlangsung lama (lebih dari 15 menit) biasanya disertai terjadinya
dimanifestasikan
darah
Meningkatnya kadar
glukosa
Meningkatnya suhu pusat
tubuh
Meningkatnya sel darah
putih
Berkepanjangan
( 1jam)
Hipotensi disertai
berkurangnya aliran
darah serebrum sehingga
terjadi hipotensi
serebrum
Gangguan sawar darah
otak yang menyebabkan
edema serebrum
f) Faktor Risiko
Kejang demam dapat terjadi karena adanya pengaruh beberapa hal,
yaitu:
1 Umur
Umur terjadinya bangkitan kejang demam berkisar antara 6
bulan 5 tahun. Umur terkait dengan fase perkembangan otak yaitu
masa developmental window yang merupakan masa perkembangan
otak fase organisasi. Pada usia ini anak mempunyai nilai ambang
kejang rendah sehingga mudah terjadi kejang demam. Selain itu,
keadaan otak belum matang, reseptor untuk asam glutamat sebagai
eksitor bersifat padat dan aktif, sebaliknya reseptor y-aminobutyric
acid (GABA) sebagai inhibitor bersifat kurang aktif, sehingga
mekanisme eksitasi lebih dominan daripada inhibasi. Pada otak yang
belum matang, regulasi ion natrium, kalium, dan kalsium belum
sempurna sehinggamengakibatkan gangguan repolarisasi setelah
Suhu Badan
Adanya kenaikan suhu badan merupakan suatu syarat untuk
terjadinya kejang demam. Anak yang sering menderita demam
dengan suhu tinggi memiliki risiko semakin besar untuk mengalami
kejang demam. Perubahan kenaikan suhu tubuh berpengaruh
terhadap nilai ambang kejang dan eksitabilitas neural karena
kenaikan suhu tubuh berpengaruh pada kanal ion, metabolisme
seluler, dan
Faktor Genetik
Hasil pemetaan terhadap beberapa keluarga dengan riwayat
kejang demam menunjukan bahwa kejang demam berhubungan
dengan mutasi gen pada kromosom 19p dan 8q, di antaranya
memiliki pola autosomal dominan. Mutasi gen pintu kanal voltase
ion Natrium subunit (SCANIA) mempunyai risioko 3,5 kali terjadi
kejang demam berulang sedangkan mutasi gen pintu kanal voltase
ion Natrium sub unit (SCNIB) mempunyai risiko 2,8 kali terjadi
kejang demam berulang (Menkes & Sankar, 2000).
Defisiensi Seng
Defisiensi seng akan menyebabkan perubahan pada beberapa
organ seperti sistem saraf pusat (malformasi permanen, pengaruh
terhadap neuromotor dan fungsi kognitif), saluran pencernaan,
sistem reproduksi, dan fungsi pertahanan tubuh baik spesifik maupun
natural (menekan sistem imun). Gangguan sistem imunitas spesifik
seperti kerusakan sel-sel epidermal, ganggun aktifitas sel NK,
g) Gejala
Menurut Pusponegoro et al. (2006) gejala kelang demam adalah
sebagai berikut :
1
h) Diagnosis
Beberapa hal dapat mengarahkan untuk dapat menentukan
diagnosis kejang demam antara lain:
1
Anamnesis
Dibutuhkan beberapa informasi yang dapat mendukung
diagnosis ke arah kejang demam, seperti:
- Menentukan adanya kejang, jenis kejang, kesadaran, lama
kejang, suhu sebelum dan saat kejang, frekuensi, interval pasca
-
39 C.
Beberapa faktor yang memengaruhi terjadinya kejang demam
berulang adalah usia< 15 bulan saat kejang demam pertama,
riwayat kejang demam dalam keluarga, kejang segera setelah
demam atau saat suhu sudah relatif normal, riwayat demam
yang sering, kejang demam pertama berupa kejang demam
akomlpeks (Dewanto dkk,2009).
Gambaran Klinis
Yang dapat dijumpai pada pasien kejang demam adalah:
- Suhu tubuh mencapai 39C.
-
i) Diagnosis Banding
j) Komplikasi
Beberapa penyakit yang bisa timbul akibat kejang demam adalah
cerebral palsy atau lumpuh otak, development delay (lambat
pertumbuhan) yang meliputi motoric delay (lambat motorik atau gerak),
speech delay (lamban bicara) dan cognitive delay (lamban kognitif),
terjadi kelumpuhan, epilepsi, kelainan perilaku hingga keterlambatan
mental (Irdawati, 2009).
Pusponegoro et al. (2006) menyatakan bahwa faktor risiko menjadi
epilepsi adalah : (1) kelainan neurologis atau perkembangan yang jelas
sebelum kejang demam pertama; (2) kejang demam kompleks; dan (3)
riwayat epilepsi pada orang tua atau saudara kandung. Masing-masing
faktor risiko meningkatkan kemungkinan kejadian epilepsi sampai 4%6%, kombinasi dari faktor risiko tersebut meningkatkan kemungkinan
epilepsi menjadi 10%-49% (Level II-2). Kemungkinan menjadi epilepsi
tidak dapat dicegah dengan pemberian obat rumat pada kejang demam.
k) Prognosis
Menurut Pusponegoro et al. (2006) dan Permenkes No. 5 (2014)
prognosis dari kejang demam adalah :
1. Dubia at bonam : tidak tentu/ragu-ragu, cenderung baik
Umumnya sangat tergantung dari kondisi pasien saat tiba,
ada/tidaknya komplikasi dan pengobatannya.
2. Kemungkinan mengalami kecacatan atau kelainan neurologis
l) Penatalaksanaan
Menurut Pusponegoro et al. (2006) penatalaksanaan kejang demam
pada anak dapat dilkukan sebagai berikut :
Obat yang praktis dan dapat diberikan oleh orang tua atau di
rumah adalah diazepam rektal (level II-2, level II-3,
rekomendasi B). Dosis diazepam rektal adalah 0,5-0,75 mg/kg
atau diazepam rektal 5 mg untuk anak dengan berat badan
kurang dari 10 kg dan 10 mg untuk berat badan lebih dari 10
kg. Atau diazepam rektal dengan dosis 5 mg untuk anak
dibawah usia 3 tahun atau dosis 7,5 mg untuk anak di atas usia
3 tahun.
Bila setelah 2 kali pemberian diazepam rektal masih tetap kejang, dianjurkan ke rumah sakit. Di rumah sakit dapat diberikan diazepam intravena dengan dosis 0,3-0,5 mg/kg.
Bila kejang telah berhenti, pemberian obat selanjutnya tergantung dari jenis kejang demam apakah kejang demam sederhana
atau kompleks dan faktor risikonya.
ringan
bukan
merupakan
indikasi
pengobatan rumat
Kejang fokal atau fokal menjadi umum menunjukkan
bahwa anak mempunyai fokus organik.
Jenis antikonvulsan untuk pengobatan rumat
Pemberian obat fenobarbital atau asam valproat setiap hari
efektif dalam menurunkan risiko berulangnya kejang (level
I).
Berdasarkan bukti ilmiah bahwa kejang demam tidak berbahaya dan penggunaan obat dapat menyebabkan efek samping, maka pengobatan rumat hanya diberikan terhadap
kasus selektif dan dalam jangka pendek (rekomendasi D).
kejang
kembali
Pemberian obat untuk mencegah rekurensi memang efektif
tetapi harus diingat adanya efek samping
penyebab
demam,
atau
keadaan
lain
misalnya
b) Pungsi lumbal
Pemeriksaan
cairan
serebrospinal
dilakukan
untuk
c) Elektroensefalografi
Pemeriksaan
memprediksi
elektroensefalografi
berulangnya
kejang,
(EEG)
atau
tidak
dapat
memperkirakan
X-ray
kepala
dan
pencitraan
seperti
computed
VIII. KESIMPULAN
glukosa,
IX.
SARAN
Pada tutorial skenario 5 kali ini kelompok kami sudah dapat
mengemukakan pendapatnya masing masing dengan baik. Pada
epidemiologi,
patofisiologi,
patogenesis,
komplikasi,
DAFTAR PUSTAKA
Ellatif, F.A., & Garawany, H.E. (2002). Risk factors of febrile seizures among
preschool children in Alexandria. J Egypt Public Health Assoc., 77(1-2),
159-172
Irdawati. (2009). Kejang demam dan penatalaksanaannya. Berita Ilmu
Keperawatan, 2(3), 143-146.
Issellbacher, K.J., Braunwald, E., Wilson, J.D., Martin, J.B., Fauci, A.S., &
Kasper, D.L. (2014). Horison, Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam.
Volume 1. Edisi 13. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Knudsen, F.U. (2000). Febrile seizures : treatment and prognosis. Epilepsia, 41(1),
2-9
Leung, A.K.C., & Robson, W.L.M. (2007). Febrile seizures. Journal of Pediatric
Health Care, 21(4), 250-255.
Manuaba, I. B. et. al.(2003). Pengantar Kuliah Obstetrik. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC.
Mardjono, M., & Sidharta, P. (2008). Neurologi Klinis Dasar. Jakarta : Dian
Rakyat.
Maria, B.L. (2009). Current Management in Child Neurology. Shelton, USA :
Peoples medical Publishing House.
Menkes, J.H., & Sankar, R. (2000). Paroxysmal Disorders. In. J.H. Menkes and.
B.H. Sarnat. (Eds.). Child Neurology. 6th Edition. (p.987-991)
Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.
Ngastiyah. (2005). Perawatan Anak Sakit. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran
EGC.
Parmar, R.C., Sahu, D.R., & Bavdekar, S.B. (2001). Knowledge attitude and
practices of parents of children with febrile convulsion. J. Postgrad.
Med., 47, 19-23.
Permenkes No.5. (2014). Peraturan Menteri Kesehatan republik Indonesia
Nomor 5 Tahun 2014 Tentang Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter di
Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer. Jakarta : Kementerian Kesehatan
RI.
Price, S.A., & Wilson, L.M. (2014). Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit. Volume 2. Edisi 6. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Pusponegoro, H.D., Widodo, D.P., & Ismael, S. (2006). Konsensus
Penatalaksanaan Kejang Demam. Jakarta : Unit Kerja Koordinasi
Neurologi, Ikatan Dokter Anak Indonesia.
Seinfeld, S., & Pellock, J.M. (2013). Recent research on febrile seizures : a
review. Journal of Neurology & Neurophysiology, 4(4), 165-170.
Soetomenggolo, Taslim S. & Sofyan Ismail. (2000). Buku Ajar Neurologi Anak.
Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia.