Oleh:
Sintia Eka Aprilia, S.Ked
Bagian/Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin
FK Unsri/RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang
2015
PENDAHULUAN
Erupsi obat merupakan reaksi kulit atau tubuh terhadap obat atau metabolitnya yang
terjadi melalui mekanisme imunologik dan non imunologik. 1 Setiap lesi kulit akibat erupsi
obat memberikan gambaran morfologi spesifik.2,3 Dalam mengevaluasi pasien erupsi obat
penting melakukan anamnesis teliti untuk mendapatkan riwayat pengobatan yang rinci,
termasuk penggunaan obat over-the-counter dan obat herbal.2
Erupsi obat menjadi salah satu penyebab morbiditas pasien. Manifestasi erupsi obat
tidak terbatas pada kulit saja namun menjadi bagian dari reaksi sistemik seperti sindrom
hipersensitivitas obat atau nekrolisis epidermal toksik.1 Terdapat beberapa manifestasi klinis
kulit akibat erupsi obat seperti: erupsi eksantematosa, urtikaria dan angioedema, erupsi
pustular, erupsi bulosa, fixed drug eruption, erupsi likenoid, vaskulitis dan eritema nodusum,
drug induced lupus erythematosus. 1,2
Dari beberapa manifestasi klinis erupsi obat, varian tersering adalah erupsi
eksantematosa yang mirip dengan viral eksantema, padahal penatalaksanaannya memiliki
perbedaan yang cukup signifikan.1,10 Oleh karena itu, penting untuk memahami manifestasi
klinis erupsi obat agar tidak terjadi misdiagnosis dan salah penatalaksanaan.
EPIDEMIOLOGI
Dari tinjauan sistematis literatur medis meliputi sembilan studi, menyimpulkan bahwa
kejadian erupsi obat bervariasi dari 0%- 8% dan penyebab tertinggi adalah antibiotik. Reaksi
obat pada kulit terjadi pada 12% anak yang diobati dengan antibiotik dan 2,5% anak yang
diobati dengan obat lain. 1
ETIOLOGI
Riwayat pengobatan selama 3 bulan sebelum timbul erupsi diperlukan untuk
menentukan obat penyebab erupsi, termasuk obat herbal maupun obat over-the-counter.
Penyebab utama kebanyakan erupsi obat adalah obat yang dikonsumsi dalam 6 pekan terakhir
dan digunakan secara intermiten.1
Faktor- faktor yang memperbesar risiko timbulnya erupsi obat adalah: 4,5
1. Jenis kelamin
Wanita mempunyai risiko lebih tinggi dibanding pria.4,5
2. Sistem Imunitas
Erupsi obat mudah terjadi pada seseorang yang mengalami penurunan sistem
imun.
Pada
penderita
AIDS
misalnya,
penggunaan
obat
sulfametoksazol
Beberapa obat setelah dimetabolisme tubuh membentuk produk reaktif atau beracun.
Produk reaktif ini hanya sebagian kecil dari metabolit obat dan biasanya cepat didetoksifikasi.
Namun, pasien dengan hypersensitivity syndrome reaction, nekrolisis epidermal toksik (NET),
dan sindrom Stevens-Johnson (SJS) menunjukkan sensitivitas yang lebih besar terhadap
antibiotic sulfonamid dan antikonvulsan aromatik (misalnya, karbamezepin, fenitoin,
fenobarbital, pirimidon, dan okskarbazepin.1,7
Infeksi virus aktif dan penggunaan obat lain meningkatkan frekuensi erupsi obat.
Reaktivasi
terhadap obat. 1
Interaksi obat juga dapat meningkatkan risiko erupsi kulit. Asam valproat
meningkatkan risiko erupsi obat akibat lamotrigin dan antikonvulsan lain. Dasar interaksi obat
dengan erupsi obat tidak diketahui, tetapi mungkin merupakan kombinasi beberapa faktor
seperti perubahan pada metabolisme, detoksifikasi, pertahanan, antioksidan, serta reaktivitas
imun1,7
Ada dua macam mekanisme penyebab erupsi obat, yaitu imunologis dan nonimunologis (Tabel 1). Umumnya erupsi obat muncul akibat reaksi hipersensitivitas
berdasarkan mekanisme imunologis. Obat dan metabolit obat berfungsi sebagai hapten, yang
menginduksi antibodi humoral. Reaksi kulit juga dapat terjadi melalui mekanisme non
imunologis seperti toksiksitas obat, overdosis, interaksi antar obat dan perubahan
metabolisme.1,5
Mekanisme Imunologis erupsi obat adalah sebagai berikut (Gambar 1 dan gambar 2) :5,8
a. Tipe I (reaksi anafilaksis)
Reaksi hipersensitivitas tipe I atau reaksi yang dimediasi imunoglobulin E
(IgE) merupakan mekanisme yang paling banyak ditemukan. IgE mempunyai afinitas
tinggi terhadap mastosit dan basofil. Reaksi hipersensitivitas terdiri dari fase cepat dan
lambat. Fase cepat terjadi beberapa menit setelah pajanan antigen dan dapat bertahan
beberapa jam setelah pajanan antigen menghilang. Fase lambat terjadi setelah fase
cepat dimana sel mast membebaskan mediator kemotaktik dan sitokin yang menarik
sel radang ke tempat terjadinya reaksi alergi. Mediator fase aktif dari sel mast akan
meningkatkan permeabilitas kapiler yang meningkatkan sel radang. Pajanan pertama
dari obat tidak menimbulkan reaksi, tetapi bila dilakukan pemberian kembali obat
yang sama, maka obat tersebut akan dianggap sebagai antigen yang akan merangsang
3
pelepasan mediator sel mast dengan cara langsung, aktivasi langsung dari sitem komplemen,
atau pengaruh langsungpada metabolisme enzim arakhidonat.
Efek kedua, diakibatkan proses farmakologis obat terhadap tubuh seperti toksisitas
obat, over dosis, interaksi antar obat dan perubahan dalam metabolisme obat.
Limfositosis atipikal dengan eosinofilia dapat terjadi selama fase awal reaksi pada beberapa
pasien.1
Erupsi eksantematosa sering disebabkan oleh beberapa obat (Tabel 2). Sebagai contoh
pembentukan metabolit dari antikonvulsan aromatik (fenitoin, fenobarbital, karbamazepin)
berperan pada reaksi hipersensitivitas dimana metabolit kimia reaktif yang dihasilkan
seharusnya di detoksifikasi
sehingga metabolit bertindak sebagai hapten dan memulai respon imun, merangsang
apoptosis, atau menyebabkan nekrosis sel secara langsung.1
Gambar 2. Erupsi eksantematosa diinduksi ampisilin. Makula eritem dan papul, konfluen pada trunkus
dan diskret pada ekstremitas.1
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
Kriteria drug reaction with eosinophilia and systemic symptoms (DRESS) sebagai berikut:
Ruam >3 minggu setelah minum obat pertama kali
Gejala memanjang (>2minggu) setelah obat dihentikan
Demam >38o
Keterlibatan multiorgan
Eosinofilia absolut >1500
Aktivasi limfosit (limfositosis, limfositosis atipikal, limfadenopati)
Reaktivasi Herpes Virus HHV-6, HHV-7, EBV dan CMV
Obat tersering penyebab drug reaction with eosinophilia and systemic symptoms (DRESS) sebagai
berikut:
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
Tabel 7. Kriteria dan obat penyebab drug reaction with eosinophilia and systemic symptoms (DRESS).7
0,024% -0,2%. Sefaklor dapat mengikat protein jaringan dan menimbulkan respon inflamasi
bermanifestasi seperti serum sickness-like reactions (Gambar 4). Obat lain yang
menyebabkan serum sickness-like reactions yakni sefprozil, bupropion, minosiklin, dan
rituksimab dan infliksimab.
3. Erupsi Pustular
Acute Generalized Exanthematous Pustulosis (AGEP) merupakan erupsi acute febrile
ditandai dengan erupsi pustular, demam tinggi, malaise serta leukositosis. 1,8 Lesi kulit
vesikopapular, pustul milier non folikuler dan bulla di seluruh tubuh. 8 Membran mukosa
terkadang terkena, lesi akan muncul 1-3 minggu setelah inisiasi obat dan pustul akan
menghilang setelah 7 hari.10 Lesi sering mulai pada wajah atau lipatan kulit yang besar.
8
Deskuamasi terjadi sekitar 2 minggu kemudian. Kejadian AGEP adalah sekitar 1-5 kasus per
juta per tahun. AGEP sering dikaitkan dengan -laktam dan makrolida antibiotik,
antikonvulsan, dan calcium channel blockers.1
Gambar 4. Acute Generalized Exanthematous Pustulosis (AGEP) induksi diltiazem dengan pustul non
folikuler .1
4. Erupsi Bulosa
Sindrom Stevens-Johnson (SJS) sindrom yang mengenai kulit, selaput lendir orifisum
(pada mukosa mulut 100%), mata dan luas lesi kulit 10%. 5,10 Nekrolisis epidermal toksik
(NET) atau Sindrom Lyell merupakan keadaan lebih berat dibanding SSJ dimana lesi kulit
hampir seluruh tubuh (>30%), terjadi epidermolisis generalisata disertai kelainan pada selaput
lendir orifisium (berupa erosi, ekskoriasi, dan perdarahan) dan mata (kongjutivitis).10 Lesi
kulit pada SSJ dan NET berupa eritem, vesikel/bula dapat disertai purpura. Terkadang disertai
gejala sistemik yakni demam tinggi, malaise, sakit kepala, dan mual. 8 SSJ dan NET
disebabkan reaksi hipersensitivitas tipe II. Sasaran utama SSJ dan NET adalah epidermis
dimana terjadi destruksi keratinosit. Obat yang dapat menginduksi terjadinya SSJ dan NET
seperti sulfonamid, penicilin,barbiturate, karbamazepin, tetrasiklin dan lainya.1
Gambar 5. Sindrom Stevens-Johnson (a) tahap awal: lesi eritema sebagian konfluen dengan
lesi target datar atipikal (b) tahap lanjut: erupsi makula dengan skuama (c) nekrosis dan erosi
luas pada bibir dan mukosa mulut.7
5. Fixed Drug Eruption (FDE)
Fixed drug eruption (FDE) merupakan reaksi kerusakan kulit setelah minum obat.
Fixed drug eruption erupsi kulit yang sering dijumpai, dengan angka kejadian sebanyak 16%
dari semua gejala erupsi obat.10 Fixed drug eruption memiliki karakteristik lesi awal soliter
hingga berupa patch eritem atau plak.1 Lesi awal berwarna kemerahan, kemudian menjadi
merah kehitaman sampai keunguan. Lesi menjadi bula, mengalami deskuamasi atau menjadi
krusta. Ukuran lesi mulai dari lentikular sampai plakat.
membran mukosa, yaitu di bibir, badan, tungkai dan genital. 2 Tempat paling sering adalah
bibir dan genital.10 Gejala lokal meliputi rasa gatal dan terbakar, jarang dijumpai gejala
sistemik.1
Patogenesis FDE diperantarai Immunoglobulin E (IgE) mediated drug eruption,
immunocomplex dependet drug reaction, cytotoxic drug induced reaction dan cell mediated
reaction, dengan sel limfosit T (T4 dan T8) yang berperan dalam reaktivasi lesi dengan
paparan obat.
Apabila pasien minum obat yang sama lesi akan timbul kembali di tempat
yang sama. Fixed drug eruption timbul dalam 30 menit-8 jam setelah minum obat. Lesi baru
akan timbul 1-2 pekan setelah paparan pertama kali diikuti lesi berikutnya dalam jangka
waktu 24 jam.
Obat penyebab
6. Erupsi Likenoid
Erupsi likenoid disebabkan oleh hidroklorotiazid, furosemid, NSAID, aspirin,
antihipertensi (inhibitor ACE, -blocker, dan calcium channel blockers), terazosin, quinidine,
pravastatin, fenotiazin, antikonvulsan, obat anti-tuberkulosis, ketokonazol, termasuk emas.7
Pada liken planus tempat predileksi di ekstremitas bagian fleksor, selaput lendir dan organ
genitalia sedangkan pada erupsi likenoid selaput lendir dan kuku tidak terkena. Lesi yang
muncul berupa ekzematosa warna ungu, papul, sisik, dan hiperpigmentasi, pada daerah yang
luas.1 Gejala munculnya lambat beberapa bulan hingga tahun setelah minum obat.10
11
Gambar 8. Vaskulitis.7
12
13
DAFTAR PUSTAKA
1. Shear NH, Knowles SR. Cutaneous reaction to drugs. In: Wolff K, Goldsmith LA,
Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Lefel DJ, editors. Fitzpatricks Dermatology in
General Medicine. 8th ed. New York: McGraw Hill;2012. p. 439-48.
2. Shimizu H. Shimizus Textbook of dermatology. 1st ed. Tokyo; Nakayama
Shotens;2010.
3. Stern RS. Exanthematous Drug Eruptions. N Engl J Med 2012;366:2492-501.
4. Revus J, Allanore AV. Drugs Reactions, In: Bolognia Dermatology. Volume One. 2 nd
edition Elserve limited, Philadelphia. United States of America. 2003. p : 333-352.
5. Lee A, Thomson J. Drug- induced skin. In: Adverse Drug Reactions, 2 nded.
Pharmaceutical Press, 2006.
6. Riedl MA, Casillas AM, Adverse Drug Reaction: Types and Treatment Options: Am
Fam Physician. Volume 68, Number 9. 2003.
14
7. James WD, Berger TG, Elston DM. Andrews Disease of the Skin Clinical
Dermatology. 10th ed. London: Saunders Elsevier; 2011.
8. Hamzah M. Erupsi Obat. Edisi ke-6. Djuanda A, editor. Jakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia, 2010. hal 154-7.
9. Andrew J.M, Sun. Cutaneous drugs eruptions. In: Hongkong Practitioner.Volume
15. Department of Dermatology University of Wales College of Medicine.
10. Kauppinen K and Kariniemi LA. Clinical manifestations and histological
characteristic. In: W.J Pichler, editors. Drug Hypersensitivity. 2 nd ed. Switzerland:
Karger; 2007. p. 27-43
11. Purwanto SL. Alergi Obat. In: Cermin Dunia Kedokteran. Volume 6. 2000.
15