Anda di halaman 1dari 14

~Seraut Puisi Penyapa Pagi

Lihatlah tatapan mentari di ufuk timur,


tertawa sendu memandangi hati,
bertaburkan pendaran bintang fajar,
laksana sorotan mata bidadari yang mengintip bumi,
menatap penuh kagum para hamba Allah
yang tersungkur sujud menundukkan jiwa
kepada Rabbnya,
Di antara awan pagi ia berlayar,
menjaring sayap reruntuhan malam,
agar tak jatuh ke bumi, agar tak terjun di tanah landai,
Seruling keanggunannya mencemburui kabut senja,
yang telah layu dimakan usia dan derita,
perlahan namun pasti,
denting suaranya memutar daun yang berguguran,
menari dengan lincah diantara serbuan angin pagi.

merah merona di antara kepakan burung-burung dara,


yang melenyap karena terbias sinar indahnya,
persis ketika ku tatap kedua matanya,
yang memantulkan rasa kagum dan malu,
terkagum aku karena pesona kewibawaannya,
terhinggap malu karena luntur keberanianku,
saat tatapan terjatuh pada matanya,
yang bening, dalam dan jauh menyeruak
ke dalam lorong jiwaku yang sempit dan gelap,
seakan tahu isi setiap detail dalam hati,
seakan hafal setiap kata yang tertahan oleh lidah.
aku rindu pada lukisan pagi yang indah terbayang,
aku rindu pada siluet senja yang cerah membayang,
Sahabat, seandainya engkau disini,
kan ku ajak engkau menari bersama pagi,
kan ku ajak engkau berlari menyalip sinar mentari,
namun engkau tak lagi ada disampingku.
di sini aku menantimu, wahai sahabat..

Sebuah cinderamata untuk hidup yang penuh arti

Puzzle1
Ambivalensi

Puzzle1
Ambivalensi

Nusantara Indonesia adalah negeri kepulauan yang


mempesona setiap mata. Diberkahi tanah subur dan iklim
yang baik, di peluk garis lengkung Khatulistiwa, hiduplah 245
juta jiwa yang terdiri atas ratusan suku yang empunya lebih
dari seribu bahasa. Nusantara adalah negeri kaya raya akan
tradisi, seni dan cita rasa. Menjadi tempat pertemuan aktifitas
benturan tiga mega Lempeng Eurasia, Indo-Australia, dan
Lempeng Pasifik Nusantara terbelit sabuk api dunia yang
sangat aktif, Ring of Fire.
Diantara bayangan 30 gunung berapi, teronggok satu
gugusan pulau panjang yang membentang bak raksasa
pegunungan
yang
menjulang
langit.
Daratan
dan
pegunungan yang menjadi tempat bermukim hampir 120
juta jiwa, Paris Van Java, itulah Pulau Jawa yang gemah ripah
loh jinawi.

Entah hal apa yang mendorong kami hingga sampai


terjebak disini. Di kaki gunung terbesar kedua di Pulau Jawa
Barat yang kerap dikunjungi para peneliti dari mancanegara.
Terletak pada posisi geografis 106o51 - 107 o02 BT dan 64 o 1
651 o LS,
Gunung Gede-Pangrango menjadi kawah
candradimuka para pendaki dan peneliti yang tertarik akan
tarian pesona yang disuguhkannya dalam panggung api
stratovulcano tersebut.
Hampir 200 tahun silam, tepatnya pada tahun 1819,
C.G.C Reinwardt mendaki gunung ini, disusul oleh F.W.
Junghuhn (1839-1861) dan beberapa peneliti lainnya hingga
hasil penelitian tumbuhan berhasil diterbitkan dalam buku
The Mountain Flora of Java pada tahun 1972.

Gunung Gede-Pangrango memiliki keanekaragaman


ekosistem yang terdiri dari hutan submontana, Montana,
subalpine, serta ekosistem danau, rawa dan savana. Dengan
luas wilayah sebesar 21.975 ha, Gunung ini kaya akan
berbagai jenis satwa. Ada lebih dari 50 mamalia, 262 jenis
burung, 30 jenis reptil, 23 jenis amfibi. Termasuk diantaranya
satwa langka yang dilindungi.

Bismillah, tepat pukul 12.30 siang selepas dzuhur kami


berangkat melalui pintu masuk Cibodas. Baru empat puluh
menit berjalan, sudah hampir lebih dari 1,5 km kami lewati.
Kami menyaksikan atraksi riak-riak air danau yang menarinari dengan pita biru. Berdasarkan peta area gunung yang
kami pelajari, kami sudah tiba di danau yang dipenuhi dengan
ganggang biru yang memantulkan sinar matahari menjadi
warna biru, Telaga Biru. Pos pertama yang menandakan bahwa
kami berada pada jalur yang tepat.

Perjalanan pun dilanjutkan menuju pos pendakian


selanjutnya. Berjalan, terus berjalan mengikuti semilir angin
yang sedikit mengusap keringat asin yang mulai memancar
dari pori-pori. Menyusuri pinggir sungai yang berkelok damai
penuh ketenangan ditemani Amblonyx cinereus- berangberang- yang sedang bermain petak umpet dengan kepiting
dan udang.

Brrrrhh. Setelah 2,8 km perjalanan terdengar suara berat


yang berasal dari jatuhan air mulai terdengar berdegum
nyaring. Menyibak daun-daun yang menghalangi pandangan,
tersuguhkan sebuah pemandangan yang menyejukkan raga.
Inilah Air terjun Cibeureum yang terbentuk dari tiga aliran
sungai bernama Sungai Cibeurum, Cidendeng dan Cikundul.
Dengan tingginya yang hampir mencapai 50 meter.
Menjatuhkan gerombolan arus menjadi pisau-pisau air yang
mematuk batuan lumut endemik yang merah dan keras.
Menakjubkan! Subhanallah..

Tiga setengah jam pun berlalu dan tepat sesuai


perkiraan, kami sudah tiba di pos pendakian kedua. Kandang
Batu dan Kandang Badak di ketinggian 2.220 m dpl-meter di
atas permukaan laut-, wilayah yang cocok untuk beristirahat
sejenak selepas shalat Ashar, lalu mengisi ulang botol
minum yang mulai kosong karena terdapat sumber air yang
cukup bersih juga untuk berwudhu. Setengah perjalanan
sudah berhasil kami lalui, mudah-mudahan ketika magrib
sudah tiba di puncak. Kami pun mengulang bismillah.

Sobat, pendakian bukanlah hal yang menggembirakan.


Semakin tinggi mendaki, semakin besar energi yang harus
dikeluarkan, kondisi kita semakin lelah, semakin lama semakin
memburuk. Setiap hari kita tak menyukai udara dingin,
membenci duri, jalanan yang licin dan rapuh, dan tebing batu.
Satu menit rasanya lama sekali, satu detik pun serasa
terlepas dari gravitasi yang menarik bumi. Setiap satu
langkah,
cairan dalam tubuh menguap dengan cepat
terangkat oleh panas matahari yang perih menyengat.
Sudah dua botol minuman ku teguk tapi tetap saja ku
merasakan
musim
kemarau
panjang
hadir
dalam
kerongkongan yang serak ini. Ya ampun, rasa-rasanya aku
sudah tak kuat lagi!

Kita benar-benar membenci ketika kaki terpeleset, karena


lelah dan tak sengaja malah menginjak akar dan gundukan
tanah yang lapuk, tapi di sisi lain kita belajar untuk suka
mendaki. Pada sisi yang lain pun, timbul kepuasan dan
kebahagiaan saat sampai di puncak. Semua kelelahan yang
dialami seakan menguap begitu saja. Dalam dinding-dinding
dadaku kerap terpantul-pantul pertanyaan yang tak kunjung
terjawab setelah sekian kalinya melakukan pendakian serupa.
Inikah ambivalensi? Inikah dualisme antara suka dan benci
yang terpintal menjadi satu rajutan yang lekat dalam ambisi
dan jiwa petualangku?

Puncak memang masih 3,5 jam lagi, tapi ketika


ambivalensi tersebut hadir, puncak serasa ada di depan
mata. Begitulah kekuatan dari dualisme rasa yang sekilat
hadir menyalami persepsi dan aksi. Ya, terkadang orangorang besar sukses melakukan pekerjaan yang tidak mereka
sukai, namun mereka mahir dengan pekerjaan tersebut.
Disukai atau tidak, ya inilah ambivalensi.
Kekuatan yang menembus batas logika dan akal sehat,
selalu bersumber dari kekuatan mimpi yang berasal dari
keyakinan yang kuat. Itulah sebabnya hingga saat ini aku
masih setia memerahkan tekad untuk terus menciptakan
penaklukan-penaklukan yang gagah berani!
Aku ingin berlari di antara sabana, melompati delta dan
muara, merangkak diantara goa, jatuh dan tersandung batu
pualam. aku ingin melintasi khatulistiwa, menerjang ombak
di samudera, dan menggenggam cakrawala. Aku ingin
berkata kepada dunia bahwa aku BISA!

Klik tautan:

Puzzle 2
Tak Harus Memiliki

Anda mungkin juga menyukai