Anda di halaman 1dari 6

Tuberculosis Pada Anak

Gejala TB pada anak sangat bervariasi dan tidak saja melibatkan organ pernafasan melainkan
banyak organ tubuh lain seperti kulit (skrofuloderma), tulang, otak, mata, usus, dan organ lain.
Jangan sampai salah diagnosis atau overdiagnosis!
Siapa yang tidak kenal dengan tuberkulosis (TB)? Penyakit ini kian populer setelah
dalam beberapa waktu belakangan ini muncul di layar kaca dengan slogan baru yang
disandangnya, TB: Bukan Batuk Biasa. Beberapa awam mungkin lebih mengenalnya dengan
sebutan penyakit flek paru.
Tak disangka, TB ternyata adalah penyakit usang yang sudah ditemukan sejak jaman
Mesir kuno. Meski usang, tapi penyakit ini masih belum bisa juga dibasmi di muka bumi.
Sampai-sampai, TB pun memiliki hari peringatan sedunia yang jatuh setiap tanggal 24 Maret.
Dengan adanya hari peringatan itu, tentu diharapkan dunia aware terhadap penyakit ini.
Misdiagnosis atau Overdiagnosis
TB bukanlah penyakit yang hanya dapat diderita orang dewasa. Anak-anak pun
terancam. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) melaporkan terdapat lebih dari 250.000 anak
menderita TB dan 100.000 di antaranya meninggal dunia.
Di sinilah masalah mulai muncul. Insiden yang terus merangkak tidak disertai dengan
kemudahan menegakkan diagnosis sedini mungkin. Demikian papar Prof Dr dr Cissy B
Kartasasmita SpA(K) dalam The 2007 National Symposium Update on Tuberculosis and
Respiratory Disorders, Bandung, 23-25 Maret 2006 lalu.
Pada orang dewasa, diagnosis pasti ditegakkan apabila menemukan kuman M.
tuberculosis dalam sputum/dahak. Akan tetapi, anak-anak sangat sulit bila diminta untuk
mengeluarkan dahak. Bila pun ada, jumlah dahak yang dikeluarkan tidak cukup. Jumlah dahak
yang cukup untuk dilakukan pemeriksaan basil tahan asam adalah sebesar 3-5 ml, dengan
konsistensi kental dan purulen.
Masalah kedua adalah jumlah kuman M. tuberculosis dalam sekret bronkus anak lebih
sedikit daripada orang dewasa. Hal itu dikarenakan lokasi primer TB pada anak terletak di
kelenjar limfe hilus dan parenkim paru bagian perifer. BTA positif baru dapat dilihat bila
minimal jumlah kuman 5000/ml dahak.
Selain itu, gejala klinis TB pada anak tidak khas. Hal-hal tersebutlah yang sering
membuat kita misdiagnosis atau overdiagnosis!
Batuk Kronik Jarang Terjadi
Gejala klinis TB tergantung faktor pejamu (usia, status imun, kerentanan) dan faktor
agen (jumlah, virulensi). Gejala TB pada anak yang umum terjadi adalah demam yang tidak
tinggi (subfebris), berkisar 38 derajad Celcius, biasanya timbul sore hari, 2-3 kali seminggu.
Gejala lain adalah penurunan nafsu makan, dan gangguan tumbuh kembang. Batuk kronik yang
merupakan gejala tersering pada TB paru dewasa, tidak terlalu mencolok pada anak. Mengapa?
Sebab lesi primer TB paru pada anak umumnya terdapat di daerah parenkim yang tidak
mempunyai reseptor batuk. Kalaupun terjadi, berarti limfadenitis regional sudah menekan
bronkus dimana terdapat reseptor batuk. Batuk kronik pada anak lebih sering dikarenakan oleh
asma.

Gejala-gejala yang tersebut di atas dikategorikan sebagai gejala nonspesifik. Perlu


dicatat bahwa gejala nonspesifik dapat juga ditemukan pada kasus infeksi lain. Maka dari itu,
keberadaan infeksi lain perlu dipikirkan agar anak tidak overtreated. Selanjutnya, gejala spesifik
tergantung dari organ yang terkena seperti kulit (skrofuloderma), tulang, otak, mata, usus, dan
organ lain.
Oleh karena gejala TB pada anak sangat bervariasi dan tidak saja melibatkan organ
pernafasan melainkan banyak organ tubuh lain, maka ada yang menyebut TB sebagai the great
immitator.
Diagnosis
Cissy menjelaskan bahwa diagnosis TB pada anak ditegakkan berdasarkan riwayat
penyakit, gejala klinis, uji tuberkulin serta pemeriksaan penunjang seperti laboratorium dan
radiologi.
Uji tuberkulin (tes Mantoux) menjadi alat diagnostik utama pada kasus TB anak.
Sebanyak 0,1 ml tuberkulin jenis PPD-RT 23 2 TU atau PPD-S 5 TU disuntikan intrakutan di
bagian volar lengan bawah. Setelah 48-72 jam, daerah suntikan dibaca dan dilaporkan diameter
indurasi yang terjadi dalam satuan milimeter. Perlu diperhatikan bahwa diameter yang diukur
adalah diameter indurasi bukan diameter eritema! Untuk meminimalkan kesalahan pengukuran,
lakukan palpasi secara halus pada daerah indurasi, lalu tentukan tepinya.
Hasil uji tuberkulin dapat dipengaruhi oleh status BCG anak. Pengaruh BCG terhadap
reaksi positif tuberkulin paling lama berlangsung hingga 5 tahun setelah penyuntikan. Jadi,
ketika membaca uji tuberkulin pada anak di atas 5 tahun, status BCG dapat dihiraukan.
Uji tuberkulin dinyatakan positif apabila diameter indurasi 5 mm pada anak dengan
faktor risiko seperti menderita HIV dan malnutrisi berat; dan 10 mm pada anak lain tanpa
memandang status BCG. Pada anak balita yang telah mendapat BCG, diameter indurasi 10-15
mm masih mungkin disebabkan oleh BCG selain oleh infeksi TB. Bila indurasi 15 mm lebih
mungkin karena infeksi TB daripada BCG.
Pemeriksaan laboratorium yang perlu dilakukan adalah hitung sel darah, laju endap
darah, urinalisis, enzim hati dalam serum (SGOT/SGPT). Asam urat sebaiknya diperiksa apabila
akan diberikan pirazinamid dan penglihatan harus diperiksa bila diberikan ethambutol. Pungsi
lumbal sebaiknya dilakukan pada TB milier atau bila ada tanda-tanda kecurigaan TB milier atau
meningitis TB.
Foto rontgen harus diambil dari 2 sisi yaitu postero-anterior dan lateral. Gambaran yang
umum terlihat adalah pembesaran kelenjar hilus atau paratrakea. Dapat juga ditemukan kolaps
atau konsolidasi dengan hiperinflasi lokal yang terjadi akibat obstruksi bronkus parsial.
Diagnosis banding pembesaran kelenjar hilus/paratrakea pada anak adalah infeksi Mycoplasma,
atau keganasan (limfoma sel T dan neuroblastoma). Hasil foto rontgen sebaiknya
diinterpretasikan oleh radiolog yang kompeten dan berpengalaman, tegas Prof Cissy. Pada
beberapa kasus, interpretasi foto rontgen sulit dilakukan sehingga CT-Scan mungkin diperlukan.
UKK Respirologi IDAI 2007 menyusun sistim skoring yang dapat digunakan sebagai uji
tapis bila sarana memadai. Bila skor 6, beri OAT selama 2 bulan, lalu evaluasi. Bila respon
positif maka terapi diteruskan, tetapi bila tidak ada respon, rujuk ke rumah sakit untuk ditinjau
lebih lanjut. Rujukan ke rumah sakit dilakukan sesegera mungkin bila ditemukan tanda-tanda
bahaya seperti gambaran milier pada foto rontgen, gibbus, skrofuloderma, dan terdapat tanda
infeksi sistim saraf pusat (kejang, kaku kuduk, kesadaran menurun), serta kegawatan lain. [Tabel
1]

1.
2.
3.
4.
5.
6.

WHO membuat kriteria anak yang diduga (suspected) menderita TB, bila:
sakit, dengan riwayat kontak dengan seseorang yang diduga atau dikonfirmasi menderita TB
paru;
tidak kembali sehat setelah sakit campak atau batuk rejan (whooping cough);
mengalami penurunan berat badan, batuk, dan demam yang tidak berespon dengan antibiotik
saluran nafas;
terdapat pembesaran abdomen, teraba massa keras tak terasa sakit, dan ascites;
terdapat pembesaran kelenjar getah bening superfisial, tidak terasa sakit, dan berbatas tegas;
mengalami gejala-gejala yang mengarah ke meningitis atau penyakit sistim saraf pusat.

Tabel 1. Sistim Skoring Diagnosis TB Anak


0
1
Kontak
Positif TB, BTA (-)
Uji tuberkulin

Negatif

Berat badan

Demam

Batuk

<3 minggu

Pembesaran
kelenjar

3
BTA (+)
Positif

Penurunan
badan

beratMalnutrisi berat

+
3 minggu
1 cm, tidak nyeri
Tulang

Bengkak
Normal

Suggestive TB

Rontgen dada
Kemoprofilaksis
Seorang anak dapat terinfeksi kuman TB tetapi belum tentu bermanifestasi menjadi
sakit TB. Apabila daya tahan tubuh anak menurun atau virulensi kuman TB yang menginfeksi
ganas maka anak yang semula hanya terinfeksi menjadi sakit TB.
Ada 2 macam kemoprofilaksis TB pada anak. [Tabel 2] Kemoprofilaksis primer
bertujuan untuk mencegah terjadinya infeksi tuberkulosis pada anak, dengan memberikan
isoniazid 5-10 mg/kgBB/hari, dosis tunggal. Kemoprofilaksis primer dihentikan bila sumber
kontak tidak menular lagi dan anak ternyata tetap tidak infeksi dibuktikan dengan uji
tuberkulin ulang. Kalau ternyata hasil uji tuberkulin positif maka harus dievaluasi lebih lanjut.
Kemoprofilaksis sekunder bertujuan mencegah aktifnya infeksi sehingga anak tidak
sakit yang ditandai dengan uji tuberkulin positif tetapi gejala klinis dan radiologis normal.
Yang diberikan adalah isoniazid 10 mg/kgBB/hari selama 6-12 bulan. Kelompok anak terinfeksi
TB yang berisiko tinggi menderita TB adalah:

1.
2.
3.
4.
5.

usia <5 tahun


menderita penyakit infeksi (morbili, varisela)
mendapat obat imunosupresif jangka panjang (sitostatik, steroid, dll)
usia pubertas
infeksi paru TB, konversi uji tuberkuiln dalam kurang dari 12 bulan.
Tabel 2. Klasifikasi Kelas TB pada Anak
Kelas
Kontak
Infeksi
0
1
+
2
+
+
3
+
+

Sakit
+

Tatalaksana
Profilaksis 1
Profilaksis 2
Terapi TB

OAT
Prinsip penatalaksaan TB anak adalah lebih cepat mengobati daripada terlambat agar
komplikasi tidak terjadi. Bila dianamnesis dan diperiksa, anak kemungkinan besar menderita TB
maka beri OAT selama 2 bulan. Lalu, observasi apakah terdapat perbaikan klinis. Bila ya,
lanjutkan OAT lagi (total 6-12 bulan); tetapi bila tidak, mungkin bukan TB atau TB resisten
terhadap OAT.
Lama pengobatan TB berkisar 6-12 bulan yang dibagi menjadi 2 fase yaitu fase
intensif dan fase lanjutan. Pada fase intensif, OAT yang diberikan adalah rifampisin, isoniazid,
dan pirazinamid selama 2 bulan pertama. Sedangkan fase lanjutan hanya diberikan rifampisin
dan isoniazid selama sisa waktu pengobatan. Waktu yang diperlukan untuk mengobati TB boleh
dibilang lama, dengan tujuan mencegah terjadinya resistensi obat, membunuh kuman intraselular
dan ekstraselular, serta mengurangi kemungkinan terjadinya relaps. [Tabel 3 & 4]
Respon anak terhadap OAT (farmakokinetik) berbeda dengan dewasa. Toleransi anak
terhadap dosis OAT per kilogram berat badan lebih tinggi. Efek samping hepatitis akibat
isoniazid dan rifampisin lebih banyak ditemukan pada anak. Maka dari itu, dianjurkan untuk
memeriksa rutin uji faal hati sebelum pengobatan, setelah 2 minggu dan 1 bulan pengobatan.
Dosis OAT pada anak harus mengacu pada dosis per kilogram berat badan. Karena
OAT yang tersedia di pasaran berbentuk tablet untuk orang dewasa, maka saat diberikan kepada
anak, tablet itu harus digerus menjadi puyer. Tak hanya itu, isoniazid, rifampisin, dan
pirazinamid tidak boleh dicampur menjadi satu puyer sebab dapat mengganggu bioavailabilitas
rifampisin.
Berbicara mengenai minum OAT, tidak hanya sekedar minum tetapi juga patuh.
Kepatuhan minum OAT meliputi benar obat (right drugs), benar dosis (right doses), dan benar
waktu pemberian (right intervals) tertuang dalam program Direct Observed Therapy (DOT)
menjadi bagian yang sangat krusial. Orang tua atau pengasuh anak dapat dijadikan pengawas
minum obat yang bertugas mengawasi anak agar tidak lupa minum OAT. Dilaporkan pada tahun
1999, sekitar 82,9% anak menjalankan program DOT, dan 94,8% diantaranya menunaikannya
sampai tuntas. DOT juga berhasil mengurangi risiko terjadinya TB resisten terhadap OAT.

Tabel 3. Dosis Obat Antituberkulosis Lini Pertama


Obat
Dosis
HarianDosis Max Efek Samping
(mg/kgBB/hari) (mg/hari)
Isoniazid
5-15*
300
Hepatitis,
neuritis
perifer,
hipersensitivitas
Rifampisin** 10-20
600
Gastrointestinal, reaksi kulit, hepatitis,
trombositopenia, peningkatan enzim
hati, cairan tubuh berwarna orange
Pirazinamid 15-30
2000
kemerahan
Etambutol

15-20

Streptomisin 15-40

1250

1000

Toksisitas
gastrointestinal

hepar,

artralgia,

Neuritis
optik,
ketajaman
mata
berkurang, buta warna merah hijau,
hipersensitivitas, gastrointestinal

Ototoksik, nefrotoksik
* Bila INH dikombinasi dengan rifampisin, dosisnya tidak boleh melebihi 10
mg/kgBB/hari
** Rifampisin tidak boleh diracik dalam satu puyer dengan OAT lain karena dapat
mengganggu bioavailabitias rifampisin
Tabel 4. Dosis OAT Kombinasi pada TB anak
Berat Badan
2 Bulan
4 Bulan
(kg)
RHZ (75/50/150 mg)
RH (75/50 mg)
5-9
1 tablet
1 tablet
10-19
2 tablet
2 tablet
20-32
4 tablet
4 tablet
Catatan:

Bila BB 33 kg dosis disesuaikan dengan Tabel 2 (perhatikan dosis maksimal)

Bila BB <5 kg sebaiknya dirujuk ke RS

Obat harus diberikan secara utuh (tidak boleh dibelah)


Pencegahan
Cara terbaik mencegah terjadinya TB anak adalah dengan menemukan, mendiagnosa,
dan mengobati TB dewasa secara tuntas. Gagasan itu muncul karena pada umumnya anak
terinfeksi TB setelah terpapar dari orang dewasa dengan sputum positif kuman TB. Ketika
seorang anak sudah menderita TB aktif maka seluruh anggota keluarga dan orang lain yang
kontak dekat dengan anak tersebut harus diperiksa untuk mencari sumber penularan lalu diobati.
Dengan demikian, rantai penularan dapat terputus sedini mungkin.
Cara lain adalah imunisasi BCG. Meskipun masih terdapat kontroversi mengenai
keefektifitasannya, BCG dapat mengurangi risiko terjadinya komplikasi TB seperti milier,
meningitis, dan spondilitis. Melakukan imunisasi BCG ulangan tidak direkomendasikan karena
tidak memberikan efek protektif tambahan.

Masalah TB pada anak memang masih dipandang sebelah mata oleh masyarakat di
dunia karena anak yang menderita TB tidak mudah menularkan ke orang sekitarnya. Padahal
bukan penularan yang menjadi masalah, melainkan diagnosis yang sulit. Masihkah kita
memicingkan mata terhadap situasi tersebut?
Sumber: Majalah Farmacia

Anda mungkin juga menyukai