Anda di halaman 1dari 25

DINAMIKA KONSEP NEGARA KESEJAHTERAAN INDONESIA

DALAM UNDANG-UNDANG DASAR 1945


Mohammad Tavip
NIM. 0830104016
Abstrak
Dalam tulisan ini ingin menganalisis dinamika konsep negara
kesejahteraan Indonesia menurut Undang-undang Dasar 1945 melalui
spektrum legisasi dan kebijakan sosial pada tiga regim orde
pemeritahan, yakni orde lama, orde baru dan orde reformasi. Konsep
Negara kesejahteraan merupakan sebuah konsep yang memberi
tempat kepada pemerintah untuk secara terukur bertindak sebagai
aktor pengakselerasi kesejahteraan sosial. Telaah hukum terhadap
konsep ini selanjutnya dielaborasi hingga berdimensi ideolgi,
demokrasi dan politik. Dimensi-dimensi tersebut mengeksplanasi
mengenai bayang-bayang keterpengaruhan dua mainstream ideologi
besar didunia terhadap realita hukum dan kebijakan sosial negara
kesejahteraan Indonesia yang berbasis Pancasila.
Pada lapis-lapis analisis yang disebutkan di atas, terselip uraian
mengenai kendala teknis hukum masa transisi di awal kemerdekaan
dan andil perubahan struktur ketatanegaraan Indonesia pasca
reformasi bagi dinamika konsep negara Kesejahteraan Indonesia.
Sehingga secara keseluruhan tulisan ini akan menyuguhkan hal
mengenai presisi konstitusional dinamika konsep negara kesejahteraan
Indonesia.
Keyword : Konsep negara kesejahteraan Indonesia; Pancasila; Ideologi
jalan ketiga; dari model minimal ke model minimal-plural

A. Latar Belakang
Negara Indonesia seringkali disebut sebagai negara yang
mengusung gagasan Negara kesejahteraan (wellfare State/WS), hal ini
karena di dalam pembukaan UUDRI 1945 terdapat salah satu tujuan
negara yang mengekspresikan gagasan Negara kesejahteraan itu.
Gagasan Negara kesejahteraan sebagai sebuah konsep, bukan terlahir
dari sebuah ihtiar pendek.
dalam

bayang-bayang

Ditilik dari perspektif sejarah, WS hadir

pergumulan

dua

ideologi

ekstrim

yakni,

individualisme dan kolektivisme. Dalam perkembangan selanjutnya


gagasan Negara kesejahteraan berkembang menjadi beberapa konsep
dengan menampilkan beberapa varian.1
Kesan

kuat

pemerintahan
pemerintah

peneliti

Indonesia
adalah

setelah

adalah,

sebagai

melihat

bahwa

actor

penyelengaraan

secara

utama

untuk

konstitusional
memajukan

kesejahteraan umum, akan tetapi hal ini secara dinamis dan pasti telah
bergeser menjauh dari gagasan itu. Apakah makna dibalik semua ini?.
Bagaimanakah

memaknai

dinamika

dan

karakater

Negara

kesejahteraan Indonesia dilihat dari spektrum produk legislalsi maupun


produk kebijakan eksekutif ?
B. Metode
Untuk menjawab pertanyaan penelitian, pertama-tama dilakukan
penelusuran terhadap sejarah welfare state (histori), baik yang
1

Esping-Andersen membagi negara kesejahteraan ke dalam tiga bentuk


yaitu:Residual Welfare State, yang meliputi negara seperti Australia,
Kanada, Selandia Baru, dan Amerika Serikat, dengan basis rezim
kesejahteraan liberal dan dicirikan dengan jaminan sosial yang terbatas
terhadap kelompok target yang selektif serta dorongan yang kuat bagi
pasar untuk mengurus pelayanan publik.
2) Universalist Welfare State, yang meliputi negara seperti Denmark,
Finlandia, Norwegia, Swedia, dan Belanda, dengan basis rezim
kesejahteraan sosial demokrat dan dicirikan dengan cakupan jaminan sosial
yang universal dan kelompok target yang luas serta tingkat dekomodifikasi
yang ekstensif.
3) Social Insurance Welfare State, yang meliputi negara seperti Austria,
Belgia, Prancis, Jerman, Italia, dan Spanyol dengan basis rezim
kesejahteraan konservatif dan dicirikan dengan sistem jaminan sosial yang
tersegmentasi serta peran penting keluarga sebagai penyedia pasok
kesejahteraan.Di sini, WS bergerak dari bentuk gagasan menuju konsep,
model, dan teori.

berporos

dari

mainstream

ideology

sosialis

maupun

kapitalis

(pendekatan ideology). Selanjutnya mencermati perkembangan varian


konsep/model ataupun teori welfare state serta penerapannya di
beberapa Negara (komparasi konseptual), kemudian lebih dalam
melihat pertautan antara penerapan konsep welfare state di suatu
Negara dengan filosofi yang dianut suatu Negara tertentu (pendekatan
filosofis), yang seringkali tercermin dalam konstitusinya (pendekatan
statuta). Pada titik kekinian relevan untuk menelusuri konsep Negara
kesejahteraan di pentas globalisasi.
Melalui elaborasi holistic dari tiap pendekatan yang digunakan,
harus dapat dipetakan mengenai posisi masing dari: 1). Peran Negara;
2). Pasar; dan 3). Masyarakat dalam sebuah welfare state. Melalui
penelusuran yang digambarkan di atas, akan menjadi pintu masuk
untuk menilai presisi konstitusional makna dinamika dan karakter
Negara kesejahteraan Indonesia, dari spectrum produk legislasi dan
kebijakan eksekutif.
1. Menjelaskan keterhubungan Pancasila
dengan konsep negara kesejahteraan

dan

UUD

1945

Meskipun konsep negara kesejahteraan tidak tercantum secara


normatif (tegas) dalam UUD 1945, bukan berarti dapat disimpulkan
bahwa Indonesia bukan sebagai negara yang mengusung konsep
negara kesejahteraan. Harus diingat bahwa membaca sebuah teks
hukum tidak cukup hanya dengan melihat apa yang tertuang secara
tekstual. Terkait dengan masaah ini, Philiphus M Hadjon dan Tatiek Sri
Djatmiati

menjelaskan2 bahwa menjelaskan norma harus diawali

dengan pendekatan konseptual, karena norma sebagai suatu bentuk


proposisi tersusun atas rangkaian konsep. Demikian pula halnya
Soepomo berpandangan,3 bahwa membaca UUD 1945 tidak cukup
2 Philiphus M hadjon, Tatiek Sri Djatmiati, Argurmntasi hukumhlm.3839.
3 Dalam kaiatan dengan membaca teks UUD 1945. Soepomo adalah
salah seorang dari sekian banyak tokoh yang terlibat dalam proses
penyusunan naskah UUD 1945.

hanya dengan melihat pasal-pasalnya saja, tetapi juga harus melihat


bagaimana dialkektika yang terjadi pada saat merumuskannya, karena
melalui jalan ini dapat ditangkap spirit yang terdapat dibalik setiap
pasal-pasal itu.
Melalui

dua

pandangan

yang

dikemukakan

diatas,

dapat

disimpulkan bahwa membaca teks UUD 1945 (hal mengenai dan


berhubungan

dengan

konsep

negara

kesejahteraan)

harus

menggunakan pendekatan konseptual dan pendekatan sejarah lahirnya


UUD 1945.
1.1.

Konsep Negara Kesejahteraan.


Konsep negara kesejahteraan seringkali dipersepsikan berbeda-

beda, tergantung dari sudut pandang dari sesorang yang tengah


memperbincangkannya. Ada yang mempersepsikan dari spectrum
ekonomi (seperti Nicholas Bar),4 politik (Briggs),5 Ideolgi (Titmuss).
Terhadap pandangan-pandangan itu, terdapat elemen-elemen dasar
yang dapat mempertautkan gagasan yang multipersepesi tersebut,
hingga membentuk pemahaman awal atas pengenalan konsep negara
kesejahteraan. Elemen-elemen itu adalah negara (pemerintah), pasar
dan masyarakat.

Jika elemen-elemen dasar itu dielaborasi dan

dikonstruksi, maka membentuk wujud dasar untuk mengenal konsep


negara kesejahteraan, yaitu suatu konsep yang mendudukan peran
pemerintah secara terukur dan berkomitmen terhadap persamaan
sosial dan keadilan dengan mengacu pada tiga prinsip berikut ini:

Perbaikan dan pencegahan terhadap efek-efek yang merugikan


fungsi

ekonomi

pasar,

khususnya

yang

merugikan

bagi

kesejahteraan pihak yang secara ekonomi dan sosial dianggap


kurang mampu;

Distribusi kekayaan dan kesempatan bagi semuanya secara adil


dan merata; dan

4 Bar, The economics of the welfare state, Oxford, 1998.


5 A Briggs, The welfare State in historical Perspective, European
Journal of Sociology, 1961.

Promosi terhadap kesejahteraan sosial dan sistem jaminan bagi


yang kurang agar mampu memperoleh manfaat yang lebih
besar.
Dengan beroperasi didasarkan pada prinsip-prinsip tersebut di

atas, konsep negara kesejahteraan memiliki enam tujuan dasar, yakni:


pertumbuhan ekonomi, lapangan kerja yang cukup, stabilitas harga,
pembangunan dan ekspansi sistem jaminan sosial serta peningkatan
kondisi kerja, distribusi modal dan kesejahteraan yang seluas mungkin,
dan promosi terhadap kepentingan dan kelompok sosial dan ekonomi
yang berbeda-beda6.
Untuk kepentingan analisis, konsep negara kesejahteraan lebih
ditekankan pada aspek sistim jaminan sosial. Sistim jaminan sosial
pada suatu negara sering kali dituangkan dalam wujud legislasi dan
kebijakan sosial.

Tak dapat disangkal bahwa bahwa konsep negara

kesejahteraan tidak identik dengan kebijakan sosial, tetapi sebuah


negara yang disebut mengusung konsep negara kesejahteraan tidak
akan bermakna jika tidak terdapat sistim jaminan sosial di dalam
legislasi dan kebijakan sosialnya.
Dinna Wisnu 7memberi peringatan atas kerancuan pemahaman
terhadap pengertian antara Negara kesejahteraan dan jaminan sosial
ini.

Senada dengan pernyataan itu, relevan mengutip pendapat yang

dikemukan

oleh

Esping-Andersen

sebagaimana

dikutip

oleh

Darmawan Triwibowo,8
Negara kesejahteraan bukanlah satu konsep dengan
pendekatan baku. Negara kesejahteraan lebih sering ditengarai
dari atribut-atribut kebijakan pelayanan dan transfer sosial yang
6Memahami bahwa konsep negara kesejahteraan seperti itu, maka
karakter hukum pada negara kesejahteraan seharusnya adalah
responsif (Demokratis). Konsep hukum responsive dikemukakan oleh
Nonet dan Zelsnick.
7 Telusuri Dinna Wisnu, Poltik Sistim Jaminan Sosial, Menciptakan Rasa
Aman Dalam Ekonomi Pasar, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2012.
Hlm.33.
8 Darmawan Tri Wiowo, Mimpi Negara Negara Kesejahteraan, LP3ES,
Jakarta, 2006. hlm 8.

disediakan oleh negara (c.q pemerintah) kepada warganya,


seperti
pelayanan
pendidikan,
transfer
pendapatan,
pengurangan
kemiskinan,
sehingga
kedua-nya
(negara
kesejahteraan dan kebijakan sosial) sering diidentikkan. Hal itu
tidaklah tepat karena kebijakan sosial tidak mempunyai
hubungan biimplikasi dengan negara kesejahteraan. Kebijakan
sosial bisa diterapkan tanpa keberadaan negara kesejahteraan,
tapi sebaliknya negara kesejahteraan selalu membutuhkan
kebijakan sosial untuk mendukung keberadaannya.
Mendasarkan pada pemahaman demikian, maka betapa sebuah
sisitim jaminan sosial merupakan elemen penting untuk mendukung
keberadaan negara kesejahteraan Indonesia.
1.2.

Sejarah Lahirnya
UUD 1945 : Penelusuran Terhadap
Eksistensi Gagasan Kesejahteraan sosial
Sejarah mencatat bahwa pada tanggal 1 Maret 1945, Pemerintah

Jepang

meresmikan terbentuknya Badan

Penyelidik

Usaha-usaha

Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Tugas badan ini adalah


untuk mempelajari dan menyelidiki hal-hal penting yang berhubungan
dengan segi-segi politik, ekonomi, tata pemerintahan dan lain-lainnya,
yang

dibutuhkan

merdeka.

dalam

usaha

pembentukan

negara

Indonesia

Pada tanggal 29 Mei 1945, Muh Yamin mengemukakan pendapatnya di


dalam sidang (BPUPKI). Pendapatnya dibagikan ke dalam lima hal
sebagai berikut : (i) Peri Kebangsaan ; (ii) Peri Kemanusiaan; (iii) Peri
Ketuhanan; (iv) Peri Kerakyatan; (v) Kesejataraan Rakyat. 10
Pada tanggal 1 Juni 1945, di dalam pidato yang terdiri dari sekitar
6.480 kata, Soekarno mengemukakan pendapatnya tentang dasar
negara Indonesia Merdeka. Dasar negara itulah yang kemudian dikenal
dengan nama Pancasila, yang berisi pokok pikiran sebagai berikut:
1.
2.
3.
4.

Kebangsaan;
Internasionalisme;
Permusyawaratan/perwakilan;
Kesejahteraan;

9 Sartono Kartodirdjo, dkk., op. cit., hal. 16; lihat juga G. McT. Kahin,
Nationalism and revolution in Indonesia, Ithace : Cornell University
Press, 1978, hal. 121
10 Ibid., hal. 87-88

5. Ketuhanan.
Terkait dengan penelusuran tulisan ini, maka keterangan yang
relevan adalah dasar keempat yaitu adalah kesejahteraan. Soekarno
berkata :
prinsip no. 4 sekarang saja usulkan. Saja didalam 3 hari ini belum
mendengarkan prinsip itu, jaitu prinsip kesedjahteraan, prinsip:
tidak ada kemiskinan di dalam Indonesia Merdeka ... Maka oleh
karena itu djikalau kita memang betul-betul mengerti, mengingat,
mentjintai rakyat Indonesia, marilah kita terima prinsip hal sociale
rechtvaardigheid ini, jaitu bukan sadja persamaan politiek.
Saudara-saudara, tetapi pun diatas lapangan ekonomi kita harus
mengadakan persamaan, artinja kesedjahteraan bersama jang
sebaik-baiknya.11
Pada

akhir-akhir

pembahasan

di

BPUPKI,

disamping

terjadi

dialektika dalam pembahasan dasar negara, Juga terbentuk rumusan


Pembukaan UUD 1945. Jika secara cermat memeriksa rumusan
pembukaan UUD 1945 itu, maka pokok-pokok pikiran mengenai
Pancasila sebagai dasar negara secara tegas tertera di dalamnya,
dengan demikian bahwa gagasan tentang kesejahteraanpun otomatis
terserap di dalamnya. Tidak sekedar demikian, di dalam Pembukaan
UUD 1945 itu juga tertuang tujuan negara. Dasar negara dan
negara

yang

berkorelasi

dengan

konsep

negara

tujuan

kesejahteraan

tergambar sebagai berikut:


Pembukaan: bahwa sesungguhnja kemerdekaan itu jalan hak
segalah bangsa, dan oleh sebab itu maka pendjadjahan di atas
dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan peri-keadilan. Dan perdjuangan pergerakan
kemerdekaan Indonesia telah sampai kepada saat jang
berbahagia dengan selamat sentausa mengantarkan rakjat
Indonesia kedepan pintu gerbang Negara Indonesia jang
merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Atas berkat
Rahmat Allah Jang Maha Kuasa, dan dengan didorongkan oleh
keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan jang bebas,
maka rakjat Indonesia menjatakan dengan ini kemerdekannja.
Kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu Pemerintah
Negara Indonesia Merdeka jang melindungi segenap bangsa
Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk
memadjukan ketertiban umum, mentjerdaskan kehidupan
bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia jang
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial,
maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam
suatu hukum dasar Negara Indonesia jang terbentuk dalam suatu
11 Ibid., hal. 75-76.

susunan negara Republik Indonesia, jang berkedaulatan rakjat,


dengan berdasar kepada ke-Tuhanan, dengan kewadjiban
mendjalankan sjariat Islam bagi pemeluk-pemelukja, menurut
dasar kemanusiaan jang adil dan beradab, persatuan Indonesia,
dan kerakjatan jang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusjawaratan perwakilan serta dengan mewujudkan suatu
keadilan sosial bagi seluruh rakjat Indonesia.
Rumusan pembukaan UUD 1945 yang tertera di atas, mengalami
perubahan dengan menghilangkan 7 kata (yang digaris bawahi oleh
penulis).
Setelah

disahkan

pada

tanggal

18

Agustus

1945,

secara

sistimatika UUD 1945 tersusun sebagai berikut :


Pertama,

bagian

hulu

yang

meliputi

kata

Pembuka

(Mukaddimah, Preambule), kedua, bagian batang tubuh (the body of


the constitution) yang berisi 36 Pasal. Ketiga, bagian Penutup 1 pasal
(Pasal 37), Aturan Peralihan dengan IV Pasal dan Aturan Tambahan
dengan dua angka rumusan kalimat.12

Sehingga secara sistimatika

lengkap tersusun sebagai berikut 13:

12 Mohammad Yamin, Pembahasan Undang-Undang Dasar Republik


Indonesia, Tanpa Penerbit, Tanpa Tahun, hlm. 247.
13 Ibid. hlm. 247-248.

PEMBUKA
(empat kalimat)
TUBUH KONSTITUSI
BAB I. Bentuk dan Kedaulatan
(1 Pasal)
BAB II. Majelis Permusyawaratan Rakyat
(2 Pasal)
BAB III. Kekuasaan Pemerintah Negara
(12 Pasal)
BAB IV. Dewan Pertimbangan Agung
(1 Pasal)
BAB V. Kementrian Negara
(1 Pasal)
BAB VI. Pemerintah Daerah
( 1 Pasal)
BAB VII. Dewan Perwakilan Rakyat
(4 Pasal)
BAB VIII. Hal keuangan
BAB IX. Kekuasaan Kehakiman
( 2 Pasal )
BAB X. Warga Negara
(3 Pasal)
BAB XI. Agama
( 1 Pasal)
BAB XII. Pertahanan Negara
(1 Pasal)
BAB XIII. Pendidikan
(2 Pasal)
BAB XIV. Kesejahteraan Sosial
(2 Pasal)
BAB XV. Bendera dan Bahasa
(2 Pasal)
PENUTUP
BAB XVI. Perubahan Undang-undang Dasar
(1 Pasal)
ATURAN PERALIHAN
(Pasal I-IV)
ATURAN TAMBAHAN
(2 AYAT).
Mecermati sistimatika UUD 1945 di atas, gagasan kesejahteraan
sosial ditemui pada Bab XIV.
Melalui

penelusuran

yang

digambarkan

diatas,

dapat

dikonstruksikan bahwa Pancasila sebagai philosophische grondslag


tertera di dalam Pembukaan UUD 1945. Sebagai

philosophische

grondslag maka berarti Pancasila berkedudukan sebagai sumber


hukum ketatanegaraan Indonesia, menjadi inspirasi bagi pembentukan

kaidah hukum di Indonesia14. Hal ini selanjutnya berarti bahwa


eksistensi Pembukaan UUD 1945 demikian strategisnya dalam sistim
ketatanegaraan Indonesia15.
Apabila

gagasan

kesejahteraan

sosial

terserap

di

dalam

pembukaan UUD 1945 (sebagaimana yang digambarkan sebelumnya),


maka berarti bahwa gagasan kesejahteraan sosial tidak hanya sekedar
memiliki keterhubungan dengan Pancasila dan tujuan negara, lebih
jauh dari itu adalah bahwa gagasan kesejahteraan sosial merupakan
sebuah

kewajiban

konstitusional

dalam

sistim

ketatanegaraan

Indonesia.
1.3.

Gagasan Kesejahteraan Sosial Merupakan Proposisi yang


melekat pada konsep negara kesejahteraan.
Menurut hukum Indonesia, "Kesejahteraan Sosial" didefinisikan

sebagai kondisi terpenuhinya kebutuhan material, spiritual, dan sosial


warga negara agar dapat hidup layak dan mampu mengembangkan
diri, sehingga dapat melaksanakan fungsi sosialnya.
Guna mencapai kondisi yang digambarkan di atas, maka diperlukan
rangkaian serangkaian program dan tindakan dalam bentuk sebagai
berikut :
1. Jaminan sosial, yang merupakan skema melembaga untuk
menjamin seluruh rakyat agar dapat memenuhi kebutuhan
dasar hidupnya yang layak, melalui skema asuransi sosial dan
bantuan langsung berkelanjutan.

14 Teori yang relevan dalam mengeksplanasi hal ini adalah yang


dikembangkan oleh Hans Kelsen dan Hans Nawiasky.
15 Adagium yang memperlihatkan tetang strategisnya Pembukaan
UUD 1945 dalam ketatanegaraan Indonesia adalah mengubah
Pembukaan UUD 1945 berarti membubarkan negara Indonesia. Hal
dapat dipahami karena dalam pembukaan UUD 1945 termuat Dasar
Negara dan Tujuan negara, yang jika dirujuk pada teori konsitusi yang
dikemukan A.A.H Struycken, maka dalam pembukaan UUD 1945
tersebut merupakan tingkat-tingkat tertinggi perkembangan
ketetanegaraan suatu negara, yang memuat cita-cita hasil perjuangan
politik masa lalu.

10

2.

Perlindungan sosial, yang merupakan


diarahkan

untuk

mencegah

dan

semua upaya yang

menangani

risiko

dari

guncangan dan kerentanan sosial.


3.

Jaring pengaman sosial yang merupakan derivasi varian dari


bentuk perlindungan sosial.

Memperhatikan elaborasi pengertian kesejahteraan sosial menurut


hukum Indonesia, seperti diuraikan di atas, maka sangat jelas bahwa
melalui penelusuran proposisi dari beberapa konsep dan penelusuran
terhadap sejarah lahirnya UUD 1945, maka gagasan kesejahteraan
sosial dalam UUD 1945 sesungguhnya kongruen dengan proposisi ciri
konsep negara kesejahteraan.
Dengan demikian, jika secara konstitusional negara Indonesia
menetapkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia sebagai
kewajiban sekaligus tujuan yang hendak dicapai, maka relevan untuk
menyimak adagium yang sangat dikenal: There is no social justice
without social welfare, and there is no social welfare without social
security. Edy Suharto16 menambahkan, bahwa there is no social
security without social solidarity.
2. Perkembangan
type
Kesejahteraan Indonesia

dan

karakteristik

Negara

2.1. Era Orde lama: Masa Transisi yang tidak terkelola secara
baik.
Tidak seperti halnya negara Malaysa dan Singapura, meski
merupakan bekas koloni Inggris, kedua negara ini memiliki sistim
jaminan sosial yang relatif baik dan maju dibanding Indonesia 17. Ahmad
Subianto18 dalam suatu kesempatan mengikuti workshop dana pensiun
di Inggris, dengan tema Pension Scheme: Security and Choice, The
16 Edy Suharto.
17 Telusuri Dinna Wisnu, Poltik Sistim Jaminan Sosial, Menciptakan
Rasa Aman Dalam Ekonomi Pasar, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta,
2012. Dinna melakukan riset tentang sistim jaminan social pada
negara di Asia. Telusuri pula, Ahmad Subianto, Sistim Jaminan Sosial
Nasional, Pilar Penyangga Kemandirian Perekonomian Bangsa, Gibon
Books, Jakarta, 2011.

11

UK Experience 2004, mendapat tanggapan atas pertanyaannya


kepada nara sumber, bahwa dalam hal jaminan sosial, khususnya dana
pensiun, Inggris mengcopy sistim dari Ducth.

Pernyataan ini sangat

inspiratif (terutama jika dihubungkan dengan narasi sebelumnya yang


mengatakan bahwa Malasya dan singapura merupakan negara dengan
sistim jaminan sosial yang lebih baik dan maju dari Indonesia), karena
Malaysa dan Singapura melewati fase masa transisi dari bekas negara
koloni menuju negara merdeka dengan tahap yang benar.
Melaui narasi yang diuraikan di atas, seharusnya Indonesia
berpotensi untuk menjadi baik pula, karena Indonesia adalah bekas
koloni Belanda.

Jika ternyata sejak awal kemerdekaan hingga kini,

jaminan

di

sosial

Indonesia

masih

belum

maksimal,

timbul

pertanyaan,apa dan dimana titik kelemahan itu?, Padahal, UUD 1945


telah memberi koridor yang jelas melalui Aturan Peralihan, untuk
menjaga kekosongan hukum dalam masa transisi menuju kemerdekaan
dengan tetap memberlakukan setiap institusi dan produk hukum yang
ada pada masa sebelumnya.

Hal ini berarti, bahwa tentang produk

hukum tentang sistim jaminan sosial juga termasuk di dalamnya.


Lantas, mengapa Indonesia menjadi tertinggal dibanding dua negara
tetangga tersebut?. Gejala ini membentuk kesan kuat bahwa pada
masa transisi di awal kemerdekaan, penangan produk hukum tentang
sistim kesejahteraan social tidak terkelola dengan baik.
Berdasar penelusuran atas peraturan perundangan di masa Orde
lama, Produk hukum yang beridiom kesejateraan sosial teriventarisasi
sebagai berikut19:
1. Undang-undang Nomor 33 Tahun 1947 Tentang Kecelakaan 20
2. Undang-undang Nomor 12 Tahun 1948 Tentang Kerja

18 Telusuri Ahmad Subianto, Sistim Jaminan Sosial Nasional, Pilar


Penyangga Kemandirian Perekonomian Bangsa, Gibon Books, Jakarta,
2011.
19 Produk hukum pada awal kemerdekaan
20 Kecelakaan dalam pekerjaan.

12

3. Undang-undang Nomor 9 Tahun 1960 Tentang Pokok-pokok


Kesehatan;
4. Undang-undang Nomor 3 Tahun 1961 Tentang Persetujuan
Konpensi

Organisasi

Perburuhan

Internasional

Nomor

106

Mengenai Istirahat Mingguan Dalam Perdagangan dan KantorKantor.


5.

Undang-undang Nomor 22 Tahun 1961 Tentang Pendidikan


Tinggi.

6. Undang-undang Nomor 18 Tahun 1961 Tentang Kepegawaian.


Dalam

deretan

Undang-undang

yang

disebutkan

itu,

secara

21

ideologis berwatak kolkektif-soslialis . Demikian pula kebijakan sosial


ekonomi

nasionalisasi

terhadap

perusahaan

asing

merupakan

kelanjutan dari mainstream berpikir pada masa itu, yaitu kembalinya


peran negara diruang publik sebagai aktor utama 22, setelah pada
periode sebelumnya peran negara dominan di sektor publik dicap
sebagai sebuah keburukan bagi umat manusia.
Terkait

dengan

hal

ini,

sebenarnya

Jimly

Asshidiqy 23

telah

menggambarkan mengenai dinamika ideologi yang bergerak dibalik


realitas hukum dan kebijakan sosial ekonomi Indonesia sejak 19451990. Dalam salah satu simpulan berpikirnya mengatakan bahwa,
Kebijakan dibidang politik berkembang dalam suasana alam pikiran

21 Yang menempatkan posisi pemerintah sebagai aktor utama


memajukan kesejahteraan umum dibidang-bidang sosial tersebut.
UU.No.5 Tahun 1960 Tentang Pokok-pokok agraria (meski bukan secara
langsung berhubungan bidang kesejahteraan social), juga
menunjukkan tentang watak kolektif-sosialis itu.
22 Demikian pula pembatalan atas hak-hak pertambangan melalui
UU.No. 11 Tahun 1961. Pengumpulan uang dan barang untuk
kepentingan pembangunan bidang kesejahteraan sosial melalui UU
No.9 Tahun 1961. Pengendalian Harga Melalui PerPPU No.9 Tahun
1962. Kewajiban perusahaan minyak untuk memenuhi kebutuhan
dalam negeri melalui PerPPU No.15 Tahun 1962.
23 Melalui hasil penelitian disertasinya yang telah dibukukan. Jimly
Asshiddiqy. Gagasan, Bab III.

13

kolektivisme, tetapi kebijakan di bidang ekonominya berkembang


kearah individualme-kapitalisme24.
Memperhatikan secara seksama bahan hukum yang dikumpulkan
tersebut, maka dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Bahwa konfigurasi hukum yang mengatur tentang kesejahteraan
sosial pada periode awal kemerdekaan hingga menjelang
berakhirnya rezim orde lama berpola legislasi berpencar (tidak
sistemik)25.
2. Dengan pola legislasi berpencar, perlidungan sosial, jaminan
sosial,

rehabilitasi

seharusnya

tampak

sosial

dan

dalam

pemberdayaan

sebuah

negara

sosial

yang

kesejahteraan,

menjadi lemah karena tidak terintegritasi dalam satu sitem


pengaturan hukum yang berpola umbrella provission26.
3. Salah satu kelemahan sistem pengaturan yang tidak sistemik
adalah berpotensi tumpang tindih, sehingga dalam tataran
praktis akan menyulitkan koordinasi dan Pengawasan.
Dengan memperhatikan konfigurasi hukum yang mengatur tentang
kesejahteraan sosial, dan melalui penelusuran terhadap norma-norma
pengaturan terhadap undang-undangan sektoralnya tersebut, maka
24 Ini merupakan tantangan Indonesia dimasa mendatang. Ibid, Bab V.
25 Pengaturan tentang Perlindungan sosial dan jaminan sosial, berupa
tunjangan kecelakaan,kematian, kesehatan, perumahan, pension dan
bantuan sosial lainnya, tersebar tersembunyi dan menjadi bagian yang
kecil dalam sistem pengaturan bidang kesehatan, ketenaga kerjaan,
dan kepegawaian. Karena setiap Undang-undang sektoral itu
menempatkan pasal-pasal tentang perlindungan dan jaminan sosial
berjumlah lebih kecil dibanding dengan jumlah keseluruhan pasal yang
mengaturnya. Padahal pembangunan kesejahteraan sosial seharusnya
dibangun diatas dan dengan menegaskan hal yang dianggap kecil itu.
26 Pola-pola legislasi nasional suatu negara seringkali berupa : 1).
Adanya satu sistem pengaturan dalam negara yang menjadi payung
bagi legalitas aktifitas pada seluruh bidang yang serumpun. 2). Adanya
sistem pengaturan hukum dalam negara yang tersebar dalam berbagai
bidang aktifitas serta dalam bentuk hukum yang beragam, baik dari
kedudukan maupun fungsinya. 3). Tidak tersedianya aturan yang jelas
dalam negara untuk mengatur bidang aktifitas tertentu.

14

dapat

disimpulkan

bahwa

secara

konseptual,

pada

masa

awal

kemerdekaan model negara kesejahteraan Indonesia adalah bertipe


minimal-korporatif.
Disebut bermodel minimal karena Indonesia terklasifikasi sebagai
negara

lemah,

ditandai

oleh

pengeluaran

pemerintah

untuk

27

pembangunan sosial yang sangat kecil . Program kesejahteraan dan


jaminan sosial diberikan secara sporadis, parsial dan minimal dan
umumnya hanya diberikan kepada pegawai negeri, anggota ABRI dan
pegawai swasta yang mampu membayar premi.
Disebut bermodel korporasi atau Work Merit

karena norma

pengaturan jaminan sosial juga dilaksanakan secara melembaga dan


luas, namun kontribusi terhadap berbagai skema jaminan sosial
berasal dari tiga pihak, yakni pemerintah, dunia usaha dan pekerja
(buruh). Pelayanan sosial yang diselenggarakan oleh aktor utama yaitu
negara diberikan terutama kepada mereka yang bekerja atau mampu
memberikan kontribusi melalui skema tunjangan maupun asuransi
sosial. Sistem negara kesejahteraan yang menekankan pentingnya
manajemen dan pendanaan negara dalam pemberian pelayanan sosial
dasar, seperti pendidikan, kesehatan, perumahan dan jaminan sosial,
sangat

dipengaruhi

oleh

pendekatan

ekonomi

manajemen-

permintaan (demand-management economics) gaya Keynesian.


2.2. Era Orde baru
Pertumbuhan ekonomi menjadi konsentrasi utama pemerintahan
awal orde baru.28 Rizal Mallarangeng29 dalam bukunya Mendobrak
Sentralisme Ekonomi mengilustrasikan bahwa perekonomian Indonesia
pada masa awal orde baru sangat dipengaruhi oleh pemain dibalik
27 Hal ini dapat dipahami karena negara Indonesia masih berusia belia
dan baru lepas dari belenggu penjajahan.
28 Yang memulai masa baktinya pada 17 Oktober 1967.
29 Rizal Mallarangeng, Mendobrak Sentralisme Ekonomi Indonesia
1986-1992,Kepustakaan Populer Gramedia (KPG), Jakarta, cetakan III,
2008. hlm.43.

15

layar (para ekonom kampus). Melalui keteguhan pendirian dengan


semboyan tidak ada lagi Soekarno tidak ada lagi Hatta, 30 yang ada
adalah

bahwa

bagaimana

meningkatkan

pertumbuhan

ekonomi

Indonesia. Walhasil, akselerasi nuansa individualisme menjadi bagian


watak perundang-undangan pada awal periode ini. 31
Pada periode ini terjadi privatisasi dan liberalisasidi berbagai
bidang,

32

hingga

bidang

kesehatan,

pendidikan,perumahan

di

Indonesia. Jika dilihat dari dinamika bentuk hukum pengaturannya 33,


aktifitas privatisasi disandarkan pada dasar hukum yang tersebar
dalam sistem pengaturan sektoral34. Hal ini dapat ditemui pada bidang
kesehatan dan pendidikan khususnya pada layanan kesehatan berupa
Rumah Sakit.
Pada periode Orde Baru ini juga, Khusus pembangunan di bidang
kesejahteraan sosial, teridentifikasi peraturan perundang-undangan
sebagai berikut :
1. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1970 Tentang Keselamatan
Kerja;

30 Ibid. Demikian para pemain dibelakang layar berkesimpulan,


sebagaimana disebutkan oleh Rizal malarangeng.
31 Hal ini relevan dengan studi Jimly Asshiddiqy. Op.Cit. 177-218.
Realitas hukum Indonesia pada periode ini tidak lepas dari skema
global yang berwatak kapitalis.
32 Dengan terbitnya UU.No.3 Tahun 1970 Tentang Ketentuan
Ketentuan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas. Perluasan
masuknya modal asing melalui UU.No.11. Tahun 1970 Tentang
Perubahan dan Penambahan UU.No. 1 tahun 1967. Terbitnya UU No.8
tahun 1994 Tentang Pengesahan Agreement Establishing Word Trade
Organization (Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia) Oleh
Indonesia. Terbitnya UU.No.8 Tahun 1995 Tentang Pasar Modal.
33 Maksud Penulis adalah sebaran konfigurasi bentuk hukumnya
berpola pada : 1). Umbrela Provission. 2). Bertebaran dalam sistem
pengaturan sektoral.
34 Peraturan Menteri atau Keppres.

16

2. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1974 Tentang Pokok-Pokok


Kesejahteraan Sosial.
3. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 Tentang Kepegawaian;
4. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985 Sistem Pendidikan
Nasional;
5. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 Tentang Perasuransian;
6. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992 Tentang Jaminan Sosial
Tenaga Kerja;
7. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1992 Tentang Perumahan dan
Pemukiman;
8. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1992 Tentang Kependudukan
dan Pembangunan Keluarga Sejahtera;
9. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1992 Tentang Dana Pensiun;
10.Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan;
11.Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 Tentang Perkoperasian;
12.Peraturan Pemerintah No.33. Tahun 1977 Tentang Asuransi
Tenaga Kerja.
Selain berdasakan pada perundang-undangan yang diutarakan di
atas, juga telah dilakukan melalui program-program aksi kesejahteraan
sosial oleh pemerintah. Di bidang pendidikan, berkembang gagasan
program wajib belajar 6 tahun pada Tahun 1984, yang kemudian
dikembangkan menjadi 9 tahun pada Tahun 1994. Hal ini kemudian
berakselerasi dan berseskalasi pada Gerakan Nasional Orang tua asuh
(GN OTA) pada Tahun 1996 yang tertuang dalam Keputusan Menteri
Sosial RI Nomor: 52/HUK/1996/ Tanggal 20 Agustus 1996. Dari GN OTA
ini memperlihatkan terjadinya institusionalisasi sebuah organisasi
sosial mandiri yang pro-pemberdayaan sosial. Demikian pula saat
terjadi krisis dipenghujung tahun 80-an, terjadi penggalangan dana
untuk menghadapi keadaan tersebut. 35 Selanjutnya untuk memfaslitasi
ketersediaan lapangan kerja untuk mengurangi pengangguran dan
kemiskinan, dilakukan program padat karya. Jika dicermati bahwa

35 Pegalangan dana diorganisir oleh Putri Sulung Presiden Soeharto,


dengan mengumpulkan baik berupa barang berharga (emas) maupun
uang tunai.

17

program dan aktifitas ini berdurasi pendek, sehingga hal kemudian


disebut sebagai program jaring pengamanan sosial.
Berdasarkan pada inventarisasi bahan hukum dan aktifitas dari
sebuah

program

kebijakan

yang

digambarkan

diatas,

dapat

disimpulkan:
1

Pengaturan hukum tentang kesejahteraan sosial di masa Orde


baru

mengalami

pemutakhiran

konsolidasi,

sistimatika

dan

hal

ini

dibuktikan

paradigma

berpikir

dengan
dalam

pengaturannya, seperti terjadi pada UU kecelakaan kecelakaan


pada orde lama, diganti dengan UU keselamatan kerja pada orde
baru dan jaminan keselamatan kerja, dipertajam dengan skema
asuransi tenaga kerja melalui sebuah peraturan Pemerintah.
Demikian pula yang terjadi pada pengaturan bidang perumahan
dan kepegawaian dan pendidikan.
2

Pengaturan hukum tentang kesejahteraan sosial di masa Orde


baru, lebih tajam dan terspesialisasi, namun masih tetap berpola
bersebar.

Nuansa sebagai negara dengan cita kekeluargaan, sangat kuat


melandasi

pembangunan

kesejahteraan

sosial

Indonesia,

sehingga pada periode Orde Baru ini, model kesejahteraan


Indonesia meski tetap menganut model minimal-karitas, tetapi
dengan kualifikasi

dan kualitas bobot yang lebih bertenaga.

Disebut minimal karena program jaring pengamanan sosial


umumnya berdurasi pendek dan sporadis. Dikatakan karitas
karena hanya untuk menarik simpati dan pencitraan pada publik.
Terkait itu, satu hal yang perlu dicatat pada periode ini adalah
bahwa meskipun telah terjadi pengaruh ideologi kapitalisme dalam
watak perekonomiannya, secara konseptual dan peraturan perundangundangan, pengaturan hukum tentang pembangunan kesejahteraan
sosialnya

masih

(kolektivisme).

36

berbasis

pada

cita

negara

kekeluargaan

Kedua-duanya berjalan dalam basis ideolgi masing-

masing yang berbeda.


36 Kesejahteraan sosial menjadi tanggung jawab tiga subjek hukum
dalam negara yaitu, pemerintah, korporasi (swasta,BUMN dan BUMD),
dan masyarakat.

18

2.3.

Era
Reformasi:
Implikasi
Perubahan
Struktur
Ketatanegaraan
Tahun
1999
terhadap
type
dan
karakteristik negara kesejahteraan Indonesia

Pada periode Orde Reformasi 37, yang ditandai dengan dimulainya


kabinet Reformasi Pembangunan pada Tanggal 21 Mei 1998, dipimpin
oleh Baharuddin Jusuf Habibie, Analisis terhadap realitas hukum dan
kebijakan sosial ekonomi Indonesia sebagai negara kesejahteraan akan
dilanjutkan, dengan terlebih dahulu mengambil catatan kecil dari masa
pemerintahan orde sebelumnya.
Dimasa awal masa pemerintahan Orde Baru, peralihan kekuasaan
berjalan

dalam

realitas

hukum,

politik

dan

ekonomi

yang

menghawatirkan. Oleh karenanya pada masa itu pemerintah pengganti


(baru) tampil sebagai aktor utama melalui wewenang yang secara
prosedural formal diberikan oleh sistim politik sentralistik, yang
kemudian melahirkan apa yang disebur sebagai ecsecutive heavy. Jadi,
pada awal periode ini pemerintahan yang heavy menggunakan strategi
pembangunan

disebut

pertumbuhan

dengan

kapitalis untuk menata perekomian nasional.

ideologi

bernuansa

Karakter hukum pada

38

masa ini juga bernuansa represif untuk bidang pranata ekonomi


tersebut. Sehingga dari perspektik ekonomi politik terjadi sentralisme
ekonomi39. Bahkan dengan rentang waktu masa jabatan pemeritahan
yang

begitu

panjang,

sentralisme

menjangkau aspek politik.

telah

menggurita

hingga

Oleh karena itu muncul gerakan yang

menghendaki terjadinya perubahan melalui sebutan reformasi yang


berpuncak di Bulan Mei Tahun 199840.
Salah tuntutan dalam reformasi itu adalah reformasi hukum. Hal ini
jika dihubungkan dengan pengaturan pembangunan kesejahteraan

37 Analisis terhadap orde reformasi dimulai pada masa pemerintahan


dari B.J. Habibie hingga ke masa pemerintahan Susilo Bambang
Yudhoyono dalam satu kesatuan.
38 Philip nonet dan Zelzinek
39 Telusuri Rizal malarangeng.

19

sosial, maka bagaimanakah sistem pengaturan kesejahteraan sosial di


era reformasi, adakah hal substansi yang tereformasi?
Realitas

produk

hukum

yang

bertipikal

pembangunan

kesejahteraan sosial pada periode ini adalah :


a) Kabinet Reformasi Pembangunan: B.J. Habibie
1. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1998 Tentang Perubahan
terhadap

Undang-undang

No.25

tahun

1997

Tentang

Ketenagakerjaan;
2. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1998 Tentang Kesejahteraan
Lanjut Usia;
3. Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Perubahan
Atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 Tentang PokokPokok Kepegawaian
b) Kabinet Persatuan Nasional: K.H. Abdurrahman Wahid.
Pada periode ini tidak terbit produk legislasi nasional yang
berkaitan dengan pembangunan kesejahteraan sosial.
c) Kabinet Gotong Royong: Megawati Soekarnoputri
1. Undang-Undang

Nomor

13

Tahun

2003

Tentang

Ketenagakerjaan;
2. Undang-Undang

Nomor

20

Tahun

2003

Tentang

Sistim

Pendidikan Nasional;
3. Undang-Undang

Nomor

2Tahun

2004

Penyelesaian

Perselisihan Hubungan Industrial


d) Kabinet Indonesia Bersatu: Susilo Bambang Yudhoyono
1. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 Penempatan dan
Perlindungan Tenaga kerja Indonesia di Luar Negeri;
2. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 Sistem Jaminan Sosial;
3. Undang-Undang

Nomor

24

Tahun

2007

Tentang

Penanggulangan Bencana;
40 Jika dicermati lebih dalam, rezim orde baru, pada akhir-akhir masa
pemerintahannya cenderung lebih aspiratif-untuk tidak menyebutnya
sebagai demokratis. kebijakan sosialnya yang pro kesejahteraan di
akhir-akhir itu (yang terlihat melalui pemutakhiran produk hukumnya)
yang membuat penulis berkesimpulan bahwa Indonesia tetap
merupakan negara kesejahteraan dengan model minimal-korporatif.

20

4. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2009 Tentang Kesejahteraan


Sosial;
5. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan;
6. Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit;
7. Undang-Undang

Nomor

52

Tahun

2009

Tentang

Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga;


8. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 Tentang Perumahan dan
Kawasan Pemukiman;
9. Undang-Undang Nomor

13 Tahun 2011 Tentang Penangan

Fakir Miskin;
10.Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 Tentang Rumah Susun;
11.Undang-Undang

Nomor

13

Tahun

2011

Tentang

Badan

Penyelenggara Jaminan Sosial.


Sebelum analisis dilakukan terhadap bahan hukum sebagaimana
yang tertera di atas, terlebih dahulu disampaikan ilustrasi, bahwa pada
periode ini41 Semangat desentralisasi sangat kuat, terutama sejak
Lahirnya Undang-Undang tentang Otonomi Dareah di Tahun 1999.
Kemudian daripada itu juga adalah terjadinya proses amandemen
terhadap UUD 1945. Kedua momen ketatanegaraan ini turut memberi
pengaruh yang kuat terhadap kebijakan kesejahteraan sosial Indonesia,
karena

secara

fundamental

telah

mengubah

sendi-sendi

ketatanegaraan Indonesia.
Melalui UUD 1945 hasil amandeman, kewajiban negara atas
kesejahteraan sosial lebih dipertegas dan dipertajam 42. Demikian pula
melalui Leigislasi otonomi daerah, konstelasi kewajiban negara yang
diperankan

oleh

desentralisasi

pemerintah43

wewenang

mengalami

kepada

rekonstruksi

Pemerintah

Daerah,

melalui
sehingga

kewajiban untuk merealisasikan kesejahteraan sosial yang sebelumnya


berpola sentral di Pemerintah Pusat, dengan demikian mengalami
41 Khsusnya diawal reformasi
42 Telusuri kembali reformulasi terhadap Pasal 27,28 H ayat (1), serta
pasal 34 UUD 1945.
43 Baca: Pemerintah Pusat

21

desentralisasi ke Daerah karenanya. Aktifitas beberapa Pemerintah


Daerah untuk melaksanakan Jaminan Kesehatan Masyarakat Daerah
(JAMKESMASDA), merupakan contoh dari implikasi desentralisasi.
Demikian pula

sekolah gratis hingga tingkatan menengah pada

sekolah-sekolah

yang diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah,

seperti di Kota Surabaya. Apabila dicermati lebih dalam, maka telah


terjadi ketidakeseragaman terhadap jaminan sosial yang diterima oleh
masyarakat pada tiap-tiap Daerah. Hal ini membawa konsekuensi
terhadap penilaian atas dinamika model dan karakteristik negara
kesejahteraan Indonesia.
Arah analisis kembali difokuskan pada alurnya. Mencermati bahan
hukum

yang

dipaparkan

diatas

dirangkaikan

dengan

seting

ketatanegaraan Indonesia terkini, maka dapat disimpulkan bahwa pada


periode

orde

reformasi,

format

negara

kesejahteraan

Indonesia

berdinamika Mengarah pada model Plural Welfarestate. Ideologinya


individual-kolektif minimal.
Disebut individual-kolektif minimal, karena jaminan sosial yang
diterapkan di beberapa bidang, misalnya pada pendidikan dan
kesehatan berlangsung dalam jebakan paradigma invidualistik yang
kuat, mendesak yang selanjutnya meminimalkan kolektivisme. Artinya,
layanan gratis atas kesehatan dan pendidikan dengan skema asuransi
oleh pemerintah dengan kuantitas

terbatas, berdampingan dengan

mengguritanya gempuran layanan pendidikan dan kesehatan yang


bermotif mencari laba (sekolah mahal) oleh swasta.
3.

Bagaimana negara kesejahteraan Indonesia


setelah Ideologi Pasar bebas Runtuh?

ke

depan,

Menata negara kesejahteraan Indonesia kedepan, harus benarbenar

mempertimbangkan

dan

menerjemahkan

secara

tepat

kesesuaian antara kecenderungan lingkungan fisik objektif global 44


dengan ihtiar pembadanan deduktif dari konsep-konsep yang abstrak.
Pada titik yang ambigu tersebut diperlukan asas-asas untuk menuntun

44 Tatanan global tentang berakhirnya pasar bebas.

22

perilaku. Asas-asas hukum bagi negara kesejahteraan Indonesia


kedepan,45 berupa:
1) Tugas Pemerintah bukan menghasilkan uang, tapi menghasilkan
kebaikan.
2) Pemerintah, swasta dan masyarakat harus hadir secara tepat
dan bijaksana untuk mengerahkan energinya dalam rangka
menyelesaikan kesukaran bersama.
3) Intenasionalisme

Indonesia

adalah

internasionalisme

yang

beradab, yang tidak menyebabkan kesengsaraan warga dunia


dan rakyatnya.
Jika

pada

uraian

analisis

disimpulkan

bahwa

pada

negara

kesejahteraan Indonesia terdapat dua jalur untuk memahami realitas


kebijakan kesejahteraan sosial dan kebijakan ekonomi. Pada realitas
kebijakan

kesejahteraan

sosial,

negara

Indonesia

teridentifikasi

berwatak kolektivisme, yang berporos pada cita negara Indonesia


(Pancasila), dan kebijakan ekonomi Indonesia teridentifikasi berwatak
individualisme, yang berporos keterpengaruhan pada globalisme yang
kapitalis. Maka, terhadap kiprah negara kesejahteraan Indonesia
kedepan, baik pada kebijakan kesejahteraan sosial maupun ekonomi
harus bertemu pada titik tengah. Sebuah titik kalibrasi yang dinamis.
Sehingga melahirkan negara kesejahteraan Indonesia dengan tipe
yang penulis sebut dengan istilah model kalibrasi dinamis, dengan
berbasis pada cita negara kekeluargaan yang dinamis pula 46. Asas-asas
yang disebutkan penulis diatas merupakan asas yang kongruen
dengan negara kesejahteraan model kalibrasi dinamis tersebut.
45 Setelah asas dan konsep dasar hukum lainnya terpenuhi.
46 Sri Soemantri berpandangan bahwa : Bangsa Indonesia
berlandaskan pada Panca Sila menganggap dan mengaku bahwa
sebagai satu keluarga yang besar. Itulah arti dari ungkapan asas
kekeluargaan. Sedangkan negara kekeluargaan mengandung
pengertian satu negara yang rakyatnya merasa sebagai satu keluarga.
Dan sebagai satu keluarga besar, maka masing-masing baik sebagai
individu maupun kelompok merasa dan menganggap dirinya sebagai
anggota keluarga. Hal itu mengandung arti pula bahwa baik sebagai
individu dan sebagai kelompok mempunyai tanggung jawab dalam
keluarga (besar) yang bernama negara. Artinya, masing-masing

23

D. Kesimpulan
Berdasar uraian analisis dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
Bahwa produk legislasi dan regulasi yang beridiom kesejahteraan
sosial pada tiga masa rezim pemrintahan, menunjukan bahwa negara
kesejahteraan

Indonesia

masih

mencari

bentuk.

Dalam

proses

pencarian bentuk itu, yang selanjutnya memperlihatkan tentang


berdinamikanya tipe negara kesejahteraan Indonesia, dari miminalkolektif bergerak pada minimal-karitas hingga minimal-plural, dengan
tampilan mainstream ideologi ekonomi dan politik yang terbelah dua
dan bergerak dalam jalannya masing-masing. Hal ini jika dihubungkan
dengan UUD 1945, maka pada periode pemerintahan tertentu terlihat
tidak presisi dengan Pancasila yang berbasis kolektif.
E. Daftar Pustaka
A Briggs, The welfare State in historical Perspective, European Journal
of Sociology, 1961.
Ahmad Subianto, Sistim Jaminan Sosial Nasional, Pilar Penyangga
Kemandirian Perekonomian Bangsa, Gibon Books, Jakarta, 2011.
Ahmad Subianto, Sistim Jaminan Sosial Nasional, Pilar Penyangga
Kemandirian Perekonomian Bangsa, Gibon Books, Jakarta, 2011.
Bar, The economics of the welfare state, Oxford, 1998.
Darmawan Tri Wiowo, Mimpi Negara Negara Kesejahteraan, LP3ES,
Jakarta, 2006.
Dinna Wisnu, Poltik Sistim Jaminan Sosial, Menciptakan Rasa Aman
Dalam Ekonomi Pasar, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2012.
Edi

Suharto. Kebijakan Sosial Sebagai Kebijakan Publik: Peran


Pembangunan Kesejahteraan Sosial dan Pekerjaan Sosial dalam
Mewujudkan Negara Kesejahteraan di Indonesia. Bandung:
Alfabeta, 2007.

G. McT. Kahin, Nationalism and revolution in Indonesia, Ithace : Cornell


University Press, 1978,
Jimly Asshiddiqie. Gagasan Kedaulatan Rakyat Dalam Konstitusi dan
Pelaksanaannya
di
Indonesia,
Pergeseran
keseimbangan
mempunyai tanggung jawab terhadap kelangsungan hidup keluarga
besar itu. Sri Soemantri, Bunga Rampai Hukum tata Negara, Alumni,
Bandung, 1992, hlm. 2-4.

24

Individualisme dan Kolektivisme dalam Kebijakan Demokrasi


Politik dan Demokrasi Ekonomi Selama Tiga Masa Demokrasi,
1945-1980-an, Ivhtiar Baru Van Hoeve. Jakarta, 1994.
Mohammad Yamin, Pembahasan Undang-Undang
Indonesia, Tanpa Penerbit, Tanpa Tahun

Dasar

Republik

Philiphus M hadjon, Tatiek Sri Djatmiati, Argurmntasi hukum, Gajah


mada University Press, Yogyakarta, 2010.
Rizal Mallarangeng, Mendobrak Sentralisme Ekonomi Indonesia 19861992,Kepustakaan Populer Gramedia (KPG), Jakarta, cetakan III,
2008.
Sri Soemantri, Bunga Rampai Hukum tata Negara, Alumni, Bandung,
1992,

25

Anda mungkin juga menyukai