PENDAHULUAN
Anemia merupakan masalah medik yang paling sering dijumpai di klinik di
seluruh dunia, terutama di negara berkembang. Diperkirakan lebih dari 30% jumlah
penduduk dunia atau 1500 juta orang menderita anemia. Kelainan ini mempunyai
dampak besar terhadap kesejahteraan sosial dan ekonomi serta kesehatan fisik.
Anemia bukanlah suatu kesatuan penyakit tersendiri, tetapi merupakan gejala
dari berbagai macam penyakit dasar. Oleh karena itu penentuan penyakit dasar juga
penting dalam pengelolaan kasus anemia, karena tanpa mengetahui penyebab yang
mendasari, anemia tidak dapat diberikan terapi yang tuntas.
Berdasarkan standar kompetensi dokter Indonesia yang dibuat oleh Divisi
Standar Pendidikan Kolegium Dokter Indonesia, dokter umum diharapkan dapat
menegakkan diagnosis anemia (defisiensi besi, megaloblastik, aplastik, hemolitik)
berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan laboratorium. Untuk anemia defisiensi
besi, dokter umum harus mampu melakukan penanganan. Untuk anemia
megaloblastik, aplastik, hemolitik, dokter umum hanya sampai tahap merujuk serta
mengetahui komplikasi penyakit tersebut. Oleh karena itu, dalam referat ini akan
dibahas mengenai keempat jenis anemia tersebut.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Anemia secara fungsional didefinisikan sebagai penurunan jumlah massa
eritrosit (red cell mass) sehingga tidak dapat memenuhi fungsinya untuk membawa
oksigen dalam jumlah yang cukup ke jaringan perifer.
2.2 Kriteria
Parameter yang paling umum untuk menunjukkan penurunan massa eritrosit
adalah kadar hemoglobin, disusul oleh hematokrit dan hitung eritrosit. Harga normal
hemoglobin sangat bervariasi
KELOMPOK
Laki-laki dewasa
Wanita dewasa tidak hamil
Wanita hamil
KRITERIA ANEMIA
< 13 g/dl
< 12 g/dl
< 11 g/dl
2.3 Klasifikasi
Anemia dapat diklasifikasikan berdasarkan morfologi dan etiologi. Klasifikasi
morfologi didasarkan pada ukuran dan kandungan hemoglobin (Adamson WJ et al,
2005).
No
Morfologi Sel
1. Anemia makrositik
normokromik
Keterangan
Bentuk eritrosit yang
Jenis Anemia
- Anemia Pernisiosa
besar dengan
konsentrasi hemoglobin
2.
3.
Anemia mikrositik
yang normal
Bentuk eritrosit yang
- hipokromik
hemoglobin yang
- Thalasemia
Anemia normositik
menurun
Penghancuran atau
- Anemia aplastik
normokromik
penurunan jumlah
- Anemia posthemoragik
2
- Anemia hemolitik
konsentrasi hemoglobin
merupakan
penyebab
anemia
yang
terbanyak.
Anemia
Fe serum
TIBC
Saturasi transferin
Feritin serum
Defisiensi besi
Rendah
Tinggi
Rendah
Rendah
Inflamasi
Rendah
Normal atau rendah
Rendah
Normal atau tinggi
3
2. Gangguan pematangan
Pada keadaan anemia jenis ini biasanya ditemukan kadar retikulosit yang
rendah, gangguan morfologi sel (makrositik atau mikrositik), dan indeks
eritrosit yang abnormal. Gangguan pematangan dapat dikelompokkan menjadi 2
macam yaitu (Guyton and Hall, 1997):
a. Gangguan pematangan inti
Pada keadaan ini biasanya ditmukan kelainan morfologi berupa makrositik.
Penyebab dari gangguan pematangan inti adalah defisiensi asam folat,
defisiensi vitamin B12, obat-obatan yang mempengaruhi metabolisme DNA
(seperti metotreksat, alkylating agent), dan myelodisplasia. Alkohol juga dapat
menyebabkan gangguan pematangan inti, namun keadaan ini lebih disebabkan
oleh defisiensi asam folat.
b. Gangguan pematangan sitoplasma
Pada keadaan ini biasanya ditmukan kelainan morfologi berupa mikrositik dan
hipokromik. Penyebab dari gangguan pematangan sitoplasma adalah defisiensi
besi yang berat, gangguan sintesa globin (misalnya pada thalasemia), dan
gangguan sintesa heme (misalnya pada anemia sideroblastik)
3. Penurunan waktu hidup sel darah merah
Anemia jenis ini dapat disebabkan oleh kehilangan darah atau hemolisis. Pada
kedua keadan ini akan didapatkan peningkatan jumlah retikulosit. Kehilangan
darah dapat terjadi secara akut maupun kronis. Pada fase akut, belum ditemukan
peningkatan retikulosit yang bermakna karena diperlukan waktu untuk terjadinya
peningkatan eritropoietin dan proliferasi sel dari sumsum tulang. Sedangkan pada
fase kronis gambarannya akan menyerupai anemia defisiensi besi (Guyton and
Hall, 1997).
Gambaran dari anemia hemolitik dapat bermacam-macam, dapat akut maupun
kronis. Pada anemia hemolisis kronis, seperti pada sferositosis herediter, pasien
datang bukan karena keadaan anemia itu sendiri, melainkan karena komplikasi
yang ditimbulkan oleh pemecahan sel darah merah dalam jangka waktu lama,
seperti splenomegali, krisis aplastik, dan batu empedu. Pada keadaan yang
disebabkan karena autoimun, hemolisis dapat terjadi secara episodik (self limiting)
(Guyton and Hall, 1997).
hematokrit x 10
Jumlah eritrosit x 10 6
(N: 90 + 8 fl)
hemoglobin x 10
Jumlah eritrosit x 10 6
(N: 30 + 3 pg)
c. Mean Cell Hemoglobin Concentration (MCHC) =
hemoglobin x 10
Hematokrit
(N: 33 + 2%)
5
E/G ratio
Morfologi sel
Pewarnaan Fe
b. Biopsi
-
Selularitas
Morfologi
Serum feritin digunakan untuk menilai cadangan total besi tubuh. Namun,
feritin juga merupakan suatu reaktan fase akut, dan pada keadaan inflamasi baik
akut maupun kronis, kadarnya dapat meningkat (Guyton and Hall, 1997).
V. Pemeriksaan Sumsum Tulang
Pemeriksaan ini dapat digunakan untuk menilai apakah ada gangguan pada
sumsum tulang misalnya myelofibrosis, gangguan pematangan, atau penyakit
infiltratif. Peningkatan atau penurunan perbandingan dari suatu kelompok sel
(myeloid atau eritroid) dapat ditemukan dari hitung jenis sel-sel berinti pada
suumsum tulang (ratio eritroid dan granuloid).
1. Anemia Defisiensi Besi
Anemia defisiensi besi merupakan jenis anemia yang paling sering ditemukan
terutama di negara berkembang. Penyebabnya antara lain (Adamson WJ et al, 2005):
o Faktor
nutrisi:
rendahnya
asupan
besi
total
dalam
makanan
atau
lambung/kolon,
hemoroid,
infeksi
cacing
tambang,
1. Besi heme, terdapat dalam daging dan ikan. Tingkat absorpsinya tinggi (25% dari
kandungan besinya dapat diserap) karena tidak terpengaruh oleh faktor
penghambat.
2. Besi non-heme, berasal dari tumbuh-tumbuhan. Tingkat absorpsi rendah (hanya 12% dari kandungan besinya yang dapat diserap). Mekanisme absorpsinya sangat
rumit dan belum sepenuhnya dimengerti. Absorpsi sangat dipengaruhi oleh adanya
faktor pemacu absorpsi (meat factors, vitamin C) dan faktor penghambat (serat,
phytat, tanat).
Proses absorpsi besi dibagi menjadi 3 fase (Guyton and Hall, 1997):
o Fase Luminal: besi dalam makanan diolah oleh lambung (asam lambung
menyebabkan heme terlepas dari apoproteinnya) hingga siap untuk diserap.
o Fase Mukosal: proses penyerapan besi di mukosa usus. Bagian usus yang
berperan penting pada absorpsi besi ialah duodenum dan jejunum proksimal.
Namun sebagian kecil juga terjadi di gaster, ileum dan kolon. Penyerapan besi
dilakukan oleh sel absorptive yang terdapat pada puncak vili usus. Besi heme
yang telah dicerna oleh asam lambung langsung diserap oleh sel absorptive,
sedangkan untuk besi nonheme mekanisme yang terjadi sangat kompleks.
Setidaknya terdapat 3 protein yang terlibat dalam transport besi non heme dari
lumen usus ke sitoplasma sel absorptif. Luminal mucin berperan untuk
mengikat besi nonheme agar tetap larut dan dapat diserap meskipun dalam
suasana alkalis duodenum. Agar dapat memasuki sel, pada brush border sel
terjadi perubahan
Fase corporeal: meliputi proses transportasi besi dalam sirkulasi, utilisasi besi
oleh sel yang membutuhkan, dan penyimpanan besi di dalam tubuh.
Dalam sirkulasi, besi tidak pernah berada dalam bentuk logam bebas,
10
B. Sintesis Hemoglobin
Sintesis hemoglobin dimulai sejak stadium pronormoblas, namun hanya
sedikit sekali rantai hemoglobin yang terbentuk. Begitu pula pada stadium normoblas
basofil. Baru pada stadium normoblas polikromatofil sitoplasma sel mulai dipenuhi
dengan hemoglobin ( 34%). Sintesa ini terus berlangsung hingga retikulosit
dilepaskan ke peredaran darah (Bakta I Made, dkk, 2006).
Pada tahap pertama pembentukan hemoglobin, 2 suksinil Ko-A yang berasal
dari siklus krebs berikatan dengan 2 molekul glisin membentuk molekul pirol. Empat
pirol bergabung membentuk protoporfin IX, yang selanjutnya akan bergabung dengan
besi membentuk senyawa heme. Akhirnya setiap senyawa heme akan bergabung
dengan rantai polipeptida panjang (globin) sehingga terbentuk rantai hemoglobin.
Rantai hemoglobin memiliki beberapa sub unit tergantung susunan asam amino pada
polipeptidanya. Bentuk hemoglobin yang paling banyak terdapat pada orang dewasa
adalah hemoglobin A (kombinasi 2 rantai dan 2 rantai ). Tiap sub unit mempunyai
molekul heme, oleh karena itu dalam 1 rantai hemoglobin memerlukan 4 atom besi.
Setiap atom besi akan berikatan dengan 1 molekul oksigen (2 atom O2) (Bakta I
Made, dkk, 2006).
11
Berdasarkan beratnya kekurangan besi dalam tubuh, defisiensi besi dapat dibagi
menjadi 3 tingkatan:
1. Deplesi besi (iron depleted state)
Terjadi penurunan cadangan besi tubuh, tetapi penyediaan
untuk eritropoiesis
belum terganggu. Pada fase ini terjadi penurunan serum feritin, peningkatan
absorpsi besi dari usus, dan pengecatan besi pada apus sumsum tulang berkurang
(Bakta I Made, dkk, 2006).
2. Iron deficient Erythropoiesis
Cadangan besi dalam tubuh kosong, tetapi belum menyebabkan anemia secara
laboratorik karena untuk mencukupi kebutuhan terhadap besi, sumsum tulang
melakukan mekanisme mengurangi sitoplasmanya sehingga normoblas yang
terbentuk menjadi tercabik-cabik, bahkan ditemukan normoblas yang tidak
memiliki sitoplasma (naked nuclei). Selain itu kelainan pertama yang dapat
dijumpai adalah penigkatan kadar free protoporfirin dalam eritrosit, saturasi
transferin menurun, total iron binding capacity (TIBC) meningkat. Parameter lain
yang sangat spesifik adalah peningkatan reseptor transferin dalam serum.
12
sehingga menurunkan imunitas seluler. Terutama bila mengenai ibu hamil, akan
meningkatkan risiko prematuritas dan gangguan partus.
D. Gejala Anemia defisiensi besi
Digolongkan menjadi 3 golongan besar:
1. Gejala Umum anemia (anemic syndrome)
Dijumpai bila kadar hemoglobin turun dibawah 7 gr/dl. Berupa badan lemah,
lesu, cepat lelah, dan mata berkunang-berkunang. Pada anemia defisiensi besi
penurunan Hb terjadi secara bertahap sehingga sindrom ini tidak terlalu
mencolok.
2. Gejala khas defisiensi besi, antaralain:
Koilonychia (kuku seperti sendok, rapuh, bergaris-garis vertikal)
Atrofi papil lidah
Cheilosis (stomatitis angularis)
Disfagia, terjadi akibat kerusakan epitel hipofaring sehingga terjadi
pembentukan web
Atrofi mukosa gaster, sehingga menyebabkan aklorhidria
13
MCHC menurun pada anemia defisiensi besi yang lebih berat dan
berlangsung lama
Bila pada SADT terdapat anisositosis, merupakan tanda awal terjadinya
defisiensi besi
Pada anemia hipokrom mikrositer yang ekstrim terdapat poikilositosis
disertai
penurunan
stadium
berikutnya.
Terdapat
pula
defisiensi besi yang akan memberikan hasil sideroblas negatif (normoblas yang
mengandung granula feritin pada sitoplasmanya, normal 40-60%).
7. Pemeriksaan mencari penyebab defisiensi, misalnya pemeriksaan feses, barium
enema, colon in loop, dll.
14
F. Diagnosis
Tiga tahap mendiagnosa suatu anemia defisiensi besi: 1). Menentukan adanya
anemia 2). Memastikan adanya defisiensi besi 3). Menentukan penyebab defisiensi.
Secara laboratoris dipakai kriteria modifikasi Kerlin untuk menegakkan diagnosa:
anemia hipokrom mikrositer pada SADT ATAU MCV <80 fl dan MCH < 31%
dengan satu atau lebih kriteria berikut:
1. Terdapat 2 dari parameter di bawah ini:
Besi serum <50 mg/dl
TIBC >350 mg/dl
Saturasi ttransferin <15%
2. Feritin serum <20 mg/dl
3. Pengecatan sumsum tulang dengan biru prussia menunjukkan sideroblas negatif
4. Dengan pemberian sulfas ferosus 3x200mg/hari selama 4 minggu terdapat
kenaikan Hb >2 gr/dl
G. Terapi
1. Terapi kausal, untuk mencari penyebab kekurangan besi yang diderita. Bila
tidak dapat menyebabkan kekambuhan.
2. Pemberian preparat besi:
Oral: merupakan pilihan pertama karena efektif, murah, dan aman,
terutama sulfas ferosus. Dosis anjuran 3x200mg/hari yang dapat
meningkatkan eritropoiesis hingga 2-3 kali dari normal. Pemberian
dilakukan sebaiknya saat lambung kosong (lebih sering menimbulkan
efek samping) paling sedikit selama 3-12 bulan. Bila terdapat efek
samping
gastrointestinal
(mual,
muntah,
konstipasi)
pemberian
mg/hari.
Parenteral,misal preparat ferric gluconate atau iron sucrose (IV pelan
atau IM). Pemberian secara IM menimbulkan nyeri dan warna hitam
pada lokasi suntikan. Indikasi pemberian parenteral:
a. Intoleransi terhadap preparat oral
b. Kepatuhan berobat rendah
c. Gangguan pencernaan, seperti kolitis ulseratif (dapat kambuh
dengan pemberian besi)
d. Penyerapan besi terganggu, seperti gastrektomi
e. Kehilangan darah banyak
f. Kebutuhan besi besar yang harus dipenuhi dalam jangka waktu
yang pendek, misalnya ibu hamil trimester 3 atau pre operasi.
Dosis yang diberikan dihitung menurut formula:
Kebutuhan besi (mg) = {(15 Hbsekarang ) x BB x 2,4} + (500 atau 1000)
15
2. Anemia Megaloblastik
A. Definisi
Anemia megaloblastik adalah anaemia yang disebabkan abnormalitas hematopoesis
dengan karakteristik dismaturasi nukleus dan sitoplasma sel mieloid dan eritroid
sebagai akibat gangguan sintesis DNA (Adamson WJ et al, 2005).
B. Etilogi
1. Defisiensi asam folat (Adamson WJ et al, 2005)
a.
Asupan Kurang
-
b.
c.
pirimetamin,
triamteren,
pentamidin,
trimetoprin),
d.
e.
f.
b.
Malabsorbsi
-
c.
C. Patofisiologi
Absorbsi kobalamin di ileum memerlukan faktor intrinsik (FI) yaitu
glikoprotein yang disekresi lambung. Faktor intrinsik akan mengikat 2 melekul
kobalamin1. Proses Absorbsi kobalamin adalah sebagai berikut (Guyton and Hall,
1997):
-
17
Kemudian TC II-Cbl complex diuptake oleh sel, pada sel hepatosit dan sel
epitel pada tubulus proksimal ginjal, berikatan dengan TC II receptor dan
kobalamin dilepaskan ke dalam sel
Dalam sel ini, kobalamin dirubah menjadi bentuk koenzim, koenzim inilah
yang berperan dalm sintesin DNA, methyl-Cbl dan 5'-deoxyadenosyl-Cbl
berperan dalam mengkonversi homosistein ke metionin, dan metilmalonil
CoA ke suksinil CoA.
yang
mengakibatkan
defisiensi
kobalamin.
Defisiensi
kobalamin
18
Bisanya penderita
datang berobat karena keluhan neuropsikiatri, keluhan epigastrik, diare dan biukan
oleh keluhan aneminya. penyakit biasanya terjadi perlahan-lahan. Keluhan lain berupa
rambut cepat memutih, lemah badan, penurunan berat badan. Pada defisiensi B12,
diagnosis ditegakkan rata-rata setelah 15 bulan dari onset gejala, biasanya didapatkan
20
triad : lemah badan, sore tongue, parestesi sampai gangguan berjalan. Pada Anemia
megaloblastik ditemukan :
-
SADT : eritrosit yang besar berbentuk lonjong, trombosit dan lekosit aga
menurun, hipersegmentasi netrofil, Giant stab-cell, retikulosit menurun.
G. Diannosis Banding
-
Leukemia akut
Eritroleukemia
Hipotiroidisme
Nefritis kronis
H. Terapi
1. Suportif : - transfusi bila ada hipoksia
- suspensi trombosit bila trombositopenia mengancam jiwa
2. Defisiensi B12 : Pemberian sianokobalamin atau hidroksokobalamin.
3. Defisiensi asam folat : Pemberian asam folat 1mg/hari selama 2-3 minggu,
kemudian dosis pemeliharaan 0,25-0,5 mg/hari
4. Terapi penyakit dasar
5. Menghentikan obat-obat penyebab anemia megaloblastik.
3. Anemia Aplastik
A. Definisi
Anemia anaplastik merupakan anemia yang ditandai dengan pansitopenia (penurunan
jumlah sel-sel darah yaitu eritrosit, leukosit, dan trombosit) dan hiposelularitas dari
sumsum tulang. Anemia aplastik merupakan kegagalan hemopoiesis yang jarang
ditemukan namun berpotensi membahayakan jiwa (Adamson WJ et al, 2005).
B. Epidemiologi
21
Insidesi anemia aplastik didapatkan bervariasi di seluruh dunia dan berkisar antara 2
sampai 6 kasus per satu juta penduduk per tahun. Anemia aplastik yang didapat
umumnya uncul pada usia 15 sampai 25 tahun dan puncak insiden kedua yaitu setelah
usia 60 tahun. Pada umumnya resiko bagi pria dan wanita untuk menderita anemia
aplastik adalah sama (Adamson WJ et al, 2005).
C. Etiologi
Penyebab anemia aplastik pada umumnya adalah idiopatik (kurang lebih pada 75%
kasus), namun selain itu anemia aplastik juga dapat disebabkan oleh (Adamson WJ et
al, 2005):
a. Didapat
1. Radiasi
2. Bahan Kimia : benzen, arsen
3. Obat-obatan : klorampenikol, obat-obat kemoterapi (6-merkaptopurin,
vinkristin, busulfan), fenilbutazon, antikonvulsan, senyawa sulfur, emas.
4. Infeksi: virus hepatitis (non-A, non-B, non-C), Epstein Barr Virus,
Parvovirus B19, HIV, sitomegalovirus
5. Kelainan Imunologis : eosinophillic fascitis
6. Kehamilan
d.
D. Klasifikasi
Berdasarkan derajat pansitopenia darah tepi, anemia aplastik dapat diklasifikasikan
sebagai berikut (Widjanarko A dkk, 2006):
Klasifikasi
Anemia aplastik berat
1. selularitas sumsum tulang
Kriteria
< 25%
22
E. Patofisiologi
Karakteristik dari anemia aplastik adalah hiposelular dari sumsum tulang yang
digantikan oleh jaringan lemak. Anemia aplastik dihipotesiskan sebagai suatu
penyakit autoimun terhadap sel benih hematopoietik. Menurut penelitian, supresi dari
sel-sel hemopoiesis disebabkan oleh sel T sitotoksik yang teraktivasi. Sel T ini akan
menghasilkan interferon gamma (IFN-) dan tumor necrosis factor (TNF) yang
bersifat menginhibisi langsung sel- sel hemopoietik.
Supresi hematopoietik oleh IFN- dan TNF juga merangsang reseptor Fas
pada sel hemopoietik CD34 sehingga menghasilkan tiga proses. Pertama,
perangsangan reseptor Fas akan menginduksi terjadinya apoptosis. Kedua, akan
terjadi induksi produksi dari nitric oxide synthetase dan nitrit oksida oleh sumsum
tulang sehingga terjadilah sitotoksisitas yang diperantarai oleh sistem imun. Ketiga,
perangsang reseptor Fas akan mengaktivasi jalur intraseluler yang menyebabkan
penghentian siklus sel.
Selain itu, sel T sitotoksik juga menghasilkan interleukin-2 (IL-2) yang
beeerfungsi mengaktifkan klon-klon sel T yang kemudian juga akan mengeluarkan
TNF dan IFN- dan menginhibisi sel-sel hemopoietik (Guyton and Hall, 1997).
23
pula adanya
24
3. Faal hemostasis
Waktu
perdarahan
memanjang
dan
retraksi
bekuan
memburuk
karena
trombositopenia
4. Pemeriksaan etiologi virus
H. Diagnosa
Diagnosa dapat ditegakkan bila memenuhi kriteria dibawah ini:
1. jumlah granulosit < 500/ L
2. Jumlah platelet <20.000/ L
3. Hitung retikulosit < 40 x 109/L
4. Selularitas sumsum tulang <25%
I. Terapi
1. Menghindari kontak dengan toksin/ obat penyebab
2. Umum: menghindari kontak dengan penderita infeksi, isolasi, menggunakan
sabun antiseptik, sikat gigi lunak, obat pelunak buang air besar, pencegahan
menstruasi: obat anovulatoir
3. Transfusi:
1. PRC
2. Trombosit: profilaksis pada penderita dengan trombosit <10.000-20.000/mm3.
Bila terdapat infeksi, perdarahan, demam, maka diperlukan transfusi pada kadar
trombosit yang lebih tinggi.
3. Granulosit : tidak bermanfaat sebagai profilaksis. Dapat dipertimbangkan
pemberian 1 x 1010 neutrofil selama 4-7 hari pada infeksi bakterial yang tidak
berespon dengan pemberian antibiotik
4. Penanganan infeksi
25
rh
GM-CSF
(rekombinan
Human
Granulocyte-Macrophage
Colony
Stimulating Factor)
J. Prognosis
Tergantung pada tingkatan hipoplasia, makin berat prognosis makin jelek.
Pada umumnya penderita meninggal karena infeksi, perdarahan atau akibat dari
komplikasi transfusi.
26
Prognosa dari anemia aplastik akan menjadi buruk bila ditemukan 2 dari 3
kriteria berupa jumlah neutrofil <500/uL, jumlah platelet <20,000/uL, and corrected
reticulocyte count <1% (atau absolute reticulocyte count <60,000/uL).
Perjalanan penyakit bervariasi, 25% penderita bertahan hidup selama 4 bulan,
25% selama 4-12 bulan, 35% selama lebih dari 1 tahun, 10-20% mengalami perbaikan
spontan (parsial/komplit).
4. Anemia Hemolitik
Anemia
hemolitik
peningkatan
Hemoglobinopati lain
27
afinitas
hemoglobin
terhadap
oksigen,
dan
secara
parsial
28
Gambar 9 : Glikolisis
1.
2.
3.
pada eritrosit individu yang sehat, pembentukan ion superoksida yang terjadi
terus menerus dari oksidasi nonenzimatik hemoglobin merupakan sumber
spesies oksigen reaktif. Sistem pertahan glutation terganggu akibat defisiensi
glukosa 6-fosfat dehidrogenase, infeksi, obat-obatan tertentu, dan glikosida
purin pada buncis fava.
5.
adanya kompensasi dengan peningkatan sel darah merah oleh sumsum tulang. Jika
destruksi sel darah masih dalam kapasitas sumsum tulang untuk meningkatkan output,
maka akan terjadi suatu keadaan hemolitik tanpa anemia. Ini disebut sebagai
compensated haemolytic disease. Sumsum tulang bisa meningkatkan outputnya
sebanyak 6 hingga 8 kali lipat dengan meningkatkan proposi sel untuk eritropoiesis
(erythroid hyperplasia) dan dengan menambah volume untuk aktivitas sumsum
tulang. Ditambah dengan pelepasan prematur sel darah merah immatur (retikulosit).
Sel tersebut lebih besar dari sel yang matur dan mewarnai dengan biru muda pada
apus darah tepi. Hasil tersebut disebut sebagai polychromasia. Retikulosit dapat
dihitung secara akurat sebagai persentase dari semua sel darah merah pada apus darah
dengan menggunakan pewarnaan supravital untuk RNA residual. (cth; methylene
biru) (Adamson, John W, 2005).
C. Lokasi Hemolisis
29
1. Hemolisis Ekstravaskular
Pada kebanyakan kondisi hemolitik, destruksi sel darah merah adalah di
ekstravaskular. Sel darah merah disingkirkan dari sirkulasi oleh makrofag di RES,
khususnya lien.
2. Hemolisis Intravaskular
Apabila sel darah merah terdestruksi dalam sirkulasi, hemoglobin terlepas dan
akan terikat pada haptoglobin plasma tetapi mengalami saturasi. Hb plasma bebas
yang banyak ini akan difiltrasi oleh glomerulus ginjal dan masuk ke urin, walaupun
sebagian kecil direabsorbsi oleh tubulus renal. Dalam sel tubular renal, Hb pecah dan
terdeposit di sel sebagai haemosiderin. Sebagian Hb plasma yang bebas dioksidasi
menjadi methemoglobin, yang berpecah lagi menjadi globin dan ferrihaem.
Hemopexin plasma mengikat ferrihaem namun jika kapasitas pengikatannya melebihi
maka ferrihaem bersatu dengan albumin membentuk methaemalbumin. Hati berperan
penting dalam mengeliminasi Hb yang terikat dengan haptoglobin dan haemopexin
dan sisa Hb bebas.
C. Bukti hemolisis
Peningkatan destruksi sel darah merah menyebabkan;
4. peningkatan bilirubin serum (unconjugated)
5. kelebihan urobilinogen urin ( akibat pemecahan bilirubin di intestinal)
6. penurunan haptoglobin plasma
7. kenaikan LDH serum
Peningkatan produksi sel darah merah menyebabkan ;
1. retikulositosis
2. hiperplasia eritroid dari sumsum tulang
Pada beberapa anemia hemolitik terdapat sel darah merah abnormal seperti ;
1. sferosit
2. sickle sel
3. fragmen sel darah merah
D. Tanda dan Gejala Klinis
Dapat asimptomatik, maupun akut dan berat. Pada bentuk berat dan akut, pada
umumnya
berupa :
1. Mendadak mual, panas badan, muntah, menggigil, nyeri perut, pinggang dan
ekstrimitas, lemah badan, sesak nafas, pucat
30
2. Gangguan kardiovaskuler
3. BAK warna merah/gelap
Bentuk kronis, keluhan lemah badan berlangsung dalm periode beberapa
minggu sampai bulan. Bentuk asimptomatik biasanya tanpa gejala. Bentuk sedang
berat : pucat, subikterik, splenomegali, petekhie, purpura (Sindrom Evans), hemolisis
kongenital. Dapat terjadi komplikasi berupa kolelitihiasis/kolesistitis, hepatitis pasca
transfusi, hemokromatosis.
F. Diagnosis Banding
-
Anemia pernisiosa
Eritroleukemi
Anemia aplastik
Myelofibrosis
G. Terapi
1.
Tergantung etiologi
a) Anemia Hemolitik autoimun :
-
meningkat,
Hb
setelah
meningkat
hari,
2-3 gr %/minggu.
Splenoktomi
pemberian glukokortikoid
-
Imunosupresif :
memungkinkan splenoktomi
-
Plasmaferess
2.
Bila perlu transfusi darah : washed red cell (pada hemolitik autoimun) atau
packed red cell
3.
32
DAFTAR PUSTAKA
Adamson WJ et al, 2005, Anemia and Polycythemia in Harrisons Principles of
Internal Medicine 16th edition ; NewYork : McGraw Hill.
Adamson, John W, 2005, Iron Deficiency and Other Hypoproliferative Anemias in
Harrisons Principles of Internal Medicine 16th edition ; NewYork : McGraw Hill.
Bakta I Made, dkk, 2006, Anemia Defisiensi Besi dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam jilid II edisi IV ; Jakarta : FKUI.
Cotran et al, 1999, Red Cell and Bleeding Disorders in Robbins Pathologic Basis Of
Disease 6th edition ; USA : Saunders.
Guyton and Hall, 1997, Sel-Sel Darah Merah, Anemia dan Polisitemia dalam Buku
Ajar Fisiologi Kedokteran edisi IX, Jakarta : EGC.
Mansen T J et al, 2006, Alteration of Erythrocyte function in Pathophysiology : The
Biologic Basis for Disease in Adults and Children 5th edition ; USA : Mosby.
Marks, Dawn B. Biokomia Kedokteran Dasar, Sebuah Pendekatan Klinis. Jakarta:
EGC; 2000.
Murray, Robert K. Biokimia harper, 24ed. Jakarta: EGC; 1999.
Supandiman I dan Fadjari H, 2006, Anemia Pada Penyakit Kronis dalam Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam jilid II edisi IV ; Jakarta : FKUI.
Supandiman I dkk, 2003, Pedoman Diagnosis dan Terapi Hematologi Onkologi medik
; Bandung : Q Communication .
Transcellular transport of cobalamin (Cbl; vitamin B12) in an ileal cell : Expert
Reviews
in
Molecular
Medicine,
Accession
download
from
http://www.expertreviews.org.
Weiss G and Goodnough, 2005, Anemia of Chronic Disease, download from
www.nejm.org on june 22, 2006.
Widjanarko A dkk, 2006, Anemia Aplastik dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam
jilid II edisi IV ; Jakarta : FKUI.
33