Disusun oleh:
FARIS AUZAN GHIFFARI
110110130334
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS PADJADJARAN
JALAN DIPATIUKUR NO. 35
BANDUNG
PENDAHULUAN
DPR RI merupakan lembaga dewan perwakilan rakyat yang memiliki fungsi legislasi,
anggaran, dan pengawasan. Untuk melaksanakan fungsinya tersebut DPR RI memilki hak dan
wewenang, antara lain : hak interpelasi, hak budget, hak angket, hak menyatakan pendapat. Selain itu,
anggota DPR RI memiliki hak yang dapat di gunakan antara lain: hak mengajukan pertanyaan, hak
mengajukan usul dan pendapat, hak memilih dan di pilih, hak membela diri, hak imunitas, hak
protokoler, dan hak hak yang lainnya.
Ada beberapa persoalan yang menyangkut anggota DPR.
Pertama. Sebagai lembaga terhormat DPR tidak lepas dari cacian public. Ini di sebabkan,
prilaku anggota DPR yang tidak mentaati aturan/etika dan peraturan perundang-undangan yang
berlaku, sehingga banyak anggota DPR dari berbagai partai politik yang terlibat tindak pidana korupsi
dan banyak pula anggota DPR yang sudah di vonis bersalah melakukan korupsi dan di penjarakan. 1
Kedua. Kemudian banyak anggota DPR yang tidak memiliki kemampuan legislasi. Mungkin
ini di sebabkan perekutan (rekrutmen politik) calon anggota dewan oleh partai politik yang
bersangkutan tidak berjalan sebagaimana mestinya.2
Ketiga. Hal yang juga mengejutkan, rendahnya iman dan moral anggota dewan yang terlibat
dalam persoalan tindakan asusila, terlibat narkoba, dan bentrookan fisik sesame anggota dewan
dengan di sertai kata-kata kasar dan kotor, sering juga terlontar dari mulut anggota dewan. Jadi dalam
persoalan ini anggota dewan tersebut tidak dapat menjaga kehormatannya selaku anggota dewan yang
terhormat dan sekaligus merusak marwah lembaga DPR. 3
Keempat. Begitu juga, rendahnya kinerja anggota DPR, baik dalam melaksanakan tugasnya
maupun dalam memenuhi kewajibannya sebagai wakil rakyat, yakni memperjuangkan aspirasi rakyat.
Masyarakat dapat menilai, bahwa anggota DPR lebih banyak memperjuangkan partai politiknya dan
kepentingan pribadinya semata. 4
Kelima. Demikian pula di lembaga DPR, mengalami sejumlah kemelut kasus dan penurunan
citra selama triwulan terakhir. Sejumlah presepsi terkait kasus hokum membelit lembaga tersebut.
Salah satu yang pali menonjol adalah gesekan kepentingan antar lembaga Negara setelah pencalonan
Komisaris Jendral Budi Gunawan sebagai kaporli. Konflik yang tampak mengedepankan aspek
kewenangan sektoral yang di miliki lembaga tersebut menyebabkan citra lembaga DPR itu cenderung
menurun.5
1 Darmawan, Cecep. Pengaruh pemberdayaan anggota DPRD, Program Pasca
Sarjana UNPAD Bandung, 2009
2 Ramalan Surbakti, Memahami Ilmu Politik, Penerbit PT. Gramedia, Jakarta,
1992, hlm 118
3 Ibid hlm 118
4 Ibid hlm 118
5 Harian Kompas, halaman 4 tanggal 4 Mei 2015
Sistem pemerintah presidensial memang memberikan kekuasaan yang besar kepada Presiden
sebagai kepala pemerintahan dan sebagai kepala Negara, terutama karena Presiden tidak bertanggung
jawab kepada parlemen dan karena itu tidak dapat di jatuhkan oleh parlemen. Tetapi itu tidak berarti
bahwa kekuasaan Presiden adalah tidak terbatas. System pemerintahan menurut UUD 1945 tidaklah
Presiden atau executive-heavy. Presiden adalah neben-goerdnet dengan DPR, artinya kedua lembaga
tinggi ini berdiri sederajat sama tinggi. UUD 1945 mengandung keseimbangan antara Presiden dan
DPR. Adanya ketentuan UUD 1945 pasal 5 ayat 1 yaitu bahwa Presiden memegang kekuasaan
membentuk undang-undang dengan persetujuan DPR, dan ketentuan pasal 23 ayat 1 yaitu bahwa
Anggaran Pendapatan Belanja Negara di tetapkan tiap-tiap tahun dengan undang-undang, dua buah
ketentuan tersebut memaksa Presiden untuk selalu bekerja sama dengan DPR dan untuk
memperoleh persetujuan DPR dalam pembentukan undang-undang termasuk undang-undang APBN. 8
Tanpa bekerja sama dengan dan tanpa persetujuan DPR, Presiden tidak akan memperoleh
undang-undang yang di perlukan untuk menjalankan kekuasaan pemerintah (pasal 4 ayat 1) dan tanpa
undang-undang yang di perlukan itu, khusus nya undang-undang APBN dan U.U organik untuk
melaksanakan pasal-pasal UUD 1945 serta undang-undang lainnya, Presiden akan lumpuh tidak
mampu melaksanakan kekuasaan pemerintahan. Itulah mengapa penjelasan UUD 1945 tentang
system pemerintah Negara menegaskan lagi bahwa Presiden harus bekerja bersama-sama dengan
DPR. Bekerja bersama-sama dengan DPR , berarti tidak menekan, tidak medominasi dan tidak
menguasai DPR. 9
6 Moch. Nurhasim & Ikrar Nusa Bakti, Sistem Presidensial dan Sosok Presiden
Ideal, cetakan I, 2009. Hlm 23
7 A. Dahlan Ranuwihardjo S.H., Seminar Nasional, Format Lembaga Kepresidenan
Menuju Demokratisasi
Kehidupan Politik Dimasa Depan. Hlm 5
8 Ibid. Hlm 5
Jika misalnya DPR tidak menyetujui suatu kebijaksanaan pemerintah, bagaimana lalu sikap
pemerintah? Apakah terus saja melaksanakan kebijaksanaan tersebut meskipun tidak di setujui oleh
DPR? tentulah amat terpuji, jika dalam kasus terjadinya perbedaan pendirian antara pemerintah dan
DPR itu, lalu di upayakan perundingan/musyawaroh untuk mencari titik temu atau kompromi tidak
juga di temukan lalu bagaimana? Sepanjang sikap DPR tidak menyetujui kebijaksanaan pemerintah
itu di landasi UUD 1945, GBHN, undang-undang atau peraturan lainnya, maka pemerintahlah yang
harus mundur dan meninjau kembali kebijaksanaan yang tidak di setujui oleh DPR atau menghentikan
pelaksanaannya, jika sudah mulai di laksanakan. 10
Penjelasan UUD 1945 tentang system pemerintahan Negara menegaskan bahwa kekuasaan
Presiden bukannya tak terbatas. Meskipun Presiden tidak bertanggung jawab kepada DPR , melainkan
kepada MPR, namun menurut penjelasan tersebut, Presiden harus memperhatikan sungguh-sungguh
suara Dewan Perwakilan Rakyat. 11
Memperhatikan sungguh-sungguh suara DPR Artinya bukan sekedar mendengarkan atau
telah membaca suara DPR, melainkan tidak melakukan/meneruskan kebijaksanaan yang tidak di
setujui oleh DPR, alias harus menyesuaikan diri dengan suara DPR. 12
Mengapa pemerintah harus menyesuaikan diri dengan suara DPR? karena seperti yang di
terangkan dalam penjelasan UUD 1945: kedudukan DPR adalah kuat. DPR tidak bisa di
bubarkan oleh Presiden (berlainan dengan sistem parlementer). Kecuali itu anggota-anggota DPR
semuanya merangkap menjadi anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat. Oleh karena itu DPR dapat
senantiasa mengawasi tindakan-tindakan Presiden dan jika DPR menganggap bahwa Presiden
sungguh melanggar halauan Negara yang telah di tetapkan oleh undang-undang dasar atau oleh
Majelis Permusywaratan Rakyat, maka majellis itu dapat di undang untuk persidangan istimewa agar
supaya bisa meminta pertanggungan jawab kepada Presiden. 13
Jadi kalau dalam kasus terjadinya perbedaan pendirian antara pemerintah dan DPR, pemerintahlah
yang harus mundur, hal ini adalah karena adanya kemungkinan yang terkandung dalam penjelasan
tersebut, yaitu bahwa atas sikap pemerintah yang membangkang itu, DPR akan bertindak lanjut
memanggil sidang istimewa MPR untul meminta pertanggungan jawab Presiden. 14
Implikasi yang terkandung dalam penjelasan UUD 1945 tersebut, yaitu bahwa Presiden harus
memperhatikan sungguh-sungguh suara DPR, yang berarti bahwa pemerintah harus menyesuaikan
diri dengan suara DPR, Implikasinya adalah bahwa dalam menjalankan fungsi mengawasi tindakantindakan Presiden, seperti yang tercantum dalam penjelasan yang diatas, DPR dalam menjalankan
pengawasan tersebut dapat menyatakan tidak setuju terhadap suatu kebijakasanaan pemerintah,
9 Ibid. Hlm 5
10 Ibid. Hlm 5
11 Ibid. Hlm 6
12 Ibid. Hlm 6
13 Ibid. Hlm 6
14 Ibid. Hlm 7
DPR terdiri atas anggota partai politik peserta pemilihan umum yang dipilih berdasarkan hasil
pemilihan umum. Hal-hal yang berkenaan dengan keanggotaan, adalah sebagai berikut :
a.
b.
c.
d.
Masa sidang adalah masa pada saat DPR malakukan kegiatan, terutama didalam gedung
DPR.
Masa reses adalah masa DPR melakukan kegiatan diluar masa sidang, terutama diluar
gedung DPR. Misalnya, malaksanakan kunjungan kerja, baik yang dilakukan oleh anggota
secara perseorangan maupun secara berkelompok, ketempat daerah pemilihan (dapil) masingmasing.
Sidang pada hari permulaan tahun sidang yang merupakan rapat paripura, acara pokoknya
adalah pidato kenegaraan Presiden. Apabila pada sidang tersebut presiden berhalangan hadir, pidato
kenegaraan akan disampaikan oleh wakil presiden.
2. Bagaimana kekuasaan DPR membentuk Undang-Undang
Perubahan UUD 1945 membawa pengaruh yang cukup besar terhadap kekuasaan DPR dalam
membentuk undang-undang. Penjabaran dari rumusan naskah asli dan rumusan setelah diamandemen
adalah sebagai berikut
Rumusan naskah asli
Pasal 20
(1) Tiap-tiap undang-undang menghendaki persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.
(2) Jika sesuatu rancangan tadi tidak boleh dimajukan lagi dalam persidangan Dewan
Perwakilan Rakyat masa itu.
Rumusan perubahan
Pasal 20
(1) Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang-undang.
(2) Setiap rancangan undang-undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden
untuk mendapat persetujuan bersama.
(3) Jika rancangan undang-undang itu tidak dapat persetujuan bersama, rancangan undangundang itu tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan Dewan Perwakilan Rakyat masa itu.
(4) Presiden mengesahkan rencangan undang-undang yang telah disetujui bersama untuk
menjadi undang-undang.
(5) Dalam hal rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama tersebut tidak disahkan
oleh presiden dalam waktu tiga puluh hari semenjak rancangan undang-undang disetujui.,
rancangan undang-undang tersebut sah menjadi undang-undang dan wajib diundangkan.
Jika diperhatikan, perubahan pasal 20 UUD 1945 telah mengubah peran DPR. Jika
sebelumnya DPR hanya berugas membahas dan memberikan persetujuan terhadap rancangan undangundang, sekarang menjadi lembaga yang memegang kekuasaan membentuk undang-undang.
Pergeseran kewenangan membentuk undang-undang, yang sebelumnya di tangan presiden
dialihakan kepada DPR, merupaka langkah konstitusional. Yang antara lain untuk meletakan secara
tepat fungsi lembaga Negara sesuai dengan bidang tugasnya. Dalam hal ini DPR memegang
kekuasaan legislatif, sedangkan presiden memegang kekuasaan eksekutif.
Walaupun demikian, UUD 1945 juga mengatur kekuasaan presiden di bidang legislatif.
Contoh :
Dalam pasal 20 ayat (2) UUD 1945 ada ketentuan bahwa pembahasan setiap rancangan
undang-undang (RUU) oleh DPR bersama-sama dengan presiden.
Jadi makna pergeseran kewenangan membentuk undang-undang tersebut:
a. Ditinggalkannya teori pembagian kekuasaan (distribution of power) dengan prinsip supremasi
MPR, dan
b. Menjadi pemisahan kekuasaan (separation of power) dengan prinsip saling mengawasi dan
saling mengimbangi (checks and balances).
(8)
(9)
(10)
(11)
(12)
(13)
(14)
(15)
(16)
penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, sumber daya alam dan sumber daya
ekonomi lainnya. Pelaksanaan APBN, pajak, pendidikan, dan agama.
Memilih anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dengan memerhatikan pertimbangan
DPD.
Membahas dan menindaklanjuti hasil pemeriksaan atas pertanggungjawaban keuangan
Negara yang disampaikan oleh Badan Pemeriksa Keuangan.
Memberikan persetujuan kepada presiden atas pengangkatan dan pemberhentian anggota
Komisi Yudisial (KY).
Memberikan persetujuan calon hakim agung yang diusulkan Komisi Yudisial untuk di
tetapkan sebagai hakim agung oleh presiden.
Memilih tiga orang calon anggota hakim konstitusi dan mengajukannya kepada presiden
untuk ditetapkan.
Memberikan pertimbangan kepada presiden untuk mengangkat duta, menerima penempatan
duta Negara lain, dan memberikan pertimbangan dalam pemberian amnesty dan abolisi.
Memberikan persetujuan kepada presiden untuk menyatakan perang, membuat perdamaian,
dan perjanjian internasional lainnya yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi
kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan Negara dan /atau pembentukan
undang-undang .
Menyerap, menghimpun, menampung, dan menindaklanjuti aspirasi masyarakat.
Melaksanakan tugas dan wewenang lainnya yang di tentukan dalam undang-undang.
b. Hak DPR
Berdasarkan ketentuan pasal 20A ayat (2) DPR mempunyai hak interpelasi, hak angket, dan
hak menyatakan pendapat. Jadi makna dari ketiga hak DPR tersebut.
(1) Hak Interpelasi adalah hak DPR untuk meminta keterangan kepada pemerintah mengenai
kebijakan pemerintah yang penting dan strategis serta berdampak luas pada kehidupan
bermasyarakat dan bernegara.
(2) Hak angket adalah hak DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap kebijakan pemerintah
yang penting dan strategis serta berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat dan bernegara
yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
(3) Hak menytakan pendapat adalah hak DPR sebagai lembaga untuk menytakan pendapat
terhadap kebijakan pemerintah atau mengenai kejadian luar biasa yang terjadi di tanah air
atau situasi dunia internasional disertai dengan rekomendasi penyelesaian atau sebagai tindak
lanjut pelaksanaan:
hak interpelasi ,
hak angket,
dugaan bahwa presiden dan/atau wakil presiden melakukan pelanggaran hukum berupa
pengkhianatan terhadap Negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya atau
perbuatan tercela maupun tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden dan/atau wakil
presiden.
c. Hak anggota DPR
Di samping DPR, anggota DPR juga mempunyai hak tertentu. Hak-hak anggota DPR adalah
sebagai berikut :
(1) Mengajukan rancangan undang-undang . hak ini dimaksudkan untuk mendorong, memacu
kreativitas, semangat dan kualitas anggota DPR dalam menyikapi serta menyalurkan dan
menindaklanjuti aspirasi rakyat yang diwakilinya dalam bentuk pengajuan usul rancangan
undang-undang.
(2) Mengajukan pertanyaan. Hak anggota DPR untuk menyampaikan pertanyaan baik secara
lisan maupun tertulis kepada pemerintah berkaitan dengan tugas dan wewenang DPR.
(3) Menyampaiakan usul dan pendapat. Hak anggota DPR untuk menyampaikan usul dan
pendapat secara leluasa baik kepada pemerintah maupun kepada DPR sendiri sehingga ada
jaminan kemandirian sesuai dengan panggilan hati nurani serta kredibilitasnya.
Oleh karena itu, setiapa anggota DPR tidak dapat di arahkan oleh siapapun didalam proses
pengambilan keputusan. Namun, tatacara penyampaian usul dan pendapat dimaksud tetap
memerhatikan tatakrama, etika, moral,sopan santun, dan kepatutan sebagai wakil rakyat.
(4) Memilih dan dipilih. Hak memilih adalah hak anggota DPR untuk menggunakan suaranya
dalam suatu kegiatan pemilihan. Hak dipilih adalah hak anggota DPR untuk mencalonkan diri
untuk dipilih dalam suatu kegiatan pemilihan.
(5) Membela diri. Hak anggota DPR untuk membela diri dari segala tuduhan yang ditujukan
pada dirinya dalam sidang pengadilan.
(6) Imunitas. Hak imunitas atau hak kekebalan hokum angota DPR adalah hak untuk tidak dapat
di tuntut dimuka pengadilan karena pernyataan dan pendapat yang disampaikan dalam rapatrapat DPR dengan pemerintah dan rapat-rapat DPR lainnya sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
(7) Protokoler. Hak protokeler adalah hak anggota DPR untuk memperoleh penghormatan
berkenaan dengan jabatannya dalam acara-acara kenegaraan atau acra resmi maupun dalam
melaksakan tugasnya.
(8) Keuangan dan administratif. Hak anggota DPR untuk memperoleh gaji, uang kehormatan,
dan tunjangan lain berdasarkan ketentuan yang berlaku.
Badan legislasi
Komisi
Gabungan komisi
Tiga belas orang anggota DPR
Usul RUU yang diajukan oleh badan legislasi (baleg), komisi, gabungan komisi ataupun
anggota diserahkan kepada pimpinan DPR beserta dengan keterangan pengusul atau naskah akademis.
Dalam sidang paripurna selanjut, pimpinan sidang akan mengumumkan kepada anggota tentang
adanya RUU yang masuk. Kemudian RUU tersebut dibagikan kepada seluruh anggota. Sidang
paripurna akan memutuskan apakah RUU tersebut secara prinsip dapat diterima sebagai RUU dari
DPR atau tidak. Fraksi-fraksi di beri kesempatan untk memberikan pendapat sebelum adanya
kepetusan diterima atau tidaknya RUU.
Keputusan rapat paripurna terhadap suatu usul RUU dapat berupa :
a. Persetujuan tanpa perubahan
b. Persetujuan dengan perubahan
c. Penolakan
Apabila usul RUU disetujui dengan perubahan, DPR akan menugaskan kepada komisi, baleg,
ataupun panita khusus (Pansus) untuk menyempurnakan RUU tersebut.
Namun, apabila RUU di setujui tanpa perubahan taua RUU telah selesai disempurnakan oleh
komisi, baleg, ataupun pansus, maka :
a. RUU tersebut disampaikan kepada presiden dan pimpinan DPD (dalam hal RUU yang diajukan
berhubungan dengan kewenangan DPD)
b. Presiden harus menunjuk seorang menteri yang akan mewakilinya dalam pembahasan, paling
lambat 60 hari setelah diterimanya surat dari DPR; dan
c. DPD harus menunjuk alat kelengkapan yang akan mewakili DPD dalam proses pembahasan.
5. Bagaimana Tatacara penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Ketentuan mengenai tatacara penetapan peraturan pemerintah pengganti Undang-undang
tidak mengalami perubahan rumusannya sebagai berikut:
Pasal 22
(1) Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, presiden berhak menetapakan peraturan
pemerintah sebagai pengganti undag-undang.
(2) Peraturan pemerintah itu harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dalam
persidangan yang berikut.
(3) Jika tida mendapat persetujuan, maka peraturan pemerintah itu harus dicabut.
Berdasarkan ketentuan diatas , maka Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
(atau disingkat Perppu) adalah perturan perundang-undangan yang ditetapkan oleh presiden dalam
hal ihwal kegentingan yang memaksa. Materi muatan peraturan pemerintah pengganti undang-undang
adalah sama dengan materi muatan undang-undang.
Perppu ditanda tangani oleh presiden. Setelah diundangkan, perppu harus diajukan ke DPR
dalam persidangan yang berikut, dalam bentuk pengajuan RUU tentang penetapan perppu menjadi
undang-undang dilaksanakan melalui mekanisme yang sama dengan pembahasan RUU. DPR hanya
dapat menerima atau menolak perppu.
Jika perppu di tolak DPR, maka perppu tersebut tidak berlaku, dan presiden mengajuakan
RUU tentang pencabutan perppu tersebut, yang dapat pula mengatur segala akibat dari penolakan
tersebut.
6. Bagaimana Tatacara pembentukan Undang-Undang
Sebelum perubahan UUD 1945, tidak ada pasal yang mengatur tentang tatacara pembentukan
undang-undang. Akan tetapi, setelah perubahan UUD 1945, tatacara pembentukan undang-undang di
atur satu pasal, yaitu pasal 22A UUD 1945. Rumusannya sebagai berikut.
Pasal 22A
Ketentuan lebih lanjut tentang tatacara pembentukan undang-undang diatur dengan undang-undang
Lahirnya ketentuan tersebut didasarkan pada pemikiran bahwa undang-undang yang
dikeluarkan itu akan berlaku umum bagi seluruh masyarakat. Setelah diberlakukan kepada masyarakat
undang-undang akan menyangkut akibat hokum yang luas. Oleh karena itu, pembentukannya harus
diatur dengan tatacara yang baku dan lengkap. Oleh karena itu, perlu diatur lebih lanjut dengan
undang-undang.
Secara formal RUU, dirancang oleh :
a. Presiden
b. DPR
c. DPD
b. Sebelum pimpinan DPR menyampaikan pemberhentian anggota kepada presiden pimpinan DPR
dapat meminta pertimbangan kepada Komisi Pemilihan Umum.
c. Pemberhentian anggota sebagaimana dimaksud dilakukan setelah diadakan penyelidikan,
verifikasi, dan pengambilan keputusan oleh Badan Kehormatan atas pengaduan pimpinan DPR,
masyarakat, dan/atau pemilih.
d. Anggota yang berhenti atau diberhentikan antar waktu, digantikan oleh calon pengganti sesuai
dengan ketentuan peratuan perundang-undangan.
Perlunya pembentukan Komisi Konstitusi, untuk mengkaji ulang UUD 1945 hasil
amandemen.
Hendaknya dalam mengamandemen UUD 1945, harus benar-benar diperhatikan mukadimah/
preambul UUD 1945, sehingga antara mukadimah/preambul dan isi batang tubuh dari UUD
1945 sejiwa, selaras atau linier.
Bangsa Indonesia harus kembali kepada Pancasila, karena pancasila adalah dasar negara,
ideologi negara dan falsafah/pandangan hidup bangsa indonesia. Dan pancasila lebih baik
daripada demokrasi liberal.
Daftar Pustaka
1. A. Dahlan Ranuwihardjo S.H., Seminar Nasional, Format Lembaga Kepresidenan Menuju
Demokratisasi Kehidupan Politik Dimasa Depan, Borobudur Intel, Cotinental Hotel, Jakarta, 5
September 1998
2. Darmawan, Cecep. Pengaruh pemberdayaan anggota DPRD, Program Pasca Sarjana UNPAD
Bandung, 2009
3. Budimasyah, Dasim. Mengenal Konstitusi UUD 1945 dan Perubahannya, Regina, Publishing &
Printing.
5. Harian Kompas tanggal 4 Mei 2015, Jajak Pendapat tentang Lembaga Negara, halaman 4
6. Moch. Nurhasim & Ikrar Nusa Bakti, Sistem Presidensial dan Sosok Presiden Ideal, cetakan I,
Maret 2009, Penerbit Pustaka Pelajar.
7. Ramalan Surbakti, Memahami Ilmu Politik, Penerbit PT. Gramedia, Widia Sarana Indonesia,
Jakarta, 1992
8. Naskah UUD 1945