GINJALsss
GINJALsss
Disusun oleh :
FENIA INDAH RAINIR
1102010099
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam RSUD Pasar Rebo
Pembimbing :
Dr. Ariadi Humardhani, SpPD
1. GINJAL
1.1 Anatomi
Ginjal terselubungi oleh suatu lapis jaringan fibrosa yang disebut hilum
yang tampak halus akan tetapi kuat. Lapisan ini menyelubungi ginjal dengan
sangat ketat, tetapi dapat terbuka dengan mudah. Di bawah lapisan tersebut
makan dapat terlihat ginjal dengan permukaannya yang halus dan berwarna
merah tua. Di tengah-tengah ginjal terdapat rongga yang disebut sinus;
rongga tersebut juga terlapisi oleh hilum (Drake, 2009).
Segala benda seperti pembuluh darah dan duktus ekskretorik akan
memasuki ginjal melalui fisura tersebut. Duktus ekskretorik ginjal, ureter
setelah masuk ke dalam ginjal akan melebar seperti sebuah kerucut, struktur
ini dinamakan pelvis. Pelvis akan bercabang menjadi dua atau tiga
percabangan yang akan memisah lagi yang disebut dengan calices atau
infundibula; semua struktur tersebut berada di dalam rongga ginjal (Drake,
2009).
Bagian korteks dari ginjal berwarna merah muda, lunak, granular, dan
mudah terlaserasi. Bagian yang memisah sisi-sisi dari dua piramid dimana
arteri dan nervus masuk, dan dimana vena dan kelenjar limfe keluar dari
ginjal disebut cortical coloumn atau columna Bertini; sementara porsi yang
menghubungkan antara satu cortical coloumn dengan yang lainnya disebut
cortical arch dengan kedalaman yang bervariasi dari 0,8-1,3 cm (Drake,
2009).
Bagian medulla dari ginjal, seperti yang telah ditulis sebelumnya,
berwarna merah, striated, dan memiliki massa berbentuk kerucut, pyramids
ginjal. Bila permukaan dari salah satu papila diamati, maka dapat terlihat
bahwa permukaan papila tersebut bertaburkan dengan depresi-depresi yang
berjumlah 16-20, dan
badan tersebut terbagi atas dua bagian: suatu gumpalan pembuluh darah,
Malphigian tuft; dan suatu membran pembungkus, Malphigian capsule, atau
capsule of Bowman (Drake, 2009).
Tubuli
uriniferi
yang
bermula
pada
Malphigian
bodies
dalam
korteks
membentuk
proximal
convoluted
tubule.
Dalam
(Drake, 2009).
1.2 Fisiologi
A. Proses Pembentukan Urin
1. Penyaringan ( Filtrasi )
Filtrasi darah terjadi di glomerulus, dimana jaringan kapiler dengan
struktur spesifik dibuat untuk menahan komponen selular dan mediummolekular-protein besar kedalam vascular system,menekan cairan yang
identik dengan plasma di elektrolitnya dan komposisi air. Cairan ini disebut
filtrate glomerular. Tumpukan glomerulus tersusun dari jaringan kapiler. Di
mamalia, arteri renal terkirim dari arteriol afferent dan melanjut sebagai
arteriol eferen yang meninggalkan glomrerulus. Tumpukan glomerulus
dibungkus didalam lapisan sel epithelium yang disebut kapsula bowman.
Area antara glomerulus dan kapsula bowman disebut bowman space dan
merupakan bagian yang mengumpulkan filtrate glomerular, yang
menyalurkan ke segmen pertama dari tubulus proksimal. Struktur kapiler
glomerular terdiri atas 3 lapisan yaitu : endothelium capiler, membrane
dasar, epiutelium visceral. Endothelium kapiler terdiri satu lapisan sel yang
perpanjangan sitoplasmik yang ditembus oleh jendela atau fenestrate
(Guyton, 2007).
Dinding kapiler glomerular membuat rintangan untuk pergerakan air
2. Penyerapan (Absorbsi)
Tubulus proksimal bertanggung jawab terhadap reabsorbsi bagian
terbesar dari filtered solute. Kecepatan dan kemampuan reabsorbsi dan
sekresi dari tubulus renal tiak sama. Pada umumnya pada tubulus proksimal
bertanggung jawab untuk mereabsorbsi ultrafiltrate lebih luas dari tubulus
yang lain. Paling tidak 60% kandungan yang tersaring di reabsorbsi sebelum
cairan meninggalkan tubulus proksimal. Tubulus proksimal tersusun dan
mempunyai hubungan dengan kapiler peritubular yang memfasilitasi
pergherakan dari komponen cairan tubulus melalui 2 jalur : jalur transeluler
dan jalur paraseluler. Jalur transeluler, kandungan ( substance ) dibawa oleh
sel dari cairn tubulus melewati epical membrane plasma dan dilepaskan ke
cairan interstisial dibagian darah dari sel, melewati basolateral membrane
plasma.
Jalur paraseluler, kandungan yang tereabsorbsi melewati jalur
paraseluler bergerak dari cairan tubulus menuju zonula ocludens yang
merupakan struktur permeable yang mendempet sel tubulus proksimal satu
daln lainnya. Paraselluler transport terjadi dari difusi pasif. Di tubulus
proksimal terjadi transport Na melalui Na, K pump. Di kondisi optimal, Na, K,
ATPase pump manekan tiga ion Na kedalam cairan interstisial dan
mengeluarkan 2 ion K ke sel, sehingga konsentrasi Na di sel berkurang dan
konsentrasi K di sel bertambah. Selanjutnya disebelah luar difusi K melalui
canal K membuat sel polar. Jadi interior sel bersifat negative . pergerakan Na
melewati sel apical difasilitasi spesifik transporters yang berada di
membrane. Pergerakan Na melewati transporter ini berpasangan dengan
larutan lainnya dalam satu pimpinan sebagai Na ( contransport ) atau
berlawanan pimpinan (countertransport) (sherwood,2001).
Substansi diangkut dari tubulus proksimal ke sel melalui mekanisme ini
( secondary active transport ) termasuk gluukosa, asam amino, fosfat, sulfat,
dan organic anion. Pengambilan active substansi ini menambah konsentrasi
intraseluler dan membuat substansi melewati membrane plasma basolateral
dan kedarah melalui pasif atau difusi terfasilitasi. Reabsorbsi dari bikarbonat
oleh tubulus proksimal juga di pengaruhi gradient Na (sherwood, 2001)
4.Augmentasi
Augmentasi adalah proses penambahan zat sisa dan urea yang mulai
5. Kandungan Urin
Urin mengandung sekitar 95% air. Komposisi lain dalam urin normal
adalah bagian padaat yang terkandung didalam air. Ini dapat dibedakan
beradasarkan ukuran ataupun kelektrolitanya, diantaranya adalah :
a. Molekul Organik
Memiliki sifat non elektrolit dimana memiliki ukaran yang reativ besar,
didalam urin terkandung : Urea CON2H4 atau (NH2)2CO, Kreatin, Asam Urat
C5H4N4O3, Dan subtansi lainya seperti hormon.
b.Ion Sodium (Na+), Potassium (K+), Chloride (Cl-), Magnesium (Mg2+,
Calcium (Ca2+)
c.Dalam Jumlah Kecil : Ammonium (NH4+), Sulphates (SO42-), Phosphates
(H2PO4-, HPO42-, PO43-), (Guyton, 2007)
ADH
Hormon ini memiliki peran dalam meningkatkan reabsorpsi air
sehingga dapat mengendalikan keseimbangan air dalam tubuh.
Hormon ini dibentuk oleh hipotalamus yang ada di hipofisis posterior
yang mensekresi ADH dengan meningkatkan osmolaritas dan
D. Mekanisme Mikturisi
Mekanisme proses Miksi ( Mikturisi ) Miksi ( proses berkemih ) ialah
proses dimana kandung kencing akan mengosongkan dirinya waktu ia sudah
penuh dgn urine. Mikturisi ialah proses pengeluaran urine sebagai gerak
refleks yang dapat dikendalikan (dirangsang/dihambat) oleh sistim
persarafan dimana gerakannya dilakukan oleh kontraksi otot perut yg
menambah tekanan intra abdominalis, dan organ organ lain yang menekan
kandung kencing sehigga membantu mengosongkan urine (Guyton,2007)
Pada dasarnya, proses miksi/mikturisi merupakan suatu refleks spinal
yg dikendalikan oleh suatu pusat di otak dan korteks cerebri. Proses
miksturisi dapat digambarkan dalam skema di bawah ini:
Pertambahan volume urine tekanan intra vesicalis keregangan dinding
vesicalis (m.detrusor) sinyal-sinyal miksi ke pusat saraf lebih tinggi (pusat
kencing) untuk diteruskan kembali ke saraf saraf spinal timbul refleks
spinal melalui n. Pelvicus timbul perasaan tegang pada vesica urinaria
sehingga akibatnya menimbulkan permulaan perasaan ingin berkemih
(Guyton,2007).
2.
PENYAKIT GINJAL KRONIK
2.1 Definisi
Menurut National Kidney Foundation (2002) dalam JNHC (2003)
penyakit ginjal kronik adalah terdapat kelainan patologik ginjal atau adanya
kelainan pada urin umumnya jumlah protein urin atau sedimen urin selama
tiga bulan atau lebih yang tidak bergantung pada nilai laju filtrasi glomerulus.
Disamping itu, seseorang dapat juga dikatakan penyakit ginjal kronik jika laju
filtrasi glomerulus kurang dari 60 ml/men./1.73 m2 dengan atau tanpa
kerusakan ginjal selama minimal 3 bulan (Suwira, 2007).
Batasan penyakit ginjal kronik (Suwira, 2007):
1. Kerusakan ginjal > 3 bulan, yaitu kelainan struktur atau fungsi ginjal,
dengan atau tanpa penurunan laju filtrasi glomerulus berdasarkan:
Kelainan patologik
Petanda kerusakan ginjal seperti proteinuria atau kelainan pada
pemeriksaan pencitraan radiologi
2. Laju filtrasi glomerulus < 60 ml/menit/1,73m selama > 3 bulan dengan
atau tanpa kerusakan ginjal.
2.2 Etiologi
Penyebab Penyakit Ginjal Kronik diantaranya adalah (Arora, 2014):
Nefropati Diabetik
Hipertensi
Penyakit Vaskular
Stenosis Arteri Renalis
Trombosis Vena Renalis
Athroemboli
Penyakit Glomerular
Primer
Sekunder
Diabetes Melitus
Lupus Erimatosus Sistemik
Artitis Rheumatoid
Pemakaian Heroin
Neoplasia
Thrombotic Thrombocytopenic Purpura
Infeksi Parasit
Penyakit Ginjal Kistik
Penyakit Tubulointerstitial
Obstruksi Saluran Kemih
Urolithiasis
Benign Prostatic hipertropi
Tumor
Batu Ginjal Berulang
Kelainan Ginjal Kongenital
2.3 Epidemiologi
Di Amerika Serikat menyatakan insidens penyakit ginjal kronik
diperkitakan 100 juta
kasus perjuta penduduk per tahun, dan angka ini meningkat sekitar 8%
setiap tahunnya. Di
Deraja
Penjelasan
LFG
(mL/menit/1,73
m2)
90
2
3
4
atau
Kerusakan ginjal dengan LFG ringan
Kerusakan ginjal dengan LFG sedang
Kerusakan ginjal dengan LFG berat
60-89
30-59
15-29
Gagal ginjal
<15
atau
dialisis
2.5 Patofisiologi
Patofisiologi penyakit ginjal kronik pada awalnya tergantung
pada penyakit yang mendasarinya, tapi dalam perkembangan selanjutnya
proses yang terjadi kurang lebih sama. Pengurangan massa ginjal
mengakibatkan hipertrofi struktural dan fungsional nefron yang masih tersisa
(surviving nefron) sebagai upaya kompensasi, yang diperantarai oleh molekul
vasoaktif seperti sitokin dan growth factors. Hal ini mengakibatkan
hiperfiltrasi, yang diikuti oleh peningkatan tekanan kapiler dan aliran darah
glomerolus. Proses adaptasi ini berlangsung singkat, akhirnya diikuti oleh
proses maladaptasi berupa skelrosis nefron yang masih tersisa. Proses ini
akhirnya diikuti dengan penurunan fungsi nefron yang progresif, walaupun
penyakit dasarnya sudah tidak aktif lagi (Suwira, 2007; Arora, 2014)
Adanya peningkatan aktivitas aksis renin-angiotensin-aldosteron
intrarenal, ikut memberikan kontribusi terhadap terjadinya hiperfiltrasi,
sklerosis, dan progresifitas tersebut.
Aktivasi jangka panjang aksis renin-angiotensin-aldosteron, sebagian
diperantarai oleh growth factor seperti transforming growth factor (TGF-).
Beberapa hal yang juga dianggap berperan terhadap terjadinya progresifitas
penyakit ginjal kronik adalah albuminuria, hipertensi, hiperglikemia,
dislipidemia. Terdapat variabilitas interindividual untuk terjadinya sklerosis
dan fibrosis glomerolus maupun interstitial (Suwira,2007).
Perjalanan umum penyakit ginjal kronik dapat dibagi menjadi empat
stadium. Stadium
sumsum tulang oleh substansi uremik, proses inflamasi akut ataupun kronik
(Suwira,2007).
Evaluasi terhadap anemia dimulai saat kadar hemoglobin < 10 g/dL
atau hematokrit <
30 %, meliputi evaluasi terhadap status besi (kadar besi serum / serum iron,
kapasitas ikat
8besi total / Total Iron binding Capacity (TIBC), feritin serum), mencari sumber
perdarahan,
morfologi eritrosit, kemungkinan adanya hemolisis dan sebagainya
(Suwira,2007 ; Muray, 2007).
Penatalaksanaan terutama ditujukan pada penyebab utamanya, di
samping penyebab lain bila ditemukan. Pemberian eritropoetin (EPO)
merupakan hal yang dianjurkan. Pemberian tranfusi pada penyakit ginjal
kronik harus dilakukan hati-hati, berdasarkan indikasi yang tepat dan
pemantauan yang cermat. Tranfusi darah yang dilakukan secara tidak cermat
mengakibatkan kelebihan cairan tubuh, hiperkalemia, dan perburukan fungsi
ginjal. Sasaran hemoglobin menurut berbagai studi klinik adalah 11-12 g/dL
(Suwira,2007).
b. Kelainan saluran cerna
Mual dan muntah sering merupakan keluhan utama dari sebagian
pasien penyakit ginjal kronik terutama pada stadium terminal. Patogenesis
mual dan muntah masih belum jelas, diduga mempunyai hubungan dengan
dekompresi oleh flora usus sehingga terbentuk amonia. Amonia inilah yang
menyebabkan iritasi atau rangsangan mukosa lambung dan usus halus.
Keluhan-keluhan saluran cerna ini akan segera mereda atau hilang setelah
pembatasan diet protein dan antibiotika (Arora, 2014)
c. Kelainan mata
Visus hilang (azotemia amaurosis) hanya dijumpai pada sebagian kecil
pasien penyakit ginjal kronik. Gangguan visus cepat hilang setelah beberapa
e. Kelainan kardiovaskular
Patogenesis gagal jantung kongestif (GJK) pada penyakit ginjal kronik
sangat kompleks. Beberapa faktor seperti anemia, hipertensi, aterosklerosis,
kalsifikasi sistem vaskular, sering dijumpai pada pasien penyakit ginjal kronik
terutama pada stadium terminal dan dapat menyebabkan kegagalan faal
jantung.
2.7 Diagnosis
Pendekatan diagnosis penyakit ginjal kronik (PGK) dilihat dari
anamnesis, pemeriksaan fisik, gambaran radiologis, dan apabila perlu
gambaharan histopatologis (Suwira,2007).
1. Memastikan adanya penurunan faal ginjal (LFG)
2. Mengejar etiologi PGK yang mungkin dapat dikoreksi
3. Mengidentifikasi semua faktor pemburuk faal ginjal (reversible factors)
4. Menentukan strategi terapi rasional
5. Meramalkan prognosis
Pendekatan diagnosis mencapai sasaran yang diharapkan bila
dilakukan pemeriksaan yang terarah dan kronologis, mulai dari anamnesis,
pemeriksaan fisik diagnosis dan pemeriksaan penunjang diagnosis rutin dan
khusus.
a. Anamnesis dan pemeriksaan fisik
Anamnesis harus terarah dengan mengumpulkan semua keluhan yang
berhubungan dengan retensi atau akumulasi toksin azotemia, etiologi PGK,
perjalanan penyakit termasuk semua faktor yang dapat memperburuk faal
ginjal (LFG). Gambaran klinik (keluhan subjektif dan objektif termasuk
kelainan laboratorium) mempunyai spektrum klinik luas dan melibatkan
banyak organ dan tergantung dari derajat penurunan faal ginjal.
Gambaran klinis pasien penyakit ginjal kronik meliputi:
i) sesuai dengan penyakit yang mendasari;
ii) sindrom uremia yang terduru daru lemah, letargi, anoreksia, mual,
muntah,
nokturia, kelebihan cairan (volume overload), neuropati perifer, pruritusm
uremic
frost, perikarditis, kejang-kejang sampai koma;
iii) gejala komplikasinya antara lain hipertensi, anemia, osteodistrofi renal,
payah
jantung, asidosis metabolik, gangguan keseimbangan elektrolit (sodium,
kalium,
chlorida).
b. Pemeriksaan laboratorium
Gambaran laboratorium penyakit ginjal kronik meliputi sesuai dengan
penyakit yang mendasarinya, penurunan fungsi ginjal berupa peningkatan
ureum dan kreatinin serum, dan penurunan laju filtrasi glomerolus (LFG) yang
dapat dihitung mempergunakan rumus Kockcroft-Gault, serta kelainan
biokimia darah lainnya, seperti penurunan kadar hemoglobin, hiper atau
c. Kebutuhan cairan
Bila ureum serum > 150 mg% kebutuhan cairan harus adekuat supaya
jumlahdiuresis mencapai 2 L per hari.
d. Kebutuhan elektrolit dan mineral
Kebutuhan jumlah mineral dan elektrolit bersifat individual tergantung
dari LFG dan penyebab dasar penyakit ginjal tersebut (underlying renal
disease).
2. Terapi simptomatik
a. Asidosis metabolik
Asidosis metabolik harus dikoreksi karena meningkatkan serum
kalium(hiperkalemia). Untuk mencegah dan mengobati asidosis metabolik
dapat diberikansuplemen alkali. Terapi alkali (sodium bicarbonat) harus
segera diberikan intravenabila pH 7,35 atau serum bikarbonat 20 mEq/L.
b. Anemia
Dapat diberikan eritropoetin pada pasien penyakit ginjal kronik. Dosis
inisial 50u/kg IV 3 kali dalam seminggu. Jika Hb meningkat >2 gr/dL kurangi
dosis pemberianmenjadi 2 kali seminggu. Maksimum pemberian 200 u/kg
dan tidak lebih dari tigakali dalam seminggu.
Transfusi darah misalnya Paked Red Cell (PRC) merupakan salah satu
pilihan
terapi alternatif, murah, dan efektif. Terapi pemberian transfusi darah harus
hati-hati
karena dapat menyebabkan kematian mendadak. Sasaran hemoglobin adalah
11-12 gr/dL.
c. Keluhan gastrointestinal
Anoreksi, cegukan, mual dan muntah, merupakan keluhan yang
seringdijumpai pada PGK. Keluhan gastrointestinal ini merupakan keluhan
utama (chiefcomplaint) dari PGK. Keluhan gastrointestinal yang lain adalah
ulserasi mukosamulai dari mulut sampai anus. Tindakan yang harus dilakukan
yaitu program terapidialisis adekuat dan obat-obatan simtomatik.
d. Kelainan kulit
Tindakan yang diberikan harus tergantung dengan jenis keluhan kulit.
e. Kelainan neuromuskular
Beberapa terapi pilihan yang dapat dilakukan yaitu terapi hemodialisis
reguleryang adekuat, medikamentosa atau operasi subtotal paratiroidektomi.
f. Hipertensi
Pemberian obat-obatan anti hipertensi terutama penghambat Enzym
Konverting Angiotensin (Angiotensin Converting Enzyme/ ACE inhibitor).
Melalui berbagai studi terbukti dapat memperlambat proses pemburukan
antihipertensi danantiproteinuria.
GGT (gagal ginjal terminal) dengan residual urin masih cukup, dan pasien
nefropati diabetik disertai co-morbidity dan comortality.
Indikasi non-medik, yaitu keinginan pasien sendiri, tingkat intelektual
tinggi untuk melakukan sendiri (mandiri), dan di daerah yang jauh dari pusat
ginjal.
c. Transplantasi ginjal
2.9 Prognosis
Pasien dengan penyakit ginjal kronik umumnya akan menuju stadium
terminal atau stadium V. Angka prosesivitasnya tergantung dari diagnosis
yang mendasari, keberhasilan terapi, dan juga dari individu masing-masing.
Pasien yang menjalani dialisis kronik akan mempunyai angka kesakitan dan
kematian yang tinggi. Pasien dengan gagal ginjal stadium akhir yang
menjalani transpantasi ginjal akan hidup lebih lama daripada yang menjalani
dialisis kronik. Kematian terbanyak adalah karena kegagalan jantung (45%),
infeksi (14%), kelainan pembuluh darah otak (6%), dan keganasan (4%)
(Arora, 2014).
2.10 Pencegahan
Upaya pencegahan terhadap penyakit ginjal kronik sebaiknya sudah
mulai dilakukan pada stadium dini penyakit ginjal kronik. Berbagai upaya
pencegahan yang telah terbukti bermanfaat dalam mencegah penyakit ginjal
dan kardiovaskular, yaitu pengobatan hipertensi (makin rendah tekanan
darah makin kecil risiko penurunan fungsi ginjal), pengendalian gula darah,
lemak darah, anemia, penghentian merokok, peningkatan aktivitas fisik dan
pengendalian berat badan.
DAFTAR PUSTAKA