Anda di halaman 1dari 5

PENGANTAR BUKU: PERJALANAN PULANG (TANPA) KEMBALI

Hidup di negeri rantau,


punya kisah tawa dan
tangis. Keduanya, bisa
karena suka ataupun
duka. Itulah yang
kurasakan. Pagi ini,
sebuah kenyataan
menghentak dan aku tak
dapat bersuara. Kawankawan sekamar telah
lebih dahulu berangkat
kuliah. Aku terbangun.
Tubuhku kaku, bukan
karena ia tak dapat
bergerak. Begitu sedikit
saja aku beranjak, nyeri
terasa menikamku di satu titik. Ingatanku melayang cepat. Apakah aku kena
serangan jantung? Tak mungkin. Aku rasa aku sehat -sehat saja. Masuk angin?
Sakitnya tak seperih ini. Aku tak dapat lagi bergerak. Pasrah. Tak mampu bersuara.
Tak ada juga kawan di dekat berbagi rasa. Tuhan, aku milikmu

Aku tidak tahu berapa lama aku terbujur seperti itu. Sakit, sakit sekali. Dan airmata
menetes di pipiku. Aku ingat dua guruku. Yang satu sudah berpulang, yang lain belum
lama berselang, jauh setelah peristiwa itu. Musim semi masih menyisakan hawa dingin.
Perapian di rumah tinggalku baik-baik saja. Tapi aku merasa dingin menjalar ke seluruh
tubuh. Ya Allah, sudahkah datang waktunya? Inikah saat kawan pengantar ke alam
keabadian menjemputku?
Aku berusaha mengatur nafas. Biasa. Nafas panjang, tak juga ada pengaruhnya. Tapi
begitu sedikit saja bergerak, ngilu itu datang kembali. Apa pun yang aku gerakkan, ia
seperti berlomba dengan segera, mengirim signal-signal syaraf, memaksaku untuk tak
beranjak. Diam, kaku, mati.
Seingatku, aku jatuh tertidur. Malakal maut itu tak datang menemuiku. Begitu
terbangun, keringat deras membasahi seluruh tubuhku. Dan aku sudah mulai bisa
bergerak. Nyeri itu masih ada, tapi tak sesakit sebelumnya. Aku beringsut ke arah sofa,
menyandarkan tubuhku. Rebah. Tak ada suara, sunyi. Kulihat jam dinding. Tiga jam
lalu kurasakan perih itu.
Aku bangun. Duduk di meja bundar di dapur. Segelas air putih aku minum. Belum
pernah aku merasakan dekat dengan kematian, seperti saat itu.
Selang beberapa tahun setelahnya, di rumahku. Setelah aku berkeluarga. Mobil yang
kuparkir di garasi meluncur deras ke bawah. Aku berlari. Pikirku, aku bisa tahan laju
kendaraan itu. Ternyata aku keliru. Ia jauh lebih kuat dari yang kuduga. Mobil itu
memaksaku mundur. Di belakangku, pagar tetangga sudah menunggu. Dan aku
menjadi matras empuk yang menghindari mobil itu menghancurkannya. Aku masih
ingat hantaman itu. Nyerinya bersamaan di seluruh bagian tubuh. Mobilku selamat dari
cacat. Tapi tembok tetangga itu hancur berderai. Istriku berlari. Ia dengan segera
mengendarai mobil yang menghimpitku dan menjauhkannya. Aku jatuh terkulai.
Terkapar di jalan itu. Anak-anak yang bermain bola di pekarangan di samping rumahku
dengan segera mengangkat tubuh lemasku. Aku tak berdaya.
Dua peristiwa itu, dan satu peristiwa lainnya telah membawa kepenasaranku tentang
kematian. Akan sebuah perjalanan pulang ke kampung keabadian. Sebuah perjalanan
pulang (tanpa) pergi. Aku selamat. Bahkan setelah dibawa ke rumah sakit, tak ada
sesuatu pun yang janggal dalam diriku. Aku memang tak bisa bergerak, tapi dokter tak
menemukan yang aneh dalam tubuhku. Istriku berujar singkat, Dia mencoba
menaklukkan Master Limbad, tapi gagal. Master Limbad adalah jawara pertunjukan
ilusi dengan mengandalkan kekuatan fisik. Seorang fakir. Siapa yang tak kenal
atraksinya.
Sejak itu, aku berandai-andai. Akan seperti apakah saat kepulanganku? Dalam kondisi
bagaimanakah kepulanganku? Di tempat tidur, di rumah sakit? Di jalanan? Atau seperti
apa
Tak ada yang senang mengingat kematian. Bila berwasiat, kita akan segera diingatkan,

Husy, jangan seperti itu. Usiamu masih muda. Sebetulnya, yang kita kuatirkan adalah
kehilangan. Ada riwayat dari teladan suci yang berkata, Kematian tidak akan
menghampiri ia yang memikirkannya. Justru ia datang, pada saat yang tak diduga. Bila
membaca berita, aku mencoba berempati. Ada terpidana narkotika yang diganjar timah
panah. Mereka dieksekusi di waktu dini hari. Aku bayangkan lima orang dari regu
tembak mengarahkan senjata mereka pada ulu hati. Tiga orang berpeluru kosong,
hanya dua yang tajam. Begitu aba-aba diberikan, dua timah panas itu melesat dengan
cepat. Menembus daging empuk yang Tuhan ciptakan untuk menopang kehidupan
makhluknya. Aku bayangkan ujung yang tajam dan tekanan super cepat, mengoyak
dan menembus jantung yang berdetak itu. Memaksanya untuk berhentimungkin
sebelum waktunya.
Atau tentang mereka yang berakhir di tiang gantungan. Tali teramat besar dilingkarkan.
Ikatannya erat dipastikan. Lalu lubang di bawah kakinya dibuka, atau ia ditarik oleh
mesin crane teramat besarnya. Tubuh menggeliat, kejang selama beberapa saat.
Terdengar suara derikan leher patah, atau nafas yang tersumbat sebelum lepasdan
berpisah.
Atau berita duka tentang saudara-saudara kita yang melepaskan ruh mereka dari raga
dalam perjalanan di angkasa. Adakah hancur berderai? Atau jatuh menghantam
lautan? Atau yang diguncang gempa besar, dihantam aliran lavaatau apa saja.
Berbagai cara kembali? Yang manakah yang akan datang menghampiri.
Berita-berita dari timur tengah terkadang membuat ngeri. Para sandera yang ditawan
teroris tak berhati. Yang menyiarkan perilaku tak manusiawi. Aku tak pernah melihat
tayangan itu. Tapi aku bayangkan, ia yang menghadapi cara kembali seperti itu. Aku
ingat wasiat Al-Husain as pada para sahabatnya di tengah kecamuk perang Karbala,
Ingatkematian hanya jembatan singkat yang mengantarkan kalian pada kehidupan
dan kebahagiaan yang abadi Separah dan sesakit apapun jembatan ituia pasti
dilalui.
Maka aku menyimpan pandang iri pada mereka yang kembali di jalan yang suci.
Saudara-saudara kita yang berkhidmat pada sesama. Atau para pejuang yang
mempertahankan kemerdekaan tanah air mereka. Belum lama ini, konflik Hizbullah dan
Israel kembali mengemuka. Israel menghantam bagian selatan Suriah. Enam orang
gugur. Di antaranya seorang anak muda yang syahid. Jihad namanya. Ia menyusul
ayahnya yang syahid beberapa tahun sebelumnya. Ia syahid, putera seorang syahid.
Duhai, alangkah indahnya.
Di Libanon, daerah selatan terutama, banyak keluarga syuhada dan mereka
membanggakan diri mereka dengan itu. Inilah satu di antara iri yang saya pupuk,
keinginan yang saya pelihara. Saya berdoa agar saya kembali dengan sebaik-baiknya
cara kembali: di jalanNya, dalam keridoanNya. Siapa yang tak ingin kembali seperti itu,
bukan?
Kisah-kisah Hizbullah selalu menarik perhatian saya, karena ia menunjukkan semangat

melepaskan keterikatan pada dunia, dan kerinduan pada kampung akhirat.


Dibandingkan dengan kekuatan lainnya, Hizbullah yang paling sering membuat pusing
Israel. Mereka berhasil mengirim misil dan menghancurkan pertahanan Israel. Mereka
juga menembus tirai pertahanan Israel dan memotret serta memata-matai Israle melalui
drone yang dengan rahasia mereka terbangkan. Israel kalang kabut menghadapi
Hizbullah. Ajaib memang, pada saat yang sama di negeri ini Hizbullah dikafirkan,
disesatkan, bahkan tak ada demo mendukung Hizbullah yang terang-terangan
memerangi Israel. Mungkin karena Hizbullah mewakili muslim Syiah?
Dan dari khazanah muslim Syiah itu saya pelajari kerinduan-kerinduan pada hal yang
jauh lebih besar dari dunia ini. Kerinduan pada teladan suci, kerinduan pada syafaat
Nabi Saw, kerinduan pada tempat-tempat ziarahkerinduan pada kembali yang
sempurna. Kerinduan pada pemenuhan apa yang kosong dalam jiwa. Buku ini
mengisahkan itu. Ia berawal dari hikmahnya perjalanan. Saya kisahkan sekelumit kecil
pengalaman. Saya berbagi bacaan. Saya berbagi kicauan.
Ia buku ketujuh saya, tapi buku ketiga yang saya tulis melalui grup pendengar di The
Prophetic Wisdom. Terima kasih saya pada Bu Admin dan keluarga, rekan seiring
dalam perjalanan di dunia ini. Terima kasih saya pada kawan-kawan seluruhnya. Kata
Elbert Hubbard, Never explain. Your friends do not need it, and your enemies will not
believe it anyway. Kawan sejati, memang yang mudah memahami. Saya berterima
kasih pada kawan-kawan itu. Saya juga berterima kasih pada saudara-saudari semua.
Mungkin saya bertemu saudara, mungkin tidak. Saya antarkan doa untuk siapa pun
yang membaca tulisan ini. Saya ingin memperbanyak sebanyak mungkin sahabat,
untuk perjalanan panjang ke kampung akhirat. Mengantarkan doa satu di antara
caranya.
Atas dasar itulah buku ini ditulis. Unik, tanpa bab tanpa penanda, meski saudara bisa
jeda di mana saja. Bukankah seperti itu pula hidup kita? Buku ini mengisahkan
kepenasaran saya terhadap perjalanan yang kita tempuh itu. Kita tahu alam dunia. Kita
diajari alam akhirat. Tapi kita sedikit mengetahui apa yang terjadi di antara keduanya:
pada alam barzakh yang menyimpan segudang tanya. Dari penelusuran saya, ada dua
bekal teramat berharga. Pertama, bekal amal. Ia akan membentuk pakaian kita di sana.
Ia akan menjadi tubuh untuk ruh meminjamnya. Melihat waktu yang tersediasaya
ragu apa umur saya bisa sepanjang generasi sebelum sayasaya harus berpikir keras,
mencari cara cerdas untuk amal yang akan berbekas. Dan bekal kedua adalah bekal
persahabatan, bekal persaudaraan, bekal bergabung dengan orang-orang saleh
sepanjang zaman.
Pernah satu saat, beberapa orang berkunjung ke rumah sahabatnya yang baru saja
menikah. Mereka membeli kue-kue dan hadiah cenderamata. Mereka diterima di
sebuah ruang tamu sederhana, tiga kali empat besarnya. Mereka pun hangat
berbincang dengan tuan rumah ketika perhatian para tamu terantuk pada sebuah
bingkai kosong di dinding atas di tengah ruangan. Di tempat yang paling menarik
perhatian. Tempat yang paling terhormat. Figura besar itu hanya berisi kertas putih. Tak
ada gambar tak ada foto. Penasaran, ia bertanya pada sahabatnya, Mengapa

bingkaimu kau biarkan tak bergambar? Apa foto pernikahanmu tak kausematkan?
Tuan rumah tersenyum mendengarnya. Bingkai itu, memang aku biarkan kosong.
Untuk apa? Tidakkah kau ingin memasang foto keluargamu? Ayahmu, Ibumu?
Ia tersenyum lagi. Ia berkata, Bingkai itu aku khususkan untuk Imam Zaman afs. Bila
nanti beliau hadir, dan semua orang melihat beliau. Aku akan abadikan saat itu. Aku
akan tempatkan foto itu di bingkai ini. Para tamu sejenak termangu, hingga seorang
memecah sunyi itu, Tapi mengapa kau biarkan kosong sekarang? Mengapa di tembok
itu, ia tetap kaupasang, bukankah Imam belum datang? Ia dengan cepat menjawab,
Justru itu. Agar ia selalu mengingatkanku, masih ada yang kurang dalam hidupku.
Setiap kali aku memandang bingkai itu, kerinduanku padanya mengingatkankuaku
dan para penanti, sedang menunggu kehadirannya.
Kisah sederhana, tapi ia menyimpan berjuta makna. Betapa dalam hidup ini, manusia
dapat dibagi dua: yang berharap pada apa yang diperbuat, dan yang bergantung
dengan memperbanyak sahabat; yang berkumpul dengan orang saleh dan para pecinta
orang-orang saleh. Itulah di antara benang merah buku ini.
Saya tidak tahu akhir hidup saya bagaimana. Saya hanya berdoa agar Yang Mahasuci
memberikan pada saya kesucian. Saya ingin menjadikan kematian sebagai sesuatu
yang dirindukan, yang nyaman dibicarakan, yang baik dipersiapkan. Semoga Allah
Taala memanjangkan usia orang-orang yang saya cintai, dalam kesalehan, ketaatan,
kesehatan dan kebahagiaan: orangtua dan mertua saya, istri dan anak-anak saya, adik
kakak dan keluarga besar saya, sahabat, karib kerabat dan murid-mahasiswa saya.
Juga setiap orang yang telah mengalirkan nikmat Tuhan sampai pada saya, teristimewa
guru-guru dan para teladan rujukan saya. Dan saudara, di mana pun saudara berada.
Percayalah, begitu kita mengikatkan diri dalam doa, saya dan saudara akan bertemu di
alam sana. Mungkin di alam ini kita tak bersua, tapi saling doa dan silaturahmi ruhaniah
akan mengikat kita bersama. Sampai jumpa.
@miftahrakhmat
www.miftahrakhmat.com

Anda mungkin juga menyukai