dimana pembayaran pajak belum sepenuhnya dengan uang tetapi in natura. Faktor utama lainnya yang
dianggap sebagai biang kegagalan liberalisasi ekonomi Indonesia adalah masih kuatnya praktik budaya
feodalisme.
Setelah Indonesia kembali menjadi jajahan Belanda, di bawah pengawasan Gubernur Jenderal van
Den Bosch yang beraliran konservatif, diterapkan sistem tanam paksa yang bertentangan dengan
sistem sewa tanah sebelumnya. Hal ini, menurut van Den Bosch, dikarenakan kondisi realitas Indonesia
yang bersifat agraris, seperti halnya keadaan negara induk (Belanda) yang juga masih bersifat agraris.
Walaupun keadaan di Eropa, rentang waktu 18001830, sedang muncul pertentangan pemikiran,
antara liberalis dan konservatis telah mengakibatkan kegamangan dalam pelaksanaan pemerintahan di
negara jajahan. Tetapi satu hal yang perlu dipahami, baik konservatif yang akan meneruskan system
politik VOC atau liberalis yang ingin meningkatkan taraf hidup rakyat, dalam tujuannya sama-sama
menginginkan daerah jajahan perlu memberi keuntungan bagi negeri induk.
Keadaan ekonomi rakyat Indonesia semakin parah, seiring dengan diberlakukannya kebijakan Politik
Pintu Terbuka. Hal ini menjadikan jiwa-jiwa wirausaha semakin menghilang, karena para petani,
pedagang yang kehilangan lapangan sumber mata pencahariannya beralih menjadi buruh di
perusahaan-perusahaan swasta asing.
Kondisi ekonomi bangsa Indonesia saat itu sangat menyedihkan. Hal itu dapat dilihat pada awal abad
ke-20, diketahui bahwa penghasilan rata-rata sebuah keluarga di Pulau Jawa hanya 64 gulden setahun.
Dengan penghasilan yang sangat sedikit itu, mereka harus melakukan berbagai kewajiban, antara lain
untuk urusan desa. Hal itu menggambarkan betapa miskinnya rakyat Indonesia, padahal Indonesia
memilki kekayaan alam yang melimpah.
Selama masa tanam paksa, pemerintah Belanda memperoleh keuntungan ratusan juta gulden.
Keuntungan yang diperoleh itu semuanya digunakan untuk membangun negeri Belanda. Tidak ada
pemikiran untuk menggunakan sebagian keuntungan itu bagi kepentingan Indonesia. Kemiskinan yang
diderita rata-rata rakyat Indonesia adalah akibat politik drainage (politik pengerukan kekayaan) yang
dilakukan pemerintah Belanda untuk kepentingan negeri Belanda. Politik dranaige itu mencapai
puncaknya pada masa tanam paksa (cultuur stelsel) dan kemudian dilanjutkan pada masa sistem
ekonomi liberal.
Sistem ekonomi liberal pun tidak meningkatkan taraf kehidupan rakyat. pada masa itu berkembang
kapitalisme modern yang berlomba-lomba menanamkan modalnya di Indonesia, antara lain perkebunan
raksasa. Pemerintah mengizinkan para pemilik modal menyewa tanah, termasuk tanah rakyat.
Akibatnya, lahan untuk pertanian rakyat berkurang. Sebagian besar petani terpaksa menjadi buruh di
pabrik atau perkebunan dengan upah yang rendah.
Pada sisi lain, perusahaan-perusahan pribumi mengalami kemunduran atau sama sekali gulung tikar
sebab tidak mampu bersaing dengan modal raksasa. Pengusaha tekstil tradisional pun terpukul akibat
membanjirnya tekstil yang diimpor dari Belanda. Para pengusaha pribumi juga dirugikan sebab
pemerintah Belanda lebih banyak memberikan kemudahan kepada pedagang Cina.
3. Dalam bidang Iptek dan Budaya
Revolusi Industri lahir dengan latar belakang ilmu pengetahuan yang pekat. Ketika Indonesia dijajah
oleh Inggris, maka hal itu pun sangat berpengaruh. Raffless yang dalam kesempatan tersebut menjadi
gubernur jendral yang sangat perhatian terhadap ilmu pengetahuan dan alam, maka salah satu bunga
bangkai yang ditemukan di Bengkulu dinamai dengan bunga Raflesia Arnoldi. Bahkan, Kebun Raya
Bogor juga merupakan itikad dari istri Raffles. Dalam hal ilmu perbintangan, di Bandung didirikan pula
tempat obsevasi yang didirikan Van den Bosch.
Seiring dengan munculnya hubungan Hindia Belanda dengan Inggris, maka sedikit demi sedikit
masyarakat Indonesia dikenalkan juga dengan kemajuan teknologi tersebut. Penjajahan Indonesia yang
sempat kembali ke tangan Belanda menghentikan kemajuan tersebut, namun dalam perkembangan
kontemporer, pengaruh Revolusi Industri sangat terlihat dan terasa.
4. Dalam Bidang Sosial
Industrialisasi sejak semula sangat berkaitan dengan masalahmasalah sosial-kemasyarakatan. Adanya
perbedaan pendapatan ekonomi cenderung membuat manusia mengukur segala sesuatu dengan
mahal-murahnya harga sesuatu. Dengan perbedaan tersebut, muncullah diskriminasi sosial yang tidak
manusiawi. Selain itu, ada pula dampak positif dari Revolusi Industri ini, yaitu dibukanya jalur
transportasi darat yang baru rel kereta api guna mempercepat proses mobilisasi dan penyampaian
informasikomunikasi.
a. Diskriminasi Sosial
Dalam bidang sosial terjadi perbedaan yang mencolok antara golongan Barat atau Belanda dengan
golongan pribumi. Dalam bidang pemerintahan juga terjadi diskriminasi, pembagian kerja dan
pembagian kekuasaan didasarkan pada warna kulit. Orang pribumi yang mendapatkan jabatan pastilah
jabatan rendah dan dibatasi kekuasaannya. Diskriminasi juga terjadi di kalangan militer.
Untuk pangkat yang sama, gaji orang Indonesia yang berdinas dalam militer Belanda lebih rendah
daripada gaji anggota militer Belanda. Bahkan diadakan pula perbedaan gaji antara serdadu Ambon
dan serdadu Jawa. Diskriminasi berlaku juga di tempat hiburan. Ada tempat-tempat yang tidak boleh
dimasuki oleh orang Indonesia, seperti tempat pemandian, restoran bahkan pada angkutan umum,
seperti kereta api lintas-kota atau trem (kereta api dalam kota).
Rupanya para penggagas Politik Etis hendak menciptakan hubungan yang harmonis antara Belanda
dan golongan pribumi, namun kesamaan pandangan yang diharapkan ternyata tak berbuah seperti
yang diharapkan. Orang-orang Indonesia yang telah mendapatkan pendidikan dari Belanda, semakin
menyadari tentang arti penting kemerdekaan yang pada akhirnya mereka menjadi pemuda-pemuda
pergerakan kemerdekaan Indonesia. Hal ini membuktikan bahwa diskriminasi berdasarkan ras menjadi
salah satu faktor lahirnya pergerakan nasional.
b. Dibangunnya Jalur Transportasi Darat
Revolusi Industri secara tidak langsung berdampak pula dalam hal transportasi di Indonesia, terutama
darat. Untuk mempermudah mobilitas penduduk dan perdagangan, pemerintah Hindia Belanda
membangun jalur kereta api di Pulau Jawa. Hal ini dilakukan guna mempercepat hubungan komunikasi
dan dagang. Untuk daerah pegunungan yang banyak terdapat perkebunan (misalnya di Jawa Barat),
dibangun khusus jalur kereta api untuk mengangkut hasil bumi ke kawasan pabrik guna diolah menjadi
bahan setengah jadi atau jadi.
Sesungguhnya jalur darat telah dibuka sejak masa Daendels memerintah Jawa, yaitu dengan
dibukanya rute baru: Anyer- Panarukan yang membelah Pulau Jawa pada awal abad ke-19. Dengan
tujuan semula untuk mempercepat proses informasikomunikasi antarkantor pos, maka Jalan Raya Pos
(The Grote Postweg) ini pada masa selanjutnya berguna pula untuk jalur mobilitas penduduk yang ingin
ke luar kota atau pulau.
c. Mobilitas Penduduk dan Masalah Demografi
Industrialisasi mengakibatkan perpindahan penduduk dari desa ke kota-kota besar. Berdirinya pabrikpabrik telah mendorong kehidupan baru dalam masyarakat Indonesai yang sebelumnya masyarakat
agraris dan maritim. Terbentuklah komunitas pekerja kasar dan buruh yang bekerja di pabrik-pabrik
partikelir (swasta). Kota-kota besar, terutama Jakarta dan Surabaya, merupakan tempat tujuan orangorang untuk mengadu nasib.
Untuk mendapatkan pegawai-pegawai semacam juru ketik atau tulis yang murah maka pemerintah
kolonial membangun sekolah-sekolah kejuruan guna menghasilkan tenaga-tenaga ahli dari pribumi
yang tentunya jauh lebih murah honornya bila dibandingkan tenaga ahli dari Eropa. Tenaga tulis/ketik
tersebut selain dipekerjakan di instansi pemerintahan, juga dipekerjakan pegawai rendah di perkebunan
pemerintah.
Pada masa pelaksanaan ekonomi liberal sekolah didirikan untuk tujuan yang sama. Pada 1851,
didirikan sekolah dokter pertama di Jawa yang sebenarnya merupakan sekolah untuk mendidik mantri
cacar atau kolera. Maklum kala itu kedua penyakit tersebut sering menjadi wabah di beberapa daerah.
Sekolah mantri tersebut kemudian berkembang menjadi STOVIA (School Tot Opleiding Voor Inlandse
Artsen) atau sekolah dokter pribumi.
Munculnya sekolah-sekolah ala Eropa di Jawa, khususnya Batavia dan Bandung, menggiring orangorang dari Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan tempat-tempat lainnya berdatangan ke Jawa.
Orang-orang di Jawa pun, terutama anakanak priyayi dan bangsawan atau pedagang kaya yang
memiliki biaya lebih, berbondong-bondong datang ke Jakarta dan Bandung yang saat itu memiliki
sekolah setingkat perguruan tinggi (THS dan STOVIA). Perpindahan atau mobilitas kaum terpelajar
tersebut tentunya sangat memengaruhi populasi kota. Perubahan demografis cukup mecengangkan.