Anda di halaman 1dari 12

DRAFT LAPORAN

AR 4212 Pelestarian Bangunan dan Lingkungan

INVENTORI BANGUNAN BERSEJARAH:


BIOSKOP DIAN

Disusun Oleh
Sari Sartika 15211008
Kanya Pranawengkapti 15211029
Muhammad Regy Septian 15211065
Louisa Rebeka Panggabean 15211090

INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG


2014

Inventori Bangunan Bersejarah


-Building name:Bioskop Dian (Radio City Cinema)
Building number: not available
Location

Present owner
Present use
Significance

JL. Dalem Kaum No. 58, Alun-alun, Bandung


PD Jawi (Wiranatakusumah)
Kantor sewa
Bioskop Dian (dulu bernama Radio City) yang telah bediri sejak 1930 ini memenuhi syarat suatu bangunan dikatakan sebagai
benda cagar budaya (UU No. 11 tahun 2010). Bangunan yang menjadi saksi sejarah lahirnya bioskop dan berjalannya industri
perfilman Indonesia ini merupakan satu-satunya bangunan bioskop yang tersisa di kawasan hiburan Alun-alun Kota Bandung
(dulunya terdapat 4 bioskop, yaitu: Elita, Varia, Oriental dan Radio City). Jika dikategorikan sebagai bangunan cagar budaya,
bangunan ini bahkan dapat dikategorikan sebagai bangunan kategori A (http://www.jabarmedia.com/2013/10/daftar-bangunancagar-budaya-kota-bandung/?fb_source=pubv1. Diakses 29 Mei 2014) , di mana kategori ini merupakan kategori tertinggi suatu
bangunan cagar budaya, dilihat dari nilai sejarah, estetika, dan nilai arsitektur dan bangunan tidak boleh diubah material
maupun bentuknya (Perda No. 19 tahun 2009 Pasal 22 Bandung). Namun, kondisinya saat ini tidak seindah sejarahnya dulu,
Gedung Bioskop Dian kini berada pada ketidakjelasan akan nasib kelangsungan bangunannya.

Part I: Historical Informaton


A. Physical History
1. Date of erection
2. Architect
3. Original and subsequent owners
4. Builder, contractors, suppliers
5. Original plans and constructon

1930
Belum Diketahui
J. F. W. de Kort dan Thio Tjoan Tek
Tidak diketahui
Tidak ada

B. Historical Context

Radio City yang dimiliki oleh J. F. W. de Kort dan Thio Tjoan Tek, dibangun pada tahun 1930. Bioskop ini mulai aktif beroperasi
pada tahun 1940-an. Hingga akhirnya setelah Indonesia merdeka, seiring dengan peralihan kekuasaan dari Belanda ke
Indonesia, nama Bioskop Radio City (yang berarti penerangan kota) pun berganti nama menjadi Bioskop Dian (yang berasal dari
bahasa Jawa, berarti penerang; cahaya). Penggantian nama ini tak hanya terjadi pada Bioskop Dian, namun juga terjadi pada
bioskop-bioskop di sekitarnya (Elita menjadi Puspita, Varia menjadi Aneka dan Oriental menjadi Nusantara). Peralihan
kekuasaan ini jugalah yang disinyalir menjadi latar belakang pembuatan relief pada dinding luar bangunan yang bertemakan
kehidupan di Indonesia, misalnya relief yang menggambarkan kehidupan pedesaan.
Selepas kemerdekaan, Bioskop Dian tetap memutar film pada 1960 1970-an. Pada masa ini, Bioskop Dian yang sering
memutar film India cukup diminati, terutama oleh kalangan anak muda dari kelas menengah. Minat yang besar ini ditandai
dengan adanya pemutaran film yang mencapai 4 kali pemutaran dalam sehari. Menurut narasumber, minat yang besar ini juga
dilatarbelakangi dengan adanya balkon yang menjadi ciri khas bangunan ini sehingga memberikan suasana yang berbeda
dengan bioskop lainnya. Namun, memburuknya industri perfilman, khususnya bisnis bioskop di Indonesia pada awal 1980-an
menyebabkan peminat penonton bioskop kian lama kian berkurang hingga akhirnya perusahaan bioskop pun banyak yang
gulung tikar, termasuk salah satunya Bioskop Dian.
Setelah masa kejayaan Bioskop Dian berlalu, gedung bioskop ini mengalami beberapa kali perubahan fungsi mulai dari arena
billiard, lapangan futsal, dan kantor sewa. Saat berfungsi sebagai lapangan futsal, kontruksi bangunan banyak berubah,
misalnya di ruangan auditorium. Perubahan-perubahan ini membawa Bioskop Dian pada kondisinya saat ini yang jauh dari
perawatan. Saat ini, seiring dengan akan dihancurkannya Mall Palaguna, Bioskop Dian sempat diwacanakan akan menjadi
tempat penampungan bagi kios-kios yang menghuni Mall Palaguna sehingga dilakukan pembangunan pada bagian auditorium
bioskop Dian. Namun, karena statusnya sebagai bangunan cagar budaya kategori A, pembangunan tersebut dihentikan oleh
pemerintah. Sehingga saat ini, nasib bangunan Bioskop Dian belum jelas.

Part II: Architectural Information


A. General statement
1. Architectural character
2. Condition of fabric

Bangunan ini merupakan sebuah bangunan publik dengan dinding bata


Secara fisik, bangunan masih memiliki bentuk yang utuh dan dapat diamati dengan jelas dari luar. Namun, bagian eksterior dan interior bangunan sudah mengalami beberapa
perubahan. Perubahan ini ada yang bersifat permanen dan sementara. Hal ini dapat diketahui melalui perbedaan material yang cukup mencolok antara material lama dan
material baru.

B. Description of exterior (pics.)


1. Overal dimension

Massa bangunan (ukuran 20 x 50 m2) ini berupa empat persegi panjang, dengan perletakan memanjang ke arah Utara-Selatan.

2. Foundations

3. Walls

Dinding bata dengan pasangan setengah bata.


4. Structural system

Sistem struktur menggunakan sistem kolom dan balok dengan ukuran kolom sekitar 40 x 40 cm dan balok sekitar 40 x 60 cm
5. Porches

6. Chimneys
7. Openings

a. Doorways and door

Pintu utama merupakan pintu geser dengan teralis-teralis besi berwarna hitam. Pada arcade terdapat pintu kayu dan pintu lipat.
b. Windows and
shutters

8. Roof

a. Roof shape

Atap bangunan berbentuk pelana dengan material seng.


b. Cornice, eaves
c. Dormers, cupolas,
towers
C. Description of interior
1. Floor plans

Ditemukan kendala dalam melakukan pengukuran sehingga pengukuran berdasarkan pengamatan yang memungkinakan
Denah sekmatik didapat dari narasumber yang merupakan mantan pekerja Bioskop Dian

2. Stairways
railing

Tangga spiral dengan


kayu

3. Flooring

Pada bagian beranda dan tangga bangunan, digunakan batu alam berwarna merah, lantai dasar interior menggunakan keramik berwarna merah berukuran 30x30 cm,
sedangkakn pada lantai dua menggunakan keramik abu-abu berukuran 20x20 cm.
4. Wall and ceiling finish

Finishing dinding menggunakan plester dan catt, namun ada yang dilapis tripleks maupun kayu ekspos. Plafon pada arcade menggunakan tripleks putih, sedangkan pada
beranda serta lantai satu menggunakan gypsum dengan pola yang berbeda. Pada lantai dua, plafon tidak digunakan namun diberikan aksen lis.
5. Openings

a. Doorways and doors

Pintu ke auditorium merupakan pintu ganda dengan kusen kayu dan pintu menuju kantor di lantai dasar merupakan pintu dengan material kayu dan kaca. Pada lantai dua,
terdapat pintu tunggal kayu dengan tinggi sekitar 150 cm.

b. Windows

6. Decorative features and trim


7. Hardware
8. Mechanical equipment
a. Heating, airconditioning,
ventilation

Terdapat ventilasi pada sisi bangunan dan AC spilt untuk pendingin ruangan.
b. Lighting

c. Plumbing
D. Site
1. General setting and
orientation

Terdapat berbagai macam lampu misalnya lampu neon, lampu halogen, serta lampu TL.
-

Bangunan menghadap ke utara dengan sisi panjang bangunan menghadap barat dan timur

2. Historic landscape
design
3. Urban Context (history,
neighborhood context,
location etc.)

Jalan Grote Postweg (kini salah satunya Jalan Asia-Afrika) yang dibuat melintasi Bandung memicu munculnya sebuah pusat kota baru di sekitarnya. Tak hanya karena Grote
Postweg yang melintas, hal lain yang membuat dipindahkannya ibukota Kabupaten Bandung adalah adanya Sungai Cikapundung yang menjadi sumber kehidupan bagi
warga. Lahirnya sebuah ibukota baru ini ditandai dengan adanya alun-alun sebagai pusat, sebagaimana lazimnya pembentukan pusat kota di Pulau Jawa dengan konsep
Catur Gatra. Konsep ini dapat dilihat dengan adanya pusat peribadatan (Masjid Agung) di sebelah barat, pusat pemerintahan (Rumah Pendopo) di sebelah selatan, rumah
penjara (di Banceuy) yang terletak di sisi utara serta pusat kegiatan di sebelah timur. Adanya alun-alun ini pun lambat laun memicu lahirnya bangunan-bangunan fungsional,
terutama di Jalan Grote Postweg tersebut. Bangunan fungsional tersebut terdiri dari restoran, kantor pos, bangunan hiburan, dan lain-lain. Salah satu jenis bangunan hiburan
yang cukup berkembang di Bandung adalah bioskop.
Meskipun bisnis bioskop sudah mulai masuk di Batavia sejak 1900, di Bandung sendiri baru mulai ada pada 1907. Awal mula lahirnya bioskop di Bandung ditandai dengan
adanya satu kompleks kawasan hiburan yang disebut theatre atau pada saat itu disebut roemah komedie di sekitar alun-alun. Dalam sebuah roemah komedie terdapat ruang
pemutaran film, aula pertunjukan kesenian, dan kamar/rumah bola (billiard). Bisnis pemutaran film di Kota Bandung makin berkembang hingga munculnya gedung-gedung
bioskop yang berdiri sendiri. Salah satu bioskop yang paling terkenal dan dipandang elit saat itu adalah Bioskop Concordia yang berada di dekat Gedung Merdeka, kini
dinamakan New Majestic. Bioskop ini dirancang oleh Wolff Schoemacker dengan gaya arsitektur yang sangat khas yaitu penempatan ornamen nusantara seperti Kala yang
terletak pada bagian atas.
Sedangkan sebagaimana yang telah disebutkan, di daerah sisi timur alun-alun pusat kegiatan dipenuhi oleh bangunan-bangunan bioskop yang menjadi satu kesatuan
komplek hiburan, yaitu:
1) Elita Bioscoop yang merupakan bioskop paling elit setelah Concordia. Hanya orang-orang terpilih yang mengenakan pakaian rapi dan sepatu yang dapat menonton.
Bioskop ini dimiliki oleh F. A. A. Buse, seorang raja bioskop yang memiliki jaringan besar Elita Concern. Bioskop ini dibangun pada tahun 1910an dengan gaya arsitektur Art
Nouveau dan sempat berganti nama menjadi Puspita pada tahun 1960an.
2) Varia Park yang merupakan feesterrein atau taman hiburan menyajikan penampilan gulat, seni tradisional, dan lainnya. Varia sendiri artinya serba-serbi, hal ini lah yang
menyebabkan bioskop ini berganti nama menjadi Aneka pasca kemerdekaan
3) Oriental Show dibangun pada tahun 1930an. Bioskop ini kemudian berganti nama menjadi Nusantra pasca kemerdekaan.
4) Radio City yang dibangun pada 1930. Setelah kemerdekaan bangunan ini berganti nama menjadi Bioskop Dian sebagaimana dikenal hingga saat ini.
Sayangnya tiga dari keempat bioskop tersebut dihancurkan untuk dibangun pertokoan yang kita kita kenal dengan Palaguna. Satu-satunya bioskop yang masih bertahan
hingga saat ini adalah bioskop Radio City yang kini telah berganti nama menjadi Bioskop Dian.
Sebenarnya letak gedung Bioskop Dian ini agak terpisah dari komplek tiga bioskop lainnya. Letak gedung bioskop ini berada di Jalan Dalem Kaum, di bagian selatan alunalun. Umur Jalan Dalem Kaum ini bisa jadi tak berbeda jauh dengan Grote Postweg yang jaraknya kurang dari 100 meter di sebelah utara jalan ini. Dengan letaknya yang
berdampingan dengan Pendopo Kota Bandung (dibangun 1850 oleh Wiranatakusumah IV) dan bangunan bersejarah lainnya, secara umum Bioskop Dian terletak di kawasan
bersejarah. Namun, kawasan bersejarah ini belum sepenuhnya menjadi perhatian pemerintah. Kini kawasan tersebut (terutama Jalan Dalem Kaum) menjadi pusat keramaian
akan pertokoan-pertokoan di sekitarnya.

Part III: Source of Information


A. Original architectural drawings
B. Early views
C. Interviews
D. Bibliography
1. Primary and unplublished sources
2. Secondary and published sources

Tidak ada
Pegawai Sutinah Law Firm, Penjual gorengan (di dalam gedung bioskop), Ibu Harastoeti Dibyo Hartono,
Mantan pegawai Bioskop Dian (pada tahun 1970-an)
Hartono, Harastoeti D . (2011). 100 Bangunan Cagar Budaya di Bandung. Bandung: CSS
Publish.

E. Likely source not even investigated


F. Supplemental material

Pemugaran bangunan: Tar-467 oleh Julianto

Part IV: Project Information


Bioskop Dian terletak di Jalan Dalem Kaum No.56, Bandung. Bangunan ini memiliki perbatasan langsung dengan Pendopo Kota Bandung di sebelah barat, sedangkan di sebelah utara berbatasan dengan Mall
Palaguna dan Alun-alun Bandung dan SMA Pasundan I pada sisi selatannya. Dengan massa bangunan menghadap utara, bukaan pada bangunan pun dibuat relatif banyak pada sisi tersebut. Sedangkan pada sisi
bangunan yang memanjang dari utara-selatan terdapat bukaan berupa ventilasi yang difungsikan sebagai tempat pertukaran udara. Sebagai bangunan bioskop tunggal, bangunan yang terdiri dari 3 lantai ini
berisikan foyer dan auditorium besar utama pada lantai utama.
Bioskop Dian didirikan pada tahun 1930 dengan nama bioskop Radio City yang dikelola oleh J. F. W. de Kort dan Thio Tjoan Tek. Meskipun bisnis bioskop mulai berkembang tahun 1900 di Batavia, di Bandung
sendiri bioskop baru ada pada tahun 1907 dengan Oranje Electro Bioscope dan De Crown. Kedua bioskop tersebut belum memiliki bangunan permanen. Bangunan bioskop permanen baru ada pada tahun 1908
dengan munculnya Bioskop Elita. Bioskop Elita ini merupakan bagian dari sebuah komplek hiburan besar yang theatre atau dikenal dengan nama roemah komedie. Dalam sebuah roemah komedie terdapat ruang
pemutaran film, aula pertunjukan kesenian, dan kamar/rumah bola (billiard). Awalnya, di kompleks tersebut terdapat tiga buah bioskop yaitu Elita (yang sekarang menjadi Mall Palaguna), Bioskop Oriental dan
Bioskop Dian.
Setelah kemerdekaan, bioskop ini mengalami beberapa perubahan mulai dari nama menjadi Bioskop Dian, kepemilikan menjadi milik PD JAWI hingga muka bangunan yang mengalami penambahan relief sebagai
bentuk pencitraan nasionalisme pada bangunan.
Relief pada bangunan Bioskop Dian merupakan keunikan tersendiri dari bangunan ini. Namun, berdasarkan bukti yang ditemukan (melalui perbandingan foto lama dan baru), awalnya bangunan tidak memiliki relief.
Berdasarkan sumber yang kami dapatkan, relief yang menggambarkan suasana pedesaan Indonesia itu merupakan suatu bentuk pencitraan nasionalisme bangunan kolonial yang terjadi pada masa itu. Pada relief
juga terdapat tanda (yang diduga sebagai) pembuat relief yang bertuliskan Bhambangs decoration. Djl. Djogonegaran, Jogja; tahun pembuatan relief ini masih belum diketahui.
Bangunan yang sudah berusia lebih dari 80 tahun ini sudah memenuhi persyaratan sebagai bangunan cagar budaya. Bahkan berdasarkan sumber yang kami dapatkan, Bioskop Dian dikategorikan sebagai
bangunan cagar budaya kelas A yang artinya bangunan tidak boleh dibongkar atau diubah, jika terjadi kerusakan harus diganti dengan karakterisktik material yang sama. Ini mengartikan bahwa bangunan cagar
budaya kategori A seharusnya menjadi sangat penting untuk dilindungi keberadaanya. Namun, kondisi yang terdapat di lapangan saat ini tidak menunjukkan kondisi Bioskop Dian yang terawat. Bahkan, terdapat isu
perubahan fungsi bioskop Dian. Bioskop yang merupakan salah satu bioskop tertua di Kota Bandung ini sedang mengalami nasib yang tidak jelas atas kelanjutan status kepemilikan serta fungsinya.
Saran untuk kedepannya, bangunan Bioskop Dian layak untuk dilestarikan karena alasan-alasan signifikansi diatas. Selain itu, sebaiknya Bioskop Dian direstorasi mengingat klasifikasinya sebagai Bangunan
Heritage kelas A sehingga tidak boleh dirubah bentuknya. Untuk fungsinya, sebaiknya dikembalikan sebagai gedung pertunjukkan, namun tidak sebagai gedung bioskop karena sistem bioskop dewasa ini yang
menganut sistem cineplex, yaitu memutarkan film di beberapa studio pada waktu yang hampir bersamaan sehingga ukuran studionya lebih kecil. Bioskop Dian dapat dialihfungsikan menjadi Gedung Pertunjukkan
lain seperti teater, Gedung Kesenian, dan lain-lain misalnya seperti Gedung Pertunjukkan Rumentangsiang.

Anda mungkin juga menyukai