Anda di halaman 1dari 21

18

Bringing the Public Back


In

DEMOKRATISASI POLITIK
DAN REFORMASI ADMINISTRASI
PUBLIK
Sewindu Gerakan Reformasi
Gerakan reformasi di Indonesia, yang dimotori
oleh para mahasiswa, pada lima tahun pertama (19982003) ditandai oleh adanya paradoks antara adanya
tuntutan akan kehidupan yang lebih demokratis di
satu sisi dan munculnya anarkisme sosial di sisi yang
lain. Tuntutan terhadap demokrasi, muncul sebagai
akibat lahirnya kesadaran tentang banyaknya hak-hak
warga negara yang selama bertahun-tahun diabaikan,
dilanggar, bahkan diinjak oleh rezim yang berkuasa.
Kerinduan akan demokrasi juga lahir dari adanya
penolakan terhadap relasi-relasi kekuasaan yang
angkuh dan represif, tentang relasi-relasi ekonomi
yang timpang dan jauh dari rasa adil, serta tentang
relasi-relasi sosial dangkal dan penuh ritual kolektif
namun sangat merendahkan martabat manusia
sebagai pribadi. Sedangkan anarkisme sosial terjadi
sebagai akibat hancurnya kepastian normatif dan
kepantasan berperilaku di dalam masyarakat,
berbarengan dengan runtuhnya rezim dominan yang
berkuasa.
Institusi-institusi
sosial
yang
ada
dipertanyakan kembali eksistensi dan relevansinya,
sementara institusi-institusi baru belum muncul untuk
mewadahi kearifan-kearifan dan nilai-nilai baru yang
lahir bersama dengan perubahan-perubahan yang
terjadi. Dalam sosiologi situasi seperti ini disebut

19

Bringing the Public Back


In

sebagai situasi anomie. Pertanyaan kritis yang


mengganggu selama itu adalah, apakah gerakan
reformasi akan berakhir dengan mengkristalnya
demokrasi dalam kehidupan bermasyarakat dan
berbangsa
atau
berakhir
dengan
anarkisme
berkepanjangan dan berakhir dengan kegagalan?
Pada tahap kedua (2003 sekarang), euforia
reformasi di jalan raya tampak mulai mereda.
Keberhasilan Indonesia menyelenggarakan pemilihan
presiden secara langsung, diakui banyak pihak
termasuk donor internasional, sebagai sebuah
keberhasilan politik anak-anak negeri ini dan menjadi
indikasi bahwa reformasi berada di jalur yang
dikehendaki. Yang menarik untuk dicermati adalah,
bahwa setelah pemilihan presiden dilakukan secara
langsung dengan mekanisme yang relatif demokratis,
dinamika politik berpindah dari jalan raya, ke dalam
ruang-ruang sidang komisi dan paripurna di dalam
gedung Senayan dan Istana Merdeka. Kata reformasi,
tidak lagi merupakan intimidasi, bahkan mereka yang
dulu merupakan bagian dari kekuatan yang
pendukung status quo dapat mengidentifikasi diri
sebagai tokoh reformasi tanpa perlu di lakukan
penelitian khusus. Di satu sisi, secara positif hal ini
dapat dilihat sebagai sebuah konsolidasi yang dapat
memberi tenaga pada setiap upaya pembaharuan
menuju kristalisasi demokrasi. Di sisi lain, secara
negatif hal tersebut dapat dilihat sebagai sebuah
kompromi yang dapat menjadikan reformasi sebagai
gerakan setengah hati yang tidak punya daya dobrak
yang dibutuhkan untuk melakukan perubahan.
Terlepas dari apa yang baru dikemukakan, saat
ini setiap orang dapat menjadi saksi tentang apa yang

Bringing the Public Back In

20

sedang terjadi di negeri ini. Dalam bidang hukum,


Undang-Undang Dasar 1945 sudah mengalami revisi,
puluhan undang-undang berhasil diberlakukan dari
yang mengatur soal otonomi sampai masalah
pornografi dan pornoaksi. Bidang ekonomi, khususnya
sektor riil, bergerak amat perlahan jika tidak ingin
bicara soal kebangkrutan karena rendahnya daya beli
masyarakat
dan
semakin
berlipatnya
jumlah
pengangguran. Konsep NKRI dihadapkan pada
berbagai tantangan, baik yang berasal dari luar
maupun dari dalam. Lepasnya provinsi ke-27 Timor
Timur melalui referendum, begitu pula Gerakan Aceh
Merdeka yang dapat memaksa Jakarta untuk duduk
bersama di Helsinki, serta masalah Papua yang tidak
menerima konsep otonomi ala Jakarta. Terakhir negeri
ini dihadapkan pada banyak bencana, dari mulai Alor,
Nabire, Aceh, Nias, Jogya dan terakhir di pantai
selatan Jawa, khususnya Pangandaran. Semua itu
seolah mau mengatakan, bahwa keberhasilan
mewujudkan proses demokrasi dalam memilih
presiden barulah permulaan. Proses demokratisasi
tidak hidup untuk dirinya sendiri, namun masih harus
diuji melalui kemampuannya untuk menjamin dan
memberi
perlindungan
terhadap
hak-hak
konstitusional setiap warga negara. Pertanyaannya,
langkah-langkah apa yang harus dilakukan agar
proses demokratisasi yang selama ini dilakukan
bermuara pada apa yang dicita-citakan?
Belajar dari Pengalaman Bangsa Lain
Pengalaman bangsa-bangsa lain menunjukkan,
bahwa suatu bangsa dapat saja mulai dengan
mencanangkan
proses
demokratisasi
setelah
tumbangnya rejim otoriter, tetapi tidak semua yang
sampai kepada demokrasi yang dicita-citakan. Tidak

21

Bringing the Public Back


In

ada jaminan bahwa rejim baru yang berkuasa dapat


bertahan,
stabil,
dan
mampu
mengantarkan
bangsanya mencapai masyarakat demokratis seperti
yang dicita-citakan. Tumbangnya pemerintah Nigeria
pada tahun 1983 dan pemerintah Sudan pada tahun
1989, misalnya, merupakan contoh dan pelajaran
berharga, khususnya bagi bangsa-bangsa di negara
yang sedang berkembang seperti Indonesia, tentang
bagaimana sulitnya menegakkan demokrasi setelah
turunnya sebuah rezim otoriter. Di Angola, sebagai
bandingan lain, fase transisi menuju demokrasi
berakhir dengan pecahnya perang saudara dan
berlanjutnya rezim yang otoriter yang berkuasa.
Dengan kata lain, demokratisasi adalah proses
bertingkat-tingkat di mana terdapat kemungkinan
bagi setiap bangsa untuk gagal di setiap titik
sepanjang garis kontinum dari otoritarianisme sampai
ke tahap terkristalnya demokrasi yang baru (Casper
dan Taylor, 1996).
Pengalaman Indonesia sendiri, baik di bawah
pemerintahan
Soekarno,
Soeharto,
Habibie,
Abdurachman Wahid maupun Megawati, dan sekarang
Soesilo Bambang Yudoyono, mengukuhkan pernyataan
Casper dan Taylor, betapa sulit dan berlikunya jalan
menuju sebuah sistem politik yang tidak hanya
demokratis. Namun betapapun kecilnya peluang
keberhasilan
itu,
selalu
ada
jalan
untuk
memperjuangkannya.
Jika
demikian
halnya,
pertanyaan yang muncul kemudian adalah, mengapa
ada negara yang berhasil mencangkokkan demokrasi
setelah runtuhnya rezim otoriter, namun ada pula
negara lainnya yang gagal? Faktor-faktor apa yang
menentukan proses demokratisasi di suatu negara
berhasil sampai ke tahap mengkristalnya demokrasi

Bringing the Public Back In

22

baru, sementara yang lain berjalan tersendat, mandeg


di tengah jalan atau bahkan berantakan? Setelah
membandingkan dan mengkaji beberapa kasus,
Casper dan Taylor berpendapat, bahwa tahap
pencangkokan demokrasi, baru merupakan separuh
dari proses demokratisasi. Orang tidak dapat
berasumsi, bahwa demokrasi akan tumbuh dan
berkembang dengan sendirinya. Menurut mereka ada
dua langkah penting yang harus dilakukan agar suatu
bangsa dapat sampai pada kehidupan demokratis
yang dicita-citakan. Pertama, langkah jangka pendek
yang berkaitan dengan pencarian jalan keluar bagi
kekuatan-kekuatan yang masih mendukung rezim
lama. Kedua, adalah langkah jangka panjang yang
difokuskan pada proses konsolidasi demokrasi yang
baru. Pertanyaan strategis yang ingin ditelusuri dan
dikaji dalam bab ini adalah, apakah administrasi
publik dapat berperan sebagai katalisator proses
demokratisasi,
ataukan
administrasi
publik
merupakan bagian dari persoalan yang juga harus
direformasi?
Reformasi Administrasi Publik
Administrasi publik, seperti yang dirumuskan
oleh Pfiffner dan Presthus (1967), adalah sebuah
disiplin ilmu yang terutama mengkaji cara-cara untuk
mengimplementasikan nilai-nilai politik. Hal tersebut
sejalan dengan gagasan awal Woodrow Wilson (1887)
yang dianggap sebagai orang yang membidani
lahirnya ilmu administrasi publik modern di Amerika
Serikat.
Ia
mengemukakan
bahwa
disiplin
administrasi publik merupakan produk perkembangan
ilmu politik, namun Wilson mengusulkan adanya
pemisahan disiplin administrasi dari ilmu politik.
Gagasan ini kemudian dikenal sebagai dikotomi

23

Bringing the Public Back


In

politik-administrasi. Ilmu administrasi publik, menurut


Wilson, berkaitan dengan dua hal utama, yaitu:
1. What
government
can
properly
and
successfully do?
2. How it can do these proper things with the
utmost possible efficiency and at the least
possible cost either of money or of energy?
Bertolak dari gagasan dasar tersebut, dapat
diyakini bahwa administrasi publik dapat berperan
positif dalam mengawal proses demokratisasi sampai
pada tujuan yang dicita-citakan, karena pada
dasarnya administrasi publik berurusan dengan
persoalan bagaimana menentukan to do the right
things dan to do the things right. Dengan kata yang
berbeda, administrasi publik bukan saja berususan
dengan cara-cara yang efisien untuk melakukan
proses demokratisasi, melainkan juga mempunyai
kemampuan dalam menentukan tujuan proses
demokratisasi itu sendiri, terutama dalam bentuk
penyelenggaraan pelayanan publik secara efektif
sebagai wujud dari penjaminan hak-hak konstitusional
seluruh warga negara.
Persoalannya sekarang adalah, mungkinkah
para administror publik dapat menjadi tulang
punggung bagi proses demokratisasi? Jawaban
empirik terhadap pertanyaan tersebut mempunyai dua
versi. Dalam satu situasi, peran para administrator
publik dalam menyelesaikan berbagai masalah yang
berkaitan dengan demokratisasi cukup signifikan. Di
Taiwan, misalnya, seperti juga di beberapa negara
sedang berkembang lain, pemerintah berurusan
dengan masalah dilematis bagaimana merekonsiliasi
pertentangan antara budaya tradisional, kultur

Bringing the Public Back In

24

demokrasi baru dan industrialisasi sebagai usaha


negara membangun ekonomi. Untuk menghadapi
persoalan tersebut, para ahli administrasi publik
membantu para pengambil keputusan di Taiwan untuk
menyelesaikan reformasi administratif yang kompleks
dengan menggunakan pendekatan perencanaan
strategis (Sun dan Gargan, 1996).
Mengenai peran administrasi publik tersebut,
OToole
(1997)
membuat
kesimpulan
bahwa
administrasi publik yang berkembang saat ini sangat
mendukung proses demokratisasi, karena sudah tidak
terlalu hirarkis dan parokial, tetapi lebih mirip sebuah
jaringan (network). Kecenderungan ini mempunyai
implikasi yang sangat penting dan positif terhadap
perkembangan demokrasi, termasuk tanggungjawab
yang berubah terhadap kepentingan publik; terhadap
pemenuhan prefrensi publik, dan terhadap perluasan
liberalisasi
politik,
kewargaan,
dan
tingkat
kepercayaan publik. Administrasi publik yang
berbentuk jaringan dapat mengatasi hambatan
menuju pengelolaan yang demokratik, dan dapat
membuka
kemungkinan
untuk
memperkuat
pemerintahan yang bergantung kepada nilai-nilai dan
tindakan-tindakan administrasi publik. Hal tersebut
dikemukakan OToole dalam rangka mengenang
Dwight Waldo yang juga pernah mengemukakan,
bahwa jika administrasi adalah inti dari pemerintahan,
maka teori demokrasi harus pula mencakup
administrasi.
Dalam situasi lain, administrator publik tidak
dapat
diharapkan
menjadi
katalisator
proses
demokratisasi. Di negara-negara Afrika sub-sahara,
seperti juga di tempat lain, ketika rezim militer
menguasai
pemerintahan,
mereka
memerintah

25

Bringing the Public Back


In

dengan komando; melarang partai-partai politik,


membekukan konstitusi, dan melumpuhkan lembagalembaga legislatif. Sebagai akibatnya, tidak ada
saluran institusi politik bagi warganegara pada proses
pengambilan keputusan. Penguasa militer biasanya
memperoleh input bagi proses perumusan dan
pengambilan keputusan dengan cara mengangkat elit
politik sipil. Hal tersebut dilakukan sebagai respons
terhadap tuntutan transisi kepada pihak sipil dan
sebagai teknik politik untuk melakukan proses
sipilisasi
rezim
militer.
Pengalaman
empirik
menunjukkan, bahwa keterlibatan sipil dalam rejim
militer merupakan prediktor bahwa rezim tersebut
akan mengikuti aturan-aturan militer dan bukan
sebaliknya. Dalam konteks inilah administrasi publik
tidak kondusif bagi proses kristalisasi demokrasi,
tetapi malah sebaliknya, dapat menjadi katalisator
bagi pelanggengan pemerintahan lama yang otoriter.
Dalam banyak hal, reformasi politik yang bergulir
sampai saat ini, sekali lagi tampak berada dalam jalur
yang benar. Yang dibutuhkan adalah kesabaran untuk
bertahan dan konsistensi untuk melakukan langkahlangkah
sistematik
yang
diperlukan.
Proses
demokratisasi di Indonesia tidak hanya diuji melalui
pemilihan presiden secara langsung, namun terutama
ditantang untuk mampu keluar dari berbagai masalah
agar dapat memenangkan pertarungan dengan
bangsa-bangsa lain.
Dari apa yang telah dikemukakan di atas,
administrasi publik dapat menempati tempat di
jantung gerakan demokratisasi politik, asal memenuhi
paling tidak tiga persyaratan. Pertama, mampu
melakukan perencanaan strategis yang menyeluruh
seperti yang dilakukan di Taiwan seperti yang

Bringing the Public Back In

26

dikemukakan Sun dan Gargan. Kedua, mempunyai


struktur organisasi yang tidak terlalu hirarkis dan
parokial seperti yang dikemukakan OToole. Ketiga,
membebaskan diri dari pendekatan dan kultur
militeristik dalam melakukan pelayanan publik.
Mengenai
perencanaan
strategis,
Indonesia
mempunyai pengalaman dan institusi perencanaan
seperti Bappenas di tingkat pusat, dan Bappeda di
tingkat daerah. Yang diperlukan adalah revitalisasi
dan
reposisi
fungsi-fungsi
institusional
yang
disesuaikan
dengan
konteks
demokrasi
yang
dikehendaki. Mekanisme perencanaan bottom-up
dapat terus dijalankan bukan sekedar basa-basi atau
mencari legitimasi. Untuk dua syarat yang terakhir,
struktur dan kultur birokrasi, masih membutuhkan
kesabaran
dan
ketekunan
untuk
melakukan
perubahan secara inkremental untuk mengurangi (jika
tidak dapat menghindari) biaya sosial, politik, dan
ekonomi yang tinggi. Dalam kaitan dengan ini,
pembicaraan mengenai isu reformasi administrasi
publik
tetap
memiliki
relevansi.
Pertanyaan
berikutnya adalah reformasi ke arah mana?
Uraian di atas paling tidak merupakan sebuah
isyarat ke arah mana reformasi administrasi publik
harus menuju. Salah satu gerakan reformasi
administrasi publik yang juga sempat populer di awal
90-an
muncul
dalam
kemasan
reinventing
government yang berakar pada tradisi dan perspektif
New Public Management yang merupakan kristalisasi
dari praktek administrasi publik di Amerika Serikat.
Para pendukung gerakan ini berpendapat, bahwa
institusi-institusi administratif yang didirikan dalam
kerangka birokrasi dengan model komando dan
pengawasan telah berubah secara signifikan selama
abad ke 20, dan harus terus diubah. Birokrasi jenis ini

27

Bringing the Public Back


In

tidak lagi efektif, efisien dan sudah ketinggalan zaman


dalam tatanan ekonomi-politik dunia yang semakin
mengglobal. Oleh karena itu birokrasi di Amerika
Serikat harus
melakukan reformasi institusi
administrasi publik agar lebih memiliki karakter
kewirausahaan. Apakah reformasi administrasi publik
seperti ini layak menjadi model bagi reformasi
administrasi publik di tanah air?
Tampaknya perlu disimak lebih cermat hasilhasil penelitian di balik hingar-bingarnya konsep
reinventing
government.
Wolf
(1997), dengan
menggunakan meta-analisis terhadap 170 studi kasus
dari 104 biro federal, menyimpulkan bahwa jalan
menuju efektivitas birokrasi dari biro-biro pemerintah
federal
tidaklah
mengalami
perubahan;
tiada
berkesudahan dan lebih bersifat politis daripada kisah
reinventing government seperti yang umumnya
dipercaya
orang.
Kritik
terhadap
pendekatan
kewirausahaan administrasi publik juga ditunjukkan
oleh Cope (1997) yang menyorotinya dari sudut
responsivitas politik. Ia berpendapat, bahwa banyak
konsep dan teknik yang berhubungan dengan
reformasi birokrasi sekarang ini (baca: reinventing
government) sarat dengan berbagai implikasi negatif
terhadap responsivitas politik. Ada empat kesimpulan
yang dihasilkan penelitiannya. Pertama, review
terhadap unjuk kerja pegawai memang mampu
memperkuat birokrasi dan para pejabat terpilih,
namun
ternyata
cenderung
memperlemah
responsivitas politik para administrator publik
tersebut. Kedua, dengan mengadopsi pendekatan
kewirausahaan terhadap sistem keuangan publik,
memang ada peluang untuk meningkatkan jumlah
pendapatan,
namun
hal
tersebut
cenderung

Bringing the Public Back In

28

mengurangi tingkat responsivitas politik. Ketiga,


penekanan terhadap pelayanan pelanggan tidak serta
merta meningkatkan responsivitas politik, karena
dalam prakteknya hal itu ternyata berarti hanya
memperhatikan
kepentingan
individu-individu
tertentu; padahal pelayanan kepada masyarakat
seharusnya
ditujukan
untuk
meningkatkan
responsivitas kepada publik tanpa diskriminasi
Keempat, kemitraan sektor publik dengan swasta
yang ditawarkan oleh model reinventing government,
dalam prakteknya ternyata menimbulkan masalah
etik. Khusus mengenai masalah etik, Ghere (1997)
menyimpulkan bahwa dalam gema reinventing
government, ada indikasi bahwa etika administrasi
publik terlupakan. Ia melakukan studi kasus tentang
kemitraan antara county government (setingkat
kecamatan) dengan local chamber of commerce
(Kadin-daerah) dari dua perspektif, standar moral
pribadi para pelaku dan etika kebijakan institusional.
Studi
kasus
ini
memperlihatkan
adanya
penyalahgunaan keuangan publik dalam kemitraan
dua lembaga tersebut. Jika di tempat kelahirannya
saja, model yang ditawarkan secara global tersebut
sarat
dengan
masalah,
haruskah
kita
latah
menggunakan pendekatan yang sama tanpa kajian
seksama?
Model alternatif reformasi administrasi publik
yang mendukung proses kristalisasi demokrasi adalah
model Korea Selatan seperti yang digambarkan oleh
Jung (1996). Bagi masyarakat Korea Selatan,
reformasi aparat atau para pejabat administratif
bukanlah merupakan isu utama. Mereka lebih tertarik
pada dua hal; proses demokratisasi politik dan teknik
penyaluran langsung public goods and services
kepada rakyat. Dari praktek menunjukkan bahwa,

29

Bringing the Public Back


In

baik proses demokratisasi politik maupun kualitas dan


kuantitas pelayanan pemerintah, pada kenyataannya
sangat tergantung pada sistem administrasi publik.
Oleh karena itu, reformasi administratif yang dibuat
Kim Young-Sam yang merupakan pemerintahan sipil
pertama setelah 30 tahun rezim militer, mempunyai
dampak yang sangat besar terhadap dua hal. Pertama,
tumbuhnya
ekonomi
Korea
Selatan.
Kedua,
meningkatnya menambah legitimasi negara di depan
rakyat, meskipun pemerintahan Kim adalah regim
sipil yang dibentuk melalui prosedur demokratik oleh
politisi-politisi sipil. Dari kasus Korea, orang paling
tidak dapat belajar tiga hal. Pertama, menempatkan
reformasi administrasi publik dalam agenda politik
merupakan langkah yang strategis. Kedua, proses
demokratisasi selain menjadi tujuan, juga menjadi
sarana
bagi
tujuan
yang
lebih
utama,
menyelenggarakan
pelayanan
publik.
Ketiga,
memperbaiki sikap aparat merupakan hal yang baik,
namun lebih penting membangun sistem yang
memungkinkan aparat bertindak baik. Keempat,
legitimasi negara di depan rakyat tidak selalu harus
ditegakkan dengan senjata. Orang sipil pun mampu
memimpin dan mengurus negara. Model manakah
yang tepat untuk Indonesia? Kiranya perlu dikaji lebih
teliti, karena apa yang berhasil di tempat lain, belum
pasti tepat untuk diadopsi. Sebaliknya, jika sudah ada
orang yang pernah melakukannya, mengapa harus
mulai dari awal just to reinvent the wheel?
Beberapa Rekomendasi
Terinspirasi oleh prinsip-prinsip revitalisasi
konsep publik yang, disertai dengan usaha untuk
melebarkan pandangan melalui komparasi dengan

Bringing the Public Back In

30

pengalaman bangsa lain, serta dengan melakukan


kontemplasi teoritik, penulis mencoba mengajukan
beberapa rekomendasi yang mungkin berguna untuk
melakukan reformasi administrasi publik di Indonesia,
yang tidak hanya diarahkan untuk mendukung proses
demokratisasi, namun juga dalam rangka memberikan
pelayanan terbaik bagi rakyat tanpa diskriminasi, baik
secara politik, etnik, kelas sosial, agama, maupun
kelompok budaya. Secara substansial reformasi
administrasi publik harus diarahkan pada revitalisasi
konsep publik, yang berlandas pada kepatuhan
terhadap konstitusi, pemahaman tentang virtuous
citizen, pemahaman tentang kepentingan publik, dan
pemahaman tentang kebajikan dan kasih. Belajar dari
Korea Selatan, secara formal reformasi administrasi
publik harus diarahkan pertama-tama dan terutama
pada pembangunan sistemik yang menyangkut
perubahan struktur administrasi, pengembangan
kultur baru, penetapan prosedur-prosedur kerja, dan
bukan pada aparatnya.
Namun demikian, hal ini tidak berarti bahwa
reformasi administrasi tidak perlu menyentuh
pengembangan manusia yang harus bekerja di dalam
sistem. Ini adalah tugas pendidikan administrasi
publik.
Dalam hal ini berlaku prinsip, the first things first.
Investasi waktu, uang dan energi untuk membangun
sistem yang memungkinkan orang biasa dapat bekerja
baik, selalu lebih baik dari pada melakukan investasi
untuk mengembangkan orang-orang hebat untuk
bekerja dalam sistem yang buruk. Mengenai pilihan
ini, ada pengalaman menarik. Ketika seorang
mahasiswa ditanya apakah dia akan korupsi jika nanti
menjadi pejabat publik. Dia menjawab, ... tidak janji,
Pak. Ketika ditanya lagi mengapa? Sambil berkelakar

31

Bringing the Public Back


In

dia membalas, ...kalaupun malaikat dari surga


disuruh jadi pegawai negeri di Indonesia, dia pasti
korupsi juga, apalagi saya. Kecuali jika ada yang
mampu mengubah keadaan di bumi Indonesia seperti
di dalam surga... Sebuah kelakar yang sungguh tidak
lucu, namun memberi inspirasi dari mana reformasi
administrasi publik harus dimulai, jika tidak ingin
menempatkan anak-anak muda yang penuh idealisme
dan kesungguhan bekerja, dalam lingkungan yang
menjadikan mereka apatis. Berdasarkan hal-hal
tersebut di atas, ada beberapa rekomendasi tentang
dari mana reformasi administrasi publik secara
sistemik harus dimulai.
Rekomendasi 1;
Belajar
dari
Korea
Selatan,
reformasi
administrasi publik harus menjadi agenda politik; hal
ini menjadi bukti dari sebuah kesungguhan dan
jaminan untuk sebuah kesinambungan karena
mendapat dukungan secara luas. Dengan demikian
reformasi administrasi dapat memperoleh tenaga,
tidak saja untuk mendukung proses demokratisasi,
melainkan juga untuk mentransformasi diri menjadi
ujung tombak pelayanan kepada publik. Beberapa
agenda politik yang dapat diturunkan dari pola pikir
di atas adalah:
1. Melakukan penggalangan berbagai kekuatan
reformis yang pro-demokrasi dan perduli dengan
kepentingan publik.
2. Mengusahakan pemecahan dan jalan keluar bagi
kekuatan-kekuatan otoriter yang masih berada
dalam tampuk kekuasaan, sehingga tidak menjadi

Bringing the Public Back In

32

kekuatan
tandingan
yang
menghambat
demokratisasi.
3. Memerangi anarkisme dengan cara menghilangkan
atau mengurangi kondisi-kondisi yang menjadi
penyebab kemunculannya, yaitu:
Pemenuhan kebutuhan dasar minimum secara
serius bagi segenap warga negara.
Pengadaan lapangan kerja dan mengupayakan
peningkatan daya beli masyarakat.
Pemberian
subsidi
sementara
terhadap
pengadaan public goods and services yang vital
namun belum terjangkau oleh segmen penduduk
termiskin.
Membangun sistem distribusi public goods and
services secara langsung kepada rakyat.
Rekomendasi 2;
Reformasi administrasi publik harus diarahkan
pada perubahan struktur secara sistemik, dari
struktur administrasi yang hirarkis vertikal menjadi
struktur yang lebih landai horisontal dengan bentuk
jejaring kerja. Secara empirik, struktur dalam bentuk
jejaring, tidak hanya lebih mendekatkan para pejabat
publik dengan publik yang dilayaninya, tetapi juga
menempatkan publik dalam posisi lebih berarti.
Rekomendasi 3;
Reformasi administrasi publik perlu diarahkan
pada pengembangan nilai-nilai budaya dan etos kerja
baru yang suportif terhadap proses demokrasi dan
pelayanan publik, dengan cara antara lain:
Mengubah etos kerja birokratik ke ethos kerja demokratik.
Perubahan dari ethos kerja dilayani menjadi etos kerja melayani.
Rekomendasi 4;

33

Bringing the Public Back


In

Reformasi administrasi publik perlu diarahkan


pada penetapan strategi-strategi dan administrasi
melalui
perencanaan
yang
partisipatif
dan
demokratik,
baik
dalam
proses
pengambilan
keputusan maupun dalam melaksanakan fungsi-fungsi
administrasi lainnya. Dengan begitu pelayanan
administrasi tidak tergantung pada aktor semata,
tetapi pada sistem yang lebih handal.
Reformasi Pendidikan Administrasi Publik
Jika ada yang paling bertanggungjawab pada
buruknya kinerja dan reputasi administrasi publik di
Indonesia, tidak lain adalah mereka yang bergerak di
bidang pendidikan khususnya pendidikan administrasi
publik. Oleh karena itu reformasi administrasi publik
harus mulai dari reformasi bidang pendidikannya.
Memang keberhasilan reformasi administrasi publik
yang dilaksanakan Korea Selatan, seperti yang
dikemukakan di muka, tidak dimulai dari usaha untuk
mengubah sikap dan perilaku aparat, melainkan
berusaha membangun sistem yang memungkinkan
para aparat berperilaku seperti yang dikehendaki,
yaitu bertindak demokratis dan melakukan distribusi
public goods and services secara langsung kepada
rakyat. Ini adalah soal pilihan, langkah Korea Selatan
juga mempunyai landasan empirik yang kuat dan
terdukung secara akademik. Beberapa penelitian
mengenai etos kerja para pejabat publik, menarik
untuk disimak karena secara umum mereka ternyata
cenderung memiliki ethos kerja yang negatif. Setiap
profesi bisa jadi mempunyai etika yang mungkin
berbeda dengan etika yang berlaku di masyarakat
umum. Gos (1996), melakukan survey terhadap 378
birokrat karir dan 46 anggota legislatif negara bagian

Bringing the Public Back In

34

di Colorado U.S, serta 250 orang warga pemilih yang


diambil secara acak dan diinterview melalui telefon.
Mereka ditanya apa yang penting bagi seorang
pegawai negeri. Hasilnya, ketiga kelompok responden
mempunyai persepsi yang sama tentang apa yang
penting bagi seorang pegawai negeri, yakni: dapat
dipercaya, kemampuan, dan akuntabilitas dalam
administrasi publik. Secara kategorial, ketiga hal
tersebut merupakan antribut dari etos birokratik,
sedangkan atribut yang berkaitan dengan etos
demokratik diberi rangking yang lebih rendah. Dari
sini dapat ditarik kesimpulan, bahwa pejabat publik
lebih dituntut untuk memiliki etos birokratik
dibanding etos demokratik.
Studi eksplorasi tentang perbedaan etos kerja
para top manajer di organisasi publik dan organisasi
swasta, dilakukan oleh Wittmer dan Coursey (1996).
Yang dimaksud dengan top manajer publik dalam
penelitian ini adalah chief executive of an agency
sedangkan top manajer swasta adalah para kepala
cabang. Sampel yang dipilih sebanyak 432 top
manajer di tiga lokasi, Syracuse dan Albany, NY;
Denver,
CO;
dan
Tallahassee,
FL.
Mereka
menggunakan survey melalui pos. Kesimpulan yang
mereka peroleh adalah, bahwa pada umumnya
manajer publik cenderung tidak mengikuti standar,
baik standar profesional maupun legal; kurang
menekankan kepedulian tentang kesejahteraan orangorang di dalam organisasinya, dan lebih menekankan
pada
perlindungan
terhadap
kepentingankepentingannya sendiri. Hasil penelitian tersebut
menyiratkan, paling tidak dua hal, yaitu pertama,
sistem birokrasi begitu buruk sehingga mampu
mengubah orang-orang baik menjadi jahat. Kedua,
pendidikan administrasi publik sedemikian rusak

35

Bringing the Public Back


In

sehingga tidak mampu menyiapkan para pemangku


jabatan publik yang mumpuni dan amanah. Setitik
optimisme tentang peran pendidikan muncul dari hasil
penelitian Bovens (1996). Meskipun reformasi
administrasi publik tidak harus mulai dengan
membenahi aparat, namun ada keyakinan bahwa
melalui proses belajar, sampai derajat tertentu orang
dapat berubah. Hasil penelitian Bovens menunjukkan,
bahwa di Amerika Serikat telah terjadi pergeseran
loyalitas para pejabat publik, dari loyalitas tunggal
terhadap birokrasi dan atasan, ke loyalitas profesional
yang berlandas kepada tanggung jawab pribadi,
tanggung jawab sosial, tanggung jawab profesional,
dan tanggung jawab publik. Pergeseran tersebut tentu
sangat merupakan faktor kondusif bagi reformasi
administrasi publik. Pertanyaan berikut yang perlu
ditelusuri adalah, pendidikan administrasi publik
seperti apa yang dapat menyiapkan para pemikir dan
praktisi administrasi publik yang mumpuni dan
amanah?
Administrasi publik adalah disiplin ilmu, seni
dan juga profesi. Oleh karena itu tugas lembaga
pendidikan administrasi publik adalah menyiapkan
para mahasiswa untuk ketiga wilayah tersebut.
Meskipun
setiap lembaga pendidikan dapat
merancang kurikulum, metoda pembelajaran dan
karakter khas yang dibayangkan untuk para
lulusannya, namun dari pengamatan sistematik dan
studi
dokumen
terhadap
kurikulum
sejumlah
perguruan tinggi swasta di Jawa Barat yang
menyelenggarakan pendidikan administrasi publik,
secara umum dapat disampaikan beberapa pemikiran
sebagai berikut ini:

Bringing the Public Back In

36

Pertama, dari segi jalur pendidikan, pendidikan


administrasi publik sebaiknya dibedakan menjadi jalur
akademik dan jalur profesi. Jalur akademik digunakan
untuk menyiapkan ilmuwan administrasi publik yang
bertugas untuk mengkaji secara kritis pengetahuan
yang telah ada dan secara inovatif mengembangkan
pengetahuan
dan
teknik-teknik
baru
untuk
disumbangkan
pada
pengembangan
praktek
administrasi publik. Jalur ini dapat meliputi tiga
jenjang pendidikan, yaitu tingkat sarjana (Strata 1)
yang secara internasional setara dengan bachelor
degree di Amerika Serikat, Eropa, dan Australia;
tingkat master (Strata 2) yang secara internasional
setara dengan gelar Magister of Science (MSc); dan
tingkat doktoral (Strata 3) yang secara internasional
setara dengan gelar Philosophical Doctor (PhD).
Sedangkan
jalur
profesional
ditujukan
untuk
menyiapkan mereka yang akan berkarir sebagai
praktisi administrasi publik yang memiliki berbagai
kompetensi profesional yang dibutuhkan di berbagai
tingkat pekerjaan. Jenjang pendidikan dapat dimulai
dengan yang paling rendah setingkat Diploma I, II,
dan III. Pada tingkat sarjana perlu dibedakan dari
program jalur akademik, meskipun gelarnya sama
(Sarjana Administrasi Publik-SAP), misalnya, skripsi
dapat diganti dengan laporan proyek akhir sebagai
hasil magang di kantor lurah sampai kantor presiden.
Demikian pula untuk tingkat Strata 2, berbeda dengan
jalur akademik mereka mendapat gelar Master
Administrasi Publik MAP, dan di tingkat Strata 3
dengan gelar Doktor Administrasi Publik DAP.
Kedua, dari segi
sangat berbeda.
pada penguasaan
dengan
segala

kurikulum kedua jalur harus jelas


Jalur akademik memiliki tekanan
pengembangan ilmu pengetahuan
aspeknya,
seperti
pendalaman

37

Bringing the Public Back


In

terhadap paradigma administrasi publik, sejarah dan


teori administrasi publik, filsafat publik, perbandingan
administrasi publik, dan metodologi penelitian
administrasi publik, termasuk pengembangan metoda
pembelajarannya. Sedangkan jalur profesional, lebih
menekankan pada membangun keterampilan (skill)
dan keahlian (competency) untuk mengelola
dan
menyelenggarakan pelayanan publik tertentu secara
efektif dan efisien. Oleh karena itu, meskipun perlu
disesuaikan dengan jenjang dan posisi jabatan yang
dipangku, pendidikan administrasi publik di jalur ini
harus mengasumsikan penguasaan bidang-bidang
antara lain: menguasai bidang pelayanan spesifik
yang dipilih seperti bidang kesehatan, pendidikan,
industri, dll.; memahami publik spesifik yang harus
dilayani; dan menguasai teknik-teknik pelayanan yang
memadai, termasuk kemampuan pengelolaan dan
prosedur-prosedur administratif yang perlu dikuasai
termasuk memiliki pemahaman yang cukup mengenai
konstitusi, struktur-kultur-dan-prosedur di organisasi
publik.
Ketiga, dari segi proses pembelajaran, baik jalur
akademik
apalagi
jalur
profesional,
perlu
menggunakan experiential learning process yang
inovatif dan berpusat pada mahasiswa. Proses belajar,
apapun
namanya,
yang
memungkinkan
para
mahasiswa mengembangkan seluruh potensinya
secara utuh, baik yang menyangkut kecerdasan
intelektual, emosional, spiritual, maupun kecerdasan
sosialnya. Untuk itu semua, fasilitas yang memadai,
terutama pusat informasi ilmiah digital, akses
internet, dan laboratorium administrasi publik
sungguh sangat diperlukan,.selain tentu ruang kuliah
dan ruang-ruang simulasi.

Bringing the Public Back In

38

Keempat, dilihat dari sisi penyelenggaran pendidikan


sudah saatnya Indonesia mempunyai peta besar
tentang kebutuhan tenaga di bidang administrasi
publik secara menyeluruh, baik dari segi kuantitas
maupun
dari
segi
kualitas.
Proses
penyelenggaraannya pun perlu dilakukan secara
sinergis, dimulai dengan langkah sederhana (yang
biasanya sulit dilakukan), yaitu duduk dan berbicara
bersama di antara seluruh stake-holder pendidikan
administrasi publik dengan semua institusi pendidikan
yang berhasrat untuk menyelenggarakan pendidikan
administrasi publik dan memiliki komitmen untuk
melakukan reformasi administrasi publik demi
kemajuan bangsa ini.

Anda mungkin juga menyukai